Anda di halaman 1dari 3

Gaya Hidup Berkelanjutan, Selamatkan Bumi dan

Sehatkan Tubuh

KOMPAS.com – Kira-kira 700 tahun yang akan datang, kondisi Bumi berubah bak distopia. Gersang
dan hanya dipenuhi sampah layaknya tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi.
Jangankan hewan, tumbuhan saja enggan hidup di atas tanahnya.
Di sisi lain, manusia—yang sudah lebih dulu melakukan migrasi massal guna menyelamatkan diri—
hidup nyaman di pesawat luar angkasa Axiom yang dioperasikan perusahaan Buy N Large (BnL).
Nahasnya, kekacauan akibat sampah-sampah konsumerisme manusia di Bumi tadi hanya diberesi oleh
satu robot kecil berkarat bernama Wall E.
Anda yang pernah menyaksikan film animasi Wall E bisa jadi tak asing dengan secuil kisah di atas.
Saking sarat akan nilai moral, film ini sukses menyabet penghargaan Academy Award for Best
Animated Feature Film pada 2009.
Wall E sendiri dirilis pada 2008 silam. Kendati demikian, film tersebut tak akan pernah basi.
Pasalnya, kisah yang diangkat masih dan sepertinya akan terus relevan selama Bumi mengalami
pergulatan dengan sampah.
Ya, kerusakan lingkungan akibat sampah masih jadi isu pelik bagi hampir seluruh negara di dunia, tak
terkecuali Indonesia. Keberadaannya pun tak hanya ditemukan di daratan, tapi juga di perairan.
Dalam laman www.ppid.menlhk.go.id, Jumat (21/2/2020), Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, Indonesia mampu memproduksi 67,8 ton sampah setiap tahun.
Jumlah ini akan terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk.
Di antara sampah itu, sampah plastik menjadi masalah mengkhawatirkan. Jika solusi tak kunjung
tampak, Menteri LHK Siti Nurbaya memprediksi jumlah sampah plastik di Indonesia akan naik dua
kali lipat pada 2050 dan berkontribusi sebesar 35 persen dari total sampah yang ada.
Sebelum itu terjadi, Indonesia sebenarnya sudah menyandang predikat sebagai negara kedua
penyumbang sampah plastik terbesar di dunia menurut studi Jambek 2015 yang dimuat pada laman
Our World in Data. Bukan sesuatu yang membanggakan, bukan? Apalagi ditambah dengan prediksi
peningkatan jumlah sampah di atas.
Meski begitu, bukan berarti tak ada solusi untuk hal tersebut. Pun, tidak ada kata terlambat untuk
melakukan kebaikan bagi Bumi, rumah umat manusia. Asal semua pihak berkolaborasi, isu sampah
plastik bisa diatasi.

Hidup berkelanjutan bebas sampah

Penerapan gaya hidup berkelanjutan (sustainable lifestyle) menuju bebas sampah (towards zero
waste) menjadi salah satu langkah mencegah kerusakan lingkungan akibat sampah plastik yang
kian menjadi momok.

Diberitakan Kompas.com, Rabu (17/6/2020), gaya hidup berkelanjutan bebas sampah


merupakan upaya konservasi sumber daya yang melibatkan produksi, konsumsi, penggunaan
kembali, dan pemulihan produk hingga kemasan.

Solusi tersebut dianggap lebih mumpuni dibandingkan membuang sampah ke tempat


pembuangan akhir. Gaya hidup bebas sampah ini pun telah banyak diterapkan di berbagai
negara maju, khususnya yang mulai peduli soal isu kerusakan lingkungan.

Pengaplikasian gaya hidup berkelanjutan bebas sampah tidaklah sulit dalam kehidupan sehari-
hari. Masyarakat cukup menjalankan tiga konsep reduce, reuse, and recycle. Misalnya, saat
mengelap kotoran. Ketimbang menggunakan tisu sekali buang, ada baiknya memakai kain
sehingga tak ada sampah yang dihasilkan.

Sekalipun terpaksa menghasilkan sampah, masyarakat perlu mengklasifikasi menurut jenisnya,


yakni organik dan nonorganik. Hal ini bukan saran semata, melainkan sudah diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Dengan begitu, proses pengelolaan sampah lebih mudah dilakukan. Contohnya, sampah
organik diolah jadi bahan kompos dan sampah non-organik didaur ulang menjadi barang bernilai
ekonomi.

Implementasi selanjutnya, yakni bijak saat makan. Makanan tak habis lalu terbuang begitu saja
menjadi pemandangan akrab sehari-hari di Indonesia. The Economist Intelligence Unit 2018
melaporkan, Indonesia menduduki posisi kedua sebagai negara penghasil sampah makanan
terbesar di dunia.

Kondisi itu tentu tak bisa dianggap sepele. Menurut IPCC 2007, hasil pembusukan kotoran
makanan yang kerap bercampur dengan sampah organik lain berisiko 25 kali lebih berbahaya
merusak lingkungan dibanding karbon dioksida. Singkatnya, sampah makanan juga dapat
memicu efek gas rumah kaca (GRK).

Selain kedua hal di atas, gaya hidup berkelanjutan bebas sampah juga bisa diterapkan saat membeli
sebuah produk.

Seperti diketahui, manusia memang tak bisa lepas dari plastik. Hampir seluruh benda yang digunakan
maupun produk makanan yang dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari bersinggungan dengan benda
berbahan polimer tersebut. Memang, beberapa jenis plastik digadang jadi penyebab kerusakan
lingkungan karena limbahnya sulit terurai. Namun, perlu diketahui, tak semua jenis bahan polimer
berbahaya.
Salah satunya recycled Polietilena tereftalat (r-PET) yang merupakan plastik hasil daur ulang bahan
Polietilena tereftalat (PET). Ini sekaligus mengartikan bahwa r-PET lebih bersifat ramah lingkungan.
Bahkan, hasil daur ulangnya pun bisa diolah menjadi barang bernilai jual.
Masyarakat bisa memulai gaya hidup berkelanjutan dengan cermat memilih produk berkemasan
ramah lingkungan. Selain itu, dapat pula dengan mengurangi kebiasaan membeli barang berkemasan
ganda.

Anda mungkin juga menyukai