BJT - Umum - tmk3 - EKMA4158 - AGUS HARIYANTO
BJT - Umum - tmk3 - EKMA4158 - AGUS HARIYANTO
TUGAS 3
Sedangkan Kekuasaan yang dikemukakan Sosiolog Jerman Max Weber: power is the probability that
one actor within social relationship would be in the position to carry out his own will despite
resistance – kekuasaan adalah sebuah kemungkinan yang menjadikan seorang aktor, dalam hubungan
sosial kemasyarakatan, berada dalam posisi untuk melaksanakan keinginannya tanpa mempedulikan
resistensi dari pihak lain. Secara tidak langsung, definisi ini menegaskan bahwa setiap individu
sesungguhnya memiliki kekuasaan tidak peduli apakah dia seorang manajer atau bukan; tidak peduli
apakah dia seorang pemimpin atau bukan. Selama seseorang mampu mempengaruhi orang lain untuk
melakukan tindakan yang sesungguhnya tidak dikehendaki, selama itu pula dia memiliki kekuasaan.
Dalam konteks organisasi misalnya, bahkan seorang konsumen sekalipun bisa memiliki kekuasaan.
Konsumen bisa memaksa organisasi melakukan tindakan bagi kepentingan dirinya. Sederhananya,
kekuasaan adalah suatu kekuatan yang menghasilkan perubahan perilaku di mana perubahan tersebut
tidak akan terjadi jika tidak ada kekuatan yang memaksanya. Meskipun setiap orang sesungguhnya
memiliki kekuasaan, namun belum tentu dia menggunakan kekuasaan tersebut.
3. Menurut Andre Laurent – seorang professor dari INSEAD Prancis melakukan studi tentang filosofi
dan perilaku manajer di sembilan negara Eropa Barat, Amerika Serikat, dan tiga negara Asia
(Indonesia, Jepang, dan Cina). Laurent misalnya mengajukan pernyataan sebagai berikut: “Alasan
utama hierarki organisasi adalah agar setiap orang tahu siapa yang memiliki ototitas terhadap siapa”.
Pernyataan ini ternyata direspon secara beragam. 83% manajer Indonesia setuju dengan pernyataan
tersebut, sedangkan manajer Amerika yang setuju hanya 17%. Temuan ini menunjukkan bahwa
manajer Indonesia lebih berorientasi hubungan (relationship orientation), sedangkan para manajer
Amerika lebih berorientasi tugas (task orientation). Implikasi dari temuan ini adalah manajer
Amerika barangkali akan mengalami kesulitan ketika bekerja di Indonesia karena masyarakat
Indonesia lebih mengedepankan orang, sedangkan manajer Amerika lebih mengedepankan tugas.
Bagi masyarakat Indonesia yang penting siapa orangnya dulu bukan tugasnya, tetapi bagi masyarakat
Amerika yang penting tugasnya telah dinyatakan dengan jelas dan orangnya menyusul. Tentang
peran seorang manajer apakah dia sebagai seorang expert atau problem-solver, Laurent mengajukan
pernyataan: sangat penting bagi seorang manajer untuk memberi jawaban yang pasti ketika anak
buah mengajukan pertanyaan tentang pekerjaan mereka. 73 % manajer Indonesia setuju dengan
pernyataan tersebut yang artinya setiap manajer harus memberi jawaban pasti kepada anak buahnya
ketika ditanya sesuatu. Manajer tidak boleh mengatakan tidak tahu atau merujuk kepada orang lain
yang lebih tahu. Jika melakukan hal itu maka seorang manajer dianggap tidak kompeten. Dengan
kata lain, manajer Indonesia lebih menempatkan diri sebagai seorang expert. Sementara itu, manajer
Amerika hanya 18 % yang setuju yang menandakan bahwa mereka lebih sebagai problem solver.
Temuan-temuan di atas, tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Hofstede yang sangat fenomenal
tentang sikap kerja dalam lingkup perbedaaan budaya. Hasil temuan Hofstede belakang dikenal
dengan istilah budaya nasional. Hasil penelitian Hofstede dituangkan dalam sebuah buku berjudul
“Culture Consequences: International Differences in Work Related Values” yang diterbitkan pada
tahun 1980 dan buku dan/atau artikel lain sesudahnya. Hofstede boleh jadi bukan orang pertama yang
menggunakan istilah budaya nasional karena embrio konsep tersebut sudah diperkenalkan oleh
penulis sebelumnya, seperti Haire, Ghiselli and Porter. Namun dalam berbagai literatur, khususnya
yang mengkaji aspek kehidupan dan kegiatan manusia lintas budaya (nasional), tulisan-tulisan
Hofstede hampir selalu menjadi rujukan utama dibandingkan misalnya dengan karya-karya
Trompenaars meski keduanya sesungguhnya melakukan kajian yang sama, yakni budaya nasional.
Dalam melakukan kajian tersebut, keduanya juga menggunakan basis atau konsep dasar yang sama,
yakni konsep nilai yang dikemukakan Kluckhohn and Strodtbeck yang tertuang dalam buku
“Variation in Value Orientation”. Namun, sekali lagi konsep yang dikembangkan oleh Hofstede lebih
banyak digunakan termasuk uraian pada bab ini juga lebih banyak menggunakan konsepnya
Hofstede. Hofstede memberikan pengertian budaya nasional sebagai budaya yang tumbuh dan
berkembang didalam masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah (negara). Pengertian ini
menunjukkan bahwa sekelompok orang (masyarakat) yang tinggal di sebuah negara dianggap
memiliki kesamaan-kesamaan dan tujuan publik yang sama. Oleh karena itu, didalam masyarakat
tersebut tumbuh dan berkembang sebuah budaya yang disebut budaya nasional.
Sumber : BMP EKMA4158 Modul 9