Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TEORI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

TEORI BELAJAR

Oleh :
Kelompok 8

Alfath Ibnu Hady (112111133010)


Ishmanda Sekar Kalisha (112111133102)
Almira Dhira Dharmika I R (112111133110)
Raihan Syarif (112111133112)
Theda Prajna Prawira (112111133140)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2022
BAB I
PENGANTAR

Istilah teori belajar mencakup dua kata yang bermakna, yaitu teori dan
belajar. Belajar merupakan suatu proses yang dilakukan oleh individu secara sadar
untuk mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang awalnya tidak tahu menjadi
tahu, dari yang tidak memiliki sikap menjadi bersikap sesuai dengan norma,
maupun dari yang tidak terampil menjadi terampil dalam melakukan sesuatu.
Proses belajar tidak hanya sekedar memetakan dan memperluas pengetahuan atau
informasi yang telah didapatkannya, tetapi juga berfokus pada bagaimana proses
ini dapat melibatkan individu secara aktif untuk menciptakan hasil proses belajar
yang diterimanya menjadi suatu pengalaman yang bermanfaat terutama bagi masa
depan individu tersebut. Dengan kata lain, proses belajar atau dapat disebut juga
sebagai pembelajaran merupakan suatu sistem yang membantu individu untuk
belajar, berinteraksi, dan berkesinambung dengan sumber belajar yang turut
dipengaruhi oleh lingkungan tempat individu tersebut tinggal.
Menurut Nahar (2016), ia menyinggung bahwa Thorndike mengemukakan
versinya sendiri terkait belajar, yaitu proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus merupakan suatu hal yang merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sementara itu, respons adalah reaksi yang dimunculkan individu ketika
proses belajar dapat berupa pikiran, perasaan, dan gerakan atau tindakan. Dari
definisi teori belajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori belajar adalah suatu
teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar
antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan
di kelas maupun di luar kelas.
Terdapat beberapa pandangan mengenai teori belajar yang berpendapat
bahwa perilaku terbentuk dari lingkungan atau stimulus dari luar, di antaranya
adalah classical conditioning milik Pavlov, operant conditioning milik Skinner,
serta observational learning milik Bandura. Dalam upaya kami untuk
mengimplementasikan salah satu teori belajar tersebut, kami melakukan
psikoedukasi terkait classical conditioning milik Pavlov melalui video penerapan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIK

2.1 Classical Conditioning (Pavlov)


● Classical Conditioning
Pada dasarnya Classical conditioning adalah proses suatu stimulus yang
awalnya tidak memunculkan respon tertentu, diasosiasikan dengan stimulus kedua
yang dapat memunculkan respon tertentu. Hasilnya stimulus yang tidak
memunculkan respon tersebut dapat memunculkan respon tertentu sesuai dengan
stimulus yang memang memunculkan respon tersebut. Dalam sebuah eksperimen,
seekor anjing ditempatkan dan ditempatkan di ruangan gelap, lalu lampu
dinyalakan. 30 detik kemudian, beberapa makanan diletakkan hal ini memicu
refleks air liur. Kegiatan ini diulang beberapa kali hingga ketika lampu dinyalakan
anjing akan merespon dengan mengeluarkan air liurnya tanpa adanya makanan.
Sebenarnya dengan menyalakan lampu dan penyajian makanan tidak ada
hubunganya namun, anjing tersebut telah dikondisikan untuk merespon cahaya.
Dalam istilah Pavlov, makanan merupakan stimulus yang tidak
dikondisikan (unconditioned stimulus, US) - Pavlov tidak perlu mengkondisikan
hewan untuk mengeluarkan air liur ketika melihat makanan. Namun ketika cahaya
lampu yang merupakan stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus, CS) -
efeknya perlu dikondisikan terlebih dahulu. Sehingga hasilnya anjing akan
bereaksi dengan lampu bukan lagi dengan makanan secara langsung. Ketika
anjing mengeluarkan air liur karena adanya makanan maka itu disebut
(Unconditioned response UR) dan ketika anjing tersebut mengeluarkan air liur
tanpa adanya makanan dan hanya cahaya lampu maka disebut (Conditioned
Response CR)

● Extinction
Stimulus yang sudah terkondisi tidak akan bertahan lama jika CS tidak
diikuti oleh US selama masih diberikan US dan dipasangkan dengan CS respons
akan tetap ada . Pavlov menemukan meskipun dia bisa membuat lampu menjadi
stimulus untuk memunculkan air liur pada anjing. Namun jika dia menyalakan
lampu dalam beberapa percobaan tanpa memberikan makanan lagi maka akan
mulai kehilangan efeknya. Air liur yang dihasilkan semakin sedikit, bahkan
sampai tidak ada sama sekali di titik ini terjadi Extinction (kepunahan).

● Stimulus generalization
Meskipun sebuah refleks sudah dikondisikan CS hanya untuk satu
stimulus, namun bukan hanya stimulus itu saja yang bisa memunculkan Suatu
respons. Respons juga bisa bangkit karena sejumlah stimulus serupa tanpa ada
pengkondisian lebih jauh. Sebagai contoh , seekor anjing yang telah dikondisikan
CS untuk mengeluarkan air liur terhadap bunyi lonceng nada tertentu. Namun
ketika dibunyikan lonceng dengan nada yang berbeda anjing akan tetap merespon
mengeluarkan air liur. Kemampuan mengenali stimulus untuk menghasilkan
respons beragam menurut derajat kemiripan dengan stimulus awal yang
dikondisikan (CS orisinil). Pavlov percaya bahwa kita dapat mengenali stimulus
karena proses fisiologis yang dinamai dengan pemancaran (irradiation). Stimulus
dikondisikan akan merangsang bagian tertentu di otak yang kemudian memancar
dan menyebar ke wilayah otak yang lain. Suatu makhluk mengadakan
generalisasi, maka akan melakukan pemilahan.

● Discrimination
Pemilahan Ditimbulkan melalui penguatan dan pelemahan yang selektif.
Discrimination berlaku jika individu dapat membedakan antara rangsangan yang
dikondisikan dan memilih untuk bertindak atau bergerak balas. Generalisasi
stimulus secara bertahap membuka jalan bagi proses pembedaan.
Jika anjing dibiarkan mendengar suara bel berbeda nada tanpa menyajikan
makanan di hadapannya, maka anjing akan mulai merespons dengan lebih selektif,
membatasi respon nya hanya kepada nada yang paling mirip dengan CS orisinil.
● Higher order conditioning
Pavlov menunjukkan bahwa memungkinkan untuk mengkondisikan
organisme secara solid kepada CS tertentu, maka ia bisa menggunakan CS tersebut
untuk menciptakan hubungan dengan stimulus lain yang masih netral.
Dalam sebuah eksperimen Pavlov melatih anjing mengeluarkan air liur
terhadap bunyi bel yang disertai makanan, kemudian memasangkan bel dengan
sebuah papan hitam. Setelah beberapa percobaan , dengan melihat papan hitam
saja anjing bisa mengeluarkan air liurnya. Ini disebut pengkondisian tingkat dua.
Pavlov menemukan bahwa dalam beberapa kasus bisa menciptakan pengkondisian
pengkondisian sampai tingkat-tiga.

2.2 Operant Conditioning (Skinner)


2.2.1 The Operant Model
Berbeda dengan Classical Conditioning, dalam Operant Model subjek
diberikan kebebasan dan beroperasi di lingkungannya. Operant Model juga
dikenal sebagai metode pembelajaran yang biasanya dikaitkan dengan tokoh
B.F. Skinner, di mana konsekuensi dari suatu respons menentukan
kemungkinan terulangnya respons tersebut. Operant conditioning merupakan
penciptaan suatu kondisi yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu
dari suatu respon positif dengan cara memberikan penguatan atau
reinforcement atas respon yang diberikan oleh individu tersebut. Melalui
operant conditioning, perilaku yang diberi penguatan (reward) kemungkinan
besar akan terulang kembali dan perilaku yang dihukum akan lebih jarang
terjadi.
Skinner (1948) mempelajari pengkondisian operan dengan melakukan
eksperimen menggunakan hewan yang ia tempatkan dalam 'Skinner Box' yang
mirip dengan kotak puzzle Thorndike. Skinner Box, juga dikenal sebagai ruang
pengkondisian operan yaitu alat yang digunakan untuk merekam perilaku
hewan secara objektif dalam kerangka waktu yang dikompresi. Seekor hewan
dapat diberi hadiah atau hukuman karena terlibat dalam perilaku tertentu,
seperti menekan tuas yang berisi makanan atau mematuk kunci yang
memberikan sengatan listrik. Operant adalah a second class of behavior,
sebagai pembanding perilaku responden.
2.2.2 Principles of Conditioning
● Reinforcement and Extinction
Reinforcement (penguat) yaitu proses yang memperkuat perilaku yakni
memperbesar kesempatan agar perilaku tersebut terjadi lagi. Terdapat dua
kategori umum reinforcement yaitu positif dan negatif. Penguat positif
adalah suatu metode untuk memperkuat perilaku dengan menyertakan
stimulus yang menyenangkan. Seperti contoh memberi anak permen ketika
ia berhasil membersihkan kamarnya sendiri.
Extinction adalah metode mengeliminasi perilaku dengan cara
menghentikan penguat dari perilaku itu sendiri. Sebagai contoh seseorang
mengajari matematika pada anak yang tidak menyukai mata pelajaran
tersebut. Anak tersebut mungkin akan semangat belajar matematika apabila
ia dijanjikan akan dibelikan sepeda. Akan tetapi semangat itu lama kelamaan
akan berkurang kalau hadiah yang dijanjikan tidak diberikan.
● Immediacy of Reinforcement
Bijou & Baer (1961 dalam Crains, 2014) menyatakan bahwa prinsip
tersebut penting untuk pengasuhan anak. Seperti contoh seorang anak
memberikan surat kabar kepada ayahnya, kemudian ayahnya tersenyum atau
mengucapkan terima kasih. Hal tersebut membuat anak akan mengulang
perbuatan tersebut.
● Discriminative Stimuli
Suatu stimulus yang mengendalikan perilaku tertentu sehingga timbul
kemungkinan yang besar jika stimulus itu ada perilaku tersebut akan
diperkuat. Dengan kata lain, discriminative stimulus merupakan stimulus
spesifik yang menyebabkan sebuah tingkah laku muncul. Sebagai contoh
ekspresi wajah orang lain menjadi Discriminative Stimuli yang
mengendalikan kemungkinan bahwa kita akan mendekati mereka dan
kendali ini tidak otomatis.
Meskipun Discriminative Stimuli memberikan kendali yang cukup
besar, harus ditekankan bahwa kendali ini tidak otomatis, seperti dalam
kasus pengkondisian responden. Dalam percobaan Pavlov, rangsangan
sebelumnya secara otomatis menimbulkan respons; dalam operant
conditioning, rangsangan seperti itu hanya akan membuat respons lebih
mungkin terjadi.
● Generalization
Generalisasi adalah perilaku itu dilakukan oleh individu tersebut dalam
berbagai kesempatan lain, tapi situasinya sama. Seorang anak dilatih untuk
melambaikan tangan sambil berucap “Dadah” ketika melihat ayahnya,
namun tidak kepada ibu dan saudara kandungnya, maka tidak mudah
menemukan anak yang melakukan hal tersebut kepada laki-laki lain.
Sehingga membuat orang tuanya harus memberi pemahaman untuk memilih
diskriminasi yang baik.
● Shaping
Shaping merupakan teknik penguatan yang digunakan untuk mengajar
perilaku yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Operant Behavior
dipelajari secara bertahap, sedikit demi sedikit. Ketika kita mengajari
seorang anak untuk mengayunkan pemukul bisbol, pertama kita akan
mengatakan “Bagus” ketika dia memegangnya dengan benar. Kemudian
mengatakan "Benar" ketika dia mengangkat tongkatnya dalam posisi yang
benar di atas bahunya.
● Behavior Chains
Walaupun perilaku dibentuk bertahap, hal tersebut juga berkembang
dalam jangka panjang menjadi rantai respons yang lebih panjang dan
terintegrasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa Behavior Chains adalah cara
melihat bagaimana seseorang mencapai suatu perilaku dari serangkaian
pemikiran, perasaan, dan keputusan untuk bertindak.
● Schedules of Reinforcement
Schedules of Reinforcement pada dasarnya adalah aturan yang
menyatakan contoh perilaku mana yang akan diperkuat. Salah satu temuan
Skinner yang paling penting adalah bahwa perilaku yang diperkuat secara
intermiten, dibandingkan dengan perilaku yang terus menerus diperkuat,
jauh lebih sulit untuk dipadamkan. Perilaku sehari-hari kita jarang diperkuat
secara berkesinambungan, namun berselang (intermittently). Inilah sebabnya
mengapa banyak perilaku yang tidak diinginkan anak-anak begitu sulit
dihentikan.
Jika kita ingin mulai mengajarkan bentuk perilaku yang diinginkan,
cara terbaik adalah memulai dengan penguatan terus-menerus; ini adalah
cara paling efisien untuk memulai perilaku. Namun, jika kita juga ingin
membuat perilaku tersebut bertahan lama, pada suatu saat kita mungkin akan
beralih ke jadwal yang terputus-putus (intermittent schedule) (Bijou & Baer,
1961, p. 62).
● Negative Reinforcement and Punishment
Reinforcement berarti memperkuat respons (meningkatkan
kecepatannya), dan positive reinforcements memperkuat respons dengan
menambahkan konsekuensi positif seperti makanan, pujian, atau perhatian.
Tanggapan juga dapat diperkuat melalui penguatan negatif, dengan
menghilangkan rangsangan yang tidak menyenangkan atau permusuhan.
Punishment (hukuman) adalah teknik pengendalian yang paling umum
dalam kehidupan modern, walaupun tidak selalu berhasil. Dalam jangka
panjang, hukuman tidak akan secepat pemadaman.

2.2.3 Internal Events: Thoughts, Feelings, and Drives


● Thoughts
Banyak yang mengatakan bahwa Skinner mengajukan teori “pikiran
kosong” karena hanya terfokus untuk meneliti suatu respon yang jelas dan
mengabaikan keadaan internal. Skinner tidak menyangkal adanya
peristiwa internal pada setiap individu karena menurutnya manusia itu
memiliki sensasi batin, seperti rasa sakit. Manusia juga dapat dikatakan
berpikir, seperti berbicara kepada diri sendiri di dalam hati dan bukan
dengan suara. Namun, bagi Skinner peristiwa internal seperti itu tidak
memiliki ruang dalam psikologi ilmiah, kecuali hal tersebut secara umum
dapat dibuktikan dan dapat diukur.
Skinner sangat terganggu dengan kecenderungan orang-orang yang
menganggap serta memperlakukan pikiran sebagai penyebab suatu
perilaku dapat terjadi. Skinner menganggap pembahasan apapun mengenai
tujuan dan harapan adalah hal yang terlalu berlebihan. Lebih buruknya
lagi, hal tersebut mengalihkan pemikiran dan pandangan manusia dari
penjelasan yang benar mengenai perilaku – yang sebenarnya terjadi dan
timbul karena adanya pengaruh dari lingkungan

● Feelings
Skinner percaya bahwa emosi atau perasaan dapat dipahami jika
melihatnya sebagai hasil dari pengendalian lingkungan. Tidak ada gunanya
jika kita terus menganggap emosi dan perasaan sebagai penyebab
munculnya tindakan atau perilaku. Karena jika kita ingin memahami
penyebab perilaku seseorang, maka kita harus melihat konsekuensi masa
lalu dari perilakunya.

● Drives
Menurut Skinner, dorongan seperti rasa lapar atau haus, tampaknya
merujuk pada peristiwa-peristiwa atau tindakan internal yang memotivasi
sebuah perilaku. Skinner berpendapat, bahwa kita tidak perlu menganggap
drive sebagai bagian dari kondisi atau keadaan internal, baik secara mental
maupun fisiologis.

2.2.4 Species-Specific Behavior


Pada praktiknya, sangat sulit untuk melatih tikus berbicara
seperti manusia karena ada hambatan biologis (topografi atau
pemetaan dari respon, esensial). Sehingga lingkungan secara selektif
memberi penguatan pada semua perilaku, tidak hanya masa hidup
binatang saat ini tetapi juga pada spesiesnya yang berevolusi.

2.2.5 Practical Applications


● Behavior Modification with Children with Autism
Anak penderita autisme umumnya mengalami gangguan
perkembangan saraf yang pada akhirnya menghasilkan berbagai gangguan
perkembangan bahasa dan kemampuan anak untuk berinteraksi,
berkomunikasi, serta berperilaku. Berbagai keterbatasan yang dialami oleh
anak penderita autisme seperti mengalami kesulitan dalam memahami apa
yang orang lain pikirkan dan rasakan, dan sulit untuk mengekspresikan
diri, baik melalui kata-kata atau melalui gerak tubuh. Oleh karena itu,
untuk memperbaiki permasalahan dalam perilaku tersebut, dibutuhkan
adanya penerapan modifikasi perilaku pada penderita autisme. Salah satu
teknik operan yang cukup mengesankan untuk digunakan dalam terapi
anak autis yaitu terapi yang diperkenalkan oleh Lovaas. Melalui terapi ini,
Lovaas mencoba menggantikan perilaku yang seharusnya tidak terjadi dan
tidak pantas secara sosial dengan menguatkan perilaku yang positif dan
sesuai. Jika seorang anak mengalami echolalia, dimana ia mengulang suatu
perkataan dan perilaku dengan berkali-kali atau melakukan perilaku yang
membahayakan diri sendiri maupun orang lain,
Lovaas akan memberikannya hukuman dengan berkata "Tidak"
pada anak tersebut. Sedangkan, ketika ada seorang anak yang mampu
berbicara dengan ucapan yang benar dan sesuai, Lovaas memberikan
reward positif kepada anak tersebut dengan memberikan hadiah berupa
makanan, pujian, ataupun kata-kata afirmasi lainnya. Dengan demikian,
Lovaas menyimpulkan bahwa seorang anak yang menderita autisme akan
perlahan-lahan memunculkan perilaku yang sesuai dengan sendirinya jika
diikuti oleh pemberian reward positif.
● Programmed Instruction.
Skinner menciptakan mesin pengajaran dan instruksi terprogram
yang berkontribusi pada pendidikan anak-anak. Instruksi terprogram ini
memenuhi beberapa prinsip Skinnerian seperti berlangsung dalam
langkah-langkah kecil dimana perilaku dibentuk secara bertahap,
pembelajar aktif karena merupakan kondisi alamiah organisme, dan
terjadi umpan balik secara langsung, dimana dapat memperkuat proses
belajar. Unit instruksi dibangun dari tingkat yang dapat dikuasai dengan
mudah oleh murid. Sehingga dapat membangun pengalaman pembelajaran
yang positif secara konsisten.

2.3 Observational Learning (Bandura)


Keyakinan bahwa manusia belajar dengan mengamati manusia lain
setidaknya sudah ada sejak zaman Yunani awal seperti Plato dan Aristoteles. Bagi
mereka pendidikan, sebagian besar, memilih model terbaik untuk disajikan kepada
siswa sehingga kualitas model dapat diamati dan ditiru. Selama berabad-abad
pembelajaran observasional diterima begitu saja dan biasanya dijelaskan dengan
mendalilkan kecenderungan alami manusia untuk meniru apa yang mereka lihat
dilakukan orang lain. Selama penjelasan nativistik ini berlaku, sedikit yang
dilakukan baik untuk memverifikasi fakta bahwa kecenderungan untuk belajar
dengan observasi adalah bawaan atau, memang, untuk menentukan apakah
pembelajaran observasional terjadi sama sekali.
Bandura berpendapat bahwa selain melalui proses bertahap dimana
seseorang harus bertindak untuk belajar, juga terdapat pembelajaran observasional
yaitu dengan learn from model. Cara ini terlihat seperti kognisi daripada belajar.
learn from model terbagi menjadi dua, yaitu belajar melalui live model atau secara
langsung melalui symbolic model. Live model adalah cara belajar dengan
mengamati orang lain melakukan sesuatu. Misalnya, ketika anak ingin menghafal
sebuah lagu, mereka akan melihat dan mendengarkan orang yang tahu cara
menyanyikan lagu tersebut. Kemudian dia akan meniru apa yang dia dapatkan dari
pengamatannya. Ini dikenal sebagai penguatan perwakilan. Selanjutnya, symbolic
model dapat berupa peristiwa-peristiwa yang terlihat pada tayangan televisi atau
melalui buku-buku yang telah dibaca. Contoh lain dari symbolic model adalah
ketika seorang instruktur mendemonstrasikan cara mengemudikan mobil,
kemudian secara lisan menginstruksikan cara mengemudikan mobil.

2.3.1 Komponen – komponen dari Observational Learning


● Attentional Process
Proses ini membutuhkan stimulus yang memiliki
unsur-unsur yang berbeda, misalnya memiliki keunikan, prestige,
power, atau daya tarik tersendiri. Selain itu, atensi juga berkaitan
dengan karakteristik psikologis pengamat, seperti minat yang ada
satu sama lain. Namun, ini terlalu khusus, sehingga elemen ini
tidak selalu ada.
● Retention Process
Proses mengingat apa yang telah diamati secara runtut
dalam bentuk simbolik. Maksudnya adalah benar bahwa sebagian
rangsangan adalah visual. Namun, mengingat urutan dalam suatu
peristiwa, mengasosiasikannya dengan kode verbal, dan ketika
melakukannya secara mandiri, membutuhkan kontrol untuk dapat
mengarahkan diri sendiri dengan baik. Harap dicatat bahwa
anak-anak memiliki citra visual yang terbatas. Oleh karena itu,
diperlukan kode verbal langsung. Namun, anak-anak pada usia
sekitar 5-10 tahun dianggap cukup mampu mempelajari sesuatu
dengan observasi.
● Motor Reproduction Process
Proses ini menjelaskan bahwa observasi saja tidak cukup
untuk meniru seseorang dalam melakukan sesuatu. Hal ini karena
kekuatan fisik atau keterampilan motorik juga turut andil dalam
keberhasilannya, sehingga pertumbuhan dan latihanlah yang dapat
menunjang keberhasilan dalam meniru.
● Reinforcement and Motivational Process
Proses merespon suatu stimulus yang dilakukan karena
penguatan diri, motivasi, dan evaluasi konsekuensi dari apa yang
dilakukan. Misalnya, ketika seorang anak melihat seseorang yang
mengumpat tetapi hidupnya dihormati dan dihormati oleh
orang-orang di sekitarnya, kemungkinan besar anak itu juga akan
mengumpat. Namun, jika orang tersebut dihukum, anak akan lebih
menghindari perilaku tersebut.

2.3.2 Socialization Studies


● Aggression
Bandura percaya bahwa sosialisasi agresi adalah bagian
dari masalah pengkondisian operan. Orang tua dan agen sosialisasi
lainnya memberikan penghargaan kepada anak karena
mengekspresikan agresi dengan cara yang tepat (misalnya dalam
permainan atau berburu) dan memberikan hukuman jika anak
mengekspresikan agresi dengan cara yang tidak tepat (misalnya
memukuli anak yang lebih kecil).
Di dalam penelitian milik Bandura, beberapa anak berumur
4 tahun secara individu menonton sebuah film di mana seorang
model pria dewasa terlibat dalam beberapa perilaku agresif. Model
itu meletakkan boneka Bobo di sisinya, duduk di atasnya, dan
meninjunya, meneriakkan hal-hal seperti, "Pow, tepat di hidung,"
dan "Sockeroo… tetaplah di bawah”. Setiap anak diberi salah satu
dari tiga kondisi, yang berarti setiap anak menonton film yang
sama tetapi dengan akhir yang berbeda.
1. Dalam pengkondisian aggression-rewarded, model
tersebut dipuji dan diberi suguhan di akhir film. Orang dewasa
yang kedua memanggilnya “pemenang yang kuat” dan
memberinya coklat batangan, minuman ringan, dan lain
sebagainya.
2. Dalam pengkondisian aggression-punished, model
disebut sebagai “penindas besar”, ditampar, serta dipaksa
meringkuk di akhir film.
3. Kondisi ketiga adalah pengkondisian no-consequences,
model tidak mendapatkan reward maupun punishment dalam
kondisi ini. Setelah film selesai, setiap anak dibawa ke sebuah
ruangan dengan boneka Bobo dan mainan lainnya.
Para peneliti melihat dari cermin satu arah untuk mengamati
seberapa sering anak-anak tersebut meniru model agresif. Hasilnya
menunjukkan bahwa mereka yang telah melihat model yang
dihukum menunjukkan lebih sedikit imitasi daripada yang
dilakukan pada dua kelompok lainnya.
● Gender Roles
Selama masa sosialisasi, anak akan diajarkan untuk
berperilaku sesuai jenis kelamin. Masyarakat mendorong anak
laki-laki untuk berperilaku maskulin, dan anak perempuan untuk
berperilaku feminin. Dalam hal ini, para ahli teori tidak
menyangkal bahwa ada kemungkinan bahwa sifat-sifat gender juga
terkait secara genetik. Tetapi mereka percaya bahwa sebagian besar
karakteristik gender berasal dari proses sosialisasi serta peran
khusus imitasi. Dalam pembelajaran peran gender, perbedaan
dalam perolehan atau kinerja adalah penting. Anak-anak sering
belajar, melalui pengamatan, perilaku kedua jenis kelamin. Namun,
mereka biasanya hanya melakukan perilaku yang sesuai dengan
jenis kelaminnya masing-masing.
● Prosocial Behavior
Perilaku prososial seperti berbagi; membantu baik dalam
kesusahan, maupun dalam bekerjasama; dan altruisme dapat
dengan mudah dipengaruhi oleh paparan model. Misalnya, ketika
seorang anak melihat seseorang memenangkan permainan dan
sebagian dari hasilnya disumbangkan kepada orang yang
membutuhkan, ia akan cenderung melakukan hal yang sama.
Apalagi jika anak memiliki semangat altruisme yang tinggi maka ia
akan memberi lebih dari yang lain. Menurut penelitian, efek
mengamati model memiliki sifat yang cukup permanen pada
berbagai anak.
Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan dalam membina
perilaku prososial adalah dengan memulainya secara verbal. Cara
ini bisa efektif jika tuturan verbalnya kuat, emosional tetapi sebuah
memerintah. Hanya saja penyampaian pesanan harus tepat agar
tidak menjadi bumerang, karena anak-anak tidak suka diperintah
secara langsung dan terkadang akan menunjukkan pemberontakan.
● Self Regulation
ketika seseorang telah bersosialisasi, mereka tidak lagi pada
penghargaan dan hukuman dari luar, tetapi mereka akan mengatur
diri mereka sendiri. Mereka akan mengembangkan standar internal
mereka dan memberikan penghargaan/hukuman sesuai dengan apa
yang telah mereka peroleh.
Bandura juga tertarik pada bagaimana seseorang tertarik
melakukan sendiri dan bagaimana evaluasi diri ini dapat diperoleh.
Bandura juga percaya bahwa evaluasi diri adalah hasil dari
penghargaan dan hukuman tertentu.Selain itu, Bandura dan rekan
menunjukkan bahwa anak-anak dan orang dewasa mengadopsi
standar evaluasi diri berdasarkan apa yang mereka amati dari orang
lain. Pada anak-anak, mereka cenderung mengadopsi standar
evaluasi diri dari teman sebayanya daripada orang dewasa karena
anak-anak akan lebih mudah mencapainya.
Bandura juga berpendapat bahwa orang tua juga bisa jika
ingin anaknya mengadopsi standar yang lebih tinggi, yaitu dengan
mengajak anak bergaul dengan teman-temannya yang lebih pintar
dan membacakan cerita tentang orang sukses kepada anak.
Menurut Bandura, seseorang yang memiliki standar penilaian diri
yang tinggi, umumnya adalah pekerja keras dan pekerja keras.
Namun, ketika mereka memiliki tujuan/standar yang tinggi, mereka
juga dapat mengalami kesulitan untuk mencapainya. Menurut
Bandura, seseorang yang memiliki cita-cita tinggi cenderung
mudah kecewa dan depresi. Oleh karena itu, mereka harus
menetapkan tujuan/keinginan/sasaran secara realistis, selalu
mengukur seberapa banyak kemajuan yang dicapai dalam jangka
panjang.
● Self- Efficacy
Ketika mengatur perilaku diri, seseorang mulai dengan
pengamatan diri. Pengamatan ini dapat berupa refleksi terhadap
kemampuan pribadi secara umum, seperti “Saya pandai
matematika”, “Saya perenang yang buruk”. Atau mungkin itu
hanya dilebih – lebihkan, tapi hanya itu yang dibutuhkan seseorang
untuk lebih meningkatkan motivasi diri. Ketika seseorang percaya
pada kemampuannya, dia akan merasa penuh semangat meskipun
pada kenyataannya dia melakukannya dengan baik, hanya saja
pada akhirnya kesuksesan tetap berpihak padanya. Berbeda dengan
seseorang yang menguji kemampuannya sendiri, ia akan cenderung
mudah menyerah dalam menghadapi tantangan.
- Empat Sumber operan-Efficacy
Self-Efficacy memiliki penilaian yang berdasar pada empat sumber
yang ada di bawah ini:
1. Actual Performance
Sumber ini adalah yang paling berpengaruh. Self-Efficacy
seseorang akan meningkat apabila ia berulang kali berhasil dalam
melakukan tugas. Di sisi lain, jika seseorang berulang kali
melakukan kegagalan, maka Self-Efficacy mereka akan menurun.
Terakhir apabila ia sering gagal, tetapi ia memiliki Self-Efficacy
yang tinggi maka ia akan menanggapi kegagalan tersebut secara
positif, seperti “Saya kurang berusaha, di kesempatan selanjutnya
Saya harus lebih berusaha lagi”.
2. Vicarious Experiences
Sumber ini menjelaskan bahwa saat seseorang melihat
orang lain mampu meraih keberhasilan dalam mengerjakan
sesuatu, maka seseorang tersebut bisa saja menyimpulkan bahwa
dirinya pun mampu melakukannya.
3. Verbal Persuasion
Sumber yang berasal dari luar diri, yakni kata-kata
persuasif seperti “Kamu pasti bisa melakukannya dengan baik,
karena kamu memanglah pandai dalam fisika”. Hal ini dapat
mendorong diri sendiri dalam melancarkan upaya maksimal
sehingga memperbesar kemungkinan bahwa hasilnya adalah baik.
4. Physiological Cues
Sumber yang asalnya dari cara penafsiran isyarat fisiologis.
Sebagai contoh adanya ketegangan otot sebagian orang pasti
menganggap bahwa ia sedang gugup, sedangkan yang lainnya
menganggap bahwa ia sedang bergairah dan siap melakukan yang
terbaik.
BAB III
PAPARAN DAN ANALISIS PROJEK
3.1 Paparan Proyek
Proyek kami berupa video psikoedukasi yang berjudul "Penerapan Teori
Belajar Pavlov Classical Conditioning". Di dalam video tersebut, kami membuat
adegan-adegan yang menunjukkan proses dari Classical Conditioning. Dengan
mencontohkan secara visual, diharapkan penonton dapat dengan mudah untuk
memahami penerapan dari teori tersebut. Pada bagian akhir video (setelah contoh
penerapan), kami juga menjelaskan secara ringkas konsep dari teori belajar
tersebut.
Proyek ini kami susun dengan tahapan: pembuatan skrip yang didasarkan
kepada konsep Classical Conditioning Pavlov, penyusunan konsep video,
pengambilan video, dan penyuntingan video.

3.2 Analisis Proyek


Dari video yang sudah ditayangkan, Alfath menerapkan Classical
Conditioning agar Theda takut kepadanya. Pada awal proses pengkondisian,
Alfath meminta minum kepada Theda dan ketika tidak diberi maka ia
membunyikan jarinya dan segera memukul Theda. Pada saat pertama kali Alfath
memberikan Conditional Stimulus Theda masih belum memahami dan
beranggapan mungkin kebetulan saja.
Pada pemberian Conditional Stimulus kedua Alfath menunjukkan video ke
Theda dan tidak mendapatkan respon yang sesuai dengan ekspektasinya maka dia
kembali melakukan gerakan yang sama yaitu membunyikan jari tangan dan
kembali memukul Theda.
Pada suatu periode lain Alfath bertemu kembali dengan Theda. Kembali
lagi mereka berdua menghadapi sebuah konflik dan Alfath kembali melakukan
Conditional Stimulus yang sudah dia siapkan yaitu membunyikan jari lalu
memukul Theda. Karena Theda sudah dua kali mengalami pola yang sama maka
ketika Alfath membunyikan jarinya Theda berekspresi dengan berusaha
melindungi diri dari pukulan tersebut. Dan pada Pemberian Conditional Stimulus
terakhir terjadi saat Theda bertemu kembali dengan Alfath dan terjadi konflik
kembali. Ketika Alfath membunyikan jarinya dan Theda sudah bisa merespon
dengan berlari menghindar.
Pada adegan 1-3 merupakan proses belajar Theda dalam mengasosiasikan
bunyi jari (Conditional Stimulus) dengan pukulan Alfath. Pada adegan ke 4 Theda
sudah memahami bahwa stimulus bunyi jari merupakan tanda bahwa dia akan
dipukul sehingga melakukan refleks untuk berlari. Walaupun kenyataanya pada
adegan ke-4 Alfath tidak sedang marah dan memukul namun hanya ingin
membunyikan jarinya saja.
Classical Conditioning memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
dari teori ini adalah cocok diterapkan untuk pembelajaran yang menghendaki
penguasaan keterampilan dengan latihan atau pembelajaran membentuk perilaku
tertentu. Selain itu Classical Conditioning memudahkan pendidik mengontrol
pembelajaran karena Individu tidak menyadari bahwa dia dikendalikan oleh
stimulus yang dikondisikan. Namun kelemahan teori ini adalah bahwa
menganggap belajar hanya terjadi secara otomatis dan tidak menghiraukan
kehendak pribadi. Oleh karena itu teori ini hanya dapat diterima dalam kegiatan
belajar tertentu seperti mengenai keterampilan dan pembiasaan
BAB IV
PENUTUP
Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa
belajar merupakan suatu proses yang dilakukan oleh individu secara sadar untuk
mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang awalnya tidak tahu menjadi tahu,
dari yang tidak memiliki sikap menjadi bersikap sesuai dengan norma, maupun
dari yang tidak terampil menjadi terampil dalam melakukan sesuatu. Adapun
pengaplikasian dari belajar itu sendiri dijelaskan oleh teori pembelajaran yang
mencakup makna belajar dan bagaimana proses belajar tersebut dapat terjadi.
Berbagai contoh teori pembelajaran yang dikemukakan oleh beberapa tokoh
psikologi terkenal yaitu teori belajar Pavlov, Skinner, dan Bandura.
Teori Pavlov menekankan bahwa sebuah perilaku dapat ditimbulkan
secara sengaja dengan cara memberikan refleks baru (CS) dan refleks alami (US)
secara berurutan. Teori Operant Conditioning milik Skinner adalah sejumlah
perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam
operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek
yang ditimbulkan oleh reinforcer. Selain itu teori Bandura menghipotesiskan
bahwa tingkah laku lingkungan dan kejadian – kejadian internal pada
pembelajaran yang mempengaruhi persepsi dan aksi merupakan hubungan yang
saling berpengaruh. Inti dari teori ini adalah jika menginginkan proses meniru
dapat terjadi secara sempurna, individu perlu yakin untuk mampu melakukan hal
tersebut dan mengevaluasi secara mandiri.
Dalam tugas ini menghasilkan video proyek dengan menggambarkan
bahwa teori Classical Conditioning milik Pavlov membantu mengidentifikasi
perilaku Alfath kepada Theda.
DAFTAR PUSTAKA

Crain, W. (2014). Theories of Development Concepts and Applications


Sixth Edition. London: Pearson.
Hergenhahn, B. R., & Olson, M. H. (1997). An introduction to theories of
learning (ed.).
Nahar, N. I. (2016). Penerapan teori belajar behavioristik dalam proses
pembelajaran. NUSANTARA: jurnal ilmu pengetahuan sosial, 1(1).
Nurhidayati, T. (2012). Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich
(Classical Conditioning ) dalam Pendidikan. Jurnal Falasifa, 3(1), 23–44.
LAMPIRAN
1. Video Psikoedukasi
https://drive.google.com/file/d/1sY079ebHEcz0IU_VHJgTgLyd7ehBJoCf/
view?usp=sharing

2. Buku Crain, W. (2014). Theories of Development Concepts and


Applications Sixth Edition.
https://drive.google.com/file/d/1eFMwQ_-3HFvc6sFJ15sLDiKf0mLkuoPf
/view?usp=sharing

Anda mungkin juga menyukai