Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : AGUS HARIYANTO

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 041788256

Kode/Nama Mata Kuliah : EKMA4316/Hukum Bisnis

Kode/Nama UPBJJ : 51/TARAKAN

Masa Ujian : 2020/21.2 (2021.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban :
1. A. Jika si Anak dilahirkan hidup dan kedudukannya dalam Hukum maka Pengertian tersebut akan
memberikan gambaran bahwa seorang anak dalam kandungan telah dapat menerima warisan
karena telah dianggap hidup. Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 836 yang menyebutkan : Dengan
mengingat akan ketentuan dalam pasal 2 kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai pewaris,
seorang harus telah ada pada saat jatuh meluang . Selain ketentuan mengenai hakekat kehidupan
anak dalam kandungan, dalam KUHPerdata juga diatur mengenai legalitas anak dalam kandungan
yang dapat menerima warisan pada dasarnya, kewarisan bagi anak didasarkan pada keabsahan
anak dalam suatu keluarga. Sebab KUHPerdata tidak memperbolehkan kewarisan bagi anak dalam
kandungan akibat dari perzinaan. Selain itu juga seorang anak yang masih berada dalam kandungan
ibunya tidak dapat dipastikan atau masih kabur apakah ia (anak yang dalam kandungan tersebut)
saat dilahirkan nantinya dalam keadaan hidup atau tidak, dan belum dapat ditentukan si bayi
yang dalam kandungan tersebut berjenis kelamin laki-laki atau berjenis kelamin perempuan, selain
itu juga apakah anak dalam kandungan itu kembar atau tidak, sedangkan ketiga hal tersebut
(keadaan hidup atau mati dan jenis kelamin laki-laki atau perempuan serta kembar atau tidaknya)
sangat penting artinya dalam mengadakan pembagian harta warisan si pewaris, termasuk dalam
penentuan porsinya/bagiannya.

B. Jika Anak telah berumur dewasa dan dipandang cakap bertindak dalam hukum Ahli waris yang
sudah dewasa wajib mengajukan permohonan perwalian untuk mendapatkan penetapan IZIN JUAL
terkait harta anak dibawah umur dari Pengadilan Negeri tempat ahli waris tersebut berdomisili. Pasal
359 KUHPerdata dengan jelas mengatur bahwa : “Bagi sekalian anak belum dewasa, yang tidak
bernaung di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang
sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali setelah mendengar atau memanggil dengan
sah para keluarga sedarah dan semenda.”
Setelah penetapan perwalian dikeluarkan, maka ahli waris yang sudah dewasa akan mengajukan
permohonan persetujuan untuk menjual harta/hak waris dari anak yang masih di bawah umur. Pasal
362 KUHPerdata mengatakan bahwa : “Wali berwajib segera setelah perwaliannya mulai berlaku,
dibawah tangan Balai Harta Peninggalan mengangkat sumpa, bahwa ia akan menunaikan perwalian
yang dipercayakan kepadanya dengan baik dan tulus hati. Jika di tempat tinggal si wali atau dalam
jarak lima belas pal dari itu tiada Balai Harta Peninggalan, pun tiada perwakilan dari itu kedudukan,
maka sumpah boleh diangkat di depan Pengadilan Negeri ataupun di muka Kepala Pemerintah Daerah
tempat tinggal si wali. Tentang pengangkatan sumpah itu, dibuat suatu surat pemberitahuan.”

2. A. Dalam hukum positif, asas konsensualisme mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
khususnya Pasal 1320 yang mengatur: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

KUH Perdata mengatur bahwa perjanjian dianggap sah dan mengikat jika telah dicapainya
kesepakatan antar para pihak. Meski demikian, terdapat pengecualian atas asas konsensualisme, yaitu
perjanjian dianggap sah dan mengikat jika dilakukan secara formil berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan menurut undang-undang sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Perjanjian yang dilakukan secara formal dinamakan dengan perjanjian formil, yang mana tentunya
kesepakatan para pihak harus berdasarkan persetujuan dan tanpa ada unsur paksaan atau penipuan.
Apabila terdapat unsur paksaann atau penipuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini
sejalan dengan Pasal 1321 KUH Perdata yang mengatur bahwa ‘tiada kata sepakat yang sah apabila
sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.’

Dalam kaitannya dengan hukum Islam, asas konsensualisme dalam hukum Islam dikenal dengan asas
al-ridhaiyyah (kerelaan/sukarela). Dasar asas ini terdapat dalam kalimat antaradhin minkum (saling
rela di antara kalian), yang mana hal ini jelaskan dalam Al-Quran ayat An-Nisa’ (4): 29 yang artinya
sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi perdagangan haruslah
dilakukan dengan sukarela antara kedua belah pihak tanpa harus melalui suatu formalitas tertentu.
Dalam hukum Islam. Secara umum, suatu perjanjian bersifat kerelaan/konsensual. Kerelaan antara
kedua belah pihak yang melakukan transaksi merupakan prasyarat yang harus dipenuhi. Jika tidak,
maka sama halnya dengan memakan sesuatu dengan cara yang batil (al-akl bil bathil) (Fathurahman
Jamil, 2013: 22).

Sukarela merupakan salah satu rukun yang mesti dipenuhi dalam setiap transaksi. Urusan kerelaan
terkait dengan hati, maka untuk mengetahui kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi,
harus ditunjukan dengan bentuk sigah (ungkapan) ijab dan kabul. Ijab adalah pernyataan (baik melalui
perkataan maupun perbuatan) untuk melaksanakan suatu transaksi/akad. Sedangkan kabul adalah
pernyataan menerima atau setuju (baik melalui perkataan maupun perbuatan) untuk melakukan suatu
transaksi/akad.

Suatu transaksi yang dilakukan oleh para pihak atas dasar sukarela dianggap sah dan mengikat. Dengan
demikian asas al-ridhoiyyah (konsensualisme) menjadi penting. Ulama fikih menyatakan bahwa “ridha
itu adalah tuannya akad”. Artinya, keabsahan akad bergantung pada ke-ridha-an para pihak yang
berakad. Oleh sebab itu, apabila suatu akad dilakukan dengan terpaksa (ikrah), atau di bawah tekanan
atau ancaman, maka akad tersebut dianggap tidak sah (Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam: 1502-3).

 Bahwa Penerapan Asas konsensualisme jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta jual beli PPAT
di Kota Gorontalo tetap adalah sah, karena jual beli tersebut terjadi karena adanya kesepakatan
antara kedua belah pihak, dan para pihak telah cakap menurut hukum, dan kesepakatan itu
untuk hal jual beli (hal tertentu) dan hak atas tanah dan bangunan tersebut adalah benar milik
pihak penjual, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.

 Faktor yang mempengaruhi penerapan asas konsensualisme jual beli tanah yang dilakukan
tanpa akta jual beli PPAT Kota Gorontalo disebabkan oleh kurangnya kesadaran hukum
masyarakat dan dimana masyarakat Kota Gorontalo masih sangat berpegang teguh dengan
hukumadat yang sudah berlaku secara turun temurun, serta anggapan bahwa untuk melakukan
pendaftaran tanah masih diperlukan biaya yang tinggi, tetapi dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24Tahun 1997 telah diatur tentang pembiayaan Pendaftaran
Tanah secara jelas.

Anda mungkin juga menyukai