Anda di halaman 1dari 3

Bahkan Tuhan pun Maha Cemburu

Maka sebelum cinta yang fana menusuk kalbu


Sembelihlah ia dengan takbir bertalu

Allahu Akbar!
Padang Arafah adalah saksi abadi segala rindu
Ketika mimpi Sang Nabi datang di malam kelabu
Suara itu nyata dari Sang Maha Puisi

Allahu Akbar!
Inikah Muzdalifah itu?
Hamparan batu-batu panas dibakar terik
Kerikil-kerikil cadas yang menjerit pilu

Allahu Akbar!
Sampai juga takbir ini di Mina
Perang abadi antara tentara iblis dan manusia

Di sini Ibrahim Alaihissalam mengasah pedangnya


Setajam sembilu dikalikan tujuh

Di sini Ismail Alaihissalam mengorbankan lehernya


Mewakafkan cintanya akan tetap suci dimata Sang Maha Cahaya

Lailaha illallahu Allahu Akbar


Tauhidku dan tauhidmu akan menghadap Allah tanpa perantara
Tanpa kilah dan dalih selain Cinta

Walillahilhamd!
Hanya pada Allah segala harap
Hanya pada Allah segala derap
Hanya pada Allah segala tatap
Kisah Ibrahim a.s. telah menjadi cermin, bagaimana proses pencarian tuhan yang sesungguhnya
berujung pada kesediaan untuk berkurban, mempersembahkan anak laki-laki yang sangat
dicintainya untuk menunjukkan cintanya kepada Allah, Tuhan Yang Sesungguhnya. Nabi
Ibrahim a.s. tak ingin menuhankan anaknya, karena cinta. Ia benar-benar hanya ingin mencintai
yang tercinta, meskipun harus mengurbankan sesuatu yang sangat dicintainya, demi (untuk)
menjadi ruh tauhidnya. Dia persembahkan Ismail – anak laki-laki tercintanya – untuk
mewujudkan cintanya kepada Tuhan yang harus dicintainya lebih daripada apa dan siapa pun,
termasuk anak lelakinya.

Secara literal, Kurban semakna dengan taqarrub (mendekatkan). Secara lebih khusus kurban
dilaksanakan dalam rangka taqarrub ilallah atau mendekatkan diri kepada Allah. Ketika posisi
kita sudah mulai renggang, atau bahkan mungkin perlahan mulai menjauh, kurban adalah upaya
jiwa dalam rangka memutar kendali agar jiwa kita kembali menuju kepada Allah.

Namun sayang, tak jarang kita menganggap ibadah kurban tak lebih hanya sebuah ritual yang tak
membekaskan pelajaran apapun di jiwa. Zulhijah demi Zulhijah terlewati tanpa mengukirkan
suatu makna luhur. Idul Adha, seolah hanya ritual tahunan yang berisi Shalat Id, menyembelih
hewan kurban, mengumandangkan takbir berulang-ulang, begitu selesai, tak sedikitpun
membekaskan makna dalam jiwa. Padahal semestinya, esensi qurban jauh penting jika kita
eksplor pada praktikal kehidupan sehari-hari kita.

Salah satu kisah paling dramatis yang dimainkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail seharusnya
membawa spirit kebaikan buat kita semua. Nabi Ibrahim memberi kita teladan untuk merelakan
segala yang kita punyai demi menuruti perintah Allah. Jangankan harta, jabatan, rumah, mobil,
bahkan anak kandung yang disayang saja, asalkan itu untuk memenuhi perintah Allah, tak segan-
segan dikorbankan.

Kisah Ibrahim-Ismail yang terjadi berabad-abad lalu ini masih sangat relevan dengan kehidupan
kita saat ini. Begitu banyak pengorbanan yang harus kita hadapi. Tentang kenyataan-kenyataan
pahit, atau tentang kesulitan-kesulitan hidup, tentang garis takdir Allah yang berjalan tak sesuai
dengan ingin kita, tentang beberapa kebijakan pemerintah yang mungkin kadang menggelitik
hati kita, atau apapun hal-hal yang membuat kita kecewa, momen Kurban ini adalah yang paling
tepat untuk merelakan semuanya, mengikhlaskan, lalu merancang strategi terbaik untuk hidup
kita selanjutnya.

Dengan demikian siapa pun dapat dan wajib untuk berkurban. Seorang tukang becak berkurban
dengan mengayuh becaknya, mencari receh demi recehan rupiah dalam rangka menghidupi anak
istrinya dirumah. Mungkin ia tak mampu membeli kambing atau sapi di hari Idul Adha, namun
pengurbanan tenaganya yang memeras peluh itu tak kalah mulia di hadapan Allah. Sang tukang
becak telah berkurban dengan tenaganya.

Di akhir kisah Nabi Ibrahim, ada pesan langit yang hebat untuk kita semua. Ketika pisau yang
digunakan Nabi Ibrahim tak mampu menyembelih Ismail. Lalu Allah mengirimkan binatang
untuk disembelih. Ada pelajaran berharga dibalik itu. Mengapa harus binatang? Ada yang
berpendapat, binatang yang disembelih itu merupakan simbolisme. Ada unsur-unsur
kebinatangan dalam diri tiap manusia. Keangkuhan, kesombongan, kerakusan, rasa ingin
memiliki yang berlebihan, mau menang sendiri. Itu yang harusnya di korbankan, itu yang
harusnya disembelih.

Dan semoga kita semua bisa meneladani kisah hebat ini. Menjadi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar
versi terkini. Yang hatinya begitu lapang, begitu tenang, begitu kuat ketaatannya pada Allah.

Anda mungkin juga menyukai