Anda di halaman 1dari 38

HAKIKAT WACANA, JENIS WACANA DAN LANGKAH LANGKAH

MENGARANG WACANA

OLEH :

M.Mahendra 062230400869
Sofie Delsiani 062230400881
Welen Tarisaputri 062230400882

Kelas : 2KC
Kelompok :8

Dosen pembimbing : Muhammad Bujaya, S.Pd., M.Pd.

DIII TEKNIK KIMIA


POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Wacana” ini tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita
termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Di dalam makalah ini, kami membahas mengenai Hakikat Wacana, Jenis Wacana, dan
langkah-langkah mengarang Wacana Yang bertujuan untuk mengetahui, memahami, dan
menerapkannya dalam suatu karya ilmiah yang baik dan benar.

Selama penyusuan makalah ini banyak kendala yang kami hadapi , namun berkat
kerja sama anggota kelompok dan bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak , semua
kendala tersebut dapat teratasi. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad
Bujaya, S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia dan semua pihak yang
telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya makalah ini.
Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah
satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman,
sehingga nantinya kami dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih
baik lagi.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan kami pada khususnya. Akhir kata kami sampaikan terima kasih.
Palembang, 23 Mei 2023

Penulis

II
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................3
1.3 Tujuan...............................................................................................................................3
1.4 Manfaat.............................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................4
2.1 Pengertian Wacana............................................................................................................4
2.2 Sejarah Kajian Wacana.....................................................................................................4
2.3 Perkembangan Kajian Wacana.........................................................................................5
2.4 Kedudukan Wacana..........................................................................................................6
2.5 Hakikat Wacana................................................................................................................7
2.6 Tujuan Wacana..................................................................................................................9
2.7 Fungsi Wacana................................................................................................................10
2.8 Struktur Wacana..............................................................................................................10
2.9 Unsur Wacana.................................................................................................................12
a. Unsur Internal Wacana..................................................................................................12
b. Unsur Eksternal Wacana...............................................................................................13
2.10 Kohesi dan koherensi wacana......................................................................................15
1.Kohesi Wacana...............................................................................................................15
2 Kohesi Gramatikal.........................................................................................................17
3.Koherensi wacana..........................................................................................................20
2.11 Jenis-jenis Wacana........................................................................................................20
1.Kelompok Wacana Naratif.............................................................................................22
2.Kelompok Wacana Deskriptif........................................................................................25
2.12 Analisis Wacana............................................................................................................31
2.13 Cara Membuat Teks Wacana........................................................................................32
1. Menangguk ide.............................................................................................................32
2. Memilih Topik dan Menetapkan Tema.........................................................................32
3. Menguraikan Tema Sambil Mengumpulkan Bahan.....................................................32
4. Menyusun Kerangka.....................................................................................................32
5. Menulis Draf.................................................................................................................32
6. Memperkaya dan Menghaluskan Tulisan.....................................................................32

III
7. Membuat Judul.............................................................................................................33
8. Menyunting Akhir.........................................................................................................33
BAB III PENUTUP..................................................................................................................34
A.KESIMPULAN................................................................................................................34
B. SARAN............................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................35

IV
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kata wacana dalam bahasa Indonesia dipakai sebagai padanan kata discourse dalam
bahasa Inggris. Secara etimologis kata discourse itu berasal dari bahasa Latin discursus ‘lari
kian kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu
merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari, berjalan kencang’ (Wabster dalam Baryadi
2002:1).Baik wacana atau discourse kemudian diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam
linguistik, wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit [s]) yang berada di atas
tataran kalimat (Baryadi 2002:2), sedangkan dalam konteks tata bahasa, wacana merupakan
satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Kridalaksana dalam Baryadi 2002:2). Hal ini berarti
bahwa apa yang disebut wacana mencakup kalimat, gugus kalimat, alinea atau paragraf,
penggalan wacana (pasal, subbab, bab, atau episode), dan wacana utuh. Hal ini berarti juga
bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal terkecil dalam wacana. Dari pendapat di atas,
dapat diketahui bahwa sebuah wacana dalam realisasinya selalu berupa sekumpulan kalimat.
Wacana merupakan sebuah pesan yang tersirat dalam sebuah teks. Untuk itu, sebuah teks
pada hakikatnya bukan ditulis untuk mencatat sesuatu belaka, tetapi bertujuan untuk
menyampaikan sesuatu pesan kepada orang lain. Teks sebagai hasil konstruksi dari sebuah
realitas, sudah tentu teks menggunakan tanda guna mempresentasikan sebuah peristiwa,
kasus, atau objek tertentu. Misalnya, ketika seorang komunikator ingin menyampaikan
sesuatu melalui teks, maka sudah tentu komunikator tersebut ingin bahwa teks tersebut
mampu mewakili pesan yang ingin disampaikan.
Sebuah kalimat merupakan kumpulan beberapa kata. Kata merupakan kumpulan suku
kata dan kata merupakan kumpulan huruf. Di pihak lain dikatakan bahwa wacana adalah
rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat
menggunakan bahasa lisan dan bahasa tertulis. Adapun bentuknya, wacana mengasumsikan
adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penyapa adalah
pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar.
I.2 Rumusan Masalah
• Apa yang dimaksud dengan teks wacana?
• Macam-macam wacana?
• Bagaimana cara mengarang wacana?
I.3 Tujuan
 Mengetahui maksud teks wacana?
 Mengetahui macam-macam wacana?
 Mengetahui bagaimana cara mengarang wacana?
1.4 Manfaat

V
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, sehingga membentuk makna yang serasi
di antara kalimat-kalimat tersebut. Syamsuddin (2011, hlm. 7), menjelaskan bahwa
pengertian dari wacana adalah sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang
mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam satu
kesatuan yang koheren, serta dibentuk dari unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.
Berdasarkan pengertiannya, Syamsuddin (2011, hlm. 8) mengidentifikasi ciri dan sifat sebuah
wacana, sebagai berikut :
a. Wacana dapat berupa rangkaian kalimat ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak
tutur;
b. Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek);
c. Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan semua situasi pendukungnya;
d. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu;
e. Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental.
Dalam hal ini, wacana dapat disebut sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang
peristiwa komunikasi, dan komunikasi merupakan alat interaksi sosial, yaitu hubungan antara
individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya dalam proses sosial.
Berkomunikasi dapat menggunakan medium verbal (lisan dan tulis) maupun medium
nonverbal (isyarat dan kinesik). Perwujudan medium verbal adalah wacana yang merupakan
produk komunikasi verbal. Wacana mengasumsikan adanya penyapa (pembicara atau penulis)
dan pesapa (pendengar atau pembaca). Dalam proses berbahasa, penyapa menyampaikan
pesan (pikiran, rasa, kehendak) yang menjadi makna dalam bahasa (lingual) untuk
disampaikan kepada pesapa sebagai amanat (Sudaryat, 2011, hlm. 105-106). Menurut Tarigan
(dalam Djajasudarma, 1994, hlm. 5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi
atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang
berkesinambungan, serta mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata. Sementara itu,
Djajasudarma (1994, hlm. 15) berpendapat mengenai wacana dan komunikasi serta
fungsinya, bahwa wacana dengan unit konversasi memerlukan unsur komunikasi berupa
sumber (pembicara dan penulis) serta penerima (pendengar dan pembaca).
Wacana merupakan proses komunikasi menggunakan simbol-simbol yang berkaitan
dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam suatu sistem kemasyarakatan yang luas.
Melalui pendekatan wacana, pesan-pesan komunikasi seperti kata-kata, tulisan, gamba, dan
pesan-pesan komunikasi lainnya, tidak bersifat netral atau steril. Pada dasarnya wujud dari
bentuk wacana tersebut dapat dilihat dalam beragam buah karya pembuat wacana.
Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang
berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dapat
berupa nilai, ideologi, emosi, kepentingankepentingan, dll.
II.2 Sejarah Kajian Wacana
Dari segi sejarah, kajian wacana dimulakan oleh seorang ahli linguistik tradisional yang
bernama Malinowski di awal tahun 1923 dengan melihat hubungan bahasa dengan

VI
masyarakat dalam kajiannya di Kepulauan Trobriand. Konsep ini kemudian dikembangkan
oleh Firth (1935) dengan mengemukakan “teori makna dalam konteks‟ (context of situation)
yang menyatakan bahawa semua ilmu bahasa merupakan kajian makna dan makna ini bukan
diperoleh daripada hubungan akalilah di antara ide-ide yang wujud oleh kata-kata, tetapi
daripada hubungannya dengan konteks situasi yang melatarinya (Omar, 1980a: 14).
Seterusnya, istilah discourse analysis ini secara khususnya mula diperkenalkan oleh Harris
(1952) dalam kertas kerjanya yang mana beliau melihat bahasa lebih daripada ayat dalam
pengkajian bahasa dengan memberi gambaran tentang struktur teks dan peranan unsur-unsur
dalam struktur tersebut sehingga merubah analisis tata bahasa yang dahulunya hanya berakhir
pada peringkat ayat, kini ke peringkat wacana. Malahan, beliau juga memperlihatkan
wujudnya hubungan antara teks dengan situasi sosial. (Omar, 1980a: 14-15). Secara historis,
tercatat sampai awal tahun 50-an, kajian tata bahasa masih berkutat di seputar kalimat. Baru
pada tahun 1952, seorang linguis kenamaan bernama Zellig S. Harris menyatakan
ketidakpuasannya terhadap “tata bahasa kalimat” tersebut. Menurutnya, masih banyak
persoalan kebahasaan yang tidak tersentuh oleh pisau bedah yang bernama “gramatika
kalimat‟ itu. la lalu menulis dan mempublikasikan artikel yang berjudul “Discourse
Analysis". Karangan itu dimuat di majalah Language Nomor 28:13 dan 474-494. Dalam
tulisannya tersebut, Harris mengemukakan argumentasi tentang perlunya mengkaji bahasa
secara komprehensif; minimal tidak berhenti pada aspek internal struktural semata.
Aspek eksternal bahasa, yang justru menyelimuti kalimat secara kontekstual, juga perlu dikaji
untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya. Pada waktu itu, pernyataan Harris sebenarnya
agak melawan arus. Aliran linguistik yang berkembang di Amerika waktu itu adalah aliran
Strukturalisme, buah pikiran Bloomfield (1887-1949) dan pengikut-pengikutnya (Oetomo,
1993). Kaum Bloomfieldian memang dengan tegas memisahkan kajian sintaksis dari
semantik dan hal-hal lain di luar kalimat. Linguis yang lain, seperti Franz Boas (1858-1942)
dan Edward Sapir (1884-1939), yang juga seorang antropolog, sebenarnya pernah mengkaji
bahasa yang dihubungkan dengan konteks kebudayaan dan kemasyarakatan. Namun,
Bloomfiled dengan pengaruhnya yang sangat mengakar dalam aliran linguistik
1strukturalisme, tetap berkibar dengan ajarannya, yakni bahwa kajian linguistik harus
menelaah bentuk dan substansi bahasa itu sendiri, bukan mengkaji lainnya. Itulah sebabnya,
himbauan Harris untuk keluar dari kungkungan Bloomfiled dan mengembangkan kajian
linguistik, kurang mendapat tanggapan yang berarti. Jauh sebelum itu, pada tahun 1935 di
Inggris, John Firth (1890-1960) pernah menganjurkan agar para linguis mencoba menelaah
bahasa percakapan. Menurutnya, “di sinilah akan kita temukan kunci bagi pemahaman yang
lebih baik dan luas tentang apa yang disebut dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu
beroperasi" (Firth, 1935). Anjuran Firth mendapat tanggapan dengan lahirnya analisis wacana
percakapan “jual-beli” yang dilakukan oleh Mitchell dalam komunitas di Cyrenaica. Upaya
yang kurang lebih semasa dengan anjuran Harris itu berbeda sedikit dalam hal objek
kajiannya (percakapan lisan vs teks tulis). Selain itu Haris cenderung ragu. ragu ketika
hendak melibatkan konteks sosial dalam analisisnya. Sedangkan Micthell justru dengan
sengaja melibatkan hal itu (Dede Oetomo, 1993:8), Sejak saat itulah, di Eropa, terutama
Perancis, lahir karya-karya analisis wacana dari ancangan semiotik strukturalisme, dari
tokoh-tokoh seperti Bremond, Todorov, Metz, dan masih
banyak yang lainnya.

II.3 Perkembangan Kajian Wacana


Perkembangan wacana secara umumnya berasaskan dua tradisi, yaitu tradisi Eropa
dan tradisi Amerika (McCarthy, 1991). Tradisi Eropa banyak dilakukan oleh ahli-ahli bahasa
pemikiran Prague seperti Mathesius yang terkenal dengan kerangka Perspektif Kalimat Tugas
(Functional Sentence Perspective) bagi menganalisis wacana. Halliday (1973) pula banyak

VII
mempengaruhi aliran wacana di Britain dan aliran Prague, selain pengaruh pemikiran Firth
yang memperluas kan konsep keperihalan keadaan yang dipelopori oleh Malinowski
menekankan pendekatan fungsional terhadap bahasa dengan mengemukakan tiga fungsi
bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, fungsi tekstual (dalam Aman, 2010: 18-
19). Menjelang tahun 1970-an, kajian wacana telah mengalami evolusi apabila pendekatan
kritis diperkenalkan melalui kerja-kerja yang dilakukan oleh Fowler dan rekan-rekan
sejawatnya, yaitu Hodge, Kress, dan Trew yang berpangkalan di University of East Anglia,
Britain (Fairclough, 1992); Simpson, 1993). Fairclough (2003) salah seorang penyokong
analisis wacana kritis memperkenalkan praktis sosial dalam menganalisis wacana.
Dalam perkembangannya, di Amerika analisis wacana didominasi oleh kerja-kerja
dalam tradisi etnometodologi, yaitu menekankan metode penyelidikan secara perhatian
terhadap sekelompok manusia yang berkomunikasi dalam latar semula jadi yang berfokuskan
kajian jenis-jenis lakuan bahasa. Gumperz dan Hymes merupakan dua orang tokoh yang
terkenal bagi tradisi ini. Tradisi analisis perbualan (conversational analysis) yang
menumpukan perhatian kepada tingkah laku pemeran wacana dan pola wacana yang wujud
dalam data yang mana turut tergolong dalam analisis wacana juga terdapat dalam aliran
Amerika ini. Termasuk juga aliran wacana yang bergerak sealiran dengan tradisi linguistik
seperti wacana penceritaan lisan. Satu lagi pendekatan analisis wacana yang terkenal ialah
pendekatan lakuan tutur (speech act) yang digubah oleh ahli falsafah Austin (1962), Searle
(1971), dan McCarthy (1991) (dalam Aman, 2010: 18-19). Sementara itu, di Amerika muncul
pendekatan sosiolinguistik yang dipelopori oleh Dell Hymes, yang antara lain mengkaji
masalah percakapan, komunikasi, dan bentuk sapaan, yang nantinya akan berkembang
menjadi kajian wacana yang lebih luas. Minat dan hasil karya penelitian sosiolinguistik ini
terus bergulir pada dasawarsa 1960-an. Penelitian bidang fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan variasi stilistika makin terbuka terhadap persentuhannya dengan faktor-faktor
sosial. Kondisi itulah yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menengok bidang
kajian wacana yang tampaknya mewadahi persoalan tersebut. Pada tahun-tahun itu. muncul
pula kajian bahasa lainnya, seperti filsafat bahasa, dan etnografi oleh Austin (1911-1960) dan
Searle;bidang etnografi komunikasi oleh John Gumperz, dan Dell Hymes; bidang
etnometodologi, dialektologi, atau analisis percakapan oleh Harvey dan Erving; dan tak
ketinggalan pula, kajian psikolinguistik atau psikologi dan intelegensia artifisial yang
dikembangkan oleh Bartlett.Analisis wacana (discourse analysis) sebagai disiplin ilmu
dengan metodologi yang jelas dan eksplisit, baru benar-benar berkembang secara mantap
pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana terbit pada dasawarsa itu, misalnya
Stubbs (1983), Brown dan Yule (1983), danyang paling komprehensif karya van dijk (1985).
Pokok perhatian analisis wacana juga terus berkembang dan merebak pada hal-hal atau
persoalan yang banyak diperbincangkan orang di masa sekarang, seperti perbedaan gender,
wacana politik, dan emansipasi wanita, serta sejumlah masalah sosial lainnya

II.4 Kedudukan Wacana


Kedudukan Wacana dalam Satuan Linguistik. Wacana merupakan satuan bahasa di
atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan
bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau
tulis dan dapat bersifat transnaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara
lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa,
sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan
ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis
wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa
yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Sebagai peristilahan
lingustik, oleh Hartman (1976: 69) dikatakan bahwa wacana bertalian dengan tuturan yang

VIII
beruntun, yang diucapkan oleh seorang penutur kepada lawan tutur untuk menyampaikan
pesan. Wacana dihasilkan oleh proses komunikasi yang berkesinambungan. Dengan
demikian, wacana itu ada, karena adanya tindak tutur atau tindak perbuatan berbahasa.
II.5 Hakikat Wacana
Asal mula istilah wacana berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu wac/wok/vac yang
berarti berkata atau berucap (Mulyana, 2005:4). Istilah tersebut merupakan bentuk aktif atau
sebuah bentuk verba. Istilah tersebut mengalami nominalisasi menjadi wacana yang berarti
perkataan/tuturan. Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau
tuturan. Menurut kamus bahasa kontemporer, kata wacana itu mempunyai tiga arti. Pertama,
percakapan; ucapan; tuturan. Kedua, keseluruhan cakapan yang merupakan satu kesatuan.
Ketiga, satuan bahasa terbesar yang realisasinya merupakan bentuk karangan yang utuh.
Istilah wacana juga merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu discourse. Kata
tersebut berasal dari bahasa latin, yaitu discursus yang berarti "lari ke sana ke mari' atau 'lari
bolak- balik. Dalam kamus webster, istilah tersebut diperluas menjadi (1) komunikasi kata-
kata, (2) ekspresi gagasan-gagasan, dan (3) risalah tulis berupa ceramah, pidato, dan lain
sebagainya. Dari ketiga makna tersebut, dapat disimpulkan bahwa istilah wacana
berhubungan dengan kata-kata, komunikasi, dan ungkapan baik secara lisan maupun tulis.
Wacana merupakan salah satu kajian dalam ilmu linguistik yang ditetapkan dalam
satu kajian tersendiri, yaitu analisis wacana. Tarigan (2009) menyatakan bahwa wacana
merupakan satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau
klausa dengan koherensi dan kohesi. Wacana memiliki bentuk dan proposisi yang
berkesinambungan, serta memiliki awal dan akhir yang jelas. Wacana bisa disampaikan
melalui media lisan maupun tulis. Dari definisi yang diungkapkan oleh Tarigan, dapat
diketahui bahwa yang paling menandai keberadaan wacana adalah aspek kohesi dan
koherensi. Menurut Djadjasudarma (2010:4), kohesi dalam wacana ditandai dengan
keserasian hubungan antara unsur satu dan unsur yang lain, sedangkan koherensi adalah
kepaduan makna atau proposisi sehingga wacana mengandung suatu ide. Dari hal itu dapat
disimpulkan bahwa keberadaan wacana dalam suatu rangkaian kalimat ditentukan dari
keutuhan dan keserasian unsur yang akhirnya membuat makna padu sebuah wacana. Dalam
kamus linguistik, istilah wacana diartikan sebagai satuan bahasa terlengkap dalam hierarki
gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang
utuh, novel, buku, ensiklopedi, paragraf, kalimat, atau kata yang membawa unsur yang
lengkap. Edmonson menyatakan bahwa wacana adalah suatu peristiwa yang terstruktur
diwujudkan di dalam perilaku linguistik atau lainnya. Pendapat lain mengenai wacana
diungkapkan oleh Djadjasudarma (2010), yaitu wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap
dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi
berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara
lisan dan tulis.
Ada banyak pengertian, definisi atau batasan wacana menurut banyak ahli bahasa. Berikut ini
akan dikutipkan beberapa pandangan dari beberapa ahli bahasa.

1. Harimurti Kridalaksana (2000:231)


Wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang
membawa amanat yang lengkap. Dari kutipan ini dapat diambil unsur-unsur penting wacana,
yaitu:

IX
a. satuan bahasa
b. terlengkap
c. tertinggi/terbesar
d. membawa amanat lengkap
Wacana merupakan satuan bahasa, artinya wacana merupakan bagian bahasa, bukan
bagian sesuatu yang lain, yang sejajar dengan satuan-satuan lainnya. Satuan itu mengandung
unsur terlengkap, tertinggi, terbesar dan membawa amanat lengkap jika dibandingkan dengan
satuan-satuan bahasa yang lain, yaitu fonem, morfem, kata, frase, klausa dan kalimat.
Realisasi wacana bisa dalam bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku, seri
ensiklopedia, dsb, dan bisa pula berbentuk paragraf, kalimat, atau kata yang membawa
amanat lengkap. Satu kalimat “Dilarang merokok‟ merupakan sebuah wacana dan kata
“Berbahaya‟ juga merupakan sebuah wacana.

2. A. Hamid Hasan Lubis (1994:20)


Kesatuan bahasa yang lengkap sebenarnya bukanlah kata atau kalimat, sebagaimana
dianggap beberapa kalangan dewasa ini, melainkan wacana atau discourse. Lubis menyatakan
bahwa wacana atau discourse merupakan kesatuan bahasa yang lengkap tanpa menyebutkan
bentuk wacana yang bagaimana. Dia menyatakan bahwa kata dan kalimat bukan bentuk
wacana.
3. David Crystal (1987: 116)
Analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada
bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat pada wacana seperti percakapan, wawancara,
komentar, dan ucapan-ucapan. Analisis teks memfokuskan pada struktur bahasa tulis,
sebagaimana banyak terdapat pada karangan, pengumuman, tanda-tanda di jalan, dan bab-bab
dalam buku. Discourse analysis focusses on the structure of naturally occurring spoken
language, as found in such “discourses‟ as conversation, interviews, commentaries, and
speeches. Text analysis focusses on the structure of written language, as found in such “text‟
as essays, notices, road signs, and chapters. Crystal menyebutkan adanya dua macam bentuk,
yaitu wacana yang memfokuskan pada bahasa lisan dan teks yang memfokuskan pada bahasa
tulis. Dia membedakan analisis keduanya dengan discourse analysis dan text analysis.
Bentuk-bentuk lisan dapat berupa percakapan, wawancara, komentar dan ucapan-ucapan.
Sedangkan bentuk tulis dapat berupa karangan, pengumuman, tanda-tanda di jalan, dan bab-
bab dalam buku.
4. Abdul Chaer (1994: 267)
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana dikatakan lengkap karena
terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca
(dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apa pun. Wacana
dikatakan tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat
yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya (syarat
kekohesian dan kekoherensian). Kekohesian yaitu keserasian hubungan antar unsur yang ada.
Kekohesian akan menyebabkan kekoherensian (wacana yang apik dan benar).
5. Tarigan (1987: 27)
Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas
kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan yang
mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Definisi wacana
ini mengandung unsur-unsur penting sebagai berikut:
a. satuan bahasa
b. terlengkap/tertinggi/terbesar
c. di atas kalimat/klausa

X
d. kohesi dan koherensi tinggi
e. berkesinambungan
f. mempunyai awal dan akhir
g. lisan atau tulis.
6. Stubbs (1983: 10) dalam Tarigan (1987:25)
Wacana adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa; dengan perkataan
lain unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa, seperti pertukaran
pertukaran percakapan atau teks-teks tertulis. Secara singkat apa yang disebut teks bagi
wacana adalah kalimat bagi ujaran (utterance). Stubbs menyatakan bahwa wacana berbentuk
organisasi bahasa, artinya bentuk itu memiliki kohesi dan koherensi yang lebih besar
daripada kalimat atau klausa.
7. Deese (1984: 72) dalam Tarigan (1987: 25)
Wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan
suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu
sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh
penyimak atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan atau pengutaraan wacana itu.
Definisi ini mengandung unsur-unsur penting sebagai berikut:
a. seperangkat proposisi
b. saling berhubungan
c. menghasilkan suatu rasa kepaduan
d. penyimak atau pembaca
e. cara pengutaraan
Definisi ini mengisyaratkan bahwa bentuk wacana bisa lisan dan tertulis dan memiliki
unsur yang lengkap tanpa menyebutkan bahwa bentuknya harus berbentuk karangan lengkap
atau kalimat atau klausa atau kata.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa wacana adalah satuan bahasa
terbesar di atas kalimat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
a) Satuan gramatikal
b) Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
c) Memiliki hubungan proposisi
d) Memiliki hubungan kontinuitas, berkesinambungan
e) Memiliki hubungan kohesi dan koherensi
f) Medium dapat lisan maupun tulis
g) Sesuai dengan konteks
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa lisan
maupun tulis yang memiliki keterkaitan atau kesinambungan antar bagian (kohesi).
keterpaduan (coherent), dan bermakna (meaningful) yang digunakan untuk berkomunikasi.
dalam konteks sosial. Berdasarkan pengertian tersebut, persyaratan terbentuknya wacana
adalah penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun
wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau
ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, yaitu prinsip keutuhan (unity) dan
kepaduan (coherent).
II.6 Tujuan Wacana
Tujuan wacana erat kaitannya dengan tujuan manusia berkomunikasi. Hal itu
disebabkan wacana mengandung gagasan- gagasan tertentu yang pasti mengandung gagasan

XI
tertentu yang diselipkan dalam kata-kata yang akhirnya membentuk wacana. Oleh karena itu,
Charlina dan Shiroya (2006) menyatakan bahwa tujuan wacana sangat dipengaruhi kebutuhan
dasar manusia.
Ada empat kebutuhan dasar manusia untuk berkomunikasi, yaitu keinginan untuk (1)
memberikan informasi pada orang lain, (2) meyakinkan seseorang. (3) menggambarkan
bentuk atau wujud barang atau objek, dan (4) menceritakan kejadian atau peristiwa. Empat
kebutuhan dasar manusia tersebut akhirnya juga sejalan dengan tujuan wacana itu sendiri.
Jadi, tujuan wacana dapat disebutkan ada empat, yaitu untuk memberikan informasi,
meyakinkan, menggambarkan, dan memaparkan/menceritakan. Sedikit berbeda dengan dua
ahli di atas, Tarigan (2009:58) menyatakan bahwa wacana memiliki tujuan ganda, yaitu (1)
memberikan teks sedemikian rupa agar menyatakan sesuatu yang bermanfaat dan (2) untuk
menghasilkan teori-teori wacana. Dari teori tersebut dapat diketahui bahwa keberadaan
wacana itu sendiri memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan praktis. Tujuan teoritisnya
adalah dengan adanya wacana, suatu teori tentang kajian wacana dicetuskan. Tujuan
praktisnya adalah wacana tersebut memberikan suatu yang bermanfaat mirip dengan teori
dari Charlina dan Shiroya (2009).
II.7 Fungsi Wacana
Ketika mengkaji tentang fungsi wacana, tidak dapat dilepaskan dari fungsi bahasa.
Hal itu, karena hakikat wacana adalah satuan gramatikal terbesar yang sudah mengandung
proposisi/gagasan yang lengkap. Di dalam wacana terdapat gagasan utuh yang dituangkan
dalam bentuk bahasa. Oleh karena itu, berikut dipaparkan fungsi wacana yang dibagi
berdasarkan fungsi bahasa (Vestergaard & Schroder dalam Rani, 2013: 26-29).
a) Wacana ekspresif, yaitu fungsi wacana bersumber dari fungsi bahasa untuk
mengekspresikan emosi, keinginan, atau perasaan penyampai pesan
b) Wacana fatis, yaitu fungsi wacana yang bersumber dari bahasa yang berfungsi untuk
memperlancar komunikasi
c) Wacana informasional, yaitu fungsi wacana yang bersumber dari fungsi bahasa sebagai
media penyampai informasi/pesan
d) Wacana estetik, yaitu fungsi wacana yang bersumber dari fungsi bahasa untuk membuat
pendengar melakukan sesuatu seperti memberi keterangan, mengundang, memerintah,
memesan, mengingatkan, mengancam, dan sebagainya.
II.8 Struktur Wacana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, struktur adalah cara suatu hal atau unsur
disusun. Struktur juga diartikan sebagai unsur- unsur atau bagian yang dibangun dalam pola
tertentu. Wacana juga memiliki struktur tersendiri. Suatu wacana bisa dikatakan utuh apabila
memiliki struktur yang lengkap. Komponen yang tersusun di dalam struktur wacana adalah
unsur internal dan eksternal wacana. Unsur-unsur internal dan eksternal wacana tersebut
merupakan unsur pembentuk struktur wacana yang utuh. Menurut Tarigan (2009), wacana
memiliki tiga bagian, yaitu abstrak/bagian awal, bagian tengah, dan penutup/bagian akhir.
Ketiga bagian tersebut membentuk sebuah wacana utuh yang terdiri atas pembuka, tubuh
wacana, dan penutup wacana. Secara umum, semua jenis wacana memiliki ketiga bagian
tersebut.
Dari penjabaran di atas, dapat diketahui bahwa secara umum bagian wacana dibagi
menjadi tiga, yakni pembuka, isi dan penutup wacana. Struktur wacana secara umum ini juga
dapat diidentifikasikan sebagai susunan dari suatu percakapan yang dilakukan oleh dua

XII
partisipan atau lebih. Salah satu model. struktur percakapan adalah model organisasi
menyeluruh (overall organization) yang membagi percakapan ke dalam unit- unit percakapan
sehingga diperoleh bagian: (1) pendahuluan, (2) isi, dan (3) penutup. Berikut adalah contoh
wacana percakapan.
Contoh 1
Mengerjakan Tugas
Nabila: "Sera? Tugas Matkul Pancasila sudah dikerjakan atau belum?"
Sera : “Emm, belum. Kalau kamu?
Nabila : "Sama aku juga belum nih."
Sera : “ "Gimana kalau kita kerja kelompok di rumahku nanti malam sehabis makan, kita
kerjain bareng ?”
Nabila: "Boleh juga Ser, nanti leita kerjakan bareng. Aku dateng sekitar pukul 6 ya."
Sera : "Baiklah, aku tunggu, Bil."
Contoh 2
Melelang Lukisan
Sesa : "Selamat siang pak? Saya Sesa dari Jurusan Seni Rupa. Saya mau menjual beberapa
lukisan karya saya. Silahkan dilihat-lihat dulu barangkali bapak tertarik."
Pak Sony : "Yang dijual apa aja Sesa?"
Sesa : "Ini Pak, hasil lukisan kelompok, Pak.
Pak Sony: "Wah, kreatif banget."
Sesa : "Iya Pak, itu tugas semester lalu. Itu tugas individu."
Pak Sony "Owalah begitu toh. Oke deh, saya ambil yang berbingkai? Berapa harganya?"
Dua contoh di atas merupakan contoh percakapan antara dua orang yang berbeda.
Pada Contoh 1, dapat dilihat percakapan antara dua orang teman dekat yang artinya
percakapannya lebih bersifat nonformal. Di sisi lain, pada Contoh 2, percakapan terjadi
antara dua orang yang baru bertemu dengan selisih usia antar lawan tutur cukup banyak. Pada
contoh satu bagian pembukaan cukup panjang padahal isinya baru mulai ketika Rani
mengajak untuk bekerja berkelompok. Berbeda halnya pada contoh 2 yang langsung pada
intinya, yaitu sang bapak yang menanyakan barang yang ditawarkan siswa SMA di atas.
Menurut Rani, dkk. (2013:59), struktur wacana tidak seperti struktur kalimat yang
lebih tertutup. Hal itu disebabkan komponen dalam wacana bersifat lebih kompleks. Oleh
karena itu, dalam jenis wacana yang berbeda struktur di dalamnya juga sedikit berbeda. Hal
ini dapat dilihat pada contoh wacana tulis yang termasuk wacana narasi. Wacana narasi
memiliki lima bagian, yaitu (1) orientasi/pembuka, (2) komplikasi, (3) sequence of events, (4)
resolusi, dan (5) koda atau penutup.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa struktur wacana yang dilihat dari
pendekatan deskriptif. Struktur wacana dalam pendekatan deskriptif berbeda dengan struktur
wacana dengan pendekatan kritis. Menurut salah satu tokoh wacana kritis, yaitu van Dijk ada
tiga dimensi teks dalam wacana kritis. Ketiga dimensi teks tersebut adalah (1) struktur makro,

XIII
(2) superstruktur, dan (3) struktur mikro. Untuk lebih jelas mengenai ketiga struktur tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Struktur Makro
Struktur makro adalah struktur utama sebuah teks yang bisa dilihat dari topik atau tema
umum dari sebuah wacana. Struktur makro ini memiliki keterkaitan erat dengan bagian
tematik atau topik dari sebuah wacana. Jika membahas tentang struktur makro, maka hal
yang harus dicari adalah topik atau tema dari sebuah wacana utuh.
2) Superstruktur
Super struktur adalah struktur yang berkaitan dengan bagian- bagian di dalam wacana.
Layaknya struktur utama dalam wacana di dalam pendekatan struktural, superstruktur juga
memiliki tiga bagian. Ketiga bagian tersebut adalah bagian pembuka, isi, dan penutup. Ketiga
bagian tersebut merupakan hal yang membentuk- alur sebuah teks. Menurut Eriyanto
(2001:232), alur yang lengkap di dalam sebuah wacana itulah yang akhirnya membentuk
makna yang utuh. Dengan mengidentifikasi tiga bagian dari super struktur tersebut, pembaca
akan mengetahui informasi apa yang ditekankan di dalam sebuah wacana.
3) Struktur mikro
Struktur mikro adalah bagian yang paling kecil yang menyusun sebuah wacana. Bagian yang
paling kecil inilah yang merupakan bagian dari unsur wacana. Bagian yang melingkupi
struktur mikro dimulai dari kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, klausa, dan gambar, Unsur-
unsur tersebut bisa dilihat dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorisnya.
II.9 Unsur Wacana
Struktur wacana dibangun dari bagian-bagian di dalamnya. Baik struktur wacana
dalam pandangan deskriptif maupun kritis, mengandung unsur-unsur yang menyusunnya.
Menurut Mulyana (2005:7), unsur dalam sebuah wacana dapat dibagi menjadi dua, yaitu
unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal).
a. Unsur Internal Wacana
Unsur internal wacana merupakan unsur yang berhubungan dengan aspek formal
sebuah bahasa. Unsur internal wacana terdiri atas satuan kata dan kalimat. Satuan kata
tersebut adalah kata-kata yang dapat membentuk kalimat.. Agar menjadi sebuah wacana,
satuan kata atau kalimat akan saling berhubungan dan menyatu untuk membentuk wacana.
1.Kata dan Kalimat
Kata dan kalimat adalah unsur-unsur yang membentuk sebuah wacana. Kata adalah
unsur bahasa yang dapat berdiri sendiri. O'Grady dan Dobrovolsky (2013) menyatakan
bahwa kata adalah sebuah fakta mendasar tentang kata dalam semua bahasa manusia, kata
dapat dikelompokkan ke dalam sejumlah kecil kelas, yang disebut kategori sintaksis.
Pendapat lain tentang kata diungkapkan oleh Crystal (2008:252), kata merupakan sebuah
satuan ekspresi yang memiliki pengakuan intuitif universal oleh penutur, baik dalam bentuk
ujaran maupun lisan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kalimat setidaknya memiliki unsur subjek dan predikat yang memiliki makna secara lengkap
dan diakhiri dengan tanda titik.
2. Teks dan Konteks
Teks adalah salah satu unsur pembentuk wacana. Teks berisi sekumpulan kalimat
yang memiliki kepaduan dan kesatuan sehingga dapat memberikan pemahaman yang jelas

XIV
tentang isi dan makna kepada para pembaca. Teks memiliki susunan karena tersusun atas
pemersatu antara kalimat yang satu dengan yang lain.
O'Grady dan Dobrovolsky (2013) menyatakan bahwa teks hanyalah sebuah ungkapan
tertulis. Hal sama juga dinyatakan oleh Trask (2007), bahwa teks tidak hanya kumpulan kata
atau kalimat yang berdiri sendiri tetapi juga sesuatu yang diciptakan atau disusun dengan cara
tertentu sehingga membentuk pengertian pada konteks tertentu dan bertujuan untuk
menyampaikan pesan, sedangkan menurut Halliday (2014), Teks merupakan sesuatu yang
terjadi, dalam bentuk berbicara atau menulis, mendengarkan, atau membaca. Berdasarkan
pernyataan- pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa teks dapat berupa lisan maupun
tulisan yang merupakan hasil dari bentuk berbicara atau menulis, mendengarkan, atau
membaca.
b. Unsur Eksternal Wacana
Unsur eksternal wacana merupakan unsur-unsur yang terdapat di luar sebuah wacana.
Menurut Mulyana (2005:11), unsur eksternal wacana merupakan bagian dari wacana, hanya
saja tidak terlihat secara eksplisit. Unsur eksternal wacana terdapat di luar satuan lingual
wacana itu sendiri. Unsur eksternal wacana berfungsi sebagai pelengkap utuhnya sebuah
wacana. Unsur-unsur eksternal wacana yaitu, implikatur, presuposisi, inferensi, konteks, dan
referensi.
1.Implikatur
Implikatur adalah bagian dari unsur eksternal wacana. Menurut Grice, Implikatur
adalah sebuah ujaran yang menyiratkan suatu yang berbeda dengan apa yang sebenarnya
diucapkan pembicara. Sesuatu yang berbeda' itu merupakan maksud dari pembicara yang
tidak diucapkan secara eksplisit Dengan kata lain, implikatur merupakan maksud, keinginan,
atau ungkapan hati yang tidak diungkapkan, sedangkan Rahardi (2005) mengungkapkan
bahwa implikatur berhubungan erat dengan konvensi makna yang terdapat dalam proses
komunikasi. Perhatikan contoh berikut.
Contoh 3
Cristiano Ronaldo adalah pemain yang berbakat.
Kata pemain pada contoh tersebut berarti "atlet sepak bola". Pemaknaan ini dipastikan benar,
secara konvensional, karena orang-orang telah mengetahui bahwa Cristiano Ronaldo.
merupakan atlet sepak bola. Jadi, pada konteks wacana di atas orang tidak akan mengartikan
kata pemain dengan pengertian lain.
2.Presuposisi
Menurut Rahadi (2005), presuposisi adalah perkiraan atau prasangkaan. Pernyataan
ini muncul ketika perdebatan panjang mengenai hakikat rujukan' (yaitu apa-apa, sesuatu,
benda, keadaan, dan sebagainya) yang dirujuk oleh kata, frasa, kalimat atau pun ungkapan
lain. Frege (dalam Rahardi, 2005:47) menyatakan bahwa setiap pernyataan memiliki
praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan inilah yang dapat menyatakan
apakah ungkapan yang dinyatakan dapat dimengerti oleh lawan bicara, sehingga komunikasi
dapat berjalan dengan lancar. Rujukan yang dimaksud adalah praanggapan, yaitu anggapan
dasar atau penyimpulan dasar tentang konteks dan situasi bahasa yang menjadikan bahasa
bermakna bagi para pembaca.
Contoh 4
Kuliah analisis wacana diajarkan di semester 5.

XV
Praanggapan pada pernyataan tersebut adalah (1) Ada kuliah wacana, (2) Ada semester 5.
3. Inferensi
Inferensi adalah sebuah istilah di bidang wacana. Menurut Moeliono (1988:358),
inferensi merupakan proses yang harus dilakukan pembaca agar dapat memahami makna
yang secara harfiah tidak terlihat di dalam wacana yang dinyatakan oleh pembicara atau
penulis. Hal ini berarti bahwa, sebagai seorang pembaca harus memahami serta
menyimpulkan sendiri.
Contoh 5
Wah, sudah kita sudah sampai di tujuan, ayo segera.
Kota yang dimaksud pada percakapan tersebut adalah Surabaya. Penjelasan tentang itu
dipastikan benar, karena secara budaya, kota Surabaya terkenal dengan Rawon. Proses
inferensi inilah yang harus dilakukan oleh pendengar ataupun pembaca untuk dapat
menyimpulkan suatu pernyataan.
4. Referensi
Jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, referensi diartikan sebagai sumber
acuan. Dalam kajian wacana, referensi adalah salah satu bagian dari unsur internal wacana.
Selain itu. referensi juga merupakan salah satu bagian dari piranti kohesi. Menurut Mulyana
(2005:27), referensi adalah hubungan antar kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata
atau kelompok kata lainnya yang berada di dalam satu konteks wacana.
Berdasarkan benda yang ditunjuk, referensi dibagi menjadi dua jenis, yaitu referensi
endoforik dan referensi eksoforik Referensi eksoforik adalah referensi yang berada di luar
teks sedangkan referensi endoforik adalah referensi yang berada di dalam teks. Referensi
yang berada di dalam teks ini dibagi menjadi dua jenis lagi, yaitu referensi anafora dan
katafora. Berikut adalah contoh dari referensi anafora/anaforis dan referensi
katafora/kataforis
Contoh 6
(1) Adik sangat suka bermain. Akan tetapi, dia tidak pernah mau merapikan
mainannya.
(2) Berdasarkan penjabaran di atas, simpulan yang bisa didapatkan adalah sebagai
berikut.
Ada dua contoh kalimat yang menyatakan tentang referensi atau kata tunjuk. Pada
kalimat pertama terdapat kata adik dan dia yang digarisbawahi. Kedua kata tersebut
merupakan bagian dari referensi. Kata dia pada kalimat kedua merujuk pada kata adik pada
kalimat pertama. Jenis referensi semacam ini disebut dengan referensi anafora atau anaforis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa referensi anaforis adalah referensi yang rujukannya ada pada
kalimat sebelumnya.Contoh kedua adalah contoh yang menunjukkan referensi kata foris atau
katafora. Kata berikut merujuk pada kalimat pada penjelasan berikutnya. Jadi, dapat
dikatakan bahwa referensi kata toris adalah referensi yang rujukannya berada pada kalimat
atau kata sesudahnya. Referensi bisa berbentuk kata atau kelompok kata. Hal ini dibuktikan
pada contoh (1) yang menunjukkan bahwa hal yang dirujuk adalah kata. Lalu, pada contoh
(2), dari kata berikut merujuk pada kelompok kata pada bagian (a) dan (b).

XVI
5. Konteks Wacana
Menurut Mulyana (2005:21), konteks merupakan situasi atau latar terjadinya sebuah
komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai penyebab terjadinya suatu pembicaraan.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa konteks sebagai jembatan untuk
memulai sebuah komunikasi. Menurut Sumarlan (2003:14), konteks merupakan aspek
internal sebuah teks dalam wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal yang meliputi
teks. Konteks tidak hanya mencakup konteks latar saja, Sobur (2006:57), menyatakan bahwa
konteks dapat diklasifikasikan menjadi konteks fisik, epistemis, linguistik, dan sosial. Berikut
uraian keempat jenis konteks tersebut.
1) Konteks Fisik (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam
suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau
perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu.
2) Konteks Epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama
diketahui oleh pembicara maupun pendengar,
3) Konteks linguistik (linguistics context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-
tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi, 4)
Konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan
antara pembicara (penutur).
II.10 Kohesi dan koherensi wacana
Sebuah wacana yang baik adalah wacana yang memiliki kohesi dan koherensi di
dalamnya, Kohesi dan koherensi penting agar pembaca atau pendengar dapat menafsirkan
makna wacana dengan tepat. Kohesi merupakan keserasian antar unsur yang satu dengan
yang lain agar tercipta pengertian yang koheren. Kohesi membentuk keserasian bentuk,
sedangkan koherensi membentuk keserasian makna. Umumnya, kohesi dan koherensi dalam
sebuah wacana saling berhubungan untuk membentuk suatu wacana yang utuh. Akan tetapi,
dalam wacana tidak harus mengandung kohesi untuk membentuk sebuah koherensi
Pembahasan lebih lengkap mengenai hal ini akan dibahas dalam dua subbab bagian dua ini.
Kedua bagian tersebut adalah (1) kohesi wacana dan (2) koherensi wacana.
1.Kohesi Wacana
Kohesi merupakan hubungan antar unsur yang tampak pada sebuah wacana. Sejalan
dengan hal ini, Yule (2015:211) menyatakan bahwa kalimat dalam sebuah teks memiliki
struktur tersendiri yang akhirnya bisa menjadikannya sebuah wacana utuh. Penanda struktur
teks yang utuh ini disebut dengan kohesi. Kohesi juga disebut sebagai sebuah ikatan yang ada
di dalam teks. Menurut Keraf (1989:58), kohesi merupakan perpaduan yang baik dan kompak
di antara kata atau kelompok kata yang membentuk sebuah kalimat, hubungan antara subjek,
predikat, objek, dan keterangan. Kohesi di dalam teks bisa ditandai oleh kehadiran kata atau
pun kehadiran frasa. Berikut adalah contohnya.
(1) Adikku akan pergi ke Puskesmas. Dia harus pergi karena sakit.
(2) Jalanan macet karena sebuah mobil berwarna kuning mogok di jalan. Mobil itu
milik teman satu kantor saya.
Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa ada kohesi berupa kata yang terdapat pada
kalimat pertama. Kata tersebut adalah kata adikku dan dia. Lalu, pada kalimat kedua, dapat
dilihat penanda kohesi berupa frasa. Penanda kohesi tersebut ada pada frasa mobil berwarna
kuning dan mobil itu. Jenis kohesi wacana menurut Sumarlam (2003) dibagi menjadi dua,
yaitu kohesi leksikal dan kohesi gramatikal. Berikut uraian mengenai kedua jenis tersebut.

XVII
1.1 Kohesi Leksikal
Dalam menciptakan kepaduan sebuah wacana harus didukung oleh kohesi leksikal.
Menurut Tarigan (2009:98), kohesi leksikal dapat diperoleh dengan memilih kata-kata yang
serasi. Sementara itu, Sumarlam (2003:35) menyatakan bahwa kohesi merupakan hubungan
antara unsur-unsur pembentuk wacana secara semantis. Kohesi wacana leksikal dapat
diklasifikasi menjadi enam jenis, yaitu repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, hiponimi, dan
ekuivalensi.
1.2 Repetisi (Pengulangan)
Menurut Sumarlam (2003:35), repetisi merupakan pengulangan bunyi, suku kata, kata
dalam kalimat yang dapat memberikan tekanan terhadap konteks yang sesuai. Selanjutnya
Keraf dalam Sumarlam (2003:35), mengklasifikasikan repetisi ke dalam delapan bagian
sebagai berikut:
1) Repetisi epizeuksis, ialah pengulangan satuan kata yang digunakan beberapa kali dalam
kalimat.
2) Repetisi tautotes, ialah pengulaan satuan kata yang digunakan beberapa kali dalam
konstruksi kalimat.
3) Repetisi anafora, ialah pengulaan satuan kata atau frasa pada awal atau akhir kalimat
berikutnya.
4) Repetisi epistrofa, ialah pengulaan satuan kata atau frasa pada akhir baris dalam puisi atau
kalimat secara berturut-turut.
5) Repetisi simploke, ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa kalimat
berturut-turut.
6) Repetisi mesodiplosi, ialah pengulangan pada tengah baris atau kalimat secara berturut-
turut.
7) Repetisi epanalepsis, ialah pengulangan pada kata atau frasa terakhir sebuah kalimat,
pengulangan ini merupakan pengulangan frasa pertama.
8) Repetisi anadiplosis, ialah pengulangan kata atau frasa terakhir pada baris atau kalimat,
kemudian menjadi kata pertama pada kalimat berikutnya.
3. Sinonimi (Padanan Kata)
Selain repetisi, juga terdapat aspek leksikal sinonimi. Sinonimi berfungsi untuk
membentuk hubungan makna yang sama antara satuan lingual satu dengan yang lainnya.
berdasarkan wujud lingualnya, sinonimi dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu (1)
sinonimi antara morfem bebas dan morfem terikat. (2) sinonimi antara kata dengan kata, (3)
sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) sinonimi frasa dengan frasa, dan (5) sinonimi
klausa dengan kalimat atau kalimat dengan klausa.
4. Antonimi (Lawan Makna)
Antonimi merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan kata yang beroposisi
sehingga antonimi dapat disebut dengan oposisi makna. Antonimi dapat diklasifikasikan
menjadi lima jenis berdasarkan sifatnya, yaitu sebagai berikut.
1) Oposisi mutlak, ialah pertentangan secara mutlak.

XVIII
2) Oposisi kutub, ialah oposisi yang pada kata-katanya terdapat tingkatan.
3) Oposisi hubungan, ialah oposisi yang saling melengkapi satu sama lain.
4) Oposisi hierarkilah, ialah oposisi makna yang menyatakan jenjang, seperti kata-kata satuan
ukuran.
5) Oposisi majemuk, ialah oposisi makna yang terjadi pada lebih dua kata.
5. Kolokasi (Sanding Kata)
Menurut Sumariam (2003:44) kolokasi merupakan asosiasi dalam menggunakan
pilihan kata yang sering digunakan berdampingan, yaitu kata-kata yang digunakan pada
satuan atau domain tertentu.
6. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)
Hiponimi merupakan satuan bahasa yang maknanya dapat dianggap sebagai bagian
dari makna satuan lingual yang lain (Sumarlam 2003:45). Unsur atau satuan lingual yang
mencakupi beberapa atau satuan lingual yang berhiponimi itu disebut hipernim atau
superordinat.
7. Ekuivalensi (Kesepadanan)
Sumarlam (2003:46) mengungkapkan ekuivalensi sebagai kesepadanan antar satuan
lingual tertentu dengan satuan yang lain pada sebuah paradigma. Hubungan kesepadanan ini
ditunjukkan dengan kata hasil proses afiksasi dari morfem- morfem yang sama.
2 Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal dapat diklasifikasikan menjadi pengacuan, penyulihan, pelesapan,
konjungsi, inversi, dan pemasifan kalimat.
1. Pengacuan (Referensi)
Pengacuan atau disebut juga sebagai referensi merupakan salah satu jenis kohesi
gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lainnya.
Halliday dan Hasan. (2014) menyatakan referensi sebagai hubungan antara unsur teks dan
sesuatu yang lain dengan mengacu pada contoh yang ditafsirkan. Lebih lanjut Halliday dan
Hasan mengungkapkan bahwa referensi memiliki sifat spesifik dari informasi yang ditandai
untuk dirujuk. Berbeda dengan hal itu, Trask (2007). menyatakan bahwa referensi merupakan
hubungan antara unsur dalam bahasa dengan sesuatu, yaitu lambang atau benda yang
mewakilinya, sedangkan menurut Hartmann and Strock (1973:193), referensi merupakan
hubungan antara rujukan dan simbol yang digunakan untuk mengidentifikasi seperti urutan
tanda grafik. Dalam semantik, hubungan antara objek fisik dan nama linguistik ini digunakan
untuk menjelaskan arti dari item- item leksikal yang 'mewakili suatu objek atau ide.
Sumarlam (2003:23) mengklasifikasikan pengacuan menjadi tiga bagian, yaitu pengacuan
persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif.
1) Pengacuan persona dapat direalisasikan melalui kata ganti orang yang meliputi persona
pertama, kedua, dan ketiga maupun jamak.
2) Pengacuan demonstratif atau kata penunjuk dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kata
penunjuk waktu dan kata penunjuk tempat.

XIX
3) Pengacuan komparatif atau perbandingan, merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal
yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan
dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya.
2. Penyulihan (Substitusi)
Penyulihan atau substitusi merupakan penggantian satuan lingual tertentu yang telah
disebutkan sebelumnya dengan satuan yang lain sebagai unsur pembeda. Berdasarkan satuan
lingualnya, penyulihan atau substitusi dapat diklasifikasikan menjadi penyulihan kata benda,
kata kerja, frasa dan klausa.
1) Penyulihan kata benda, ialah penyulihan terhadap satuan lingual yang berkategori kata
benda (nomina).
2) Penyulihan kata kerja, ialah penyulihan terhadap satuan lingual yang berkategori kata kerja
(verba) dengan satuan lingual yang juga berkategori kata kerja.
3) Penyulihan frasa, ialah penggantian satuan yang berupa frasa dengan satuan lainnya.
4) penyulihan klausa, ialah penggantian satuan tertentu yang berupa klausa dengan satuan
lain yang juga berupa klausa.
3. Pelesapan (Elipsis)
Konjungsi atau kata sambung merupakan satuan lingual yang berperan dalam
menyambungkan atau merangkaikan kata dengan kata, frasa dengan frasa klausa dengan
klausa serta kalimat dengan kalimat. Berdasarkan perilaku sintaksisnya, konjungsi dapat
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu (1) konjungsi koordinatif, (2) konjungsi korelatif, dan
(3) konjungsi subordinatif, sedangkan jika dilihat dari segi unsur-unsur yang dihubungkan,
konjungsi dapat dibedakan menjadi konjungsi antarkalimat dan konjungsi antar paragraf.
1) Konjungsi koordinatif, ialah konjungsi yang merangkaikan dua unsur atau lebih yang sama
pentingnya atau memiliki status yang sama.
2) Konjungsi korelatif, ialah konjungsi yang merangkaikan dua kata, frasa, atau klausa yang
memiliki tingkatan sintaksis sama.
3) Konjungsi subordinatif, ialah konjungsi yang merangkaikan klausa dengan klausa atau
kalimat dengan kalimat yang tidak memiliki tingkat sintaksis sama.
4. Inversi
Inversi merupakan susunan sebuah frasa, klausa, dan kalimat secara terbalik. Jika
susunan baku bahasa Indonesia diterangkan- menerangkan (DM) namun pada inversi ini,
frasa, klausa, dan kalimat disusun secara menerangkan-diterangkan (MD).
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, sehingga membentuk makna yang
serasi di antara kalimat-kalimat tersebut. Syamsuddin (2011, hlm. 7), menjelaskan bahwa
pengertian dari wacana adalah sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang
mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam satu
kesatuan yang koheren, serta dibentuk dari unsur segmental maupun non segmental bahasa.
Berdasarkan pengertiannya, Syamsuddin (2011, hlm. 8) mengidentifikasi ciri dan sifat sebuah
wacana, sebagai berikut.
a. Wacana dapat berupa rangkaian kalimat ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak
tutur;

XX
b. Wacana mengungkapkan suatu hal (subjek)
c. Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan semua situasi pendukungnya;
d. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu; e. Dibentuk oleh unsur segmental dan
non segmental
Dalam hal ini, wacana dapat disebut sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang
peristiwa komunikasi, dan komunikasi merupakan alat interaksi sosial, yaitu hubungan antara
individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya dalam proses sosial.
Berkomunikasi dapat menggunakan medium verbal (lisan dan tulis) maupun medium
nonverbal (isyarat dan kinesik). Perwujudan medium verbal adalah wacana yang merupakan
produk komunikasi verbal. Wacana mengasumsikan adanya penyapa (pembicara atau penulis)
dan pesapa (pendengar atau pembaca). Dalam proses berbahasa, penyapa menyampaikan
pesan (pikiran, rasa, kehendak) yang menjadi makna dalam bahasa (lingual) untuk
disampaikan kepada pesapa sebagai amanat (Sudaryat, 2011, hlm. 105-106). Menurut Tarigan
(dalam Djajasudarma, 1994, hlm. 5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi
atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang
berkesinambungan, serta mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata. Sementara itu,
Djajasudarma (1994, hlm. 15) berpendapat mengenai wacana dan komunikasi serta
fungsinya, bahwa wacana dengan unit konversasi memerlukan unsur komunikasi berupa
sumber (pembicara dan penulis) serta penerima (pendengar dan pembaca). Lebih lanjut,
dijelaskan pula olehnya bahwa semua unsur komunikasi berhubungan dengan fungsi bahasa,
yang meliputi: (1) fungsi ekspresif, menghasilkan jenis wacana berdasarkan pemaparan
secara ekspositoris, (2) fungsi fatik (pembuka konversasi), menghasilkan dialog pembuka, (3)
fungsi estetik, menyangkut unsur pesan sebagai unsur komunikasi, dan (4) fungsi direktif,
berhubungan dengan pembaca atau pendengar sebagai penerima isi wacana secara langsung
dari sumber. Dengan merujuk pada fungsi bahasa tersebut di atas, maka pengklasifikasian
dari wacana dapat mengacu pada pendapat Leech (1974) dalam Kushartanti dan Lauder
(2008, hlm. 91) yang menyatakan bahwa wacana dapat diklasifikasikan seperti berikut ini
a. Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai
sarana ekspresif, seperti wacana pidato.
b. Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar
komunikasi, seperti wacana perkenalan dalam pesta.
c. Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti
wacana berita dalam media massa.
d. Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan
pesan, seperti wacana puisi dan lagu.
e. Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur
atau pembaca, seperti wacana khotbah
Ditinjau dari kelengkapan unsurnya, Darma (2009, hlm.3) mengemukakan, bahwa
wacana merupakan unit bahasa yang paling lengkap unsurnya, tidak hanya didukung oleh
unsur non segmental dan suprasegmental, seperti yang dikemukakan Harimurti Kridalaksana
dalam kamus linguistiknya, yang dikutip oleh Darma, bahwa wacana adalah satuan bahasa
terlengkap dalam hierarkis gramatikal berupa satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku, seri
ensiklopedia, dll. Wacana merupakan proses komunikasi menggunakan simbol-simbol yang
berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam suatu sistem kemasyarakatan

XXI
yang luas. Melalui pendekatan wacana, pesan-pesan komunikasi seperti kata-kata, tulisan,
gamba, dan pesan-pesan komunikasi lainnya, tidak bersifat netral atau steril. Pada dasarnya
wujud dari bentuk wacana tersebut dapat dilihat dalam beragam buah karya pembuat wacana.
Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang
berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dapat
berupa nilai, ideologi, emosi, kepentingan kepentingan dan lain lain.
Tujuan dari penuangan wacana menurut Sudaryat (2011, hlm. 107), yaitu untuk
menyampaikan informasi, menggugah perasaan dan gabungan keduanya. Ketiga tujuan
penuangan wacana tersebut, masing-masing berfungsi informatif, emotif dan informatif-
emotif. Pendekatan wacana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan dan fungsi wacana.
Tujuan informasi dapat menggunakan pendekatan faktual. Tujuan menggugah perasaan, dapat
menggunakan pendekatan imajinatif atau fiksional, sedangkan tujuan informasi dan
menggugah perasaan (keduanya), dapat menggunakan pendekatan faktual-imajinatif. Wujud
dan jenis sebuah wacana dapat ditinjau atau dikaji dari eksistensinya (realitasnya), media
komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian (Syamsuddin, 2011, hlm. 10-19), yang
dijelaskan sebagai berikut:
a. Realitas Wacana, dalam hal ini berkaitan dengan eksistensi wacana yang berupa verbal dan
nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan
kelengkapan struktur bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language
likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian non bahasa (rangkaian isyarat/tanda-tanda
yang bermakna).
b. Media Komunikasi Wacana, merupakan wujud wacana sebagai media komunikasi berupa
rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya dapat
berupa sebuah percakapan atau dialog lengkap dan penggalan percakapan. Wacana dengan
media komunikasi tulis dapat berwujud sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
c. Cara Pemaparan Wacana, adalah sama dengan tinjauan isi, cara penyusunan, dan sifatnya.
Berdasarkan pemaparan, wacana meliputi naratif, prosedural, hortatorik, ekspositorik, dan
deskriptif.
d. Jenis Pemakaian Wacana, berwujud monolog dan dialog. Wacana monolog merupakan
wacana yang tidak melibatkan suatu bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara dua
pihak yang berkepentingan, sedangkan Wacana yang berwujud dialog berupa percakapan atau
pembicaraan antara dua pihak.
3.Koherensi wacana
Koherensi didefinisikan sebagai sebuah pola keterkaitan antara bagian yang satu
dengan bagian yang lain, sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh (Mulyana,
2005: 30). Dengan kata lain, bahwa koherensi mengandung makna pertalian antara kalimat
yang satu dan yang lainya. Koherensi juga berarti hubungan timbal balik yang serasi antar
unsur dalam kalimat. Hubungan koherensi adalah keterkaitan antara bagian yang satu dengan
yang bagian lainnya, sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh. Wacana yang
koheren memiliki ciri: susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi, sehingga mudah
diinterpretasikan (Mulyana, 2005: 30) Untuk lebih jelasnya dapat Anda simak contoh
koherensi di bawah ini:

Pak Joni ingin menanam jagung di ladangnya. Ladang Pak Joni sangat luas. Pak Joni
lebih memilih menanam jagung karena tanaman tersebut memiliki nilai jual yang tinggi.
Tumbuhan jagungnya dapat dijual untuk pakan ternak, seperti sapi. Disamping itu, jagung
dapat dimanfaatkan sebagai pengganti makanan pokok seperti nasi.

XXII
Dalam wacana di atas terdapat koherensi karena kalimat kalimat didalamnya memiliki
satu kesatuan makna yang utuh.

II.11 Jenis-jenis Wacana


Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas; wacana lisan dan
wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penuturan dan mitra tutur, bahasa yang
dituturkan, dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sedangkan wacana tulis ditandai oleh
adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistim ejaan. Kita sering
mendengar kata wacana. Tapi tahukah kita apa wacana itu sesungguhnya? Sampai saat ini
batasan atau definisi wacana yang dikemukakan para ahli masih beragam. Antara definisi
satu dan yang lainnya terdapat perbedaan. Hal ini semata-mata disebabkan karena sudut
pandang yang digunakan para ahli tersebut berbeda. Untuk menghindari polemik dari
munculnya beragam definisi ini, maka sudut pandang kita dalam diskusi ini akan kita batasi
dan hanya berpijak pada sudut pandang linguistik (ilmu tentang bahasa) saja. Sayangnya,
meskipun sudut pandang kita dalam menangkap fenomena wacana telah kita batasi dalam
skop yang lebih kecil yaitu linguistik, ternyata dalam ranah ini pun, para pakar juga berbeda
dalam memerikan apa itu wacana. Karena itulah, pada diskusi kita kali ini (dengan
mempertimbangkan mata tutorial kita yaitu ketrampilan menulis), yang akan kita
jadikan pedoman dalam mendefinisikan wacana adalah definisi yang disampaikan oleh
Badudu dalam Eriyanto (2001:2), yaitu: (1) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan,
yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, yang membentuk
satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat tersebut,
dan (2) wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau
klausa dengan kohesi dan koherensi yang berkesinambungan, disampaikan secara lisan atau
tulisan.
Setelah dapat memahami apa itu wacana, selanjutnya kita juga harus dapat
mengetahui jenis-jenis wacana dan perbedaan antara jenis wacana satu dengan wacana jenis
lainnya. Dengan pengetahuan ini, diharapkan kita menjadi sangat kreatif dalam memproduksi
wacana baik itu wacana lisan maupun tulisan. Wacana secara kasat mata dapat dibedakan
berdasarkan struktur generik (generic structure) dan fitur-fitur bahasanya (language features).
Yang disebut struktur generik di sini adalah struktur yang terbentuk dari perbedaan fungsi-
fungsi paragraf dalam membangun sebuah wacana (seperti tesis, argumen, klimaks, dst).
Yang disebut fitur bahasa di sini adalah penggunaan atau pemanfaatan bahasa (baik itu tata
bahasa maupun diksinya) untuk membangun sebuah wacana. Berdasarkan struktur generik
dan fitur-fitur bahasanya, wacana-wacana yang sering kita jumpai dapat kita kelompokkan
dalam tiga kelompok wacana yaitu;
(1) kelompok wacana Naratif,
(2) kelompok wacana Deskriptif dan
(3) kelompok wacana Argumentatif.
Kelompok wacana Naratif dapat dibagi menjadi beberapa genre seperti; (a) Naratif itu
sendiri, (b) Rekon (recount), (c) Anekdot, (d) Spoof, (e) dan Item berita (news item). Tipe
tipe genre di atas dibuat dengan tujuan untuk menginformasikan sesuatu dalam bentuk cerita.
Kelompok wacana Deskriptif dibagi menjadi beberapa genre seperti;
(1) Deskriptif, (2) Report, (3) Prosedur dan (4) Eksplanasi. Genre-genre jenis ini pada
dasarnya dibuat untuk memerikan (mendeskripsikan) sesuatu atau proses terjadinya sesuatu
serta tidak dimaksudkan untuk menceritakan sesuatu.
Kelompok wacana Argumentatif dibagi menjadi beberapa genre seperti;
(1) Eksposisi Analitik, (2) Eksposisi Hortatorik, (3) Diskusi serta (4) Argumentatif.
Genre-genre tersebut dibuat dengan tujuan untuk melakukan eksplorasi terhadap argumen

XXIII
argumen yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana.”
Selain dari pembagian wacana ke dalam tiga kelompok wacana seperti yang telah di
sebutkan di atas, beberapa pakar yang lain juga membagi wacana ke dalam tiga kelompok
yang berbeda yaitu (1) Naratif, (2) Non fiksi, dan (3) Sajak (poetry). Berdasarkan
pembagianyang kedua ini, yang termasuk dalam kategori wacana Naratif adalah petualangan,
misteri,
fiksi ilmiah, fantasi, fiksi sejarah, cerita dilematis (roman), dialog, mitos, legenda, cerita peri
dan fabel. Untuk kategori wacana nonfiksi dalam hal ini adalah teks diskusi, teks eksplanasi,
teks instruksi, persuasi, Report yang tidak kronologis serta Rekon. Sedang yang termasuk
dalam kategori wacana sajak (poetry) adalah puisi bebas, puisi visual, dan puisi berstruktur.
Dalam diskusi kita kali ini, yang akan kita gunakan sebagai bahan pijakan pembagian genre
adalah klasifikasi yang pertama yaitu Naratif, Deskriptif dan Argumentatif.
1.Kelompok Wacana Naratif.
a. Naratif.
Tujuan:
Untuk memikat atau menghibur pembaca/pendengar melalui cerita.
Struktur Generik:
1. Orientasi
2. Komplikasi
3. Klimaks
4. Resolusi
5. Reorientasi
6. Koda/Amanat (Boleh tersurat boleh tidak)
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan kalimat pembuka “dahulu kala,” “suatu hari”
2. mungkinkan adanya kata-kata bersanjak serta arkais
3. Kata kerja aksi
4. Teratur dalam hal kronologisnya.
Contoh:
CINDERELLA
Jaman dahulu kala, hiduplah seorang gadis muda bernama Cinderella. Ia tinggal bersama
dengan ibu tiri serta dua orang saudari tirinya. Ibu tiri dan dua saudari tiri Cinderella
memiliki sifat mudah marah. Mereka memperlakukan Cinderella dengan buruk. Ibu tiri
Cinderella suka memerintah Cinderella melakukan pekerjaan rumah yang tersulit seperti
menyikat lantai, membersihkan tempayan dan dandang, serta mempersiapkan masakan untuk
keluarga. Berbeda dengan Cinderella, dua saudari tiri Cinderella tidak melakukan apa-apa.
Mereka hanya sibuk bersantai sepanjang hari. Ibu tiri mereka pun memberikan pakaian yang
bagus-bagus buat mereka. Suatu hari, dua saudari tiri Cinderella mendapat sebuah undangan
pesta dari istana kerajaan. Pada undangan tersebut juga dijelaskan bahwa pangeran kerajaan
akan mengajak dansa wanita yang disukainya yang hadir pada pesta tersebut. Mendengar
berita ini, dua saudari tiri Cinderella merasa senang dan berdebar-debar. Mereka kemudian
sibuk menghabiskan waktu memilih-milih baju mana yang akan mereka kenakan. Mereka
berharap dapat menjadi wanita yang beruntung yang diajak dansa oleh sang pangeran. Saat
berangkat ke pesta pun tiba. Ibu tiri dan saudari tiri Cinderella berangkat ke istana serta
meninggalkan Cinderella sendirian di rumah. Tanpa dapat dibendung, air mata Cinderella
pun tumpah. Ia pun menangis sedih. “Mengapa engkau menangis, Cinderella?” sebuah suara
lembut bertanya. Dengan terkejut Cinderella mendongakkan wajahnya yang semula tertunduk
dan melihat sesosok ibu peri berdiri di sampingnya. Dengan gugup ia berkata “karena saya
ingin ke pesta, tapi saya ditinggal sendiri di sini.” “Hmm, gumam ibu peri. Meskipun kamu
diberi pekerjaan yang berat oleh ibumu, kamu selalu melakukannya dengan gembira. Kamu

XXIV
juga tidak pernah mengeluh dan selalu lapang dada. Oleh karena itu, saya juga ingin melihat
kamu dapat pergi ke pesta.” Dengan ajaib, ibu peri merubah labu yang tumbuh di belakang
rumah menjadi kereta. Ia juga merubah beberapa tikus yang berlarian menjadi kuda penarik
kereta beserta seorang sais kereta. Ibu peri menepuk baju lusuh Cinderella dengan tangannya
dan baju lusuh itu pun berubah menjadi gaun yang sangat indah. Ia juga memberi Cinderella
sepatu kaca yang sangat cantik. “Sekarang saatnya kamu pergi, Cinderella.” Ibu peri berkata.
“Namun ingat, kamu harus pulang sebelum tengah malam atau kamu akan kembali seperti
semula.” Dengan gembira, Cinderella berangkat ke pesta. Malam itu benar-benar menjadi
malam yang menakjubkan bagi Cinderella. Pangeran mengajaknya berdansa. Ia berdansa
lagi-dan lagi dengan sang pangeran. Tiba-tiba, jam dinding di istana berdentang dua belas
kali. Cinderella pun teringat pesan ibu peri dan segera berlari ke luar istana, secepat yang ia
mampu. Dalam ketergesa-gesaannya, salah satu sepatu kacanya tertinggal.
Beberapa hari kemudian, pangeran kerajaan mengumumkan bahwa ia akan menikahi
gadis yang kakinya cocok dengan ukuran sepatu kaca. Saudari tirinya yang pertama
mencobanya, tapi kakinya terlalu besar untuk sepatu itu. Meskipun ia berusaha dengan keras
memaksakan kakinya masuk, tapi tetap saja sepatu itu tidak muat. Demikian juga saudarinya
yang kedua. Ketika ia mencoba sepatu kaca tersebut, kakinya terlalu kecil. Ia pun gagal
diboyong ke istana. Ketika giliran Cinderella tiba, sepatu itu pas dengan kakinya. Akhirnya,
Cinderella pun diboyong ke istana. Sang pangeran merasa sangat bahagia melihat Cinderella
lagi. Mereka kemudian menikah dan hidup bahagia
b. Rekon
Tujuan:
Untuk menceritakan kejadian atau serangkaian kejadian yang terjadi di masa lampau,
Struktur Generik:
1. Orientasi
2. Kejadian (-kejadian)
3. Reorientasi
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan keterangan waktu definit; kemarin, lusa, tahun lalu
2. Penggunaan partisipan personal; saya, kami, regu saya, dst
3. Penggunaan konektor kronologis seperti; pertama, kemudian, dst
4. Penggunaan kata kerja aksi
5. Penggunaan kata sifat
Contoh:
GEMPA BUMI
Saya akan menceritakan pengalaman saya yang terjadi minggu kemarin yang
berhubungan dengan gempa bumi. Ketika gempa bumi terjadi, saya sedang mengendarai
mobil. Waktu itu saya berada dalam perjalanan pulang dari Bali. Tiba-tiba saya merasakan
adanya hentakan keras pada mobil saya. Saya pikir waktu itu ban mobil saya meletus. Saya
tidak sadar jika saat itu sedang terjadi gempa bumi. Saya baru sadar ketika saya melihat tiang
listrik dan telepon yang ada di kanan kiri saya ambruk, berjatuhan seperti batang korek api
yang ringan. Saya juga melihat batu-batu besar berserakan di sepanjang jalan. Mobil saya
terperangkap di tengah batu-batu yang berserakan tersebut. Saya tidak bisa menggeser mobil
saya ke depan maupun ke belakang karena batu-batu tersebut merintangi jalan saya.
Sepertinya tidak ada satu pun yang dapat saya lakukan untuk meneruskan perjalanan. Karena
putus asa, saya tinggalkan mobil saya dan memilih berjalan kaki menuju rumah. Sesampainya
di kampung halaman saya, saya terkejut karena tidak ada satu pun yang tersisa. Semuanya
rata dengan tanah. Gempa bumi tersebut ternyata membuat kerusakan yang demikian besar
pada kampung saya. Meskipun demikian, saya bersyukur karena tidak ada satu pun keluarga
maupun warga kampung saya yang terluka serius.

XXV
c. Spoof
21 Tujuan:
Untuk menceritakan peristiwa dengan cara melibatkan twist (pelintiran) humor, serta untuk
menghibur pembaca/pendengar
Struktur Generik:
1. Orientasi
2. Peristiwa (-peristiwa)
3. Twist (pelintiran)
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan kalimat pembuka “dahulu kala,” “suatu hari”
2. Fokus pada orang, hewan, atau hal-hal tertentu lainnya
3. Dimungkinkan adanya kata-kata bersanjak serta arkais
4. Kata kerja aksi
5. Teratur dalam hal kronologisnya.
Contoh:
MALAS KE SEKOLAH
Suatu pagi, seorang ibu mengetuk pintu kamar anaknya keras-keras untuk
membangunkan anaknya yang semata wayang tersebut. Ia gemas sekali karena jam dinding
telah pukul 06.00 tetapi sang anak belum juga bangun. “Bangun Budi, Waktunya kamu ke
sekolah! Sudah jam 06.00 lho” “Malas mami, Aku gak mau pergi.” Terdengar jawaban dari
dalam kamar. “Berikan dua alasan kenapa kamu malas dan tidak mau ke sekolah.” Si ibu
bertanya gusar. “Anak-anak di sekolah benci padaku mami, demikian juga guru-guru di
sekolah, mereka juga benci aku!” “Alah, itu bukan alasan yang tepat Budi untuk
memperbolehkan kamu bolos. Keluar sekarang dan cepat mandi.” “Kalau begitu mami, mami
juga berikan alasan kepadaku kenapa aku harus ke sekolah.” “Ya jelaslah, yang pertama,
umurmu 52 tahun, dan yang kedua kamu adalah kepala sekolah di sekolahmu. Cepetan Budi!
Atau telingamu ibu jewer” si ibu berkata dengan tidak sabar.
d. Anecdote
Tujuan:
Berbagi dengan sesama pengalaman yang tidak biasa atau kecelakaan yang menggelitik
Struktur Generik:
1. Abstrak
2. Orientasi
3. Krisis
4. Reaksi
5. Koda.
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan pertanyaan retorik.
2. Penggunaan proses material
3. Penggunaan Konjungsi temporal
Contoh:
KECELAKAAN MEMBAWA BERKAH
Tahun 1879 adalah tahun terbaik bagi William Procter dan James Gamble. Pada tahun
tersebut mereka sukses membangun sebuah bisnis. Bisnis lilin di kota Cincin Nati yang
mereka bangun secara patungan meraih keuntungan yang sangat besar. Sayangnya,
keuntungan besar yang mereka raih dari bisnis ini tidak bertahan lama. Hal ini disebabkan
oleh ditemukannya lampu bohlam oleh Thomas Edison. Secara cepat, produk mereka
tergusur oleh produk Edison. Bohlam telah merubah masyarakat, demikian juga tingkat
penjualan lilin merek.

XXVI
23 Digunakannya bohlam secara luas oleh masyarakat, jelas membawa dampak negatif bagi
industri lilin. Pasar lilin mulai berangsur-angsur menyempit karena lilin telah tergantikan oleh
bohlam. Lilin kini hanya digunakan untuk saat-saat tertentu saja. Dengan terjun bebasnya
tingkat penjualan lilin, performa dari pabrik lilin William Procter dan James Gamble menjadi
sangat menurun. Tidak hanya pabrik lilinnya saja yang mulai meredup, semangat Procter dan
Gamble untuk menekuni bisnis tersebut juga meredup. Situasi ini semakin bertambah ketika
beberapa bulan kemudian, terjadi kecelakaan tak terduga yang disebabkan oleh kelalaian
seorang karyawan pabrik. Karyawan tersebut pergi makan siang dan lupa mematikan mesin
pembuat lilin. Karena mesin bekerja tanpa operator, udara pun masuk ke dalam adonan lilin.
Adonan lilin pun menjadi rusak. Namun, setelah berdiskusi dengan supervisor pabrik,
pemilik pabrik memutuskan untuk tidak membuang adonan rusak tersebut. Ia bahkan
mengucurkan adonan tersebut dalam kotak kotak kecil. Sabun pun muncul dan mengeras.
Dari proses di luar dugaan inilah, sabun “mengapung” muncul. Harley Procter memutuskan
untuk memberi nama sabun jenis ini dengan nama yang mudah diingat masyarakat. Ia
memberi nama sabun tersebut dengan IVORY (gading). Sabun IVORY inilah yang kemudian
menjadi trademark dari perusahaan Procter dan Gamble selanjutnya. Secara mengejutkan,
Procter dan Gamble menerima banyak surat dari pembeli yang menanyakan produk hasil
“kecelakaan” ini. Pembeli meminta lebih banyak lagi sabun yang bisa mengapung. Sabun
Ivory pun dipasarkan secara umum. Meskipun formula yang menarik ini merupakan produk
terbaik mereka, tapi mereka akan bingung jika diminta menerangkan bagaimana kejadian ini
dapat terjadi. Formula misterius ini menjadi terkuak ketika kronologis peristiwa kecelakaan
saat makan siang tersebut terungkap.
e. Item Berita
Tujuan:
24 Menginformasikan kepada pembaca/pendengar tentang even -even yang dianggap penting
dan layak dijadikan berita.
Struktur Generik:
1. Even (Even) utama
2. Elaborasi (latar belakang, partisipan, waktu, tempat) even (-even)
3. Sumber-sumber informasi
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan kalimat pendek, tentang kabar yang disajikan pada judul berita.
2. Penggunaan kata kerja aksi.
3. Penggunaan ungkapan-ungkapan
4. Penggunaan kata keterangan: waktu, tempat, dan tata cara.
Contoh:
KLOTER I BERANGKAT JUM’AT
Sidoarjo. Calon Jemaah Haji (CJH) Sidoarjo dijadwalkan berangkat Jumat (15/10).
Total CJH Sidoarjo sebanyak 2.450. Jumlah terebut terbagi menjadi enam kloter. Yakni,
kloter 10, 11,15, 16, 17, dan 18. Mereka akan berangkat pada Jumat (15/10), Minggu (17/10),
dan
Senin (18/10)
Kepala seksi penyelenggara Haji dan Umrah Depag Kabupaten Sidoarjo Misbakhul
Munir menerangkan, jemaah haji akan diberangkatkan dari pendopo Surabaya. Setelah
dikarantina semalam, keesokan harinya mereka terbang ke Arab Saudi. Untuk mengurangi
kepadatan, Misbakhul menuturkan bahwa pihaknya akan membatasi jumlah pengantar.
“Hanya mobil berstiker yang boleh mengantar. Tapi pengantar dilarang masuk pendopo,”
ujarnya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada saat keberangkatan jemaah haji, lalu lintas di
sekitar Alun-alun Sidoarjo akan padat. Karena itu, dia mengimbau para pengendara untuk
melewati jalur alternatif (Jawa Pos, Sabtu, 9/10/10)

XXVII
2.Kelompok Wacana Deskriptif.
a. Deskriptif
Tujuan:
Untuk menjelaskan seseorang, tempat atau benda secara detail.
Struktur Generik:
1. Identifikasi
2. Deskripsi
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan nomina dan pronomina
2. Penggunaan kata kerja aksi
3. Penggunaan kata sifat dan kata keterangan
4. Penggunaan terminologi-terminologi yang sifatnya teknis
Contoh:
CANDI BOROBUDUR
Borobudur adalah candi Hindu-Budha. Candi ini dibangun pada abad ke-19 oleh
dinasti Sailendra yang berasal dari kerajaan Mataram kuno. Borobudur terletak di Magelang,
Jawa Tengah Indonesia. Borobudur terkenal ke seluruh penjuru dunia. Konstruksinya
mendapat pengaruh oleh arsitektur Gupta India. Candi ini dibangun di atas sebuah bukit
setinggi 46 meter dan delapan tangga yang berbentuk undakan batu. Lima tangga yang
pertama berbentuk kotak, dikelilingi oleh tembok yang penuh pahatan yang membentuk
gambar Budha. Tiga tangga di atasnya berbentuk melingkar. Pada tiap tangga melingkar
tersebut terdapat stupa berbentuk lonceng. Keseluruhan gedung ditutupi oleh stupa besar
yang terletak di tengah-tengah lingkaran teratas. Jalan menuju puncak Borobudur yang
berbentuk gang terbentang sejauh 4,8 kilometer. Desain Borobudur yang menyimbolkan
struktur alam semesta mempengaruhi gaya pembuatan candi Angkor di Kamboja. Candi
Borobudur yang diresmikan sebagai monumen nasional Indonesia pada tahun 1983 adalah
harta tak ternilai bagi bangsa Indonesia.
b. Prosedur
Tujuan:
Membantu pembaca atau pendengar untuk memahami bagaimana cara melakukan atau
membuat sesuatu dengan tepat.
Struktur Generik:
1. Tujuan
2. Bahan-bahan/perlengkapan
3. Langkah-langkah/metode
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan kalimat imperatif
2. Penggunaan kata keterangan rangkaian seperti, pertama, kedua, selanjutnya, dst.
3. Penggunaan terminologi khusus.
Contoh:
KARE TELUR SRI LANKA
Kare Telur Sri Lanka yang akan kita buat ini berbahan dasar telur dan santan.
Dinamakan Kare Sri Lanka karena kare ini mengadaptasi cara orang Sri Lanka dalam
membuat kare yaitu dengan menggunakan kelapa untuk mengentalkan kuahnya serta
menambah lezat cita rasanya. Bahan kuahnya adalah santan tanpa gula yang mengandung
minyak kelapa alami.
Santan jenis ini mudah dijumpai di supermarket-supermarket sekitar kita. Selain telur dan
santan, bahan-bahan lain yang dibutuhkan adalah bawang merah, wortel, merica, jahe,
seledri, garam, bawang putih, jeruk nipis, tepung, turmeik, dan bubuk.

XXVIII
Yang pertama kali dilakukan adalah merebus telur hingga masak. Telur yang akan
kita rebus kita masukkan ke dalam panci yang berisi air dingin. Angkat panci yang berisi
telur dan
letakan di atas kompor. Rebus telur selama 7 menit. Setelah itu angkat serta dinginkan telur
dengan cara menyiramnya dengan air dingin. Sambil menunggu telur menjadi dingin,
panaskan mentega dan minyak pada wajan kecil. Kemudian masukkan bawang merah,
wortel, merica, dan seledri yang telah diiris-iris sebelumnya. Aduk hingga merata. Setelah
merata, tambahkan bawang putih dan jahe dan lanjutkan lanjutkan masak sekitar lima menit.
Setelah itu masukkan turmeik, bubuk kare dan tepung. Aduk lagi hingga campuran tadi
menjadi rata. Lanjutkan dengan menambahkan air panas, kemudian aduk lagi agar kuah
menjadi encer dan merata sempurna. Tambahkan penyedap yaitu garam dan merica kemudian
masukkan pada santan. Aduk terus sekitar 20 menit dan bau harum kare tercium. Tambahkan
jeruk nipis untuk penguat rasanya. Terakhir, kupas telur dan potong telur-telur tersebut
menjadi dua bagian. Letakkan di piring secara teratur dan siram dengan kuah kari yang telah
masak. Pastikan telur-telur tersebut
tertutup oleh kuah kare. Dinginkan selama satu menit dan Kare Telur Sri Lanka pun siap
untuk dinikmati bersama nasi.
c. Report
Tujuan:
Untuk mempresentasikan informasi tentang sesuatu apa adanya. Informasi ini merupakan
hasil pengamatan dan analisis yang sistematik
Struktur Generik:
1. Klasifikasi umum
2. Deskripsi
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Pengenalan kelompok atau aspek-aspek umum aspect
2. Penggunaan hubungan logis yang kondisional
Contoh:

GAJAH
Gajah adalah hewan terbesar di antara hewan-hewan lain yang ada di dunia. Hewan
ini
memiliki penampakan yang unik. Kakinya kekar, tubuhnya besar, punggungnya kuat,
telinganya menggantung, mata dan ekornya kecil, serta memiliki hidung yang panjang yang
dikenal sebagai belalai. Gajah biasanya dapat dilihat di kebun binatang. Sangat sukar sekali
untuk melihat gajah di habitat aslinya.
Belalai merupakan organ tubuh gajah yang sangat unik serta bermanfaat. Dengan
belalai, gajah dapat menyemprotkan air ke tubuhnya. Dengan belalai pula gajah dapat
mengambil dedaunan untuk kemudian dimasukkan ke mulutnya. Meskipun tubuh gajah
besar, gajah dapat bergerak dengan cepat. Gajah adalah hewan yang pintar. Dengan
kepintaran serta kekuatannya, membuat gajah memiliki banyak manfaat bagi manusia. Gajah
dapat dilatih untuk mengangkat barang yang berat, memburu harimau bahkan untuk
bertarung. Gajah adalah benar-benar binatang yang pintar.
d. Eksplanasi
Tujuan:
Untuk menjelaskan proses tercipta sesuatu yang terjadi secara alamiah, atau proses
bekerjanya fenomena alam maupun sosial.
Struktur Generik:
1. Pernyataan umum
2. Penjelasan

XXIX
3. Penutup
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan kata kerja aksi
2. Penggunaan kalimat pasif
3. Penggunaan frasa nomina
4. Penggunaan frasa adverbia
5. Penggunaan terminologi teknis
6. Penggunaan nomina umum dan abstrak
7. Penggunaan konjungsi waktu serta sebab-akibat
Contoh:
TSUNAMI
Kata “tsunami” berasal dari bahasa Jepang yang berarti pelabuhan (“tsu”) dan
gelombang (“nami”). Tsunami adalah rangkaian gelombang yang timbul akibat air yang ada
di danau atau di laut secara cepat bergerak dalam skala yang besar. Tsunami terjadi ketika
dasar laut mengalami kerusakan bentuk dan secara vertikal merubah posisi air yang datar.
Gerakan vertikal yang besar dari patahan bumi dapat terjadi pada lapisan bumi. Gempa bumi
yang terjadi di dasar laut sangat berpotensi menimbulkan tsunami. Patahan dasar laut
menyebabkan equalibrum air menjadi terganggu. Semakin besar daerah patahan yang terjadi,
semakin besar pula tenaga gelombang yang di hasilkan. Gelombang besar yang mengalir
deras ke daratan inilah yang sangat berbahaya bagi manusia. Tsunami selalu membawa
kerusakan besar bagi manusia. Kerusakan yang terbesar disebabkan oleh gelombang besar
yang membanjir daratan. Gelombang ini ketika mengenai pemukiman manusia akan
menyeret apa saja yang dilaluinya. Kadang, korban jiwa yang terjadi bukanlah karena
disebabkan oleh ombak besar tsunami yang mengalir, tapi karena benturan dengan benda-
benda yang dibawa gelombang tsunami. Selain itu lumpur yang ikut terseret gelombang
tsunami menyebabkan manusia menjadi sulit untuk menyelamatkan diri dengan cepat.
2. Kelompok Wacana Argumentatif.
a. Eksposisi Analitik
Tujuan:
Mengungkapkan pada pembaca bahwa suatu hal adalah hal yang penting
Struktur Generik:
1. Tesis
2. Argumen (-argumen)
3. Reiterasi/Simpulan
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan modalitas
2. Penggunaan kata kerja aksi
3. Penggunaan kata kerja yang berhubungan dengan pikiran; merasa, berpikir, dst
4. Penggunaan nomina umum dan abstrak
5. Penggunaan konektor
Contoh:
MASALAH-MASALAH YANG MUNCUL AKIBAT OBESITAS
Berat badan yang berlebihan dalam dunia kesehatan dikenal sebagai obesitas
(kegemukan). Obesitas dalam hal ini didefinisikan sebagai sebuah kondisi di mana tubuh
manusia menyimpan lemak yang berlebih. Obesitas sangat potensial menyebabkan gangguan
pada kehidupan manusia. Dalam dunia kedokteran, obesitas dikenal sebagai faktor utama
penyebab penyakit jantung. Akibat dari kelebihan berat badan, jantung bekerja lebih keras.
Jika jantung bekerja terlalu keras, hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan. Serangan
jantung pun dapat terjadi. Selain itu, obesitas dapat pula meningkatkan kolesterol serta
tekanan darah. Tingginya kolesterol dan tekanan darah dapat menyebabkan pembuluh darah

XXX
pecah sehingga apa yang disebut sebagai stroke, dapat terjadi. Tidak hanya masalah serangan
jantung dan stroke, obesitas dapat pula meningkatkan jumlah gula dalam darah. Jumlah gula
yang tidak terkontrol ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang kita kenal sebagai
diabetes.
Selain masalah kesehatan di atas, obesitas juga dapat mengganggu kehidupan sehari-
hari manusia utamanya wanita. Kebanyakan kaum wanita sering kali berusaha keras menjaga
tubuh mereka agar terhindar dari obesitas. Bagi kebanyakan wanita, menjadi gemuk adalah
sebuah kekurangan. Dengan gemuk, kesempurnaan penampilan mereka menjadi berkurang
dan ini tentu saja dapat berpengaruh negatif terhadap kepercayaan diri mereka.
Penelitian-penelitian serius sangat diperlukan untuk meneliti pengaruh obesitas pada
manusia. Namun dari apa yang dipaparkan di atas, telah jelas bagi kita bahwa obesitas tidak
baik bagi kehidupan manusia.
b. Eksposisi Hortatorik
Tujuan:
Meyakinkan pembaca bahwa sesuatu harus atau tidak harus dilakukan
Struktur Generik:
1. Tesis
2. Argumen (-argumen)
3. Rekomendasi
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan modalitas
2. Penggunaan kata kerja aksi
3. Penggunaan kata kerja yang berhubungan dengan pikiran; merasa, berpikir, dst.
4. Penggunaan nomina umum dan abstrak
5. Penggunaan konektor
32
Contoh:
TEMPAT SAMPAH BANYAK, SEKOLAH SEHAT
Sebagai seorang guru, saya meyakini bahwa kesehatan lingkungan sekolah kita dapat
mendukung prestasi anak didik kita. Untuk mewujudkan kesehatan sekolah ini, kita dapat
melakukan banyak hal, salah satunya yaitu dengan cara meningkatkan jumlah tempat sampah
di sekolah Biasanya, ketika kita menengok kondisi kelas kita, koridor sekolah, halaman
depan dan halaman belakang sekolah, kita sering menjumpai kertas-kertas, gelas atau botol
air mineral, sedotan, plastik-plastik makanan ringan, berserakan di tempat tersebut. Benda-
benda tersebut sebagian besar berasal dari anak didik kita. Kondisi ini jelas dapat merusak
pemandangan dan mengganggu kesehatan sekolah. Kertas-kertas dan plastik-plastik yang
berserakan dapat menyumbat selokan sekolah ketika hujan tiba. Gelas dan botol minuman
bekas yang berceceran dapat menjadi sarang tempat berkembangnya nyamuk. Saya melihat
sebagian besar anak-anak kita telah memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga
kebersihan sekolah. Mereka sering kali saya jumpai membuang sampah di tempat sampah.
Meskipun demikian, ada juga sebagian dari mereka yang saya jumpai malas untuk
membuang sampah di tempat sampah. Mereka lebih memilih membuang tempat sampah di
pojok kelas, atau bahkan di depan kelas. Ketika saya tanya mengapa mereka melakukan hal
tersebut, sebagian besar dari mereka menjawab bahwa mereka melakukan hal tersebut karena
tempat sampah yang ada, sangat jauh dari kelas mereka. Mendengar jawaban ini saya
menjadi sadar betapa sedikitnya jumlah tempat sampah di sekolah kita. Sekolah seharusnya
menyediakan tempat sampah yang cukup untuk sampah-sampah yang dihasilkan anak didik
kita. Sebuah tempat sampah seharusnya diletakkan tiap 10 meter di sekolah kita. Dengan
demikian, ketika anak-anak bermaksud membuang sampah mereka, mereka dapat

XXXI
menemukan tempat sampah tersebut dengan mudah. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk
membuang sampah sembarangan.
Ketika sekolah telah dilengkapi dengan tempat sampah yang cukup, murid-murid
tidak akan malas lagi membuang sampah di tempat yang semestinya. Dengan demikian,
kebersihan sekolah kita menjadi terjaga. Oleh sebab itu saya menyarankan marilah kita
tambah jumlah tempat sampah di sekolah kita sehingga sekolah kita menjadi tempat yang
bersih dan sehat bagi anak didik kita.
c. Diskusi
Tujuan:
Menyediakan informasi dan opini terhadap sebuah isu melalui dua kaca mata yang berimbang
(Pro isu dan Kontra isu)
Struktur Generik:
1. Isu
2. Argumen pro dan argumen kontra
3. Konklusi/Simpulan
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan modalitas
2. Penggunaan kata kerja aksi
3. Penggunaan kata kerja yang berhubungan dengan pikiran; merasa, berpikir, dst.
4. Penggunaan nomina umum dan abstrak
5. Penggunaan transisi/konektif
Contoh:
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN TENAGA NUKLIR
Tenaga nuklir berasal dari uranium yaitu sejenis logam yang didapat dari tambang-
tambang yang ada di seluruh dunia. Stasiun nuklir skala besar yang pertama dibuka di Calder
Hall in Cumbria, Inggris pada tahun 1956. Nuklir sangat bermanfaat bagi manusia. Beberapa
kapal laut militer serta kapal selam menggunakan nuklir sebagai sumber tenaga
penggeraknya. Selain itu, nuklir dapat memproduksi energi yang sangat besar serta mampu
menyuplai 11% dari kebutuhan energi manusia di dunia. Berbeda dengan bahan bakar fosil
seperti batubara, nuklir tidak menyebabkan polusi. Di lain pihak, nuklir juga sangat
berbahaya. Stasiun nuklir harus di bungkus rapat-rapat dan diletakkan dalam tanah agar
radioaktifnya tidak menyebar ke mana-mana. Meskipun dapat diandalkan, membangun
pembangkit nuklir juga butuh dana yang besar. Dana ini dikeluarkan untuk memastikan
keamanan dari pembangkit ini. Sedikit saja salah, maka bahaya yang dihasilkan tenaga nuklir
sangat lah luar biasa. Masyarakat internasional memiliki perhatian yang besar tentang hal ini.
Pada tahun 1990 hingga sekarang, pembangunan stasiun tenaga nuklir masih tetap menjadi
hal yang problematik dan ramai dibicarakan.

d. Argumentatif
Tujuan:
Menyajikan masalah yang kontradiktif. Masalah tersebut didiskusikan melalui dua kacamata
yang berbeda (Pro atau Kontra). Penyaji wacana menentukan pada sisi mana ia berpihak.
Strukture Generik:
1. Isu
2. Argumen pro dan/atau argumen kontra
3. Stand (Posisi)
4. Argumen Stand
5. Konklusi/Simpulan (Opsional)

XXXII
Fitur Bahasa yang Dominan:
1. Penggunaan modalitas
2. Penggunaan kata kerja aksi
3. Penggunaan kata kerja yang berhubungan dengan pikiran; merasa, berpikir, dst.
4. Penggunaan nomina umum dan abstrak
5. Penggunaan transisi/konektif
Contoh:
ALIEN: BENARKAH MEREKA ADA?
Kita telah banyak mendengar informasi tentang keberadaan alien. Kebanyakan
informasi tersebut ditemukan dalam film-film fiksi. Dalam banyak film-film fiksi, alien
kadang digambarkan sebagai makhluk hidup yang baik, kadang juga sebagai makhluk
jahanam mengerikan yang bermaksud menguasai bumi. Sayangnya, kebanyakan informasi
yang
beredar tentang alien ini hanyalah berdasarkan imajinasi saja, karangan populer manusia abad
ini. Ada beberapa alasan logis mengapa keberadaan alien sangat sulit diyakini. Ada banyak
planet di dunia ini. Meskipun planet-planet tersebut memiliki matahari, tapi kondisi planet
planet tersebut jelas sangat berbeda dengan bumi. Beberapa di antaranya terlalu banyak
menerima radiasi dari matahari sehingga planet tersebut sangat panas. Beberapa di antaranya
juga sangat sedikit menerima radiasi matahari sehingga sangat mustahil makhluk hidup
tinggal di planet tersebut.
Meskipun ada kemungkinan bahwa makhluk hidup dapat tinggal di planet-planet
selain bumi, tapi tak ada seorang ilmuwan pun yang yakin bahwa mereka memiliki
kecerdasan seperti manusia. Perlu diingat bahwa di bumi ada banyak makhluk hidup yang
menghuninya, tapi hanya satu yang memiliki kecerdasan yaitu manusia. Selain itu, andai kata
makhluk hidup dengan kecerdasan seperti manusia tinggal di planet tersebut, lantas mengapa
hingga kini kita belum menerima kontak satu pun dari mereka.
36
Manusia telah mengirimkan banyak sinyal ke luar angkasa. Andai kata alien benar-
benar ada, secara logika mereka pastinya telah menerima sinyal-sinyal tersebut dan
membalasnya. Menurut Djajasudarma (1994:6), jenis wacana dapat dikaji dari segi
eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian.
1. Realitas Wacana
Realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal.
Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan
kelengkapan struktur bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language
likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian non bahasa (rangkaian isyarat atau tanda
tanda yang bermakna).
2. Media Komunikasi Wacana
Wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai
media komunikasi wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau dialog
lengkap dan penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud
sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
3. Pemaparan Wacana
Pemaparan wacana sama dengan tinjauan isi, cara penyusunan, dan sifatnya. Berdasarkan
pemaparan, wacana meliputi naratif, prosedural, hortatori, ekspositori, dan deskriptif.
4. Jenis Pemakaian Wacana
Jenis pemakaian wacana berwujud monolog, dialog, dan polilog. Wacana monolog
merupakan wacana yang tidak melibatkan bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara
dua pihak yang berkepentingan. Wacana yang berwujud dialog berupa percakapan atau
pembicaraan antara dua pihak. Wacana polilog melibatkan partisipan pembicaraan di dalam

XXXIII
konservasi.
37
II.12 Analisis Wacana
Analisis wacana (discourse analysis) atau kajian wacana (discourse studies) dapat dimengerti
sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mengkaji wacana. Analisis wacana bertujuan
untuk mengungkap (i) struktur wacana, (ii) komponen pembentuk wacana, (iii) isi wacana,
(iv) ragam bahasa dalam wacana, (v) ideologi dalam wacana, (vi) tindak tutur dalam wacana,
(vii) gaya bahasa dalam wacana, dan (viii) prinsip-prinsip membangun wacana. Hasil-hasil
kajian wacana berguna untuk berbagai kepentingan. Hasil kajian wacana antara lain berguna
untuk membangun wacana, memahami wacana, bahan pembelajaran bahasa, penerjemahan,
dan perlawanan terhadap kekuasaan. Sampai sekarang telah berkembang berbagai pendekatan
analisis wacana. Pendekatan analisis wacana itu antara lain (i) pendekatan formal, (ii)
pendekatan analisis wacana kritis (critical discourse analysis), (iii) pendekatan fungsional,
(iv) pendekatan analisis isi, (v) pendekatan pragmatik, (vi) pendekatan semiotik, (vi)
pendekatan sosiolinguistik, (vii) pendekatan etnografi, dan (viii) pendekatan hermeneutik.
Setiap pendekatan memiliki tekanan kajian pada aspek tertentu dan untuk tujuan tertentu.
Wacana juga dikaji dalam berbagai bidang selain ilmu bahasa, misalnya komunikasi, politik,
antropologi, sejarah, ideologi, arkeologi, kesusastraan, religi. Kajian wacana dalam berbagai
bidang tersebut memiliki pendekatan dan tujuan yang berbeda dengan kajian wacana dalam
ilmu bahasa. Kajian bahasa dalam ilmu bahasa lebih ditekankan untuk menguak sistem
bahasa yang digunakan untuk membangun wacana.
v
II.13 Cara Membuat Teks Wacana
1. Menangguk ide.
Menangguk ide adalah langkah pertama menulis wacana. Kita tidak akan pernah bisa
menulis sebelum kita mempunyai ide yang akan ditulis.
2. Memilih Topik dan Menetapkan Tema
Ketika suatu ide itu berbetuk satu kata atau satu frasa, ide itu disebut topik. Apabila
ide itu dapat dituliskan dalam bentuk satu kalimat, ia dinamakan tema. Ini berarti sebelum
menulis, ide-ide yang tadinya berupa topik-topik harus dapat dirumuskan dalam bentuk tema,
yaitu suatu bentuk yang sudah jelas. Format tema biasanya dalam berbentuk kalimat
sedangkan topik masih berbentuk kata atau frasa.
3. Menguraikan Tema Sambil Mengumpulkan Bahan
Begitu juga dengan menulis, Anda memerlukan data-data, gambar, ilustrasi, contoh,
kutipan, konsep, dll. Semua bahan itu diperlukan untuk menuliskan wacana yang lengkap.
Jika terasa bahwa bahan tidak cukup, Anda harus mempersempit tema menjadi sesuatu yang
terjangkau oleh kemampuan kita mengumpulkan bahan-bahan. Jika bahan terasa lengkap,
bolehlah kita mulai memerinci tema tadi menjadi sub-sub tema. Sub tema dirinci lagi menjadi
sub-sub yang lebih kecil, sampai Anda mempunyai satu unit yang tidak dapat diperkecil lagi.
4. Menyusun Kerangka
Bentuk tulisan yang sudah siap ditulis adalah bentuk kerangka yang sering disebut
outline. Kerangka (outline) adalah bentuk penyajian unit-unit pikiran dalam bentuk point-
point dalam suatu barisan yang rapi sesuai dengan tujuan wacana. Walaupun dalam bentuk
poin-poin, dalam kerangka, kita sudah melihat bagian pendahuluan, bagian pembahsan, dan

XXXIV
bagian penutup. Kita juga dapat melihat berapa paragraf yang akan membangun wacana itu
walaupun setiap paragraf muncul hanya sebagai sebuah poin pikiran.
5. Menulis Draf
Sekarang sampailah pada tahapan terpenting, yaitu mengubah unit-unit pikiran yang
terkecil dalam kerangka karangan menjadi paragraf-paragraf. Proses ini dimulai dengan
memilih kata-kata dan diteruskan dengan menyusunnya menjadi kalimat-kalimat untuk
mengungkapkan setiap satuan pikiran. Setiap satu satuan pikiran awalnya diungkapkan
dengan satu kalimat saja. Tapi, bila satu kalimat tersebut terasa tidak cukup untuk
mengungkapkan satu unit pikiran secara tuntas dan jelas, maka beberapa kalimat dapat
ditambahkan lagi. Yang penting, setiap kalimat yang ditambahkan itu tidak membahas satuan
pikiran yang lain, tetapi hanya memperjelas pikiran yang pertama tadi. Jika demikian,
rangkaian kalimat itu akan membentuk satu rangkaian yang saling terkait yang disebut
paragraf.
6. Memperkaya dan Menghaluskan Tulisan
Memperkaya bahasan artinya menambahkan lagi bahasa yang sudah dibuat dalam
bentuk draf, baik berupa tambahan data, paragraf, gambar, ilustrasi, contoh, dll.
Menghaluskan tulisan artinya menambal-nambal di tempat yang bolong atau memangkas di
tempat yang terlalu menonjol.
7. Membuat Judul
Pemberian judul mutlak menjadi satu tahap sendiri. Yang tidak dapat dianggap remeh.
Sebenarnya, judul dapat diberikan pada waktu menyusun tema atau pada waktu menyusun
kerangka. Namun yang paling baik, judul dilakukan setelah penghalusan tulisan. Artinya,
judul diberikan ketika sudah mendekati selesainya penulisan.
8. Menyunting Akhir
Di tahapan ini, penguasaan tatabahasa, tanda baca, dan ejaan mulai digunakan hati-
hati. Bahkan ada penulis yang memanfaatkan jasa editor di tahapan ini. Di tahap ini, semua
kata dan kalimat diuji dan dikoreksi secara tatabahasa. Penempatan titik, koma, dan tanda
baca lainnya dikoreksi secara tuntas. Penulisan huruf kapital, istilah-istilah tetentu pada tahap
ini akan dipermasalahkan cara penulisannya.

XXXV
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Pengertian dari wacana adalah sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur
yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam
satu kesatuan yang koheren, serta dibentuk dari unsur segmental maupun nonsegmental
bahasa.ciri dan sifat sebuah wacana, sebagai berikut : a. Wacana dapat berupa rangkaian
kalimat ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur; b. Wacana mengungkapkan
suatu hal (subjek); c. Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan semua situasi
pendukungnya; d. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu; e. Dibentuk oleh unsur
segmental dan nonsegmental.Dalam hal ini, wacana dapat disebut sebagai rekaman
kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, dan komunikasi merupakan alat
interaksi sosial, yaitu hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau
kelompok lainnya dalam proses sosial.wacana dapat dibedakan atas; wacana lisan dan
wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penuturan dan mitra tutur, bahasa yang
dituturkan, dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sedangkan wacana tulis ditandai oleh
adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistim ejaan. wacana-
wacana yang sering kita jumpai dapat kita kelompokkan dalam tiga kelompok wacana yaitu;
Kelompok wacana Naratif, Kelompok wacana Deskriptif;Kelompok wacana Argumentatif.
Setelah mengetahui jenis jenis wacana kita dapat membuat teks wacana,hal pertama
yang dilakukan adalah menangguk ide,memilih topik dan menetapkan tema,menguraikan
tema sambil mengumpulkan bahan,menyusun kerangka,menulis draft,memperkaya dan
menghaluskan tulisan,membuat judul,dan menyuting akhir.

XXXVI
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi, 2002. “Baru Sekadar Wacana”. Dalam Surat Kabar Kompas. Sabtu, 10 Agustus
2002. Halaman 12.
Baryadi, I. Praptomo. 1989. “Salam Pembuka Komunikasi dalam Wacana Langsung: Suatu
Tinjauan Pragmatis”. Dalam Majalah Linguistik Indonesia. Tahun 7. No. 14. Hlm.1-
19.---------. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta:
Penerbit PustakaGondosuli.
Brown, Gillian dan George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta.
Halliday, M.A.K. 1972. “Language Structure and Language Function”. Dalam John Lyons
(Ed.). New
Horizon in Linguistics. Harmmondworth, Middle Sex, London: Penguin Books Ltd. Halaman
140-165.
Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1979. Cohesion in English. London: Longman.---------.
1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan SemiotiK
Sosial.
Diterjemahkan oleh Asruddin Barori Tou dari Buku Asli Language, Context, and Text:
Aspects of Language in Social-Semiotic Perpective. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

XXXVII
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013. Buku Guru Bahasa
Indonesia Wahana Pengetahuan SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013. Buku Murid Bahasa
IndonesiaWahana Pengetahuan SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Mchoul, A. 1994. “Discourse”. Dalam R.E. Asher dan J.M.Y. Simpson (Eds.). The
Encyclopedia of Language and Linguistics. England: Pergamon Press Ltd. Hlm. 940-
949.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia.
Poerwadarminta, W.J.S. 1993. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Sugono, Dendy (Pemimpin Redaksi). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis. Oxford: Basil Blackwell.
Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Penerbit Angkasa.
Titscher, Stefan. Dkk. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Diterjemahkan oleh Gazali
dkk. dari buku Method of Text and Discourse Analysis. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.
Wodak, Ruth. 1996. Disorder of Discourse. Singapore: Longman Singapore Publisher (Pte)
Ltd
Syamsuddin, A. R. (2011). Studi Wacana: Teori-Analisis-Pengajaran. Cet. kedua. Bandung:
Geger Sunten.
Darma, Y.A. (2009). Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Djajasudarma, F. (1994). Wacana: Pemahaman dan Hubu
Mulyana. (2005). Kajian Wacana.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Helmi. J. (2008). Batu Bertulis : Tahapan Menulis Wacana

XXXVIII

Anda mungkin juga menyukai