Anda di halaman 1dari 173

AHMAD AL QASHASH

DASAR-DASAR

KEBANGKITAN HAKIKI

1
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Judul Asli : Usus al-Nahdhah al-Rasyidah
Penulis : Ahmad Al Qashash
Penerbit : Dar al-Ummah, Beirut, Lebanon, Cetakan Pertama, 1995 / 1416
Penerjemah : Al Fakhr Ar Razi
Subhan Ahmadi
Penyunting : Muhammad Shiddiq Al Jawi

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

2
AYAT IFTITAH

Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu


berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang mendustakan (rasul-rasul). (Al Qur`an) ini adalah penjelasan bagi seluruh
manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Jika kamu mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun mendapat luka
serupa. Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia
(agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang
beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur
sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah
membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan
orang-orang yang kafir.” (QS Ali Imran [3] : 137-141)

3
DAFTAR ISI

Ayat Iftitah, 3
Daftar Isi, 4
Mukadimah, 5
Bab I : Falsafah Kebangkitan, 12
1. Sejarawan dan Falsafah Kebangkitan, 12
2. Falsafah Kebangkitan dalam Pemikiran Barat Moderen, 16
3. Rahasia Kebangkitan, 24
4. Kebangkitan Sahih dan Kebangkitan Keliru, 29
5. Peradaban Islam dan Peradaban Barat, 32

Bab II : Peradaban Islam, 46


1.Peradaban, 47
2. Islam : Sebuah Ideologi, 53
3. Laa ilaaha illallah : Landasan Pemikiran Umat, 58
4. Islam : Sistem Bagi Kehidupan, Masyarakat, dan Negara, 66
5. Kebahagiaan : Meraih Keridhaan Allah SWT, 75
6. Ruh dan Aspek Ruhiyah, 82
7. Kebangkitan Umat Islam dengan Wahyu, 94
8. Bersihnya Peradaban Islam dari Segala Peradaban Lain, 104

Bab III : Masyarakat Islam, 109


1. Masyarakat dan Kebangkitannya, 110
2. Metode Rasulullah SAW dalam Mengubah Masyarakat, 116
3. Masyarakat Islam dalam Benturan Peradaban dan Pemikiran, 122
4. Penyeru Kebangkitan : Antara Sikap Ideologis dan Pragmatis, 148

Daftar Pustaka, 168

4
MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga
tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang menerima hidayah dan mengikuti jejaknya hingga
Hari Kiamat.
Sejak lahirnya umat Islam yang ditandai dengan terbentuknya masyarakat dan
negara Islam pada masa Rasulullah SAW, umat Islam telah hidup dalam kurun waktu
yang panjang. Belum pernah ada bangsa dan negara yang setara dengan negara
bentukan Rasulullah itu pada aspek peradaban, kebangkitan, kekuatan, dan
ketinggiannya.
Pada masa Rasulullah, Daulah Islam berdiri di Jazirah Arab yang diapit dua
imperium besar pada masa itu; imperium Persia dan imperium Romawi Bizantium dan
telah bergesekan dengan kedua imperium tersebut sejak masa berdirinya.
Dalam kurun pemerintahan al Khulafa’ al Rasyidun, pasukan besar mujahid
dikirim ke luar jazirah Arab untuk menyebarkan risalah Islam guna mengubah suatu
negara dari negara bersistem kufur menjadi negara bersistem Islam.
Di bawah terjangan legiun Islam tersebut, imperium Persia tunduk pada masa
Umar RAdan bertahan hingga berabad-abad. Imperium Romawi juga bertekuk lutut
dengan jatuhnya negeri Syam dan Afrika Utara di hadapan keperkasaan peradaban
Islam guna mengangkat kondisi bangsa-bangsa tertindas yang telah memendam rindu
ratusan tahun akan sentuhan rahmat Islam.
Kemudian pada masa al Khulafa’ al Umawiyyin, Daulah Islam terus berekspansi
menembus dataran tinggi Asia, padang-padang rumput, juga sungai-sungai pada bagian
timur hingga sampai tempat-tempat yang tinggi seperti tembok Cina dan pegunungan
India. Para mujahid itu terus melanjutkan ke arah barat hingga sampai samudera
Atlantik menyeberangi selat Gibraltar dan jauh masuk ke Spanyol yang berbatasan
dengan Perancis di bagian selatan.
Penaklukan-penaklukan tersebut tetap berlanjut pada masa Abbasiyyah
walaupun persentasenya agak berkurang. Kurun tersebut dikenang sejarah sebagai masa

5
keemasan peradaban Islam, mazhab-mazhab fiqh, dan madrasah intelektual serta
eksisnya sebuah peradaban yang agung, bangunan fisik yang fantastis, disiplin ilmu dan
penemuan yang menakjubkan. Peradaban Islam masa itu menjadi idam-idaman
penduduk dunia, laksana surga dunia yang menghipnotis bangsa-bangsa lain.
Pada abad V Hijriyah, Allah memberi kemenangan atas kaum muslimin dengan
takluknya negeri-negeri baru. Salah satunya yang terpenting adalah kota Anatolia
(Asia Kecil). Di kota tersebut para mujahid Saljuk membersihkan negeri itu dari sisa-
sisa kekuatan Bizantium dan menundukkan Romawi hingga mengepung ibukotanya;
Konstantinopel.
Tragisnya, pada akhir abad V Hijriyah itu kejayaan yang begitu gemilang ini
mulai luntur. Umat Islam terkoyak moyak dan institusi Khilafah terkerat-kerat menjadi
banyak imarah dan kesultanan yang lemah. Merupakan suratan kehendak Allah,
pasukan Salibis yang berangkat dari Eropa Barat- yang tenggelam dalam kubangan
abad kegelapan yang biadab- berupaya menyerang umat Islam. Pasukan ini melewati
Asia Kecil untuk menduduki pantai Syiria dengan tujuan al Masjid al Aqsha. Di masjid
itulah puluhan ribu umat Islam dibantai. Genocide ini menyulut kemarahan umat Islam
yang segera memobilisir pasukan-pasukan untuk membebaskan wilayah-wilayah Islam
yang dicaplok terutama Bait al Maqdis dan menuntut balas atas darah dan kemuliaan
umat Islam yang telah dinodai.
Hampir saja umat Islam di bawah panglima yang gagah berani seperti
Shalahuddin dan Al Dzahir Beybres tidak sanggup membebaskan wilayah Syam hingga
kemudian di sektor timur wilayah ini, muncul serangan yang lebih dahsyat dan lebih
sadis. Seangan ini telah memusnahkan lahan pertanian, hewan ternak dan membantai
jutaan wanita, anak kecil apalagi kaum prianya. Aksi militer itu dilancarkan bangsa
Tartar dan Mongol yang terkenal sadis dan biadab, merusak apa saja yang ada di
permukaan bumi sehingga mereka mendobrak ibu kota kekhilafahan; Baghdad tahun
656 H, menyembelih semua penduduknya serta membunuh khalifah terakhir dan
mencungkil kedua matanya. Tidak cukup dengan itu, mereka memusnahkan
perpustakaan terbesar sepanjang sejarah. Koleksi buku-bukunya yang berharga dibuang
ke sungai Dajlah hingga air sungainya berubah menjadi hitam. Terkuburlah goresan
pena para penulis jenius, khazanah ijtihad para ulama’, untaian kata-kata penyair,
karangan sastrawan, berganti lembaran kegelapan sejarah umat Islam. Persia (Iran),

6
Syam (Syiria), Irak yang dahulu merupakan basis intelektual dan peradaban yang tinggi
kini menjadi sarang bermalas-malasan kaum kafir barbar yang haus darah dan kanibal.
Benar-benar lembaran gelap, fase kemunduran yang mengerikan dan degradasi yang
mengejutkan dari suatu umat yang disegani semua bangsa di penjuru barat dan timur
selama lima abad.
Seorang pengamat sejarah yang jeli dan cermat ketika melihat kemerosotan yang
dialami umat Islam saat itu, niscaya ia tidak akan menilai dan mengkomparasikannya
dengan masyarakat dan negara lain. Sebaliknya dengan bijak, ia akan
membandingkannya dengan masa-masa umat Islam sebelumnya dan menganalisisnya.
Hal itu disebabkan, terlepas dari keruntuhan dan kekalahan umat Islam, saat itu tidak
ada satu bangsa pun yang sepadan dengan umat Islam baik dalam segi peradaban,
ketinggian dan kemajuannya. Bangsa Tartar yang menyerang umat Islam tidaklah lebih
unggul peradabannya. Kemenangan mereka hanyalah faktor keberuntungan yang
diwarnai kesadisan yang kerap dicatat sejarah. Serangan itu terjadi begitu cepat,
berkobar, dan bergolak, menindas bangsa-bangsa yang alpa, terlena, melupakan
kelemahan yang sedang menggerogoti negaranya seperti perilaku Ya’juj dan Ma’juj
pada masa Dzulkarnain. Sesuai dengan karakter bangsa penyerang itu, tidak lama
kemudian bara api mereka padam dan kekuatan mereka yang dahsyat terpecah.
Sementara itu, pasukan Salibis kembali ke negerinya masing-masing membawa
kegagalan setelah berusaha bertahan di sebagian negeri-negeri Islam selama hampir dua
abad, malahan mereka terpengaruh dengan peradaban dan tradisi Islam yang agung
setelah merasakan sendiri keindahan madaniyah (sarana dan bangunan fisik) Islam.
Sebaliknya pasukan Mongol di bawah kendali dinasti Mamalik yang berpusat di Mesir
memukul mundur dan mengusir pasukan Salibis. Pasukan Mongol yang dahulu musyrik
dan paganis berubah 180 derajat menjadi muslim, menganut aqidah orang-orang yang
dahulu mereka bantai.
Begitulah, umat Islam mulai mengorganisir kembali kekuatan dan keluhuran
peradaban pendahulu mereka di bawah naungan Dinasti Mamalik. Segenap pasukan
dikerahkan untuk menjaga dan mempertahankan kemuliaan kota-kota penting seperti
Syam, Irak, Jazirah Arab dan Afrika Utara. Di kota Anatolia, kabilah Bani Utsman
memegang panji Islam meneruskan estafet nenek moyang mereka, Bani Saljuk. Para
mujahid Bani Utsman membersihkan kota tersebut dari sisa-sisa pengaruh Bizantium,

7
bahkan mereka berhasil menyerang wilayah Bizantium di daratan Eropa hingga pada
1453 M imperium Bizantium menuai kehancurannya. Lewat tangan mujahid Saljuk-lah
janji Rasulullah SAW akan takluknya ibukota Heraklius, Konstantinopel, dibuktikan
kebenarannya setelah berlalu ratusan tahun. Jantung imperium yang angkuh dan tiran itu
hancur dan berganti menjadi kota yang Islami “Istambul” yang di kemudian hari
(923H), kota tersebut menjadi ibukota kekhilafahan bani Utsman.
Dalam kurun waktu yang panjang, umat di bawah naungan kekhilafahan
Utsmani dengan keperkasaan militernya yang tangguh sanggup menggentarkan raja-raja
Eropa. Pasukan Khilafah Utsmani telah menginjakkan kaki di negara-negara Eropa
Timur sampai Wina, ibukota imperium Roma. Sepak terjang pasukan Utsmani
menggentarkan Eropa Latin dan Jerman seluruhnya. Muncullah kala itu di kalangan
bangsa Barat “Problematika Timur” , yakni bagaimana caranya agar terbebas dari
terjangan umat Islam? Saat itu tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali mengambil
hati para khalifah Utsmani dan menjalin ikatan diplomasi dan berbaik-baik dengan umat
Islam.
Masa-masa damai ini dimanfaatkan oleh bangsa Barat umtuk mengkaji dan
menganalisis lebih lanjut situasi dan kondisi masyarakat dan bangsanya, terutama asas
peradaban yang mereka pegang dalam kehidupannya. Barat menemukan ada perbedaan
esensial antara masyarakatnya dengan masyarakat Islam yang tersirat dalam kedua
peradaban ini yang memformat masyarakat, serta pertarungan hakiki adalah pertarungan
peradaban bukan lewat aksi militer. Barat pun menyadari bahwa peradaban yang
mereka jalani selama abad pertengahan adalah fase kemunduran yang tidak sebanding
sama sekali dengan peradaban Islam yang begitu gemilang.
Abad kejatuhan imperium Bizantium itulah yang disebut sejarawan Barat
sebagai masa modern ditandai dengan maraknya pemikiran yang berkembang,
kebudayaan yang menampakkan gairahnya dan friksi-friksi peradaban yang keras.
Buahnya baru terpetik pada akhir abad XVIII dengan lahirnya peradaban modern di atas
landasan sekularisme dan liberalisme-kapitalisme.
Ironisnya, interval sejarah yang memberikan kesempatan bagi bangsa Barat
untuk memikirkan identitas dan landasan peradabannya dibarengi dengan stagnasi
berpikir yang menghinggapi umat Islam. Umat kehilangan vitalitas berpikir, hanya
mengandalkan warisan (turats) para fuqaha dan cendekiawan muslim. Umat bangga

8
dengan agama, sistem, pola hidup, keperkasaan negara dan angkatan militernya yang
tangguh. Umat Islam memicingkan mata terhadap perkembangan bangsa dan negara
disekitarnya yang sedang menyusun kekuatan dan peradaban yang tangguh. Umat
mengabaikan faktor-faktor kemerosotan dan kemunduran yang sedang menggerogoti
institusi yang menaungi mereka. Mulai abad XX muncul suatu kekuatan yang patut
diperhitungkan, yaitu kekuatan militer.
Pada abad itu pula negara-negara Eropa yang berbasis kebangsaan memperkuat
kekuatan militernya seiring dengan keberhasilan industri yang memproduksi beragam
senjata baru dan sarana transportasi darat dan lautan yang sangat membantu perluasan
daerah jajahan di segenap penjuru dunia, termasuk negeri-negeri umat Islam. Sedangkan
apa yang terjadi dalam Daulah Islam sebaliknya. Kekuatannya mulai merosot dan jatuh
dengan cepat. Begitu pula adanya kerancuan pola wewenang dan hantaman krisis
ekonomi.
Invasi militer (al ghazwus siyasi) yang dilancarkan Barat juga diiringi perang
pemikiran untuk mengaburkan ajaran Islam (al ghazwul fikri). Serangan bentuk pertama
mengkerat antar satu wilayah Islam dengan wilayah lainnya. Serangan bentuk kedua
mengacaukan paham dan metode berpikir kalangan terpelajar dan intelektual muslim
yang ujung-ujungnya melahirkan kebingungan umat. Belum pernah ada satu musibah
terbesar yang pernah terjadi sepanjang sejarah umat Islam selain runtuhnya
kekhilafahan pada awal abad XIX pada saat meletusnya Perang Dunia I. Musibah ini
bukan semata invasi militer yang keji atau tercaploknya wilayah Islam, bukan pula
terenggutnya nyawa ribuan umat Islam, namun musibah ini lebih berat dan tragis
daripada sekedar itu. Musibah sebenarnya adalah kehilangan identitas, runtuhnya
institusi Khilafah baik formalitas maupun substansinya, terkuburnya peradaban Islam
yang begitu gemilang, dan porak porandanya masyarakat Islam yang khas.
Dalam sejarah umat sebelumnya pun sudah pernah mengalami fase kemunduran
dan kemerosotan, namun tidak seburuk yang terjadi pada abad ini. Umat belum pernah
merasakan satu hari pun pahitnya kehinaan yang ditanggung abad ini. Isyarat
kemunduran ini bisa ditangkap dalam hadits Rasulullah SAW :

Hampir saja segenap bangsa akan saling memperebutkan kamu sekalian (umat Islam)
bagaikan sesuap makanan di atas piring. Sahabat bertanya: “Wahai Rasul, Apakah

9
karena umat Islam saat itu sedikit”. Rasul menjawab: ”Jumlah kalian saat itu banyak
namun keberadan kalian bagaikan buih banjir (yang mudah hilang). Rasa takut tidak
lagi menghinggapi musuh-musuh kalian sebaliknya mereka menjadikan bersarang di
hati kamu sekalian al wahan”.Kami bertanya kembali: “Apa itu al wahan?”. Rasul
menjawab: “Senang dunia dan benci maut”.1
Tidak diperdebatkan lagi oleh seorang pun bahwa umat Islam kini hidup dalam
kemerosotan walaupun Islam itu sendiri mempunyai berbagai dimensi yang
komprehensif. Selanjutnya banyak diskusi, kajian yang bergulir seputar kebangkitan,
kemajuan, perubahan, perbaikan, rekonstruksi dan dekonstruksi yang menyibukkan
kalangan terpelajar, cendekiawan dan para pemikir kontemporer. Berbagai upaya telah
mereka lakukan baik dalam bentuk seminar, simposium dan karya tulis entah apakah
mereka benar-benar ikhlas atau tidak, atau melakukannya dengan sadar atau sebaliknya.
Amat gamblang bahwa lewat pengaruh budaya, pemikiran dan peradaban lah
strategi politik perang Barat dilancarkan terus menerus. Pengaruhnya masuk meresap
dalam berbagai lembaga pendidikan, pengajaran, penerangan, kebudayaaan dan
bimbingan baik yang formal maupun non formal. Definisi, asas filosofis, metode
kebangkitan kerap diekspor Barat ke negeri-negeri Islam dengan label “Peradaban
manusia modern”. Isu yang mereka usung demi kemanusiaan yang menghasilkan
kemajuan. Puncaknya kampanye ini menarik umat Islam untuk mengambil segi-segi
positif peradaban Barat demi mewujudkan suatu peradaban unik yang selaras dengan
identitas umat Islam.
Isu-isu seputar peradaban anehnya kerap sejalan dengan pemahaman peradaban
Barat atau bersifat komplemen atau paling tidak, sejauh tidak bertentangan peradaban
Barat. Bahaya terbesar adalah ketika Islam dikenang hanya sebagai warisan peradaban
yang telah lewat. Islam dianggap hanya sebagai agama spiritual yang berjalan timpang
di kancah dunia internasional. Islam dianggap sah-sah saja walau hidup berdampingan
dengan peradaban sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan, masyarakat dan
negara).
Maka mau tidak mau kita (umat Islam) harus mengkaji lebih lanjut isu
kebangkitan, asas dan filsafat yang mendasarinya, relasi Islam dengan asas tersebut,

1
HR. Imam Ahmad &Abu Dawud, sedang redaksi hadits ini menurut versi Imam Ahmad, lihat
Musnad Imam Ahmad, no. hadits 2246.

10
format peradaban yang diajukan, dimana posisi umat dengan semua hal di atas. Sebuah
peradaban yang unik dan tidak sekadar mengadopsi peradaban Barat, tidak terkecoh
melihat fakta-fakta yang terpampang, mengikuti nafsu para pengemban da’wah yang
melenceng, propagandis pemikiran dan produk kebudayaaan yang membinasakan yang
menyergap dari mana-mana. Tujuan tersebut harus didukung suatu gerakan positif yang
senantiasa aktif untuk melakukan perubahan dan mendorong umat untuk bangkit dan
meraih kemajuan. Proses dan metodenya tentu selaras dengan rambu-rambu yang telah
digariskan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Maha benar Allah yang telah
berfirman:

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan(15). Dengan kitab itulah Allah memberi hidayah kepada orang-orang
yang mengikuti keridhaaan-Nya ke jalan keselamatan dan mengeluarkan mereka dari
kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya dan memberi petunjuk ke jalan yang
lurus(16).2

Tharablus, Syam, 3 Rabi’ul Awwal 1416 H


31 Juli 1995 M
Ahmad al Qashash

2
S. Al Maidah [5]:15-16.

11
BAGIAN PERTAMA : FALSAFAH KEBANGKITAN

SEJARAWAN DAN FALSAFAH KEBANGKITAN

Isu Kebangkitan senantiasa menjadi bahasan pokok yang menggelitik mayoritas


sejarawan dan kalangan terpelajar. Apa sebenarnya kebangkitan itu? Bilakah terwujud?
Kenapa suatu bangsa bisa bangkit, sedang bangsa yang lain malah menuai kemunduran?
Apakah kunci jawaban itu semua ada dalam agama? Ataukah kuncinya ada pada
perkembangan teknologi dan infrastruktur? Ataukah kuncinya terletak pada proses
berpikir dan budaya?.
Sejarawan telah banyak melakukan kajian dalam menafsirkan gerakan
kebangkitan dan kemunduran sejak zaman dahulu sampai saat ini. Hasil kajian mereka
diantaranya sebagai berikut:
❖ Sejarah dunia telah mencatat bangkitnya beberapa peradaban, kemunduran dan
kehancurannya, seperti peradaban Mesir, Sumeria, Syiria, Babilonia, Persia,
Yunani dll dan diakhiri dengan kebangkitan yang unik yaitu peradaban Roma
yang muncul di kota Roma, Italia. Peradaban terakhir ini menyerbu Eropa
menguasai seluruh Laut Tengah dan menjadikannya termasuk wilayah Roma.
❖ Pada awal abad pertengahan sekitar abad V M, imperium Roma runtuh. Di
bawah reruntuhannya muncul peradaban abad pertengahan di Eropa yang
diwarnai kemunduran dan keterbelakangan. Kurun tersebut dinamakan “zaman
kegelapan” yang menyelimuti Eropa selama berabad-abad hingga datangnya
masa modern. Sebaliknya di bagian Timur muncul suatu peradaban khas yang
bersinar. Peradaban tersebut diinspirasikan oleh “mentari Islam” pada awal
abad VII M. Wilayah peradaban tadi sangat luas dari China di bagian Timur
hingga Samudera Atlantik di Barat sampai menembus Eropa berbatasan dengan
Perancis setelah Islam menduduki Spanyol. Peradaban itu terus eksis dalam
masa yang panjang membentang luas menaungi berbagai bangsa. Kala itu, dunia
Islam menjadi perhatian dunia, impian setiap orang dan surga dunia dalam
pandangan semua bangsa.
❖ Di abad modern tepatnya pada abad XV M di Eropa, tumbuh benih-benih
peradaban baru yang memperlihatkan hasilnya pada permulaaan sejarah Barat

12
modern atau akhir abad XVII M. Peradaban Barat yang dikenal kini adalah hasil
evolusi yang panjang benih-benih tadi. Sebaliknya dunia menyaksikan
kemunduran peradaban Islam ke titik terendah pada akhir abad XIX M dan
selama abad XX M.
❖ Kemudian pada abad XX M, dunia mencatat adanya kebangkitan dengan pola
baru yang mampu bertengger tidak lebih dari 7 dasawarsa yaitu kebangkitan
komunisme yang mulai eksis 1917 M dan tenggelam di tanah yang
melahirkannya sebelum abad XX M. Meskipun peradaban ini berumur pendek,
namun peranannya yang besar dalam percaturan politik dunia selama abad XX
telah mencatat rekor tersendiri.
Para sejarawan dan kalangan intelektual mengemukakan tafsiran yang berbeda-
beda melihat kebangkitan dan kemunduran peradaban-peradaban di atas. Ada yang
berpendapat bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang alami, yang lazim terjadi sehingga
tidak perlu dikaji ulang, perihalnya seperti potensi kreativitas yang terdapat dalam suatu
bangsa hingga mencapai puncaknya. Setelah itu kreativitas itu mengendur hingga tak
berbekas sama sekali yang berarti kemusnahan peradaban bangsa sama layaknya
seorang manusia. Manusia hadir ke dunia pertama menjadi bayi, merangkak menjadi
balita terus berkembang menjadi remaja sampai ke puncak penciptaan; dewasa
kemudian secara berangsur-angsur kesehatannya memburuk pada umur pertengahan
lalu menjadi semakin tua dan lemah sampai maut menjemput. Diantara kalangan
intelektual yang berpendapat seperti ini adalah Splenger, filosof Jerman yang meninggal
1936 M. Ia berpendapat:
Sejarah adalah peradaban yang berdiri sendiri-sendiri, Ia secara struktural
bagaikan individu yang unggul dalam kerangkanya sendiri. Maksudnya tiap
masyarakat melintasi suatu siklus yang ditandai kelahiran, pertumbuhan, usia
lanjut dan kematian. Menurutnya peradaban Barat yang muncul abad XIX M yang
berasaskan kapitalisme telah memasuki fase kemunduran sedang fase
pertumbuhannya adalah pada masa feodalisme. 1
Sebagian pemikir lain berpendapat bahwa kemajuan suatu peradaban adalah
hasil pertentangan dan pergulatan yang dihadapi suatu bangsa, baik tantangan itu
bersifat internal antara kelompok-kelompok bangsa itu sendiri atau bersifat eksternal

1
Al Mawsu’ah al Falsafiyah, Entry Splenger.

13
melawan bangsa lain. Pergulatan tersebut menimbulkan kreativitas masyarakat yang
melahirkan tokoh yang sadar untuk memimpin masyarakat tersebut menghadapi
tantangan tadi. Dari sinilah awal munculnya kebangkitan. Analisis semacam ini
dikemukakan Toynbee, sejarawan Inggris yang meninggal 1975 M. Ia sependapat
dengan Splenger dalam ide “ Sejarah dunia berputar mengikuti siklus besar berupa
kemajuan dan kemunduran, keduanya merupakan hasil universal yang dicapai setiap
peradaban yang berbeda dan berjalan dalam fasenya sendiri-sendiri; kelahiran,
pertumbuhan, kejatuhan, kehancuran dan kemusnahan.2 Toynbee menambahkan
analisis tentang fenomena kebangkitan.3 Menurutnya kejatuhan suatu peradaban
disebabkan kelemahan figur tokoh yang kurang cakap dalam memimpin dan
menghadapi hambatan-hambatan yang menghadang. Toynbee berkata:
“Dalam sejarah setiap masyarakat, ketika minoritas kreatif merosot menjadi
minoritas yang didominasi. Minoritas tadi akan berusaha menggalang kekuatan di
daerah yang keadaannya belum kondusif. Perubahan yang berat ini dalam
karakteristik elemen penentu mendorong kaum proletar (mayoritas) berpisah dari
kalangan minoritas, melepaskan ketergantungan dan memerdekakan diri dari
pengaruh mereka. Begitulah, kejatuhan suatu peradaban mengambil bentuk
dengan adanya pertentangan internal yang meruncing dalam masyarakat itu sendiri
yang eksistensinya termarjinalkan dan tidak terakomodir dalam siklus
perkembangan peradaban tersebut.4
Ada pula yang berpendapat bahwa kemajuan merupakan kodrat manusia yang
akan terus berjalan menuju kebangkitan. Perbedaan yang kita lihat antar satu bangsa
dengan bangsa lain dalam tingkat kemajuan dan kemunduran jawabannya adalah
sebagian bangsa mendahului bangsa lain, dimana bangsa yang belum maju tersebut
akan menyusul bangsa yang telah maju tadi. Adapun kemunduran yang terjadi setelah
bangkit disebabkan kejatuhan temporal hasil dari perpindahan suatu bangsa dari satu
fase ke fase lainnya dan bangsa tersebut akan keluar kembali dari keterpurukannya dan
memulai babak baru kebangkitan menuju puncak kemajuan yang pernah diraih
sebelumnya.

2
Ibid., Entry Toynbee.
3
Dikutip dari Imad al Din Khalil, al Tafsir al Islami Li al Tarikh, hlm. 74.
4
Ibid., hlm. 84.

14
Analisis ini diketengahkan dua filosof besar; Hegel dan Marx. Namun ada
perbedaan besar antara keduanya, Hegel berpendapat bahwa bentuk ideal masyarakat
yang lebih maju adalah liberalis kapitalis yang dicapai negara-negara Barat termasuk
Rusia.5 Sedangkan menurut Marx bentuk ideal yang paling maju adalah masyarakat
komunis utuh, puncak negara sosialis.
Salah satu tokoh yang berusaha menghidupkan teori Hegel saat ini, walaupun
setelah runtuhnya model ilmiah teori Marx, seorang penulis Amerika keturunan Jepang
Francis Fukuyama yang masyhur belakangan ini setelah menerbitkan bukunya “The End
of History and The Last man Akhir Sejarah Kemanusiaan”. Dalam buku tersebut, ia
menegaskan bahwa sejarah akan berakhir dalam fase ideal dengan adanya kemenangan
liberalisme seperti model Amerika yang mengalahkan semua bentuk kehidupan
selainnya.
Semua analisis di atas adalah lontaran pemikiran para sejarawan dan intelektual
dalam memahami gerakan kebangkitan dan kemunduran. Penulis kemukakan untuk
menggambarkan kepada para pembaca filsafat kebangkitan atau untuk memahami aksi
peradaban sepanjang sejarah. Maka dari itu, belum dikemukakan kritik terhadap
pendapat-pendapat di atas karena tidak mendominasi pemikiran kalangan terpelajar saat
ini. Teori yang mendominasi saat ini adalah konsep liberalisme Barat yang
mempengaruhi mayoritas kalangan terpelajar, apalagi setelah runtuhnya komunisme dan
konsep-konsep lain. Insya Allah, penulis akan membuat bab khusus dalam pasal
berikutnya.
Nanti, konsep yang penulis ajukan untuk menganalisis isu kebangkitan dan
kemunduran akan mengkounter teori-teori di atas. Hanya Allah yang memberi hidayah
dan Kepada-Nyalah tempat bergantung.

5
Op. Cit., Entry Hegel.

15
FALSAFAH KEBANGKITAN DALAM PEMIKIRAN BARAT MODEREN

Mayoritas kalangan terpelajar dan cendekiawan Barat pada masa kini, yang buah
pikirnya dianggap melestarikan buah pikir masa kebangkitan Eropa, berpendapat bahwa
kunci kebangkitan terpendam dalam jargon kebebasan yang dikecap umat manusia.
Mereka melihat sejauh kebebasan yang dinikmati manusia akan memunculkan
kreativitas untuk mencipta dan berbuat lebbih baik. Dari sinilah awal munculnya
kemajuan dan kebangkitan. Berbeda bila manusia tunduk kepada penghambaan, tirani
dan berbagai ikatan lainnya, manusia akan merasa lemah mencipta, melakukan sesuatu
yang lebih baik yang berujung pada kemunduran dan keterbelakangan.
Mereka pun berpendapat hambatan terbesar yang merintangi manusia dengan
kebebasannya untuk bergerak dan beraktivitas adalah ketergantungan manusia terhadap
hal-hal gaib, khayali dan apa yang dinamakan aspek rohani yang tidak terindera.
Mereka menegaskan bila pikiran suatu bangsa telah didominasi pola pikir agamanya
dan dorongan rohani dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, niscaya bangsa
tersebut akan menjauhi kenyataan empiris. Bangsa tersebut terbelenggu dan
menggantungkan diri dengan sesuatu dibalik materi; kehidupan yang riel dan alam
semesta. Bangsa tersebut tertawan pemahaman agama dan khayali yang menghalangi
bangsa tadi dari kemerdekaan bertindak, berproduksi dan mencipta. Keadaan seperti
inilah yang akan mengantarkan pengabaian kenyataan hidup yang mengarah menuju
kemunduran.
Sebagai bukti teorinya, mereka mengajukan sejarah Eropa. Abad pertengahan
adalah masa-masa beragama dan rohani. Orang yang memeluk agama kristen saat itu
bila menghadapi pertentangan antara agama dan kebangkitan atau dengan kata lain
antara ruh dan materi, ia akan mendahulukan agamanya yang berarti kemunduran
daripada kebangkitan yang identik atheis dan kekufuran.
Teori diatas dibangun atas dasar filosofis bahwa manusia terdiri dari ruh dan jasad
artinya manusia mempunyai aspek rohani dan materi. Kedua aspek ini selalu
bertentangan, tidak mungkin memenuhi salah satu aspek kecuali dengan mengorbankan

16
aspek yang lain. Bila seorang manusia ingin mensucikan dirinya dan mencapai tingkat
malaikat, ia harus mendahulukan aspek ruh daripada tubuhnya; ia harus menjauhi dunia,
benda-benda dan aktivitas keduniawiaan menuju urusan ibadah semata, hidup serba
kurang, berhubungan dengan hal-hal gaib dan selalu cenderuang ke aspek rohani.
Adapun jika ia ingin meraih kenikmatan dunia, hidup makmur penuh dengan
kesenangan maka ia harus mendahulukan kepentingan jasad daripada ruh selanjutnya ia
mengelakkan kesucian hati, enggan sejajar dengan malaikat, lepas dari hal-hal gaib dan
kelak di akhirat ia akan rugi.
Wall Durrant menggambarkan kecenderungan kaum agamawan pada abad
pertengahan sebagai berikut:
“Banyak pemeluk kristen memfokuskan cita-cita mereka hanya beraktivitas demi
hari akhir, menjadi rahib yang bersih dari segala kotoran. Mereka menganggap
kelezatan yang dikecap panca indera merupakan tipu daya setan. Oleh karena itu
mereka tidak merawat kondisi tubuh mereka dan berpuasa untuk membelenggu
syahwat dan penyiksaan badan lainnya. Mereka melihat musik, roti putih, arak,
tempat pemandian dan mencukur jenggot dengan pandangan sinis dan menganggap
bila melakukan hal-hal di atas sama saja menghina kehendak Allah yang sudah
jelas.1
Sebagaimana akal -yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain- yang
membuat manusia dapat menguak hakikat alam semesta, manusia dan kehidupan.
Herannya, manusia yang mengedepankan akalnya malah dilecehkan dan dihina oleh
tokoh agama dan menganggapnya musuh agama dan iman. Masyarakat Eropa sepeti
yang dikatakan Durrant:
“Masyarakat Eropa merasa berkewajiban mempercayai jawaban-jawaban yang
diberikan tokoh agama (Gereja) dan memperkuatnya sehingga keragu-raguan
hilang dari benak mereka. Bila gereja mau jujur dan mengakui terkadang ia bisa
benar pada satu kesempatan dan bisa salah pada kesempatan yang lain, pasti
masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadapnya. Eropa tidak mempercayai
ilmu pengetahuan dan menganggapnya sebagai buah pahit sebuah pohon yang
diharamkan Gereja atau bagaikan fatamorgana yang menyesatkan yang dapat
mengeluarkan manusia dari surga yang polos dan kehidupan yang beriman.

1
Wal Durrant, Qisshah al Hadharah, J. 11, hlm. 282.

17
Begitulah, di abad pertenghan akal menyerah sepenuhnya kepada iman hampir
dalam setiap bidang dan kesempatan dan hanya berpegang teguh kepada Tuhan dan
Gereja sebgaimana halnya manusia modern hanya mempercayai ilmu pengetahuan
dan negara”.2
Marthin Luther, seorang pembaharu Kristen yang mencetuskan protestanisme dan
mengerahkan segenap daya dan upayanya untuk mengembalikan semangat abad
pertengahan, setelah melihat betapa akal telah mempengaruhi dan merembes pada
masyarakat Eropa. Ia menyerukan manusia untuk membelenggu akal dan
mendudukkannya di bawah telapak kaki. Luther berkata:
“Anda tidak bisa menerima Injil dan akal secara bersamaan. Salah satunya
menafikan jalan yang lain. Semua tanda-tanda aqidah Kristen yang telah
dianugerahkan Allah kepada kalimah-Nya amat bertentangan dengan akal dan
mustahil selaras. Akal adalah musuh terbesar iman, karya setan yang paling buruk
sama seperti pelacur yang menyebarkan penyakit kudis dan lepra. Akal harus
diinjak di bawah telapak kaki, keputusan dan buah pikirnya harus dimusnahkan dan
dibuang bersama kotoran”3.
Ketika para intelektual Barat masa modern memahami ajaran agama semacam ini
yaitu ketika agama mendominasi pikiran Eropa pada abad pertengahan, mereka menilai
bahwa dominasi agama atas kehidupan, masyarakat dan negara adalah faktor utama
kemunduran masyarakat di abad pertengahan.
Bukti yang paling kongkrit adalah sistem feodalisme yang menyengsarakan
masyarakat. Orang-orang Eropa kala itu tunduk, patuh sepenuh hati dengan konsep
wewenang Tuhan yang diberikan kepada para raja sebagaimana dikatakan Durrant:
“Pada abad itu (pertengahan), raja dianggap pengikut (representasi) Tuhan, ia dapat
memerintah karena mempunyai wewenang Ilahi artinya Tuhan memperkenankan
rarja untuk memerintah atau dengan kata lain Tuhan memberikan wewenangnya
kepada raja”.4
Mereka mengajukan sejarah Eropa sebagai bukti hidup seolah-olah sejarah dunia
hanya Eropa saja. Kemudian pada abad modern yang dimulai, menurut mereka, pada
abad 15 M terjadi benih-benih kebangkitan dan pertentangan antara Gereja Katolik yang

2
Ibid., J. 16, hlm. 12-13.
3
Ibid., J. 24, hlm. 55-56.
4
Ibid., J. 14, hlm. 429.

18
mendominasi dan mempengaruhi masyarakat dengan kaum pembaharu dan
pemberontak yang menggugat dominasi itu. Perseteruan itu pertama kali muncul pada
Gerakan Protestan yang menuntut agar kekuasaan Paus terhadap raja-raja Eropa
dihapuskan, meskipun Gerakan tersebut identik dengan fanatisme dan meremehkan akal
dan ilmu pengetahuan, hanya saja Gerakan tersebut berhasil memisahkan dominasi total
Gereja Katolik terhadap raja-raja Eropa dan para bangsawan,5 apalagi Gerakan ini
menuntut dihapuskannya kekuasaan Paus dan Gereja terhadap raja-raja tadi. Salah satu
kritikan yang dilontarkan Zwingli, satu diantara tokoh Protestanisme adalah Dominasi
rohani atau spiritual yang dipegang Gereja sebenarnya tidak mempunyai landasan baik
dalam kitab-kitab suci ataupun dalam ajaran Yesus, kekuasaan tersebut hanya bersifat
temporer yang dikuatkan ajaran-ajaran dan jejak Yesus.6
Gerakan tersebut dibarengi munculnya sebagian kaum filosof yang mengingkari
ajaran-ajaran spiritual dan hegemoni Gereja. Adakalanya dalam bentuk mengingkari
agama, atheis atau dalam bentuk sekuler yang menuntut dipisahkannya agama dari
kehidupan sehari-hari (masyarakat dan negara) dan memasung agama cukup dalam
Gereja dan rumah. Mereka juga menuntut agar manusia mengecap kebebasannya
dengan segala kejeniusan dan potensinya dan melaksanakan segala aktivitasnya sesuai
dengan kemauannya. Dengan hal inilah kebangkitan akan muncul.
Machiavelli, intelektual Italia terkenal (w. 1527 M) meyakini bahwa umat Kristen-
dalam keadaan yang paling baik- mempelajari keutamaan yang keliru. Umat Kristen,
menurut pendapatnya, mempelajari ketundukan, kepatuhan, mengabaikan tubuh mereka
sendiri, memberi pipi kiri bila pipi kanan ditampar dan memasung cita dan angan
manusia dengan kesenangan dan kebahagiaan setelah mati. Konsep Machiavelli tentang
keutamaan kebalikan ajaran-ajaran Kristen. Dia menilai bahwa kejayaan manusia dan
hidup terhormat ada di muka bumi dan ia juga bekeyakinan kecerdikan manusia bukan
untuk menundukkan nafsu namun untuk meraih kemuliaan dan kebanggaan.7 Begitu
pula Machiavelli sependapat dengan orang semasanya yang mengatakan bahwa koalisi
antar agama dan negara adalah suatu niscaya. Ia menggantungkan cita-citanya kepada
kaum Republik agar memenangkan pemilu di Italia pada abad 16 M setelah umat
Kristen terpinggirkan zaman. Ia ingin agama Kristen dan kelembagaaan agama terpusat

5
Ibid., J. 27, hlm. 262.
6
Ibid., J. 24, hlm. 117.
7
Arinsto Lande, artikel dalam kitab A’lam al Fikr al Siyasi, karangan Moris Cranston, hlm. 42.

19
menurut semangat Romawi Kuno yaitu ”keagamaan sementara (sekuler) yang
mempunyai tujuan dasar meninggikan syi’ar agama dan keutamaan nasional.8
Pada abad 16 M, semua penulis Perancis menyerang dan mengkritik kebudayaan
abad pertengahan, berteriak keras agar masyarakat sadar dan menghasilakan inovasi.
Klimaksnya munculnya skeptisisme yang dipelopori Michael Mountagne (w. 1592 M).9
Kemudian datang abad 17 M dengan munculnya kepercayaan diantara para filosof
dan penulis Eropa bahwa hakikat karakter manusia, alam semesta dapat diungkap akal.
Saat itu banyak penafsiran kritis terhadap kitab-kitab suci dan perhatian perbandingan
agama yang melemahkan kewibawaan aqidah agama kristen yang resmi.
Semangat ilmiah pada abad tersebut membalik agama dengan mengingkari
mukjizat dan wahyu Ilahi sama halnya letupan emosional. Salah satu keunikan para
intelektual Renaisans dan kaum filosof bahwa, meskipun mereka pada umumnya tidak
atheis, menurut mereka tidak masuk akal seseorang memaksa orang atau bangsa lain
memeluk agamanya. Sebenarnya kebenaran terbesar semua agama adalah keyakinan
bahwa Allah sumber segala sesuatu yang dari sini muncul konsep pagan yang cerdas.
Beriman secara alami kepada Allah mencakup bahwa Allah menciptakan dunia lalu
meninggalkannya berjalan sesuai hukum alam seperti yang dikatakan Alexander Bob
dalam “Artikel tentang manusia” tahun 1733.10
Pada abad ke 18 M, para filosof Renaisans menegaskan kembali konsep
sekulerisme (pemisahan agama dari masyarakat dan negara). Pelopornya adalah
Montesquieu (w. 1755), meskipun ia bukan atheis ia mengecam Gereja dan kaum
agamawan dengan amat keras.11
Begitu pula Voltaire (w. 1788), ia mengkritik dalam karyanya yang berbicara
tentang sejarah Injil dan Kristen tentang perkembangan masyarakat dan merumuskan
gari-garis kebijakan sejarah manusia. Menurutnya filsafat sejarah berlandaskan konsep
perkembangan kemajuan masyarakat bebas dari kehendak Tuhan. Ia juga menentang
ajaran Gereja dan menamakannya ucapan-ucapan khayali agama. Menurutnya musuh
terbesar kemajuan adalah umat Kristen dan ajaran Gereja Katolik.12

8
Ibid., hlm. 43.
9
Bahjah al ma’rifah, Edisai ke 2, J. 4, hlm. 276.
10
Op. Cit., J. 4, hlm. 356-359.
11
Al Mausu’ah al falsafiyah, Entry Montesquieu.
12
Ibid., Entry Voltaire.

20
Senada dengan Voltaire, JJ. Rousseau yang bukunya “Kontrak Sosial” dianggap
tiang penggerak Revolusi Perancis dan dikemudian hari menjadi Injilnya bangsa
Perancis, menyerukan iman kepada Tuhan dan mengingkari wahyu13 yang selanjutnya
berujung sekulerisme. Rosseau berpendapat bahwa pembuat UU (legal maker), hakim
dan raja-raja tidak menisbatkan peraturan dan UU kepada Tuhan kecuali untuk
memberikan sifat kepatuhan dan membuat rakyat takut melanggarnya. Ia berkata:
“Karena Pembuat UU (legal maker) tidak mampu ditaati baik dengan
kekuasaan atau adu argumentasi maka ia harus menyandarkan produk hukumnya
kepada kekuasaan lain yang mungkin dipatuhi tanpa kekerasan dan tanpa
disangkal. Hal inilah yang memaksa para pendahulu di setiap masa meminta
bantuan intervensi langit dan menisbatkan produk hukumnnya kepada Tuhan agar
dipatuhi rakyat. Pemikiran yang brilian ini tidak mampu dijangkau rakyat
kebanyakan. Dengan konsep ini, legal maker dapat memerintah rakyat atas nama
kekuasaan Ilahi. Akan tetapi setiap orang tidak berhak mengatakan Tuhan berkata
lewat mulutnya dan tidak berhak pula manusia mengklaim sebagai penerjemah
firman Tuhan.14
Pada puncaknya, meletuslah Revolusi Perancis 1789 yang mengkebiri Gereja dari
masyarakat dan politik. Wall Durrant berkata:
“Kebanyakan pemberontakan-pemberontakan sebelumnya hanya berhasil dalam
satu aspek, kadang negara dan kadang Gereeja, jarang pemberontakan melibatkan
keduanya dalam satu waktu seperti yang terjadi pada Revolusi Perancis yang
melibas dominasi raja dan Gereja bersamaan serta menguatnya kepentingan dan
kekhawatiran yang digabung yaitu kepentingan pembinasaan agama dan dunia
terhadap sistem masyarakat yang sedang berlangsung”.15
Pemaparan diatas dianggap intelektual Eropa kontemporer sebagai dalil atas
konsep mereka sekulerisme seiring dengan kemajuan yang berjalan sedikit demi sedikit
di Eropa bersamaan dengan merosotnya kekuasaan Gereja dari masyarakat yang
selanjutnya hapusnya ajaran agama dan keagamaan dari kehidupan umum. Mereka
temukan dalam Revolusi Perancis yang membuka babak baru sejarah mereka bukti
paling kuat teori mereka dengan dikebirinya Gereja dari kenyataan masyarakat dan

13
Ibid., Entry JJ Rousseau.
14
JJ Rousseau, Al ‘Aqd al Itima’I, hlm. 85.
15
Wall Durrant, Qussah al Hadharah, J. 42, hlm. 397.

21
dibatalkannya konsep wewenang Ilahi. Juga diberikannya kebebasan publik, maka
menjadi sempurnalah gerakan kebangkita Eropa dan mulai menampakkan hasilnya yang
kini dibangga-banggakan Barat.
Konsep historis peradaban yang dilontarkan para intelektual Barat bermula dari
aqidah aqliyah (Kepercayaan berlandaskan akal) yang dianut Barat sejak awal masa
modern yang dijadikan paradigma berpikir (qa’idah fikriyah) dan menjadi qiyadah
fikriyah (ide yang mendominasi) masyarakat. Ideologi itu adalah sekulerisme
(pemisahan agama dari negara).
Intelektual-intelektual Barat selalu menafsirkan gerakan kebangkitan bangsa
manapun dengan teori mereka. Termasuk fenomena kebangkitan komunisme yang yang
kemudian runtuh. Mereka nisbatkan kebangkitan itu dengan hilangnya pengaruh agama
dari kehidupan masyarakat komunis apalagi komunisme berdiri atas landasan atheis dan
menganggap agama sebagai candu masyarakat. Adapun kemunduran yang terjadi begitu
cepat sebabnya, menurut Barat bukan pada atheis dan hilangnya agama kembali pada
tidak adanya kebebasan. Kebebasan manusia komunis jauh dari ketundukan kepada
tokoh agamawan dan penghambaan kepada Yang Ghaib diganti sistem komunis dengan
ketundukan kepada negara dan partai.
Kaum Intelektual Barat melihat bangsa-bangsa komunis yang sedang lesu sekarang
ini sebenarnya ingin melepaskan penghambaan dan ketundukan mereka kepada negara
sehingga dapat mengecap arti kebebasan sesungguhnya dan menyusul peradaban Barat
yang liberal. Francis Fukuyama, seorang liberalis radikal berkata:
“Ketika umat manusia mendekati akhir millenium kedua, sesungguhnya ia berada
diantara dua pilihan; kebobrokan kediktatoran atau komunisme. Akibatnya hanya
ada satu ideologi dalam kancah kehidupan ini yang berwatak komprehensif yaitu
demokrasi liberal, paham kebebasan individual dan kedaulatan rakyat”.16
Paragraf-paragraf diatas adalah ringkasan konsep Barat kontemporer tentang
kebangkitan dan kemunduran dalam sejarah. Penulis belum ingin tergesa-gesa
mengkritiknya. Cukup membenturkan konsep mereka dengan satu contoh kebangkitan
peradaban sepanjang sejarah, lalu kita lihat apakah teori mereka mencakupnya atau
tidak. Sebuah filosofi kebangkitan atau dengan kata lain definisi kebangkitan dikatakan
benar bila mencakup semua kebangkitan tanpa pandang bulu. Sebuah definisi harus
16
Francis Fukuyma, The End of History and The Last Man Akhir Sejarah dan Kemanusiaan,
hlm. 68.

22
jami’ (mencakup semua unsur yang masuk kedalamnya) dan mani’ (mengeluarkan
semua unsur yang tidak tercakup didalamnya) apalagi para penggagas teori itu
menyebutnya sebagai teori yang abadi.
Jika kita tanyakan kepada Barat apa rahasia kebangkitan peradaban Islam selama
abad pertengahan, mereka akan mati kutu menjawabnya selaras dengan teori yang
mereka ajukan. Mereka akan berdalih dengan sekian argumen untuk mempertahankan
teorinya. Kurun peradaban Iaslam yang dikenang terbesar sepanjang sejarah adalah
kurun ibadah dan ketatan beragama bahkan peradaban Islam dengan masyarakat, negara
dan pola hidupnya berdiri di atas landasan aqidah spiritual yang mengkaitkan manusia
dengan sesuatu sebelum kehidupan dunia.
Satu contoh diatas merupakan bukti kuat runtuhnya teori barat tentang kebangkitan
dan kemunduran. Suatu konsep dikatakan benar bila sesuai dengan kenyataan, salah bila
tidak sesuai dengan kenyataan seperti teori Barat tadi.
Filosofi kebangkitan adalah masalah urgen yang tidak boleh asal duga-dugaan
belaka bahkan harus berdasarkan konsep yang meyakinkan dan mantap yang selaras
dengan fakta yang terindera serta mampu menafsirkan semua ragam kebangkitan dan
kemunduran suatu peradaban dengan benar.

23
RAHASIA KEBANGKITAN

Tolok ukur kemajuan dan kemunduran dalam masyarakat apapun adalah peradaban
yang membentuknya. Bila peradaban itu tinggi, masyarakat mungkin akan maju, bila
peradabannya rendah, niscaya kebangkitan dan kemajuan tidak akan menghampirinya.
Ketika membahas suatu peradaban masyarakat berarti menyinggung pola-pola
kehidupan, model suluk dan interaksi masyarakat yang unik. Hadharah (Peradaban)
adalah perilaku kehidupan setiap masyarakat yang khas dan berciri tertentu. Suluk
seseorang, hubungan pergaulannya dan pola hidupnya sesuai dengan mafhum kehidupan
yang diembannya. Atau bisa pula dikatakan hadharah adalah sekumpulan mafhum
tentang kehidupan. Sekumpulan mafhum ala Barat umpamanya, akan membentuk
peradaban Barat, begitu pula peradaban Islam terbentuk dari sekumpulan mafhum
Islami tentang kehidupan.
Pola pikir yang maju adalah pola pikir yang komprehensif, integral dan saling
berkaitan yang mampu memberikan manusia pandangan segala sesuatu yang
berhubungan dengan suluknya, sikapnya terhadap suatu kejadian, juga mampu
memberikan sistem yang mengatur segala hubungan kemasyarakatan tanpa melupakan
satu aspek pun dengan suatu sistem yang tepat, runtut, akurat dan harmonis. Pemecahan
masalah yang diajukan sistem tersebut tidak bertentangan, tidak kontradiktif kaidah-
kaidahnya dan tidak saling menafikan satu sama lainnya. Pola pikir seperti ini yang
akan mengangkat komunitas manusia yang mengemban dan mengaplikasikannya
menjadi masyarakat yang kuat, meniti tangga kemajuan menuju kebangkitan. Ini
disebabkan pola pikir tersebut mampu mengharmoniskan interaksi pergaulan dalam
masyarakat dan menyelamatkannya dari kekacauan, kontradiksi dan pertentangan
internal.
Persoalannya kini adalah bagaimana mengadopsi pola pikir yang begitu integral
dan komprehensif ini?. Jalan apa yang harus ditempuh suatu masyarakat?.
Sejarah dan fakta yang terindera-apalagi pandangan dan pemikiran yang
tercerahkan- akan menetapkan bahwa pola pikir diatas tidak mungkin terwujud kecuali
dengan adanya paradigma berpikir (qa’idah Fikriyah). Demikian karena setiap
bangunan membutuhkan fondasi dan adanya paradigma berpikir, sifatnya akan
memperkuat dan menjaga fondasi bangunan berpikir tadi.Qa’idah fikriyah yang tidak

24
lain pemikiran mendasar tidak akan menjadi qa’idah (patokan dasar) kecuali bila
qa’idah tadi berupa aqidah aqliyah (keyakinan berlandaskan proses berpikir) yang
mengajukan fikrah kulliyah (pandangan hidup, ide universal) tentang alam semesta,
manusia dan kehidupan. Aqidah aqliyah menjawab asal-usul manusia, tempat kembali
dan karakteristik kehidupan serta tujuan manusia hidup di dunia. Berdasarkan aqidah ini
bangunan berpikir tadi layak dibangun diatasnya, begitu pula aqidah tersebut adalah
aqidah siyasiyah (politik) yang melahirkan berbagai peraturan hidup yang mengatur
semua urusan umat manusia dalam masyarakatnya dan selaras dengan pola pikir dan
emosi dominan yang mereka emban sehingga dengan adanya hal-hal diatas masyarakat
tersebut menjadi wadah suatu peradaban yang unik. Aqidah yang dianut menjadi
qiyadah fikriyah (pola pikir yang dominan) ini akan membawa masyarakatnya maju
menuju kebangkitan. Pemikiran semacam ini disebut pemikiran ideologis.1
Mabda’ (ideologi)-aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan-ialah yang
dibutuhkan bangsa Eropa pada abad pertengahan artinya bangsa Eropa belum memiliki
pemikiran ideologis sebagai sarana unutuk membangkitkan mereka. Memang benar
bahwa bangsa Eropa memeluk satu aqidah dan agama yang sama yaitu Kristen, namun
aqidah mereka bukanlah aqidah siyasiyah (aqidah yang mengatur perikehidupan
masyarakat). Aqidah Nasrani hanya sebatas perasaan/spiritual yang dianut bangsa Eropa
turun temurun dari nenek moyang, rahib dan pendeta-pendeta mereka 2 sehingga tidak
layak menjadi aqidah untuk mewujudkan ide-ide kebangkitan dalam masyarakat
tersebut. Juga dari aqidah tersebut tidak akan melahirkan peraturan-peraturan yang
menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Aqidah Nasrani bersifat spiritual yang
hanya mengatur hubungan manusia dengan Khaliknya (vertikal) menyangkut petuah-
petuah akhlak, nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Bila kita membolak-balik lembaran
Injil, niscaya tidak akan kita dapati ayat-ayat yang membahas sistem pemerintahan,
ekonomi, sanksi dan lain-lain. Bila para raja dan tokoh agamawan (Gereja) telah
memerintah atas nama agama dan wewenang Ilahi, hal ini tidak bisa dikatakan mereka
telah memerintah berdasarkan peraturan yang dipetik dari agama dan Injil, sebaliknya
mereka mengaplikasikan peraturan-peraturan dan UU buatan manusia yang tidak ada

1
Dalam al Mausu’ah al Falsafiyah, Entry al Mabda’. Al Mabda’ (ideologi): pola pikir mendasar
dan patokan asasi untuk suluk (menempuh kehidupan). Dari segi logika al Mabda’ adalah mafhum dasar
dan asas setiap peraturan.
2
lih. Wall Durrant, Qisshah al Hadharah, J. 16, hlm. 12-13.

25
kaitan sama sekali dengan agama Kristen. Salah satu peraturan terburuk mereka adalah
sistem feodalisme. Durrant menggambarkan sistem feodalisme sebagai berikut:
“Adat dan peraturan dalam sistem feodalisme adalah satu hal yang sama. Para
hakim dan pejabat pemerintah yang melaksanakan peraturan pada umumnya bodoh
(tidak bisa baca tulis). Jika muncul suatu masalah berkenaan dengan UU atau
sanksi, anggota masyarakat tertua akan ditanya tentang adat yang berlaku pada
masa mudanya dalam masalah tersebut. Karena itu masyarakat adalah sumber
pokok UU itu sendiri”.3
Ringkasnya, degragasi yang terjadi pada masyarakat Eropa di Abad pertengahan
ujung pangkalnya kembali pada kebudayaan rendah yang mendominasi saat itu.
Sebagaimana keadaan bangsa-bangsa Eropa di abad pertengahan, begitu pula
keadaan Arab pada masa jahiliyah. Bangsa Arab tidak mempunyai aqidah aqliyah
siyasiyah (keyakinan yang berlandaskan proses berpikir yang melahirkan peraturan)
yang menata interaksi antar mereka dan memperkuat elemen-elemen masyarakat
dengan sistem yang utuh. Mereka menganut aqidah khayali yaitu paganisme yang
mereka terima begitu saja (taklid). Aqidah ini tidak layak menjadi qa’idah fikriyah
untuk menggerakan masyarakat Arab. Oleh karena itu, masyarakat Arab terbelakang,
ikatan kabilah dan kekeluargaan mendominasi pola pikir mereka yang membentuk
sebuah masyarakat yang kerap berperang satu sama lain hanya demi dendam dan
sukuisme. Karenanya masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat jahiliyah.
Akan tetapi bangsa Arab yang terpuruk dalam keterbelakangan dengan cepat keluar
dari lorong kegelapan menuju sinar kebangkitan dan kemajuan awal abad pertengahan
bagaikan aksi revolusi yang mendadak. Sedangkan keterbelakangan masih menyelimuti
Barat berabad-abad hingga masuknya abad modern yang benihnya mulai muncul pada
akhir abad 15 M dan baru pada abad 18 M, Barat bisa menuai hasilnya.
Terlepas semua itu, penulis akan mengabaikan perbedaan waktu lahirnya dua
peradaban ini dan cepat tidaknya menuai buah peradaban namun ada satu pertanyaan
penting yang amat mengganjal; faktor utama apa yang dipenuhi kedua peradaban ini
sehingga benih-benih kebangkitan tumbuh dan sanggup keluar dari keadaan terbelakang
menuju kemajuan?.

3
Ibid., J. 14, hlm. 434.

26
Rahasianya terletak pada filosofi kebangkitan. Kedua peradaban ini (Barat dan
Islam) mempunyai aqidah aqliyah siyasiyah yang mewujudkan mabda’ (ideologi) yang
mengkonstruksi bangunan berpikir suatu peradaban komprehensif yang menuntun
masyarakat menuju kebangkitan.
Di jazirah Arab muncul agama Islam sebagai ideologi yang berdiri di atas aqidah
aqliyah yang memberikan fikrah kulliyah (world view/weltanschauung) tentang alam
semesta, manusia dan kehidupan dan sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia
serta hubungannya dengan sebelum dan sesudah kehidupan. Aqidah itu adalah
pernyataan: “Tiada Tuhan Selain Allah, Muhammad adalah Rasul-Nya”. Dari aqidah
ini lahir berbagai peraturan untuk menata perikehidupan, masyarakat dan negara. Islam
mengatur hubungan teologis dan ‘ubudiyyah manusia dengan Penciptanya dan mengatur
hubungannya dengan dirinya sendiri dalam aspek akhlak, hukum makanan, pakaian,
juga mengatur hubungannya dengan sesama manusia berupa sistem sosial dan negara.
Dari aqidah tersebut lahir sistem pemerintahan yang dikenal nama Khilafah, sistem
ekonomi yang harus dijalankan Daulah, pos-pos pemasukan dan distribusinya, sistem
pergaulan antara pria dan wanita dan solusi problem rumah tangga, sistem pidana dan
lain-lain. Sistem-sistem yang lahir tadi bersumber dari aqidah Islamiyah karena semua
sistem tadi dipetik (diistinbathkan) dari al Qur’an dan Sunnah yang diwahyukan Allah
kepada Rasulnya, Muhammad saw.
Aqidah Islam merupakan paradigma berpikir yang mengkontruksi peradaban Islam
yang khas. Dengan aqidah ini, kebangkitan di negara-negara Arab terwujud meluas dan
mencakup wilayah yang besar lagi makmur, tersebar dengan cepat yang belum pernah
dikenang sejarah dari China di bagian Timur sampai Samudera Atlantik di bagian Barat.
Durrant menggambarkan negeri-negeri Islam di bawah naungan Khilafah:
“Para Khalifah telah memberikan rasa aman yang tak terlukiskan kepada rakyat,
memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi dan menyebarkan
kemakmuran selama enam abad, sebuah prestasi yang tidak dicapai umat
setelahnya. Dengan kesungguhan dan kebijakan mereka, proses belajar-mengajar
tersebar luas. Berbagai disiplin ilmu, sastra, filasafat, seni berkembang amat pesat
sehingga Asia bagian Barat selama lima abad dikenal sebagai bangsa berperadaban
paling maju.4

4
Ibid., J. 12, hlm. 151.

27
Sedangkan Eropa sedang bergulat; perselisihan yang tajam antara agamawan
(Gereja) di satu sisi dengan para raja dan filosof di sisi yang lain sampai lahirnya sebuah
ideologi baru yaitu; liberalis yang berdiri di aas aqidah/fondasi pemisahan agama dari
kehidupan atau yang lebih dikenal dengan nama sekulerisme. Aqidah ini merupakan
paradigma berpikir yang membangun peradaban Barat kontemporer dan melahirkan
sistem kapitalisme yang meniscayakan manusia mereguk kebebasan sebebas-bebasnya
lepas dari ikatan agama atau ikatan non agama. Hal inilah yang mengantarkan
kebangkitan barat hingga saat ini yang sedang gencar-gencarnya mempropagandakan
sistemnya kepada bangsa-bangsa lain.
Paparan di atas adalah penafsiran hakiki sebuah kebangkitan. Kebangkitan berawal
dari kemajuan pola pikir yang termanifestasikan dalam aqidah aqliyah siyasiyah yang
layak dijadikan paradigma berpikir (qa’idah fikriyah) masyarakat dan fondasi yang
melahirkan berbagai peraturan dan asas sebuah peradaban. Dengan kata yang ringkas:
Eksistensi mabda’ (ideologi) adalah faktor utama kebangkitan suatu bangsa.

28
KEBANGKITAN YANG BENAR Vs KEBANGKITAN YANG SALAH

Bila mayoritas cendekiawan, sejarawan dan filosof Barat memahami kebangkitan


dalam suatu kerangka tertentu, keliru besar kita (umat Islam) membebeknya begitu saja.
Sejarah telah memberikan pelajaran yang berharga bagi kita. Kebangkitan suatu bangsa
tidaklah sama dengan kebangkitan bangsa lain. Ada perbedaan esensial yang dalam
bahkan prinsipal antara kebangkitan satu dengan lainnya. Tidak dibenarkan seorang
peneliti muslim mengkaji kebangkitan secara mutlak, namun ia harus mengkaji tipe
kebangkitan umat manusia menuju ketentraman hidup sejati. Atau dengan kata lain; di
alam fana ini selalu ada bentuk kebangkitan yang benar disamping ada pula kebangkitan
yang salah. Oleh karena itu umat Islam harus mewaspadainya.
Jika mabda’ (ideologi), dengan aqidah dan sistemnya, merupakan rahasia dibalik
kebangkitan, berarti kebangkitan yang benar sumbernya adalah mabda’ yang benar.
Mabda’ yang benar berdiri di atas aqidah yang benar yang memuaskan akal, sesuai
dengan fitrah manusia sehingga hati menjadi tentram karenanya. Sifat aqidah ini
mampu memberikan jawaban dan konsep yang benar tentang alam semesta, manusia
dan kehidupan. Mabda’ ini pula bersifat aplikatif dalam segala ruang dan zaman,
mabda’ itu pula yang akan menjamin manusia menuju kebangkitan hakiki.
Adapun mabda’ yang berdiri diatas aqidah yang salah, otomatis ia tidak aplikatif
kecuali sekadar situasi dan waktu tertentu yang sesuai dengan kecenderungannya. Dan
pada umumnya sifat aplikatifnya tidak lahir dari esensi aqidah itu sendiri yaitu
menyelesaikan krisis yang melanda umat manusia seperti halnya mabda’ liberalis.
Kemudian, kaum liberalis itu sendiri dengan cepat mengetahui bahwa mabda’nya tidak
aplikatif setelah melihat betapa mabda’ itu bertentangan dengan akal dan fitrah
kemanusiaan. Begitu pula, sejarah telah menorehkan keadaan suatu masyarakat dapat
berbalik 180 derajat. Contoh yang paling kongkrit adalah ideologi komunis.
Ideologi ini mampu melahirkan sebuah peradaban yang hanya sanggup bertahan
beberapa dasawarsa karena terlalu banyak menebar kerusakan. Aqidah ideologi ini
mengorbankan fitrah dan akal manusia ketika mengklaim wujud Tuhan nonsense belaka
dan berkesimpulan: “Tidak ada Tuhan, Kehidupan adalah Materi saja”. Fitrah seorang
manusia, karakternya cenderung menghambakan diri kepada Sang Pencipta Yang Maha
mengatur. Hal ini muncul tatkala manusia menyadari keterbatasan dan kelemahannya

29
dan melihat betapa indah dan runtutnya alam semesta. Sistem ini mengangkat
masyarakat yang mengembannya sejenak di panggung sejarah lalu mengantarkannya
menuju kehancuran sehingga tak berkutik sama sekali.
Adapun ideologi liberalis-kapitalis yang muncul dari gelapnya abad pertengahan
adalah juga mabda’ yang salah karen aqidahnya-sekulerisme-bukan aqidah spiritual.
Mabda’ ini setelah mengetahui bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan lalu memisahkan
manusia dari Penciptanya seakan-akan sekulerisme berkata kepada umat manusia:
“Sesungguhnya Tuhan menciptakan kamu di atas muka bumi kemudian melepaskan dan
meninggalkannmu agar kamu mengatur urusanmu sekendak hatimu.1Hal in jelas
bertentangan dengan fitrah manusia yang mengakui dirinya lemah dan terbatas serta
mengakui Sang Pencipta Maha mengatur urusan dan kehidupan sehari-hari.
Apabila aqidah yang melandasi suatu mabda’ salah, maka mesti sistem yang lahir
dari mabda’ tersebut juga keliru dan peradaban yang disangga sistem tadi menjadi
menyimpang.
Adapun mabda’ Islam adalah sebuah mabda’ yang memuaskan akal dan sesuai
dengan fitrah manusia. Islam dengan aqidahnya yang diwahyukan Allah kepada Rasul-
Nya Muhammad saw memberikan fikrah kuliyah (world view, ide universal) yang benar
tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dengan mengakui segala hal yang ada di
bumi adalah ciptaan-Nya, dan Allah telah eksis tidak berkeawalan sebelum adanya
kehidupan dunia serta adanya hari akhir setelah dunia hancur. Islam memberi batasan
hubungan manusia dengan Sang Pencipta dengan keharusan tunduk kepada perintah-
Nya dan menjauhi larangan Nya dan menjalani kehidupan sesuai dengan sistem
peraturan yang diturunkan Nya kepada rasul-Nya, Muhammad saw. Islam memberi
gambaran adanya hari akhir setelah manusia menghabiskan kehidupan dunianya dengan
menjanjikan surga bila ia menyerahkan semua urusannya kepada Sang Pencipta dan
tunduk kepada perintah dan larangan-Nya serta mengancamnya dengan neraka bila
manusia ingkar dan maksiat kepada-Nya. Allah menggambarkan perjalanan manusia
sejak turun ke bumi hingga hari akhir:
Kami berfirman: Turunlah kamu sekalian (wahai Adam dan Hawa’) dari surga.
Kemudian jika datang Petunjuk-Ku kepadamu, maka siapa yang mengikuti
hidayah-Ku, niscaya tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula bersedih hati.

1
Lih. Bahjah al Ma’rifah, Edisi ke-2, J. 4, hlm. 359.

30
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.2
Dengan karakteristik di atas, aqidah Islam memuaskan akal manusia yang diajak
dialog al Qur’an: Apakah dalam eksistensi Allah ada keraguan, Pencipta langit dan
bumi.3 Begitu pula aqidah Islam selaras dengan fitrah manusia yang cenderung
menghambakan dirinya kepada Sang Pencipta Yang Maha Mengatur. Isyarat ini dapat
dibaca dalam al Qur’an: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan luirus kepada agama
(Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut firah itu.
Tidak ada perubahan pada penciptaan Allah . (Itulah) agama yang lurus tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”.4
Aqidah Islam pun bersifat spiritual sehingga tidak diketemukan adanya
pertentangan antara materi dan ruh atau aspek rohani. Apabila ”ruh” adalah
mendapatkan kontak dengan Allah swt, maka Islam telah mengkaitkan antara materi
dengan ruh ketika menyuruh manusia agar menjalankan aktivitas materinya selaras
dengan perintah dan larangan Allah, ia akan mendapatkan kontak dengan Allah saat
melakukan aktivitasnya. Islam menggabungkan kemakmuran dan kesejahteraan dunia
dengan keridhaan Allah swt. Pada saat bersamaan aqidah Islam merupakan aqidah
siyasiyah (politik) yang melahirkan berbagai peraturan yang menata kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Dari keterangan ini, kita temukan perbedaan antara fenomena kebangkitan yang
dicatat sejarah. Analisis inilah yang akurat; betapa berbedanya kebangkitan Islam
dengan pola kebangkitan-kebangkitan yang lain. Bila kita, paling tidak, harus
mengkomparasikan antara kebangkitan Islam dan kebangkitan peradaban lainnya, keliru
bila kita membandingkannya dengan peradaban Eropa abad pertengahan karena semua
orang pun mengakui bahwa peradaban Eropa di abad pertengahan bukanlah abad
kebangkitan melainkan abad-abad kemunduran. Kalau begitu sebaiknya perbandingan
ini antara peradaban Islam dengan peradaban Barat yang mendominasi saat ini.

2
S. Al Baqarah [2]:38 & 39.
3
S. Ibrahim [ ]:1.
4
S. Al Ruum [ ]: 30.

31
PERADABAN ISLAM VS PERADABAN BARAT

Perkembangan teknologi, sarana fisik, disiplin ilmu dan aspek-aspek materi


walupun merupakan hal penting bagi kelangsungan sebuah peradaban, namun bukanlah
parameter untuk menilai maju mundurnya sebuah peradaban atau menilai benar
salahnya. Hadharah sebagaimana yang telah penulis kemukakan adaalah sekumpulan
mafhum (wawasan) yang menginspirasikan tingkah laku suatu masyarakat. Peradaban
meluruskan pandangan yang berkembang dalam perilaku masyarakat yang
mengkondisikan mereka sehingga terwujud stabilitas, ketenangan dan kemakmuran.
Oleh karena itu, tidak aneh kiranya bila kita membandingkan peradaban Islam yang
muncul sepanjang abad pertengahan dengan peradaban Barat modern dalam hal
perkembangan infra struktur, sarana fisik, teknologi dan ilmu pengetahuan. Subtansi
kedua peradaban ini pada level tertinggi adalah perbedaan karakter, bukan perbedaan
maju tidaknya teknologi dan sarana fisik atau yang semacamnya.
Jika perbedaan antara kedua peradaban ini bersifat karakteristik yang sulit
dipertemukan, agak sulit bagi kita untuk menghadirkan suatu komparasi yang utuh,
namun paling tidak penulis akan mengemukakan sekelumit perbedaan-perbedaan
mendasar antara dua peradaban ini.
Dalam lapangan politik, Islam mampu menciptakan beragam suku bangsa, warna
kulit dan bahasa menjadi satu masyarakat yang utuh. Ketika Rasul saw wafat, seluruh
jazirah Arab sudah memeluk Islam. Rasul menumpas segala bentuk kemusyrikan dan
mengatur perikehidupan masyarakat Arab dengan Islam sebagai sistem dan teologi
dalam bingkai satu negara kesatuan (Daulah Islam). Sepeninggal Rasul saw, jejaknya
diikuti Khulafa’ al Rasyidun yang kerap melakukan penaklukan. Diantaranya: Irak yang
dihuni masyarakat heterogen dari kalangan Nasrani, kaum Mazdak, orang-orang Arab
dan Persia pengikut Zoroaster; Persia yang dihuni orang-orang non Arab dan orang-
orang Yahudi dan Roma dalam jumlah kecil yang menganut agama Persia; Syam yang
dihuni orang-orang Syiria, Armenia, Yahudi, orang-orang Roma dan Arab, yang
sebelumnya termasuk wilayah Roma; Afrika Utara yang dihuni suku Bar Bar juga
termasuk wilayah Roma. Setelah al Khulafa’ al Rasyidun, tongkat estafet diteruskan
para Khalifah Umawiyah yang berhasil menaklukan daerah Sind, Khawarizm,
Samarqand dan Spanyol. Daerah-daerah tersebut dihuni beragam suku, bahasa, agama,

32
adat, peraturan, kebudayaan, juga berbeda pola pikir dan psikologisnya. Oleh karena itu
upaya untuk meleburnya menjadi satu dan mewujudkan umat tunggal yang tidak
berbeda agama, bahasa, kebudayaan dan peraturan hidupnya merupakan pekerjaan yang
amat sulit. Keberhasilan mewujudkannya akan dianggap fantastis dan anehnya hal ini
tidak berhasil bagi peradaban selain Islam dengan naungan institusi khilafah.
Durrant mengilustrasikan keberhasilan peleburan berbagai suku bangsa dan ras
dalam peradaban Islam sebagai berikut:
“Umat non Islam sepanjang masa menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
sehari-hari, mengenakan pakaian Arab dan pada puncaknya mereka juga mengikuti
syari’at yang digariskan al Qur’an dan memeluk agama Islam. Padahal Hellenisme
tidak mampu mengukuhkan ajaran dan peradabannya setelah mendominasi dunia
selama satu millenium, pasukan Roma yang disegani tidak dapat memalingkan
agama jajahannya; di negeri-negeri yang berkembang sekte-sekte Masehi,
ajarannya berbeda dengan ajaran negara Roma yang resmi. Sedangkan Islam
dengan wilayahnya yang luas, tetap saja yang mendominasi hanya aqidah dan
ibadah Islam, para penduduknya memeluk agama baru tanpa ada paksaan. Mereka
memegang erat prinsip-prinsip al Qur’an dan melupakan agama yang dahulu
mereka peluk. Agama Islam menguasai hati ratusan suku bangsa di berbagai
wilayah: China, Indonesia, India, Iran, Syiria, Jazirah Arab, Mesir, Mareks sampai
Spanyol. Islam menjadi panutan kreativitas dan tindak-tanduk mereka, Islam benar-
benar mewarnai seluruh aspek kehidupan dan menjadi inspirator yang dapat
meringankan kesulitan hidup serta meningkatkan kebanggaan dan harga diri
mereka. Jumlah orang-orang yang memeluk Islam dan berbangga karenanya sekitar
350 juta jiwa.1Islam telah menjadi buah hati dan merukunkan berbagai bangsa yang
sebelumnya selalu berselisih dan terpecah-pecah politiknya.2
Islam sepanjang sejarah telah mengorganisir beraneka suku bangsa dalam satu
Daulah yang tidak terpecah-pecah. Jika sejarah mewartakan adanya perpecahan
beberapa negeri dan pemerintahan dari institusi khilafah Islamiyah, faktor yanng
menyebabkannya bukanlah sukuisme atau rasisme atau perpecahan yang melanda
masyarakat Islam. Penyebab sesungguhnya adalah buruknya penerapan sistem dan

1
Jumlah ini tepat ketika Durrant menulis karyanya. Adapun saat ini jumlah umat Islam sudah
melampaui angka milyaran.
2
Qisshah al Hadharah, J. 13, hlm. 133.

33
persaingan para amir (gubernur) dan keluarganya menduduki kekuasaan karena umat
pada saat perpecahan tetap solid dan kuat dan tidak terpengaruh batas-batas politis.
Sedangkan jika kita tengok Barat saat ini, walaupun berdiri di atas satu ideologi
dan satu peradaban , Barat tidak mampu melebur berbagai suku bangsa bersatu dalam
satu institusi pollitik. Upaya yang dilakukan Napoleon Bonaparte untuk menyatukan
Eropa pada permulaan abad modern dengan mengerahkan segenap kekuatan bangsa
Perancis menemui kegagalan dihadang angkuhnya dinding-dinding perbedaan bangsa
Eropa. Disusul dengan perang Dunia yang terjadi sampai dua kali. Perang tersebut amat
mengerikan, faktor utama dan pendorongnya adalah nasionalisme yan berkobar di dada
orang-orang Eropa. Begitu pula per-UU-an Eropa mengalami maasalah yang pelik
untuk diterapkan karena fanatisme kebangsaan padahal UU itupun terbatas dalam
bidang ekonomi, politi luar negeri dan kemiliteran, tidak pernah menyinggung masalah
kebudayaan, pendidikan, sosial, sarana fisik dll.
Dalam bidang ekonomi, sejarah Islam telah menceritakan kepada kita kondisi
kehidupan yang begitu adil yang jarang dinikmati umat manusia. Sistem ekonomi Islam
mendistribusikan kekayaan dengan metode yang efektif sehingga masyarakat Islam
jarang ditimpa kemelaratan pada masa-masa pemerintahannya. Cukup kita ingat salah
satu rukun Islam yang menjamin tersedianya kadar keseimbangan ekonomi yang cukup
dalam masyarakat yakni zakat yang disinggung Allah dalam al Qur’an: “Dalam harta-
harta mereka ada hak peminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” 3
Belum lagi shadaqah dan infak yang kerap dilakukan umat Islam. Kebijakan ini
terpancar dari politik ekonomi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan primer
manusia bagi setiap individu secara sempurna dan menciptakan kondisi yang kondusif
untuk memenuhi kebutuhan luksnya semampunya.4 Kebutuhan medis umpamanya,
disediakan gratis bagi semua lapisan masyarakat . Durrant mempersaksikan hal ini:
“Peradaban Islam ingin menyediakan rumah sakit-rumah sakit di seluruh penjuru
dunia dan memenuhi kebutuhan medisnya. Bimaristan umpamanya, yang dibangun
Nuruddin di Damaskus tahun 1160 M selama tiga abad merawat pasiennya cuma-
cuma dan memberi obat tanpa harus membayar harganya. Para sejarawan berkata
bahwa apinya terus berkobar tak pernah padam selama 267 tahun.5

3
S. Al Dzariyat [ ]: 19.
4
Taqy al Din al Nabhani, al Nidzam al Iqtishad fI al Islam, hlm. 62.
5
Qissah al Hadharah, J. 13, hlm. 360

34
Keadilan peradaban Islam tidak memandang strata masyarakat entah ia budak atau
pun raja. Rasul saw telah berwasiat agar memperlakukan budak dengan baik. Oleh
karena itu seorang sayyid (pemilik budak) seperti yang dipersaksikan Durrant:
“Pada umumnya seorang sayyid (pemilik budak) memperlakukan budaknya sampai
batas tidak lebih buruk dari perlakuan yang diterima karyawan pabrik-pabrik Eropa
pada abad 19 M, bahkan mereka diperlakukan lebih baik daripada karyawan itu
karena hidup seorang budak dalam naungan Islam lebih terjamin keamanan dan
kesejahteraannya.”6
Ekonomi negeri-negeri Islam berkembang amat pesat dan tidak pernah tertandingi
oleh negara-negara lain saat itu. Cukup satu contoh yang dikemukakan Durrant tentang
ekonomi Andalusia:
“Pemasukan pada masa pemerintahan Abdurrahman III mencapai 12. 045.000
dinar emas. Jumlah ini melebihi pemasukan semua kerajaan Kristen Latin. Sumber
pemasukan ini bukan berasal dari pajak yang tinggi, namun pengaruh dari
pemerintahan yang baik dan majunya bidang pertanian, perindustrian dan
perniagaan.”7
Pernyataan Durrant di atas mengindikasikan dengan gamblang bahwa Daulah Islamiyah
bukanlah negara imperialis, sistem ekonomi Islam tidak berdiri dengan menghisap
darah bangsa-banga lain dan merampas kekayaannya, bahkan bangsa-bangsa di bawah
naungan khilafah Islamiyah menikmati keadilan ekonomi Islam meskipun mereka tidak
masuk Islam. Orientalis Stanley Lein Bol dalam karyanya ‘Pemerintahan Islam di
Spanyol’ berkata:
” Spanyol sepanjang sejarahnya belum pernah menikmati pemerintahan yang
adil seperti yang dirasakan pada masa pemerintahan para penakluk Arab.”8
Durrant pun menuturkan banyak pemeluk Kristen di Spanyol lebih menyukai
pemerintahan yang dipegang Islam daripada yang dipegang Kristen.9 Daerah-daerah di
bawah kekuasan khalifah Utsmani seperti Rhodes, Yunani, Bizantium, Banadiqah?,
sampai negeri Mesir memandang keadaan negeri mereka lebih baik dibawah
pemerintahan Sulaiman daripada keluarga Habsirej?10

6
Ibid., J. 13, hlm. 112.
7
Ibid., J. 13, hlm. 293.
8
Ibid., J.13, hlm. 292.
9
Ibid., J. 13, hlm. 297.
10
Ibid, J. 26, hlm. 113.

35
Adapun peradaban Barat yang maju saat ini, keadaan ekonominya yang stabil tidak
tercapai melainkan setelah menjajah pelosok dunia dan menguasai sumber kekayaan
bangsa lain dan menghisap darahnya. Barat tidak henti-hentinya merobek dan memecah
belah bangsa-bangsa di dunia dan mengobarkan fitnah seraya duduk menumpangkan
kaki kanan ke kaki kiri melihat negara-negara lain berperang hancur-hancuran lalu
Barat tinggal mengambil kekayaan alam mereka. Meskipun kekayaan Barat telah
melimpah ruah, sistem kapitalisme tidak mendistribusikan kekayaan kepada seluruh
individu secara merata sehingga kita lihat jurang antara si kaya dan si miskin menganga
lebar. Data pun menunjukkan ratusan ribu bahkan jutaan warga Amerika menganggur
tinggal di tempat-tempat penampungan, gudang, bahkan di saluran air. Seorang pakar
politik Amerika, Zbigmen Brzezingki, penasehat keamanan presiden Jimmy Carter yang
juga menjabat sebagai penasehat ‘Pusat Studi & Strategi Dunia’ di washington telah
jauh-jauh hari mengingatkan bahaya dan krisis yang menghadang yang dapat
membinasakan masyarakat Barat pada umumnya dan rakyat Amerika pada khususnya.
Ia mengingatkan ketika membincangkan problem-problem sosial politik, meskipun
pemerintah AS telah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk memnuhi kebutuhan
medis rakyat, tetapi puluhan juta rakyat AS tidak dapat menikmatinya secara memadai.
Ia juga melaporkan betapa parahnya keadan sosial dan jatuh miskinnya daerah-daerah
yang dahulunya makmur dengan ditemukannya beberapa daerah yang penduduknya
sangat miskin, terhuyung-huyung menutupi kebutuhan sehari-hari sama halnya negara
Dunia ketiga yang paling miskin. Zbigmer pun berbicara problem rasisme dan
kemiskinan yang sudah sangat mengakar. Ia memperlihatkan sensus bahwwa persentase
rakyat Amerka yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 35,7 juta jiwa dimana
sebagian besar mereka tidak mempunyai tempat bernaung yang permanen. Keadaan ini
menurutnya tidaklah patut disandang Amerika yang dikenal sebagai negara adidaya
terkuat.11
Dalam lapangan sosal, solidaritas yang terbangun dalam masyarakat Islam yang
heterogen apalagi keharmonisan dalam keluarga belum pernah dirasakan oleh
masyarakat selain Islam. Tidak usah penulis kemukakan keadaan sosial yang telah
dikenang sejarah Islam dan bukti-bukti yang telah disaksikan musuh-musuh Islam

11
Dikutip dari majalah al Wa’ie, edisi 86, Kharija Hudud al Saitharah ’Dibalik Dinding-dinding
Dominasi’ karya Brzezinski, hlm. 22-223.

36
sendiri, yang hingga saat ini solidaritas itu masih kukuh berdiri walaupun terjadi friksi-
friksi yang disebarkan peradaban Barat dalam masyarakat Islam.
Akan tetapi dengan pandangan sekilas saja kepada masyarakat Barat, kita akan
segera tahu perpecahan yang melanda masyarakat yang semakin parah. Penulis kutip
kembali perkataan Brezezinski dimana ia melaporkan:
“Tersebarnya perilaku homoseksual yang kini menjadi ‘fenomena umum
kehidupan Amerika’ yang merobohkan institusi keluarga sebagai fondasi asasi
masyarakat. Hal ini disebabkan gentingnya masalah keluarga dengan single parent
(ibu pada umumnya) dan munculnya generasi; anak-anak di luar nikah. Faktor-
faktor di ataslah salah satu penyumbang terpenting perpecahan unsur-unsur
masyarakat. Disamping itu merebaknya perilaku seksual sejenis (homoseksual) ikut
andil yang cukup besar tersebarnya penyakit kelamin yang berbahaya.”12
Ia juga melaporkan:
“Meluasnya dekadensi moral dalam hampir setiap bidang kehidupan disebabkan
ulah mass media visual. Dengan mengatasnamakan hiburan sarana dan media
informasi menyebarkan kerusakan dan daya rangsang seksual serta kekerasan
untuk menarik perhatian pemirsa.”13
Tidak lupa Brzenzenki menambahkan:
“Semakin gentingnya angka kejahatan dan kekerasan yang meningkat tajam seiring
dengan mudahnya seorang warga sipil Amerika memperoleh senjata api lebih
mudah daripada tentara di negara-negara lain. Hal ini ditambah dengan
merebaknya film-film dan program TV yang mendorong tindakan kekerasan dan
kejahatan. Semua hal diatas menempatkan Amerika sebagai negara dengan angka
pembunuhan terbanyak di dunia.”14
Brzenzeki pun berbicara tentang peredaran obat bius; sebuah upaya untuk melarikan diri
dari kenyataan hidup yang pahit di satu sisi dan di satu sisi yang lain perdaganngan obat
bius merupakan godaan yang besar untuk menjadi kaya dalam waktu yang singkat.
Sebuah data melaporkan bahwa perdagangan obat bius di kalangan pemakainya
mencapai $ 100 juta pertahun.15 Brzenzinski menunjukkan bukti retaknya hubungan

12
Ibid., hlm. 2.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.

37
antar individu dalam masyarakat dengan banyaknya perkara peradilan yang tak
tertandingi oleh negara-negara lain serta para hakim dan pengacara Amerika sepadan
dengan 1/3 jumlah para hakim di dunia.16
Dalam sebuah kajian yang dilakukan Asosiasi Perniagaan Italia tahun 1993
tercatat; 60 % pertokoan, bar dan kedai memberikan upeti secara teratur kepada
keluarga Mafia, sedangkan upeti-upeti yang disetor dari berbagai negara mencapai $ 25
milyar pertahun. Terakhir ada beberapa kota, dimana tempat-tempat hiburannya 100 %
menyetorkan upeti seperti kota Palermo, ibukota Sicilia sebagai pusat gerakan Mafia di
dunia.17
Di Britania Raya, data resmi menunjukkan 34 % duda dan 22 % janda hidup
keumpul kebo, anak yang lahir di luar nikah mencapai angka 28,7 % dari seluruh anak
yang lahhir. Pada tahun 1990 lahir 200 ribu anak diluar nikah di Inggris Raya dan
Wales.18
Fenomena-fenomena masyarakat Barat diatas baru sekelumit dari kenyataan yang
jauh lebih banyak merupakan hasil pasti yang alami dari pola pikir Barat terhadap
kehidupan, definisi kebahagiaan dalam benak mereka dan parameter amal perbuatan di
mata mereka.
Meminjam istilah Brzenzesky yang menyebut masyarakat Amerika sebagai
masyarakat permisif yang melahirkan berbagai hal negatif sebagai berikut:
Masyarakat merupakan kumpulan individu dimana nilai-nilai akhlak, kebajikan dan
keburukan menjadi kabur diganti nilai-nilai buatan manusia: ‘UU atau non UU’. Begitu
pula nilai-nilai agama tersingkirkan jauh-jauh hanya tersimpan dalam lubuk hati dan
sebagai gantinya diajukan UU dan peraturan yang dilaksanakan aparat polisi dan
kalangan eksekutif. Peraturan buatan tersebut tidak dapat membuahkan ketertiban
karena terlalu banyak celah untuk meloloskan diri dari jerat hokum dan karena
peraturan tersebut keluar sepihak tidak muncul dari kesadaran sendiri.
Masyarakat permisif dilanda dekadensi moaral berkat paham ‘kebebasan’ dan
‘hidup nyaman’. Kebebasan dipahami sebagai melepaskan kendali syahwat setiap orang
tanpa terikat sama sekali dengan tanggung jawab umum dan kemaslahatan masyarakat.

16
Ibid., hlm. 22.
17
Majalah al Wa’ie, Edisi 70-71, hlm. 44.
18
Majalah al Wa’ie, Edisi 57, hlm. 10.

38
Yang selanjutnya kebebasan tersebut meniadakan tolok ukur yang berlaku dengan
mengecualikan keadaan-keadaan tertentu yang dilarang UU.
Adapun paham ‘kehidupan nyaman’ yang menjadi dasar definisi kebahagiaan,
menurut Brzenzesky dalam kamus masyarakat permisif berarti mencari kenikmatan dan
benda kongkrit dengan mengumpulkan hara benda sebanyak-banyaknya dan
mengkonsumsinya dengan tujuan sekedar mengkonsumsi, yang selanjutnya kekayaan
yang melimpah ruah menjadi tujuan bukan sebagai perantara mewujudkan kebahagiaan.
Brzenzenski mengecam keras mass media Barat terutama TV yang berperan besar
menyebarkan paham serba boleh, mengumbar hawa nafsu dan menanamkan nili-nilai
permisif kepada generasi muda terutama kaum wanitanya.19
Sedangkan kemajuan madaniyah (sarana dan benda fisik) yang mencakup berbagai
disiplin ilmu, industri, teknologi, kedoteran dan lain-lain -sesuatu yang dibangga-
banggakan Barat saat ini- tidak dapat membendung kesengsaraan dan kebobrokan yang
melanda masyarakat Barat. Madaniyah dan pesatnya ilmu merupakan sarana penolong
manusia untuk memudahkan kehidupan sehari-hari. Jika pola hidup dan perilaku
seseorang muncul dari hadharah yang menyimpang, pola pikir yang salah dan sistem
yang rusak maka hasil benda tadi pada umumnya hanya menambah kesengsaraan dan
kebobrokan. Seorang filosof Perancis, Garaudy yang memeluk Islam awal dekade 80-an
berkata:
“Sebagaimana yang telah terjadi pada masa keruntuhan imperium Roma, kita
sekarang hidup dalam ‘fase sejarah yang diwarnai kekerasan’ yang berbeda
dengan fase lainnya dengan adanya dominasi teknologi dan militer yang
menentukan kedigdayaan suatu bangsa. Produk akal dan hukum manusia tidak
dapat memberi arti hidup dan sejarah yang sebenarnya.”20
Lebih jauh filosof Inggris Juth berpendapat:
“Sesungguhnya ilmu-ilmu alam telah memberikan kita kekuatan yang sepadan
dengan Tuhan, namun kita menggunakannya seperti anak kecil dan atau binatang
buas.”21
Peradaban Barat yang beradab menggunakan teknologi untuk membuat bom atom
yang memusnahkan ribuan manusia dan mengorbankan api perang dan fitnah di

19
Dikutip dari Majalah al Wa’ie, Edisi 86, hlm. 20-21.
20
Dikutip dari Majalah al Wa’ie, Edisi 63, hlm. 10.
21
Fihris Qissah al Hadharah, J. 13, hlm. 107.

39
berbagai penjuru dunia hanya untuk memasarkan industri persenjataan mereka.
Teknologi di tangan Barat berubah menjadi mesin penghancur dan menimbulkan
penyakit.
Lalu apa perlunya ilmu medis dikembangkan sedemikian rupa dengan berbagai
penyakit mematikan yang ditimbulkan peradaban permisif yang mendegungkan
kebebasan, sebuah peradaban yang kehilangan makna kemanusiaan, moral dan nilai-
nilai spiritual kecuali materi belaka?! Apakah ilmu mampu menyatukan keluarga-
keluarga yang asing satu sama lain? Apakah mampu menghentikan tindak kriminal yan
semakin membabi buta? Apakah ada solusi yang tepat untuk mengentaskan berbagai
krisis yang melanda jutaan manusia?
Seorang Duta Besar Jerman di Maoko, Murad Hofman yang telah memeluk Islam
sejak beberapa tahun yang lalu berkata:
“Hendaknya kita merenungkan akibat pahit masyarakat industri dan nilai netral
yang didakwakannya. Masyarakat bersenang-senang dengan bentuk kebebasan
yang ia kehendaki; kehidupan yang diasuransikan sejak ayunan hingga lobang
kubur, kebebasan seksual yang tidak mengenal batas larangan, beraneka ragam
narkotika sesuai kadar permintaan, waktu kosong, hari libur yang dijamin UU dan
semua hak-hak kebendaan yang diberikan kepada seseorang. Akan tetapi dengan
segala kemudahan di atas, mereka merasakan kehampaan yang besar terlihat dari
aktivitas mereka. Mereka merindukan ketenangan dan kasih sayang kemanusiaan
yang terbentuk atau berkembang dalam suatu masyarakat dan kepemimpinan
spiritual. … Di balik kegemerlapan dunia ada jeritan hati yang mempertanyakan
eksistensinya dalam kancah kehidupan.”22
Sejarah Islam telah membukukan kontribusi yang besar dalam disiplin keilmuan,
produk teknologi, inovasi kedokteran dan kreatifitas seni, sarana dan infra struktur.
Negeri-negeri Islam menjadi senacam museum yang mengagumkan dan pemandangan
mempesona setiap orang yang menimbanya baik dari kalangan Barat dan Timur.
Durrant berkata:

22
Murad Hofman, al Islam Ka Badil ‘Islam Sebagai pengganti’, hlm. 29.

40
“Daerah antara Bukhara dan Samarqand pada pertengahan abad 10 M dianggap
salah satu empat surga dunia. Sedangkan tiga surga dunia yang lain adalah Bagian
Selatan Iran, Bagian Selatan Irak dan daerah yang meliputi Damaskus di Syiria.”24
Ia pun melanjutkan:
“Bangsa Arab mempunyai keahlian seni dan tehnik yang amat tingi, salah satu
buktinya adalah jam air yang dihadiahkan Harun al Rasyid kepada raja Perancis,
Charlemagne. Jam tersebut terbuat dari kulit dan tembaga kuning yan ditatah . Cara
kerjanya dengan menggerombolnya logam, membuka sebuah pintu setiap jam dan
dalam bilangan tertentu sejumlah logam jatuh menimpa simbal kemudian menarik
mundur dan menutup pintu kembali.”24
dan ia menambahkan:
“Negeri-negeri Asia Barat di bawah pemerintahan umat Islam mencapai kemajuan
perindustrian dan perdagangan yang tak tertandingi oleh Eropa sebelum abad 16
M.”25
Sarana dan benda fisik dikalangan masyarakat Islam ditujukan demi membantu
umat manusia, bukan untuk memusnahkan dan menundukkan bangsa-bangsa. Aktivitas
yang dilakukan umat Islam seperti yang dikatakan seorang filosof wamita Jerman,
Ingrid Hoonka adalah ‘aktivitas pembebasan yang berperan besar dalam sejarah
dunia’.26
Kalangan terpelajar Barat sendiri mengakui bahwa bangunan keilmuan, teknologi,
kedokteran, fisika, kimia, arsitektur dan lain-lain yang dicapai Barat saat ini pada
umumnya ditopang teori-teori dan penemuan-penemuan dunia Islam selama masa
kebangkitannya. Ingrid berkata:
“Umat Islam telah memberikan hadiah yang paling berharga yaitu metode ilmiah
yang benar yang meratakan jalan Barat untuk menguak rahasia alam dimana
metode ini mendominasi barat saat ini.”27
Durrant berkata:
“ketika Roger Bacon mengenalkan metode Ilmiah ke Eropa, 500 tahun sebelumnya
Jabir telah menggali dan menemukannya. Inspirasi Jabir adalah cahaya Islam yang

23
Qisshah al Hadharah, J. 13, hlm. 107.
24
Ibid, J. 13. hlm. 108.
25
Ibid.
26
Fihris Qisshah al Hadharah, J. 1, hlm. 11.
27
Ibid., J. 1, hlm.12.

41
menerangi masyarakat Arab Spanyol. Penemuan jabir baru secercah cahaya yang
menerangi umat Islam di Timur.”28
Muhammad Asad (Leopold Wise) berkata:
“Sesungguhnya kebangkitan atau hidupnya berbagai disiplin ilmu dan kesenian
Eropa banyak bersumber dari Islam dan Arab pada khususnya. Eropa menisbatkan
kemajuan mereka sebagai penerus peradaban antaara Timur dan Barat. Eropa telah
memanfa’atkan peradaban Islam lebih banyak daripada dunia Islam itu sendiri,
hanya saja Eropa tidak mengakuinya.”29
Inovasi teknologi yang begitu mencengangkan pada abad 20 ini dengan
ditemukannya atom, penjelajahan luar angkasa tidak bisa dinisbatkan kepada peradaban
Barat sekadar akumulasi informasi, penemuan, teori dan dasar-daar keilmuan dalam
akal seseorang dan arsip yang dibukukan. Kekayaan khazanah tersebut menunggu
peradaban apa pun yang bangkit untuk mengembangkan, yang saat ini bertemu secara
kebetulan dengan peradaban Barat. Dengan bukti bahwa komunisme yang bertentangan
dengan peradaban Barat -juga dapat mewujudkan kemajuan yang dicapai Barat- pada
level yang sama saat jayanya. Kalau kemunduran tidak menimpa institusi yang dimotori
sistem komunisme apalagi Uni Sovyet, niscaya komunisme akan terus bersaing dengan
Barat mengembangkan teknologinya. Sebagaiman pula peradaban Islam saat ini
merupakan kandidat unutk mengambil alih peran tersebut bila umatnya kembali ke
sistem Islam secara utuh.
Bangsa-bangsa Barat menyadari bahwa kebangkitannya tidak dapat mewujudkan
kebahagiaan, sebaliknya malah menjadi sumber kesengsaraan, kegelisahan, ketakutan
dan hanya mengejar fatamorgana.
Maha benar Allah yang telah berfirman:

“Dan orang-orang kafir, amal perbutan mereka bagaikan fatamorgana di tanah


yang datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila
didatanginya air itu, dia tidak mendapati sesuatu apapun. Dan didapatinya

28
Qisshah al Hadharah, J. 13, hlm. 292.
29
Al Islam ‘ala Muftaraq alThuruq, hlm. 53.

42
(ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya kalkulasi amal
dengan akurat. Dan Allah sangat cepat hisabnya.”30
Jika peradaban komunis hanya berumur sekejapan mata karena amat kontradiktif
dengan fitrah dan akal manusia, peradaban Barat pun akan segera menyusul setelah
bangsanya mencapai titik jenuh. Apabila komunisme diumpamakan martil yang
menghatam kepala seseorang atau sabit yang menebas putus leher, maka peradaban
Barat kapitalisme bagaikan racun yang beredar di urat tubuh tanpa disadari yang
melemahkan metabolisme sedikit demi sedikit hingga akhirnya mencabut nyawa
perlahan-lahan. Orang-orang yang menyadari bahaya yang mengancam masyarakat
Barat menyerukan, diantaranya Brzenzinski:
“Mari kita kaji ulang secara komprehensif filosofi Materialis yang membangun
peradaban Barat dan mengkritisi substansinya yang semakin akut. Rakyat Amerika
harus menyadari bahwa sebuah masyarakat yang tidak menggubris nilai dan norma
yang baku dan hanya berlandaskan filosofi mewujudkan kesenangan subyektif
serta memenuhi rangsang belaka adalah masyarakat yang sakit yang akan meleleh
dan hancur.”31
Dalam hubungan ini Brzenzeski menghimbau kepada rakyat Amerika agar mempelajari
sejarah kebangkitan dan kemunduran sebuah peradaban, pengambil alihan tingkat
eksplorasi dan kemundurannya lepas dari tingkat ini. Ia berkata:
“Sejarah telah mengajarkan kita bahwa setiap kekuasaan yang jaya mempunyai
misi peradaban menyebarkan moralitas yang tinggi dan agar diteladani oleh
bangsa-bangsa lain dengan loyalitas bukan dengan kekuatan militer atau
pemaksaan. … Dengan hilangnya misi peradaban ini tipe peradaban Amerika akan
dibuang jauh-jauh seperti dicampakannya peradaban komunis Sovyet
sebelumnya.”32
Adapun kita sebagai umat Islam dengan penuh iman kepada firman Allah swt:
“Demikianlah, kami jadikan kamu sekalian umat yang adil agar kamu sekalian
menjadi saksi atas umat manusi dan Rasul menjadi saksi atas kamu.”33

30
S. Al Nur [ ]:39.
31
Majalah al Wa’ie, Edisi 86, hlm. 25.
32
Ibid.
33
S. Al Baqarah [ ]: 113.

43
Kita yakin dunia akan terus menjadi korban dengan segala maasalah dan krisis yang
melilitnya sehingga umat Islam kembali mengemban Islam ke seluruh penjuru alam
demi menebarkan syari’at Ilahi yan diturunkan kepada Muhammad saw sebagai rahmat
untuk seisi alam. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali setelah umat Islam
mengawali lembaran hidupnya dengan Islam sebagai aqidah dan peraturan hidup yang
menata kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan berrmasyarakat dan bernegara serta
mengemban risalah Islam ke pelosok dunia.
Allah ‘azza wa jalla telah berfirman:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman diantaramu dan


mengerjakan amal perbuatan yang saleh bahwa Dia sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi sebagaiman Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridha-Nnya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka
tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Siapa
yang kafir sesudah janji itu mereka itulah orang-orang yang fasik.”34
Kemunduran yang menimpa dunia Islam, bila diteliti dengan seksama dan akurat
sejarah dahulu dan kini, mengindikasikan bahwa Dunia Islam tidak merosot karena
faktor mabda’ Islam yang tidak komprehensif. Aqidah Islam adalah aqidah yang benar,
sesuai dengan fitrah dan akal manusia, juga mencakup kenyataan hidup, alam semesta
dan manusia. Sistem peraturannya juga benar yang turun dari sisi Allah untuk
memecahkan problematika manusia sebagai seorang manusia dalam setiap ruang dan
zaman. Akan tetapi kemunduran yang menggerogoti umat Isslam disebabkan rendahnya
pemahaman umat terhadap mabda’nya sendiri yang selanjutnya umat agak menyimpang
menerapkannya.
Sebuah ideologi bukanlah obat instan yang sanggup menyembuhkan seperti sihir,
namun daya efektifnya tergantung di pundak umat yang memahami dan
mengembannyasehingga dapat diterapkan dalam masyarakat secara utuh. Umat Islam
menabuh genderang kemundurannya ketika mereka dengan senang hati merubah sistem
khilafah menjadi kerajaan dan menutup pintu ijtihad serta mengabaikan bahasa Arab.

34
S. Al Nur [ ]: 55.

44
Saat itu umat menutup pintu kebangkitannya. Karena ijtihad dan memahami bahasa
Arab adalah satu-satunya metode untuk memahami Islam yang kemudian akan
diterapkan. Mulailah bangunan berpikir umat yang kokoh menjadi rapuh dan kerdil
sehingga terbuka jalan bagi Barat untuk menguasai masyarakat Islam. Umat pun
menduga bahwa mereka akan bangkit dengan produk dan pola pikir Barat sebagaimana
halnya Barat bangkit. Umat melupakan aqidah Islam yang amat berseberangan dengan
aqidah Barat yang seharusnya disingkirkan jauh-jauh.
Merupakan hukum alam; Allah tidak akan merubah kondisi suatu kaum sehingga
mereka merubah pola pikir yang ada dalam diri mereka. Saat ini, umat Islam
mempunyai kewajiban untuk mempelajari Islam yag murni, jauh dari kerangka berpikir
orang lain, lepas dari noda dan racun berpikir yang menumpuk selama masa
kemunduran atau pemikiran yang sengaja dilontarkan Barat, demi mewarnai dan
mencelup masyarakat Islam dengan pola pikir, emosi dan sistem Islam sehingga
masyarakat Islam kembali menjadi mercusuar yang menyinari bangsa dan umat lain di
balik gerbang hidayah dan pembebasan.
Maha benar Allah yang telah berfirman:

“Sesungguhnya bumi ini milik Allah. Allah mewarisinya kepada hamba-hamba Nya
yang Ia kehendaki. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertaqwa.”35

35
S. Al A’raf [ ]: 127.

45
BAGIAN KEDUA:

Allah swt berfirman:

Tidakkah kamu perhatikanbagaimana Allah telah membuat perumpamaan


kalimat yang baik seperti pohon yang harum, akarnya kokoh dan cabangnya
menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya setiap musim dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu
ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang merana, yang
telah tercabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak
sedikitpun. Allah meneguhkan iman orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan Allah menyesatkan oran-
orang yang zalimdan melakukan apa yang ia kehendaki. (QS. Ibrahim [ ]: 24-28.

HADHARAH/PERADABAN

Kata Hadharah dan Madaniyah merupakan terminologi yang sering kita dengar
belakangan ini. Dalam membahas terma hadharah secara umum maupun hadharah
Islam secara khusus, sudah selayaknya untuk memahami terlebih dahulu makna yang
ditunjukkan dua kata tersebut, terlebih lagi kata pertama; hadharah, sehingga pembaca
memahami maksud penulis mengenai makna tersebut ketika dituturkan. Adalah suatu
hal yang tak terbantahkan bahwa pembatasan makna yang ditunjukkan oleh suatu istilah
ketika dipergunakan adalah perkara yang sangat penting, sehingga tidak terjadi
pengaburan makna bagi para pendengar atau pembaca.
Dalam Lisan al ‘Arab, makna kata hadharah secara etimologis adalah al
Iqamah fi al hadhar (berdomisili di kota). Adapun hadhar, hadlarah, hadhirah adalah
antonim kata badiyah yang artinya kota, desa, sehingga ketika ada kata hadharah secara
etimologis maka yang dimaksudkan adalah kebalikan dari pedalaman yaitu; tempat
tinggal berupa kota atau desa. Akan tetapi penggunaan makna etimologis ini bukanlah
yang dimaksudkan ketika berbicara mengenai hadharah dalam konteks pemikiran,
sejarah dan politik kontemporer. Kata hadharah telah menjadi suatu terminologi baru

46
yang menunjukkan arti yang berbeda dari arti bahasa. Pertumbuhan istilah ini kembali
menjadi pembahasan yang dipelajari di Eropa, ketika orang-orang Barat
mempopulerkan penggunaan istilah civilization yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab dengan hadharah atau madaniyah yang kemudian diartikan sebagai tersebarnya
benda-benda dan hasil-hasil karya yang tersebar dengan cepat di masa sebelum abad 15
M yang kemudian diartikan juga sebagai masa kebangkitan. Hanya saja ungkapan ini
berubah dari maknanya ke makna lain bersamaan dengan berlalunya waktu. Pada
akhirnya dikatakan sebagai sesuatu yang dimiliki oleh suatu bangsa, masyarakat atau
umat berupa warisan, kekhususan dan karya-karya yang membedakannya dengan
masyarakat lain. Maka kemudian para sejarawan, pemikir dan pengarang berbicara
mengenai hadharah seperti hadharah Mesir Kuno, Yunani, Sumeria, Romawi, Persia,
China, India, Eropa abad pertengahan, hadharah Islam, dan hadharah Barat kini,
komunis dsb. Dan berpindahlah istilah Barat ini ke bahasa Arab dengan menggunakan
dua ungkapan yaitu hadharah dan madaniyah, dan digunakan untuk menunjukkan arti
baru. Hanya saja, kemusykilan dalam istilah ini adalah bahwa sebagian besar orang
yang menggunakan istilah ini memasukan segala sesuatu yang dimiliki masyarakat baik
warisan ataupun hasil-hasil karya berupa pemikiran, hukum-hukum, prestasi-prestasi
ilmiah dan benda-benda lainnya ke dalam makna hadharah tanpa memperhatikan hal-
hal yang menjadi ciri khas masyarakat itu dan mana yang tidak.
Ketika kita membahas Hadharah suatu masyarakat di antara masyarakat-
masyarakat yang lain, sesungguhnya kita membahas mengenai metode menjalani
kehidupan yang membedakan suatu masyarakat dari masyarakat yang lain. Amat
gamblang, baik dulu maupun sekarang bahwa masing-masing masyarakat memiliki
metode menjalani hidupnya tersendiri yang membedakannya dengan masyarakat yang
lain, dan menjadikannya sebagai kelompok manusia yang memiliki kepribadian
tertentu, corak, maupun identitas yang khusus. Metode inilah yang kemudian dikenal
sebagai Hadharah.
Oleh karena itu didalam menggunakan maupun memberikan definisi atas istilah
ini janganlah memasukkan hal-hal selain pendukung kepribadian masyarakat yang
menjadikannya masyarakat khusus yang berbeda dengan yang lain dalam pola
hidupnya. Maka janganlah memasukkan benda-benda dan sarana-sarana materi yang
dipergunakan oleh masyarakat dalam urusan hidupnya, sementara, semuanya itu

47
bukanlah hal yang membedakan ciri suatu masyarakat. Pabrik-pabrik, beraneka ragam
mobil, kapal terbang dan semua prestasi kebendaan yang dihasilkan oleh suatu
masyarakat, bukanlah hal yang memberi corak identitas suatu masyarakat. Masyarakat
yang berpegang teguh pada Hadharahnya akan bersikap tegas terhadap hal-hal baru
yang berdatangan baik berupa pemikiran, peraturan-peraturan dan pandangan hidup,
meskipun pada waktu yang bersamaan mereka mengadopsi benda-benda dan sarana-
sarana materi yang dihasilkan oleh suatu bangsa atau masyarakat selagi tidak
bertentangan dengan Hadharahnya yang membentuk ciri khas masyarakat dalam
kehidupannya. Bahkan kita bisa melihat bahwa sebuah negara maju yang memegang
teguh hadharahnya senantiasa ingin beraliansi dengan negara lain untuk
menyempurnakan penemuan-penemuannya, yaitu berupa inovasi, seni, tehnik, dan
keilmuan karena semuanya itu merupakan sebab kekuatan yang senantiasa diincar oleh
umat-umat yang maju untuk dikuasainya. Oleh karena itu tidaklah asing bagi kita bahwa
masing-masing blok, Timur dan Barat pada waktu perang dingin antara pasukan
komunis dan kapitalis, masing-masing saling berusaha mengungguli musuh dalam hal
penemuan dan industri-industri. Bahkan terkadang keduanya sampai pada pencurian
siasat perang dan teori-teori ilmiah perindustrian, tehnik dan kemiliteran. Hal ini
menunjukkan bahwa penemuan dan inovasi benda-benda dan sarana materi ini
bukanlah yang membentuk ciri khas dan identitas masyarakat.
Adapun dalam perkara yang berhubungan dengan aqidah, ideologi, pendidikan,
politik dsb masing-masing keduanya bersiap siaga terus menerus untuk berhadapan,
adakalanya dengan membuat dinding yang tebal untuk menjaga masuknya pemikiran-
pemikiran kepada masyarakatnya ada pula dengan propaganda anti lawan supaya bisa
memobilisir para pemikir, pengarang, dan kritikus yang memperluas pemikiran-
pemikiran baru untuk memukul, membantah dan memutarbalikkan fakta. Kesemuanya
itu mewajibkan kita untuk memberi batasan antara istilah yang menunjukkan arti
metode kehidupan dan identitas masyarakat, dengan kumpulan benda dan sarana-sarana
yang terindera yang digunakan dalam urusan kehidupan, yang bersifat umum untuk
suatu bangsa dan masyarakat. Kemudian oleh karena itu kita mengkhususkan kata
hadharah untuk menunjukkan sesuatu yang menjadi ciri khas suatu masyarakat dan
metode kehidupannya yang unik, sementara madaniyyah adalah kumpulan benda-benda
dan sarana-sarana yang dipergunakan dalam urusan kehidupan. Dengan demikian

48
perkara yang memberi corak khusus pada masyarakat adalah mafahim yang dipegangi
oleh masyarakat tertentu. Tidak mungkin ada suatu yang bernama masyarakat kecuali
dengan adanya individu-individu yang berinteraksi secara terus menerus. Adapun ciri
dari interaksi di masyarakat inilah yang menentukan identitas dan kepribadian suatu
masyrakat. Berdasarkan hal itu kita mengartikan hadharah sebagai sekumpulan
mafahim mengenai kehidupan.
Kita, umat Islam lebih perlu untuk membedakan antara hadharah dan
madaniyah karena Islam menjadikan umatnya umat yang khas, hidup dengan pola yang
khas dan tersendiri dari pola kehidupan umat-umat yang lain. Hal itu karena
masyarakat Islam tegak di atas asas aqidah yang bersumber dari wahyu Ilahi, yang
terpancar darinya peraturan-peraturan yang sama. Islam mengatur interaksi antar
manusia dalam masyarakat Islami. Dengan demikian hadharah Islam yang terpancar
dalam masyarakat Islam menjadi hadharah yang tersendiri, khas, luhur mengalahkan
semua peradaban- peradaban manusia yang lain.
Ketika istilah ini tidak ada pada masa-masa kebangkitan Islam maka kaum
muslimin harus memisahkan secara praktis benda-benda dan sarana yang boleh diadopsi
baik berupa aqidah, filsafat, hukum maupun peraturan-peraturan yang lain.
Dewasa ini, bersamaan dengan tersebarnya istilah hadharah, interaksi
peradaban, dan pergantian kebudayaan dihadapan perang hadharah dan tsaqafah yang
datang dari Barat ke negeri muslim maka wajib bagi kita untuk memberikan
pemahaman Islam sejelas-jelasnya mengenai hal yang boleh diterima dan yang tidak
boleh diterima. Termasuk hal-hal yang datang dari negara lain yang bermanfaat bagi
umat Islam.
Hadharah tidak boleh diadopsi dari umat ataupun masyarakat yang lain karena
hadharah umat Islam adalah sekumpulan ide-ide Islam mengenai kehidupan. Ide-ide
ini terpancar dari pemikiran Islam maupun terbangun diatasnya. Islam, sebagai agama
yang datang dari Allah yang diwahyukan kepada Rasul saw tidak menerima
percampuran dengan mazhab, peraturan, dan prinsip selain Islam. Islam juga terlepas
dari klaim penjiplakan atas hadharah lain. Tampak sangat jelas dalam sejarah bahwa
hadharah Islam berbeda secara diametral dari semua hadharah yang lain. Karena itu,
umat Islam tidak boleh mencampur adukkan aqidahnya dengan aqidah, filasafat,
maupun peraturan-peraturan selain Islam. Allah berfirman:

49
“ Sesungguhnya telah datang kepadamu nur (cahaya) dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang yang mengharapkan
keridhaan-Nya kepada jalan selamat dan mengeluarkan mereka dari gelap
gulita ke dalam terang benderang dengan izin-Nya serta menunjuki mereka ke
jalan yang lurus.”1
“Ikutilah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah
kamu turuti wali (Tuhan-tuhan) lain selain-Nya. Sedikit sekali di antaramu yang
menerima peringatan.”2
“Pada hari ini (Arafah) aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupkan
untukmu nikmat-Ku dan aku ridhai Islam menjadi agamamu”3
Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang baru,
dan semua bid’ah itu sesat”.4
Beliau juga bersabda:
“Sungguh kamu akan mengikuti aturan orang-orang sebelummu sejengkal demi
sejengkal, sedepa demi sedepa, sampai andaikan mereka masuk ke lobang
biawak pun, pasti kalian akan mengikutinya. Maka sahabat bertanya:” Wahai
Rosulullah, apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani? Rasul saw menjawab :
Siapa lagi “ 5
Berdasarkan hal itu, kita tidak diperbolehkan mengambil filsafat dan aqidah
kufur untuk diadopsi dan diambil manfaatnya meskipun boleh untuk mempelajarinya
sekedar untuk menolak dan mendebat para pengikutnya. Tidak boleh juga mengadopsi
prinsip-prinsi liberal dan teori Marx, hukum demokrasi, republik, kerajaan, diktator dll.
Begitu pula mengambil sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme dsb, serta tidak boleh
pula mengambil pandangan hidup kebebasan , eksitensialisme, feodalisme, marxisme,
hegel dll. Karena semua itu adalah mafahim mengenai kehidupan, alam dan manusia
yang dihasilkan oleh akal manusia yang bertentangan dengan hadharah Islam.

1
S. Al Ma’idah [ ]: 15-16.
2
S. Al A’raf [ ] :3.
3
S. Al Ma’idah [ ]:3.
4
HR. Muslim, Kitab al Jum’ah :43.
5
HR. Muslim, Kitab al Aqdhiyah: 17.

50
Adapun madaniyah yang berarti sekumpulan benda-benda dan sarana-sarana
materi yang dipergunakan dalam urusan kehidupan boleh diambil dan dimanfaatkan
selagi tidak berasal dari hadharah selain Islam ataupun bertentangan dengan hadharah
Islam. Dia hanyalah produk manusia yang netral, tidak menggambarkan suatu
pandangan hidup maupun metode kehidupan, ataupun hadharah yang lain. Sebagai
contoh, Rasul saw mengambil uslub (tehnik) menggali parit dari persia pada perang
Ahzab yang diusulkan Salman al Farisi ra. Begitu juga Umar ra, beliau mengambil
teori perkantoran dari persia, yaitu suatu sistem penghitungan harta dan manajemen
kerja kantor. Begitu juga umat Islam pada masa kebangkitannya, mereka mengambil
ilmu-ilmu dan hasil karya cipta yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa terdahulu maupun
yang semasa dengan mereka, karena semua itu sesuai dengan kaidah syar’i yang
mengatakan bahwa “ Asal hukum benda adalah mubah.” Oleh karena itu kaum
muslimin dewasa ini boleh mengadopsi sistem kemiliteran, hasil-hasil kerajinan yang
dihasilkan oleh bangsa lain seperti kapal terbang, mobil, peralatan perang, alat-alat
kedokteran, tehnik, laboratorium dan teori-teori ilmiah. Bahkan hal itu bisa menjadi
wajib ketika sarana-sarana itu menjadi sebab kekuatan sebagaimana firman Allah swt:
“Persiapkan olehmu untuk melawan mereka kekuatan dan senjata apa saja”.6
atau ketika sarana-sarana itu masuk dalam kategori “Ma la yatimmul wajib illa bihi
fahuwa wajib”. Misalnya ketika pekerjaan pada institusi Daulah menuntut sistem kerja
kantor menggunakan komputer atau dalam mengurusi urusan umat dalam mengatur lalu
lintas perhubungan dan pasar membutuhkan tehnik-tehnik modern maka boleh
menggunakan tehnik dari negaraa lain asalkan kesemuanya itu tidak berkaitan erat
dengan hadharah bangsa lain.
Ada pun jika sarana sarana itu bersumber pada hadharah selain Islam maka ia
dianggap sebagai hadharah dan tidak boleh diambil dan dimanfaatkan seperti gambar
wanita telanjang. Di negara Barat hal itu adalah bentuk madaniyah yang berkaitan
dengan hadharah Barat yang menunjukkan kemerosotan dan kerusakan akhlak yang
berlabelkan kebebasan segala hal. Hal itu haram diadopsi oleh umat Islam yang
mengganggap wanita sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Begitu pula pabrik
minuman keras, alat-alat penyembelihan binatang yang tidak sesuai dengan syari’at,
pasar bursa yang tegak di atas uang riba dan sejenisnya . Semuanya ini adalah sarana-
6
Al-Anfal [ ]:60

51
sarana dan benda-benda yang dihasilkan oleh suatu hadharah selain Islam dan nyata-
nyata bertentangan dengan Islam.
Hukum mengenai sarana-sarana dan juga benda-benda ini berlaku pula pada seni
dan pakaian. Maka jika berkaitan erat dengan pandangan hidup atau hadharah atau
agama selain Islam maka hadharah itu tidak boleh diambil oleh kaum muslimin. Maka
tidak boleh kaum muslimin mengenakan baju pendeta, paranormal dan sejenisnya
karena haram menyerupai orang kafir.
Kesimpulannya, hadharah adalah sekumpulan ide mengenai kehidupan yang
haram bagi umat Islam untuk mengambil keseluruhannyanya ataupun sebagiannya dari
selain Islam karena Islam telah telah memberikan pada mereka (kaum muslimin)
hadharah yang sempurna dan unik. Adapun madaniyah adalah sekumpulan benda-
benda dan sarana yang dipergunakan dalam urusan kehidupan yang bersifat umum bagi
semua manusia dan masyarakat, dan boleh bagi umat Islam untuk mengambilnya selagi
tidak bertentangan dengan Islam dan hadharahnya.

52
ISLAM : SEBUAH IDEOLOGI

Manusia sesuai karakteristik dan fitrahnya selalu mencari kebahagiaan,


kemajuan dan kemakmuran demi mewujudkan kehidupan yang mulia di atas
makhluk-makhluk lainnya.

Sejak dahulu, manusia senantiasa berusaha mewujudkan kemajuan dan


kemakmuran demi mencapai kebahagiaan. Demi mencapai tujuan tersebut kalangan
terpelajar, filosof dan pembuat UU menawarkan konsep, keyakinan dan ideologi
yang kemudian diikuti oleh masyarakat awam. Akan tetapi apakah mereka mencapai
tujuan dan cita-cita mereka ? Jawabannya sudah jelas: Tidak!, karena mereka belum
mengetahui metode meraih kebangkitan hakiki yang berujung kebahagiaan.

Jika seorang manusia ingin mengetahui kebangkitan hakiki yang


membuahkan kebahagiaan, ia harus mengetahui lebih dahulu suluk (perilaku) yang
benar. Suluk itulah yang akan mengantarkannya menuju kebangkitan atau bahkan
kemunduran. Lalu timbul pertanyaan apakah suluk itu?

Suluk adalah sejumlah perbuatan manusia dalam kehidupan dan


masyarakat. Semua perbuatan itu ujung pangkalnya kembali kepada potensi
kehidupan yang ada dalam diri manusia.

Potensi hidup ini mendorong manusia melakukan perbuatan sehari-hari.


Potensi hidup ini berupa kebutuhan-kebutuhan jasmani dan naluri yang menuntut
untuk dipenuhi sehingga seorang manusia memiliki rasa ingin makan, minum,
berpakaian, memiliki harta, mempertahankan diri dan perbuatan-perbuatan lain yang
bertujuan memenuhi naluri tadi. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

“Dihiasi pada manusia mencintai syahwat, berupa wanita, anak-anak, dan


harta benda yang banyak, dari emas, perak, kuda yang bagus, binatang-
binatang ternak, dan tanam-tanaman. Demikian itulah kesenangan hidup di
dunia….”1 (Ali Imron:14)

1
Ali Imron [ ]:14

53
Manusia menemukan bahwa sarana pemenuhan kebutuhan dan
keinginannya telah tersedia di sekitarnya, namun timbul problem bagaimana
mendapatkan dan memanfaatkannya? Dengan cara apa ia akan memenuhi kebutuhan
jasmani dan nalurinya?, karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak
serta merta dapat memanfaatkan benda-benda sekitarnya secara otomatis seperti
halnya binatang. Manusia mempunyai nurani yang dihadapkan pada beragam pilihan
dan jalan untuk mendapatkan kebutuhannya.

Bila manusia telah memilih metode tertentu untuk memanfaatkan benda-


benda sekitarnya dan dalam memenuhi kebutuhan jasmani serta nalurinya, berarti ia
telah memilih suluk tertentu. Dengan suluk itu ia akan berusaha memenuhi
kebutuhannya dan yang akan mempengaruhi aktivitas dan perilakunya juga akan
menentukan sikap dan kejadian yang menimpanya serta sebagai metode
memecahkan masalah yang merintanginya.

Kini, setelah mengetahui makna suluk, kita sampai pada pembahasan inti;
Suluk macam apa yang akan mengantarkan manusia menuju kebangkitan hakiki yang
membuahkan kebahagiaan?

Sebelum mengetahui suluk yang luhur, kita harus memahami terlebih


dahulu pola pikir yang benar, karena suluk seorang manusia tergantung pada
mafhumnya. Mafhum inilah yang menentukan tingkah laku manusia dalam
kehidupannya. Suluk seperti yang telah disebutkan adalah sejumlah keterkaitan
manusia dengan benda-benda dan individu lain. Mafhum manusia terhadap benda-
benda ini akan menentukan sikapnya, sebagai contoh mafhum seorang manusia
dengan seseorang yang dicintainya tentu akan mengarahkan perilakunya berbeda
dengan seseorang yang dibencinya, begitu pula perilakunya dengan orang yang tidak
dikenal, akan berbeda karena pada dirinya tidak ada mafhum tentang orang tersebut.
Oleh karena itu bila kita ingin agar seseorang mempunyai suluk yang tinggi, ia harus
terlebih dahulu mempunyai mafhum yang benar.

Firman Allah swt:

54
“Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu komunitas hingga mereka
mengubah sesuatu (pola pikir; mafhum) yang ada pada diri mereka”.2

Mafhum ini tidak akan terwujud kecuali bila manusia telah mempunyai sudut
pandang tentang kehidupan dunia yang menjelaskan keberadaan dan tujuan hidupnya.
Jika ia telah menentukan tujuan hidup dan eksistensinya di dunia serta kepentingannya
dengan tujuan tersebut niscaya ia akan mampu melihat konsep yang tepat tentang
benda-benda. Kemudian ia akan menempuh suluk yang selaras dengan sudut pandang
yang telah terpatri dalam dirinya itu.
Pandangan tentang kehidupan dunia juga tidak akan tertanam kecuali setelah
mewujudkan pola pikir tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hal-hal
sebelum dan sesudahnya juga hubungan antara kehidupan sebelum dan sesudahnya.
Yang demikian ini dengan memberikan fikrah kulliyah (ide universal, world view)
tentang alam semesta, manusia dan kehidupan sebagai akar yang melahirkan pemikiran
cabang tentang kehidupan. Alasannya karena seorang manusia merasa bahwa
kehidupan adalah lingkaran rantai yang bersambung yang temasuk bagian dari sesuatu
yang menyeluruh. Dengan fikrah kulliyah ini, seorang manusia memecahkan al Uqdatul
Kubra (ikatan terbesar) yang senantiasa mengusik pikiran manusia sejak menginjakkan
kaki di dunia. Tatkala al Uqdatul Kubra ini terurai, terurai pula ikatan-ikatan yang lain
yang merupakan cabang dari al Uqdatul Kubra.
Ketika manusia telah berhasil menguraikannya, berarti ia telah beraqidah dan
memiliki qaidah fikriyah (paradigma berpikir) yang melahirkan pemikiran/konsep-
konsep cabang dan peraturan-peraturan hidup. Dalam ungkapan lain ia telah menganut
sebuah mabda’(ideologi).
Mabda’ secara umum adalah pemikiran mendasar yang melahirkan pemikiran-
pemikiran lain. Sebuah pemikiran tidak dapat dikatakan mabda’ kecuali jika merupakan
pemikiran asasi yang memancarkan segala aspek pemikiran tentang kehidupan. Ciri
yang lain adalah di balik pemikiran asasi ini tidak ada pemikiran lain. Pemikiran asasi
ini terbatas pada fikrah kulliyah tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dan
selain ketiga hal itu tidak disebut pemikiran mendasar karena pemikiran tentang ketiga
hal inilah yang merupakan asas kehidupan.

2
S.Ar Ra’d [ ]:11

55
Berdasarkan mabda’ ini seorang manusia akan bangkit, namun bukan berarti
dengan sekedar mabda’ ini manusia dapat mencapai kebangkitan hakiki. Akan tetapi
mabda’ ini harus sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menenteramkan
jiwa.
Mabda’ sudah pasti terpatri dalam hati seseorang, adakalanya berasal dari
wahyu Allah yang diperintahkan untuk menyebarkannya ataupun berasal dari
kejeniusan seseorang. Adapun mabda’ yang berasal dari wahyu Allah adalah mabda’
yang benar karena berasal dari pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan,
sedangkan mabda’ yang berasal dari kejeniusan seseorang adalah mabda’ yang salah
karena berasal dari akal yang serba terbatas dan dilingkupi sifat lemah. Terlebih lagi
pemahaman manusia untuk membuat peraturan membuka peluang munculnyan
perbedaan, kekurangan, perselisihan dan terpengaruh lingkungan tempat tinggal yang
kemudian menghasilkan UU yang kontradiktif yang menyengsarakan manusia. Karena
itu mabda’ yang muncul dari manusia adalah batil baik dalam aqidah maupun sistem
yang dilahirkannya. Firman Allah swt:
“Ikutilah wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jangan
kamu ikuti pemimpin-pemimpin selainnya”.3

Dari titik ini, dapat disimpulkan hanya Islam lah satu-satunya mabda’ yang
benar di dunia ini. Islam telah diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw sebagai
risalah terakhir yang menguraikan al Uqdatul Kubra dengan uraian yang sesuai dengan
fitrah, memuaskan akal dan menenteramkan jiwa.
Islam telah menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan
ada Khaliq yang menciptakannya yaitu Allah swt, ringkasnya asas Islam adalah
keyakinan akan adanya Allah. Iman kepada-Nya akan disertai iman pada kenabian
Muhammad saw, bahwa al Qur’an adalah firman-Nya yang mewajibkan manusia
menerima segala kandungannya. Oleh karena itu aqidah Islam mewajibkan adanya
sesuatu yang harus diimani sebelum kehidupan ini terwujud yaitu Allah swt dan
mewajibkan manusia beriman pada hari akhir setelah kehidupan berakhir, dan bahwa
manusia terikat dengan perintah-perintah dan larangan-Nya. Penjelasan diatas adalah
hubungan kehidupan dunia dengan sesuatu sebelumnya serta seorang manusia terikat
dengan hisab (penghitungan) amal, agar berusaha untuk mengikuti perintah-perintah-

3
Al A’raf [ ] :3

56
Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dan inilah hubungan kehidupan dunia
dengan hal sesudahnya. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim mengkaitkan segala
aktivitasnya dengan wahyu Allah swt sehingga ia berperilaku sesuai dengan perintah
dan larangan-Nya.
Agar manusia beraktivitas selaras dengan perintah dan larangannya serta agar
aqidah Islam menjadi paradigma berpikir (qaidah fikriyyah), Allah menjadikan syari’at
Islam bersifat komprehensif bagi segala aspek kehidupan. Syari’at Islam mengatur
semua tindak-tanduk manusia dan memberikan jalan keluar terhadap semua
problematika kehidupan. Ringkasnya, bahwa semua aktivitas hamba Allah swt terkait
dengan salah satu dari lima hukum Syara’, yaitu : wajib, sunah, haram, makruh dan
mubah. Firman-Nya:
“Dan telah Kami turunkan kepadamu al Qur’an sebagai penjelas bagi segala
sesuatu”.4

Dari kumpulan hukum-hukum syari’at itulah terbina semua peraturan-peraturan.


Syari’at tidak sekedar menyentuh persoalan hukum ibadah, akhlak, makanan, pakaian,
namun Islam juga mensyari’atkan peraturan berkenaan dengan masyarakat, kenegaraan
dalam segala cakupannya, politik dalam negeri berupa sistem pemerintahan, ekonomi,
sosial dan pendidikan, politik luar negeri: hukum jihad, perjanjian, perang, damai dll.
Allah swt telah berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan
nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu”.5

Dari paparan di atas jelas bahwa Islam adalah satu-satunya mabda’ yang sanggup
membangkitkan manusia menuju kebahagiaan hakiki. Sejarah telah membuktikan
premis ini. Masa-masa ketika Islam tegak, manusia menyaksikan sebuah kebangkitan
teragung yang dikenang sejarah. Jika umat manusia, khususnya umat Islam
menginginkan suatu kebangkitan yang mengangkat derajat manusia dan meraih
kebahagiaan hakiki maka mereka harus mengembalikan ideologi Islam dalam kancah
kehidupan; masyarakat dan negara. Seketika itu umat manusia akan keluar dari lorong
kegelapan menuju siraman cahaya dan keadilan. Maha benar Allah swt yang telah
berfirman:

4
S.An Nahl [ ]:89
5
S. Al Ma’idah [ ]:3

57
Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan kepada cahaya sedang -orang kafir,pelindungnya adalah syaitan yang
mengeluarkan mereka daricahaya orang kepada kegelapan”.6

6
S. Al Baqarah [2]: 257.

58
LA ILAAHA ILLALLAH
PARADIGMA BERPIKIR (QA’IDAH FIKRIYAH) UMAT ISLAM

Allah Ta’ala berfirman :


“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari
Tuhanmu (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah kami turunkan kepadamu
cahaya yang terang benderang. Adapun orang-orang yang beriman dan
berpegang teguh pada agamanya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke
dalam rahmat yang besar dari pada-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya dan
menunjuki mereka kepada jalan yang lurus untuk sampai kepada-Nya. 1
Sesungguhnya manusia yang beradab dan luhur adalah manusia yang pemikirannya
mengacu pada satu prinsip tertentu. Tindak-tanduknya sesuai dengan prinsip itu, dan
dengan prinsip itu pula dia menentukan arah pandangan hidupnya, dan membentuk
suatu konstruksi yang sempurna dan serasi. Dengan demikian pemikirannya tidak
bertentangan satu sama lain, atau saling menafikan. Sehingga dalam dirinya terpatri
suatu kepribadian yang kokoh, tidak mudah terombang-ambingkan dan memiliki corak
yang khas serta pemikiran yang jelas.
Adapun manusia yang tidak memiliki qa’idah fikriyah (paradigma berpikir) adalah
manusia yang pemikirannya bercampur-aduk, terdistorsi dan tidak memiliki ketegasan,
penuh dengan hal-hal yang kontradiktif, tercerai berai. Setiap pemikiran yang satu
menafikan pemikiran yang lain dan satu pendapat menyangsikan pendapat yang lain.
Tipe orang seperti ini tidak berpegang teguh pada pemikiran yang diembannya, tidak
percaya diri dengan pendapat yang dilontarkannya dan sikapnya selalu terombang-
ambing. Pemikirannya mengambang beterbangan tak tentu arah sehingga dia menjadi
pribadi yang kacau, berubah-ubah warna dan lemah . Inilah yang disebut sebagai
kepribadian yang terbelakang.
Oleh karena itu, Allah swt menghendaki agar aqidah kaum muslimin menjadi asas
dan prinsip berpikir bagi seluruh pemikiran dan tingkah lakunya tanpa kecuali. Dia swt
berfirman :

1
S. An Nisa’[ ]: 174-175.

59
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhannya.”2
Aqidah Islam tidaklah sama dengan aqidah-aqidah lain yang hanya mengelaborasi
sekelumit pemikiran manusia, yang diterima begitu saja dengan kadar pemikiran yang
terbatas . Akan tetapi aqidah Islam adalah suatu aqidah yang ketika dipegangi dan
difahami sedalam-dalamnya mau tidak mau, aqidah itu akan melandasi semua
pemikiran dan tsaqofah serta konsep-konsep derivatnya. Setiap muslim yang
mengembannya mustahil mengadopsi pendapat ataupun pemahaman yang bertentangan
dengan aqidahnya. Inilah yang menjadikan aqidah Islamiah sebagai qa’idah fikriah
(paradigma berpikir). Demikianlah kita memahami ayat pertama yang diturunkan pada
Rasulullah saw :
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”.3

Berdasarkan hal ini, setiap muslim tanpa kecuali berkewajiban


menginternalisasikan aqidahnya kedalam segala pemikiran dan menjadikannya sebagai
parameter asasi ketika mendengar berbagai pemikiran dan konsep apapun serta ketika
membaca pembahasan dan peristiwa apapun. Dengan demikian benak seorang muslim
tidak akan menerima mafhum (wawasan) apapun yang bertentangan dengan aqidah yang
diembannya.
Aqidah Islamiyah adalah jawaban yang pasti atas semua pertanyaan mendasar yaitu
al uqdatul kubra (pertanyaan besar yang selalu menghantui) pada diri manusia. Aqidah
Islam adalah jawaban yang pasti mengenai asal-usul sebelum eksisnya manusia, alam
semesta dan kehidupan dan juga sesudahnya. Aqidah Islam menjelaskan kepada
manusia arti keberadaannya di dunia dan arah kehidupannya.
Berdasarkan karakter diatas, Aqidah Islam amat layak menjadi fondasi dasar bagi
semua tsaqofah manusia dan menjadi lampu yang menerangi jalan kehidupan di dunia.
Allah swt berfirman :
“Dan apakah orang yang kalbunya sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan
Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengannya dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan orang yang

2
S. Al Baqoroh [2]: 208.
3
S. Al Alaq [ ]: 1.

60
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari
padanya ?”.4
Karena Aqidah Islam adalah aqidah yang sahih dan benar yang diwahyukan Allah
swt kepada para nabi as, maka aqidah ini amat layak menjadi dasar pijakan atas semua
pemikiran, pendapat dan perilaku manusia.
Allah swt berfirman :
“Dan Kami turunkan kepadamu al kitab (al Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu “.5(An Nahl :89)
Perhatikanlah dua ayat yang mulia di bawah ini yang menjelaskan keagungan
aqidah Islam.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alllah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan
seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat”.6
Sesungguhnya kalimah thayyibah (kalimat yang baik) yang termaktub dalam ayat
ini ditafsirkan oleh mayoritas mufassir sebagai aqidah Islamiah. Ibnu Abbas berkata
bahwa Kalimah Thayyibah adalah “La Ilaha illallah”. Mujahid mengatakan bahwa
“kalimah thayyibah adalah iman”.7 Allah swt menggambarkan Islam bagaikanpohon
yang kokoh dan suci, akarnya kuat menghunjam ke bumi. Begitu pula Islam, aqidahnya
adalah akar yang diyakini dengan teguh, amat relevan sebagai asas untuk semua konsep
derivatnya berupa hukum, pemikiran, pendapat, dan pandangan hidup. Sebagaimana
pula aqidah Islam laksana pohon yang disebutkan oleh ayat-ayat dan hadis Nabi saw,
bagaikan pohon kurma yang selalu berbuahnya setiap saat, tak pernah rontok daunnya
dan buahnya senantiasa dinikmati baik yang kering maupun yang basah sepanjang
tahun. Demikian pula Islam, Islam menginspirasikan kebajikan dan amal saleh
sepanjang masa seizin Allah swt. Dia swt tidak pernah lemah dalam mengatur umatnya,
mengentaskannya ke tempat yang pasti dalam menghadapi semua pemahaman,
pendapat dan peristiwa-peristiwa. Allah swt berfirman :

4
S. Al An’am [ ] :122
5
S. An Nah [ ]: 89.
6
S. Ibrahim [ ]:24-25.
7
Lih. Tafsir al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, J. 9, hlm. 359.

61
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan dunia dan akhirat”.8
Ayat ini menguatkan penafsiran terdahulu; ucapan yang teguh adalah sebagaimana
yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas yaitu “Laa Ilaha illallah”. Aqidah Islam
menjadikan seorang muslim sebagai manusia yang teguh kokoh dalam menghadapi
semua realitas kehidupan. Allah swt berfirman:
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi
petunjuk pada hatinya. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.”9
Dalam ayat yang mulia ini Allah azza wa jalla mengkabarkan kepada kita bahwa
iman kepada-Nya -yang selanjutnya melahirkan keimanan hal-hal lain yang diwajibkan-
adalah petunjuk bagi kalbu manusia. Sedangkan kalbu yang dimaksud dalam al Qur’an
adalah akal. Allah swt berfirman :
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami”.10
Oleh karena itu iman kepada Allah swt adalah petunjuk bagi akal dalam menghadapi
permasalahan yang menimpa manusia dalam kehidupannya. Allah swt mengakhiri ayat
tersebut dengan:“Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.” Maksudnya, Allah
adalah dzat yang mengetahui segala sesuatu. Dia adalah dzat yang mampu mengajarkan
manusia hal-hal yang wajib bagi manusia dalam kehidupannya. Allahswt berfirman:
“Dan bertaqwalah kepada Allah, niscayaDia akan mengajarmu dan Alloh maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”11
Inilah sifat terpenting yang membedakan kaum muslimin yang mengemban Islam
pada awal-awal sejarahnya. Para sahabat, pada masa jahiliyah adalah para pengemban
aqidah kufur, penyembah berhala, pelaku berbagai tindak kriminal, pengubur anak-anak
perempuan dan hidup dalam kemunduran dan kemerosotan. Tingkah laku mereka
kental dengan kesukuan yang fanatik dan jahiliyah. Akan tetapi mereka berubah secara
drastis manakala aqidah Islam muncul sebagai qa’idah fikriyah mereka . Mereka
berubah menjadi manusia-manusia yang lain sama sekali. Mereka menjadi pribadi yang
khas, menolak semua aqidah jahiliah, meremehkan semua kebiasaannya yang merosot,

8
S. Ibrahim [ ]: 27.
9
S. At Taghabun [ ]: 11.
10
S. Al Haj [ ]: 46.
11
S. Al Baqarah [2]: 282

62
dan melecehkan pemahaman dan tradisi-tradisi mereka yang rusak. Qa’idah fikriyah
yang baru ini menyinari jalan bagi mereka serta menyingkapkan segala sesuatu sesuai
dengan hakikatnya dan menempatkan manusia sesuai kadarnya. Akal mereka penuh
dengan tsaqofah yang agung bagaikan dinding yang tinggi dan istana yang megah yang
tegak diatas pondasi yang kokoh, sehingga diantara mereka ada yang digelari sebagai
representasi tingkah laku al Qur’an.
Dengan qa’idah fikriyah serta pemikiran-pemikiran yang terbangun di atasnya
inilah mereka mampu melakukan revolusi total di jazirah Arab, mengganti kehidupan
berhala yang hina-dina menuju Islam yang merubah segalanya, murni dan jernih yang
diwariskan oleh Rasulullah saw kepada kaum muslimin.Beliau bersabda:

“Telah kutinggalkan kalian dalam keadaan jernih cemerlang, malamnya bagaikan


siang, dan hanya orang yang menyimpang yang binasa.”12

Qaidah fikriyah Islam telah mendorong mereka bergerak ke luar jazirah Arab
menaklukkan seluruh alam, menghadapi beraneka ragam bangsa dengan membawa
tsaqofah yang unik dan peradaban yang berkilauan. Tidak satu bangsa pun melainkan
mereka pasti membuang senjata-senjata mereka, berpindah dari keyakinan mereka dan
menerima aqidah Islam. Aqidah Islam melumpuhkan semua tsaqofah maupun
peradaban (hadharoh) yang ada di hadapannya. Tak pernah ada satu agama atau suatu
peradaban pun yang kekal di hadapan kekuatan aqidah Islam.
Yang demikian itu karena kaum muslimin di awal perkembangannya (para
shahabat ra) ketika berkonfrontasi dengan tsaqofah ataupun hadharah-hadharah lain
mereka selalu berpegang teguh dengan qa’idah fikriyahnya, tak tergoyahkan sedikit pun
bagaikan gunung karang yang kokoh, tak bergeming diterpa tiupan angin yang keras.
Para shahabat ra mampu membedakan mana pemikiran yang sesuai dengan aqidahnya
dan mana yang tidak, bila telah jelas-jelas bertentangan, umat tidak ragu-ragu
membuangnya. Mereka menolak serta membantahnya bahkan menghilangkannya dari
benak para propagandisnya. Akan tetapi jika ada hal yang sesuai dengan qa’idah
fikriyah Islam mereka mengadopsi dan mengambil manfaatnya serta ikut andil dalam
memperkaya serta mengembangkannya.
12
HR Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, J. 4, 126.

63
Pada saat mereka mengadopsi sarana-sarana materi maupun keilmuan- keilmuan
seperti kedokteran, fisika, kimia, tehnik, hisab, falak, manajemen kantor, tehnik militer
dan peperangan, tidak pernah terbetik dalam benak mereka untuk menyadap aqidah,
agama ataupun aturan-aturan dan ideologi. Meskipun ada sebagian orang yang
terpengaruh oleh filsafat Yunani dan kemudian dikenal dengan para filosof muslim,
atau sebagian meraka yang terpengaruh filsafat Hindia atau pemikiran-pemikiran Persia,
akan tetapi jumlah mereka ini sedikit dan dikucilkan oleh masyarakat Islam dan tidak
tampak dalam arus pemikiran umat waktu itu.
Akan tetapi ketika masa kemunduran menimpa kaum muslimin, mereka mulai
melupakan kekhasan yang mewarnai oleh aqidah mereka yang telah menjadi qa’idah
fikriyah. Kemudian mulailah mereka menerima pemikiran-pemikiran, ide-ide dan
mazhab-mazhab yang bertentangan bahkan menafikan aqidah Islam. Kita lihat banyak
umat Islam yang berbicara mengenai filsafat, terseret di belakangnya, meskipun
bertentangan dari segi asasnya dengan metode berfikir yang benar yang dibawa oleh
Islam dan aqidahnya. Filsafat mengandung pemikiran-pemikiran yang bertentangan dari
segi asasnya dengan aqidah Islam, bahkan terkadang pemikiran-pemikirannya
membawa pada kekufuran.
Kita juga banyak menyaksikan banyak kaum muslimin menyanyikan sya’ir-sya’ir
jahiliyah dan Eropa. Mereka lupa atau melupakan diri akan pertentangan semua itu
dengan sudut pandang Islam.
Psikologi, sosiologi dan pedagogi yang jelas-jelas mendistorsi Islam, malah
diadopsi dan dipelajari dengan tangan terbuka, bahkan kadang juga diajarkan di
lembaga-lembaga pendidikan syari’at meskipun mengandung pemikiran yang rusak dan
berbeda dengan Islam terlebih lagi metodenya.
Sementara itu para pengkaji sejarah telah membebek para cendekiawan Barat dan
para filosofnya memandang sejarah dan menafsiri gerak perjalanan sejarah. Mereka
menerapkan pandangan-pandangan yang mereka impor dari Barat terhadap sejarah
Islam. Misalnya mereka mengatakan bahwa peradaban Islam adalah perluasan dari
peradaban Jahiliah kuno, Hindu, Yunani, Rumania dan Persia kuno. Bahkan sebagian
agamawan, para peneliti dan sejarawan mengikuti pendapat yang dicetuskan oleh
sebagian orang yang dianggap sebagai pakar antropologi Barat yang mendakwakan
bahwa manusia pada awalnya bukanlah makhluk yang berfikir, berarti tidak ada beda

64
antara manusia dengan binatang, atau mungkin seperti monyet. Ini adalah konsep yang
dicetuskan Darwin mengenai pertumbuhan dan perkembangan yang lalu diikuti begitu
saja oleh sebagian pelajar Muslim tanpa perduli apakah konsep Darwin itu bertentangan
dengan aqidah Islam.
Adapun para mahasiswa ilmu politik tidak memisahkan antara ilmu-ilmu yang
bertentangan dengan qa’idah fikriyah mereka dengan pemikiran mana yang tidak.
Maksudnya, mereka tidak membedakan antara pemikiran politik dan aturan-aturannya
yang diharamkan oleh Islam untuk diadopsi -dengan aturan-aturan dan undang-undang
manajemen pada sisi yang lain yang boleh diadopsi, sebagaimana Umar Bin Khatab ra
telah mengambil aturan manajemen perkantoran. Akan tetapi mereka tetap saja
mengambil pemikiran dan peraturan politik baik dari Timur maupun Barat sampai
semua itu begitu lekat dengan Islam, misalnya mereka mengataka bahwa Islam itu
demokratis, atau sosialis atau mengatakan bahwa aturan Islam adalah aturan
kebebasaan, liberal dsb.
Begitu pula, kalangan mahasiswa yang mempelajari ekonomi, mereka tidak
mampu membedakan sistem ekonomi yang haram diadopsi karena tidak sejalan dengan
syara’ dan ilmu ekonomi yang mengkaji cara meningkatkan pendapatan negara,
mengatasi krisis ekonomi dsb, dan ilmu yang boleh diambil dengan syarat tidak
bertentangan dengan hukum syara’. Mereka mengkaji sistem kapitalisme ataukah
sosialisme dengan antusias serta berpikir sistem mana yang lebih baik, sementara
mereka lupa bahwa mereka memiliki sistem ekonomi terbaik di jagat ini.
Adapun dari segi hukum dan undang-undang, banyak kaum muslimin yang
menerima begitu saja proses peradilan lewat pengadilan-pengadilan yang
mengatasnamakan keadilan dengan hukum dan undang-undang buatan yang tidak
terpancar dari aqidah Islam. Mereka menganggap sah-sah saja para penguasa yang
mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum buatan ini.
Ini baru sekelumit betapa terdistorsinya pemikiran umat sebagai akibat umat
mengabaikan begitu saja aqidah Islam yang seharusnya menjadi paradigma berpikir
(qa’idah fikriyah) umat yang khas. Maka tidak lah mencengangkan melihat umat
terpuruk di lembah kemunduran dan keterbelakangan. Umat telah kehilangan identitas
dan peradaban mereka yang khas. Dari mana mereka mengklaim akan mereguk
kebangkitan bersamaan dengan kondisi ini?. Umat tidak memiliki metode yang tepat

65
dan akurat mengembalikan kejayaan mereka terdahulu kecuali, tentu dengan berpegang
teguh kembali dengan aqidah Islam sebagai paradigma berpikir yang melandasi format
pemikiran dan peradaban mereka.

66
ISLAM: SISTEM YANG MENGATUR KEHIDUPAN, MASYARAKAT
DAN NEGARA

Manusia sejak pertama kali menorehkan sejarahnya sadar bahwa ia tidak akan
pernah mampu hidup seorang diri. Akan tetapi manusia membutuhkan hidup bersama
dengan sekelompok manusia untuk saling berbagi rasa bersama-sama menggalang
tenaga dan pikiran untuk mewujudkan tujuan yang ingin mereka raih.
Demikian itu karena manusia secara pasti menganggap bahwa hal-hal yang bisa
memuaskan kebutuhan dan keinginannya serta menjamin semua tuntutan kehidupannya
ada pada diri orang lain. Ketika mereka memiliki potensi, kemampuan dan hal-hal yang
dibutuhkan orang lain maka di sinilah realitas kehidupan akan membuat manusia
merasa lemah untuk menghadapinya seorang diri. Dari sini kita bisa melihat baahwa
manusia sejak dulu selalu hidup bersama-sama baik dalam komunitas besar maupun
kecil. Komunitas atau kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan masyarakat
(mujtama’).
Dalam masyarakat, manusia berkumpul untuk saling tukar-menukar manfaat
dan kemaslahatan. Di antara mereka terjadi interaksi yang terus-menerus yang secara
alami akan terjaga kelanggengannya. Hal ini mengakibatkan terjadinya spesifikasi
dalam pekerjaan, profesi, dan mata pencaharian. Ada petani, pengrajin, tukang, ahli
bangunan, pedagang distributor kebutuhan-kebutuhan manusia, dokter yang mengobati
orang-orang sakit, dan para seniman yang menghibur kehausan batin manusia. Allah
swt berfirman:
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
dengan beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat menggunakan sebagaian
yang lain”.1(Al Zukhruf :32)
Masyarakat juga memiliki ciri yang pasti yaitu senantiasa menjaga
kelanggengan ineraksinya supaya tidak bercerai-berai yang berujung keruntuhan. Maka
mereka harus memiliki suatu aturan yang yang menjadi qai’dah bagi semua tingkah
laku yang dipegang teguh oleh semua anggota masyarakat. Aturan tersebut mengatur
semua interaksi yang terjadi di masyarakat dan menyelesaikan semua problematika

1
S. Al Zukhruf [ ]: 32.

67
yang muncul dari interaksi tersebut., dengan demikian sesungguhnya haruslah tegak
suatu kekuasaan dalam masyarakat. Karena hanya kekuasaanlah yang mampu menjaga
terlaksananya peraturan ini untuk mengatur semua urusan masyarakat, mencegah para
penentangnya dan mengamankan para pengacaunya. Karena sesungguhnya manusia,
jika dibiarkan begitu saja untuk meraih kemaslahatannya dan mendapatkan tujuannya
sekehendaknya sesuai dengan sifat dan hawa nafsunya maka masyarakat akan berubah
bak rimba di mana yang kuat memakan yang lemah, atau seperti kehidupan ikan di
mana yang besar memakan yang kecil, pada gilirannya runtuhlah masyarakat dan
berubahlah dari keberadaannya sebagai mujtama’.
Berdasarkan hal ini kita bisa melihat bahwa manusia sejak awal
kemunculannya dalam sejarah senantiasa memahami bahwa di tengah-tengah
masyarakat harus tegak suatu peraturan tertentu yang tetap dijaga dan diterapkan. Kita
juga melihat bahwa manusia senantiasa tunduk pada kekuasaan yang mengatur
kehidupan mereka dan mewajibkan setiap individu untuk memegang teguh peraturan
ini, dan juga mengamankan para pengacaunya. Kekuasaan inilah yang dikenal dengan
kekuasaan politik atau yang dikenal dengan Daulah.
Akan tetapi manusia mendapatkan kesulitan yang serius dalam menghadapi
masalah ini yaitu, dari mana mereka mengadopsi peraturan itu?. Masalahnya bukan
sekedar mengadopsi sembarang aturan karena sesungguhnya banyak sekali aturan
betebaran.. Masing-masing sistem itu mempengaruhi masyarakat, ada sistem yang
membangkitkan dan ada juga yang mengakibatkan kemerosotan. Ada yang
mendatangkan kebahagiaan dan ada pula yang menyebabkan kesengsaraan dan
kemelaratan. Lalu apa yang harus diperbuat oleh manusia dalam menghadapi tanggung
jawab besar ini ? yaitu tanggung jawab memilih sistem yang sahih dan releven yang
mampu mengatur interaksi manusia dan mampu memecahkan semua problematika serta
mendatangkan kebangkitan yang sahih bagi masyarakat, dan selanjutnya menuju pada
kebahagiaan, kenyamanan dan kemakmuran.
Sejak awal sejarahnya sampai sekarang ini kebanyakan masyarakat tidaklah
mampu mencapai taraf ini sehingga kebanyakan bangsa tetap berada dalam penderitaan
disebabkan mereka memilih sistem yang salah. Dan karena masalah tanggung jawaab
kemanusiaan ini menimpa kita kaum muslimin, maka kita haruslah memiliki kejelasan
akan jalan yang lurus yang menuju pada sistem yang sahih.

68
Aturan itu ada kalanya datang dari Allah swt, Sang pencipta manusia, alam
semesta dan kehidupan dan ada kalanya datang dari manusia itu sendiri. Dengan kata
lain ada kalanya bersumber pada wahyu dan ada kalanya bersumber pada akal. Lalu
yang manakah yang benar dari kedua sumber ini?
Al Qur’an telah menjelaskan hal ini pada manusia dan menganjurkan mereka
untuk berfikir dan menggunakan akalnya.

”Katakanlah: Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah”.2


Jawaban spontanitas atas pertanyaan ini adalah fakta memperlihatkan kepada
kita bahwa akal manusia amat lemah membuat suatu peraturan yang relevan yang akan
menjadi sistem yang mengatur perikehidupan umat manusia. Karena sistem peraturan
ideal adalah sistem yang mampu memecahkan semua problem manusia dengan
predikatnya sebagai manusia. Yaitu memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan
jasmani dan juga naluri-naluri kemanusiaan. Kondisi kemanusian inilah yang
menjadikan manusia lemah untuk mengetahui hakikat yang mendalam dan terperinci
atas dirinya sehingga manusia tidak mampu untuk membuat sistem peraturan yang baik
baginya.
Adapun Al Khalik adalah dzat yang menciptakan manusia, naluri, kebutuhan
jasmaninya dan yang tersembunyi dalam hatinya. Dia mengetahui peraturan dan solusi
yang terbaik bagi manusia. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya” 3.
Dia juga berfirman:
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu rahasiakan) sedang Dia Maha halus lagi Maha
mengetahui” 4.
Manusia, ketika membuat suatu aturan dan solusi-solusi problematika,
sesungguhnya tidaklah memecahkan problem kemanusiaan, manusia tidaklah
memberikan aturan mengenai bagaimana manusia memenuhi kebutuhan jasmani
2
S. Al Baqarah [2]:140.
3
S. Qaf [ ]:16.
4
S. Al Mulk [ ]:14.

69
maupun nalurinya, manusia hanyalah memecahkan masalah-masalah yang tampak
secara lahir pada manusia di suatu waktu ataupun di suatu tempat saja, dan sangat
mungkin aturan itu tidaklah tepat diterapkan di tempat lain maupun pada waktu yang
lain. Dan kebanyakan aturan-aturan ini gagal dalam memecahkan masalah sampaipun
pada masalah-masalah cabang, bahkan berbahaya. Adapun aturan yang datang dari
Allah swt adalah syariat bagi manusia dengan memperhatikan predikatnya sebagai
manusia. Syari’at ini adalah aturan yang sahih untuk setiap waktu dan tempat karena
manusia dengan naluri (gharizah ) dan kebutuhan jasmaninya (Hajatul udhawiyah )
tidaklah berubah meski berganti zaman dan masa. Allah swt berfirman :
“(Ttetaplah atas ) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada peribahan pada fitrah Allah”.5

Lebih dari itu akal manusia sangat mungkin untuk lalai, berselisih dan
bertentangan, karena suatu aturan yang dianggap baik oleh seseorang mungkin
dianggap jelek oleh orang lain. Selanjutnya masing-masing membuat aturan yang
berbeda-beda. Sesuatu mungkin dianggap baik pada hari ini tetapi tidak untuk besok.
Oleh karena itu kita melihat para pembuat undang-undang itu selalu merubah dan
mengganti hukum yang mereka buat itu dan menjadikan manusia sebagai tikus
percobaan di laboratorium yang diteliti berdasarkan teori dan hukum mereka. Allah swt
berfirman :
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit
dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya”.6
Adapun syariat yang diterima manusia dari wahyu adalah syari’at yang pasti,
langgeng dan tanpa perubahan maupun penggantian karena berasal dari Al-Kholik yang
maha mengetahui, maha bijaksana yang tidak pernah tidur maupun mengantuk.
Sesudah mengetahui perbedaan yang sangat jauh antara manusia yang lemah,
terbatas dan terpengaruh oleh lingkungan dengan al Kholik yang maha mengetahui
maha bijak dan maha lembut yang hidup dan berdiri sendiri, maka pertanyaannya

5
S. Ar Rum [ ]: 30.

6
S. Al Mu’minun [ ]: 71

70
adalah dari mana manusia layak untuk mengadopsi aturan ? dari manusia ataukah dari
Allah, dengan kata lain dari akal atau dari wahyu.
Renungkanlah ayat-ayat di bawah ini yang mengupas masalah ini dan
memberikan jawaban yang benar dan pasti secara bersama.
“Katakanlah: “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki pada
kebenaran?” Katakanlah: “Allahlah yang menunjuki pada kebenaran”. Maka
apakah orang-orang yang menunjuki pada kebenaran itu lebih berhak diikuti
ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (jika) diberi
petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian) ?Bagaimana kamu mengambil
keputusan?”. 7
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-
orang yang yakin”.8

“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari
Tuhannya sama dengan orang-orang yang (syaitan) menjadikan dia
memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa
nafsunya?”.9

“Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun”.10

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu
sekalian jangan menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus tapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”.11

“Maka jika datang datang kepadamu petunjuk dari-Ku lalu barang siapa yang
mengkuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan sengsara”.12

7
S. Yunus [ ]: 35.
8
S. Al Maidah [ ]: 50.
9
S. Muhammad [ ]:14
10
S. Al Qashas [ ]: 50.
11
S.Yusuf [ ]: 40.
12
S. Thaha [ ]: 123.

71
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”.13

“Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus maka
ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)”.14

Dari ayat ini al Qur’an melarang dengan tegas manusia melangkahi hak Allah
membuat aturan untuk manusia. Al Qur’an mengancam dan mencela orang yang
membuat-buat aturan, menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengan persepsinya
masing-masing. Allah swt berfirman:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh


lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram” , untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-
adakan kebohongan pada Allah tiadalah beruntung”.15

“Katakanlah:’Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah


kepadamu lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagaiannya) halal.
Katakanlah: ”Apakah Allah telah memberi izin kepadamu (tentang ini )
ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”.16

“Tetapi orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu


pengetahuan, maka siapakah orang yang akan menunjuki orang yang telah
disesatkan Allah dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak

13
S.Al A’raf [ ]: 3.
14
S. Al An’am [ ]:153.

15
S. An Nahl [ ]:116
16
S. Yunus [ ] : 59

72
ada perubahan pada fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus tapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya”. 17

Allah swt telah menurunkan kepada Nabi Muhammad saw syari’at yang
menjadikan sistem peraturan bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat maupun
bernegara dan meletakkannya berada di atas suatu aqidah yang menjelaskan pemikiran
yang menyeluruh mengenai alam semesta manusia dan kehidupan, dan membentuk
suatu qa’idah fikriyah untuk semua pemikiran-pemikiran manusia dan menjadi qiyadah
fikriyah bagi segala tingkah laku manusia dalam kehidupan. Allah swt berfirman :

“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari


Tuhanmu (Muhammad dengan Mukjizatnya) dan telah kami turunkan padamu
cahaya yang terang benderang. Adapun orang-orang yang beriman pada Allah
dan berpegang teguh pada agamaNya, niscaya Allah akan memasukkan mereka
ke dalam rahmat yang besar dari pada-Nya (Surga) dan limpahan karunia-Nya.
Dan menunjuki mereka jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya“. 18

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula)
Allah mengeluarkan orang-orang dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang-benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus. 19

Alla swt telah menjadikan syari’atnya sebagai suatu aturan yang menyeluruh untuk
segenap penjuru kehidupan dan mengatur semua perilaku manusia baik hubungannya
dengan Khaliknya, dengan dirinya sendiri ataupun dengan sesama manusia.Allah swt
berfirman :
An Nahl :89

17
S. Ar Rum [ ]: 29.
18
S. An Nisa:175
19
S. Al Maidah:15

73
“Dan Kami turunkan al Qur’an sebagai penjelas atas segala sesuatu”.20

Islam mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dengan menjelaskan aqidah dan
mensyari’atkan ibadah. Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri
dengan mensyari’atkan akhlak dan hukum-hukum yang berkenaan dengan makanan dan
pakaian. Islam juga megatur hubungan manusia dengan sesamanya dengan menjelaskan
hukum mu’amalat, pidana (uqubat) yang mencakup seluruh manusia dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Allah swt berfirman:
“ Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamudan telah Aku
cukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam menjadi agamamu”.21

Islam bukanlah agama spiritual semata-mata yang hanya mengatur hubungan


manusia dengan penciptanya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan masyarakat
dengan sekumpulan aturan ibadah dan akhlak semata sebagaimana yang dikira oleh
sebagian orang dan yang diinginkan oleh sebagian orang lain (kaum kafir). Akan tetapi
Islam adalah agama yang syamil ( mencakup keseluruhan yang merupakan sistem yang
sempurna) . Sementara aqidah Islamiah lebih dari sekedar aqidah spiritual (ruhiyah)
tapi juga aqidah siyasiyah (politik) melahirkan aturan-aturan bagi manusia dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dan Islam mewajibkan pada kaum muslimin
untuk memiliki satu Daulah yang memerintah rakyat dengan hukum yang telah
diturunkan Allah swt. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu”.22

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah
maka mereka adalah orang-orang kafir”. 23

20
S. An Nahl :89
21
S. Al Maidah [ ]: 3.
22
S. An Nisa’ [ ] :105.
23
S. Al Maidah [ ]: 44.

74
Islam pun mengatur urusan negara dengan disyari’atkannya aturan-aturan
pemerintahan, ekonomi, sosial, politik, pendidikan, aturan pidana, persaksian, dan juga
politik luar negeri.
Allah swt telah mengharamkan kaum muslimin -sesudah hidayah datang pada
mereka- untuk mengambil aturan-aturan dan undang-undang buatan manusia dan
menganggap itu semua sebagai thaghut. Allah swt berfirman :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman pada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu?. Mereka hendak berhakim pada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”.24

24
S. An Nisa [ ]: 60.

75
KEBAHAGIAAN: MERAIH RIDHA ALLAH

Sesungguhnya kebahagiaaan adalah cita-cita dan tujuan yang senantiasa dikejar


oleh manusia di alam dunia ini, tanpa melihat nasab, warna kulit, ras maupun
kepribadiannya.
Setiap manusia senantiasa berharap mendapatkan ketenangan jiwa dan kedamaian
yang langgeng. Akan tetapi antara seorang individu dengan individu lain saling berbeda
atau antara satu pribadi dengan pribadi lain, sampai suatu masyarakat dengan
masyarakat yang lain, masing-masing memahami kebahagiaan (sa’adah) menurut
persepsi masing-masing, yang kemudian mereka berusaha mewujudkannya melalui
metode tertentu. Bisa dipastikan mereka tidak akan pernah mencapai kebahagiaan yang
hakiki karena kebahagiaan hanya memiliki satu pemahaman yang sahih dan untuk
mewujudkannya juga hanya dengan satu metode pula, tanpa ada jalan selainnya. Akan
tetapi kebanyakan manusia memahami kebahagiaan secara keliru dan berusaha
mewujudkannya dengan jalan yang keliru sehingga mereka ujung-ujungnya tersesat.
Sesungguhnya orang-orang yang menghabiskan hidupnya untuk menyembah
berhala, bintang-bintang dan para pahlawan serta orang-orang yang menghabiskan
waktunya siang dan malam di sudut-sudut gedung untuk beribadah, sebagian lagi
menghabiska umurnya untuk memburu kekayan yang berlimpah, atau mereka yang larut
dalam kelezatan duniawi, syahwat dan candu dengan menenggak arak dan narkotika,
ada lagi yang sehari-hari melakukan tindak kriminal dengan berbagai macam jenisnya,
semua individu yang melakukan demikian itu karena berharap akan meraih kebahagiaan
(sa’adah) karena mereka mengira bahwa pola hidup yang demikian itu akan membawa
mereka pada sa’adah.
Sampai-sampai ada sebagian orang yang mengambil keputusan untuk bunuh diri
dengan harapan mencapai kebahagiaan dengan memecahkan dinding pembatas
kehidupan mereka, atau paling tidak mereka berusaha untuk lari dari kesengsaraan
dunia dengan harapan memdapatkan kebahagiaann di balik kehidupan dunia ini.
Mayoritas mazhab materialisme yang kini memimpin dunia -yang dipimpin oleh
Barat- memandang manusia sebagai mahluk hidup yang menikmati kehidupannya
dengan potensi hidupnya yang merupakan hasil dari naluri dan kebutuhan jasmaninya.
sementara masalah manusia terkandung dalam kemampuannya dalam mendapatkan

76
materi bagi kebutuhan-kebutuhannya. Sehingga seukur kadar pemenuhan itulah dia
bahagia, kebahagian menjadi besar karena banyaknya pemenuhan, dan berkurang
karena minimnya pemenuhan. Karena itulah kebebasan perilaku adalah hal yang
diagung-agungkan dalam peradaban Barat karena kebahagiaan dalam pandangan
mereka adalah mendapatkan sebanyak mungkin kesenangan jasadiyah. Sementara tak
mungkin manusia meraih semuanya itu kecuali dengan membiarkan manusia
melakukan segala sesuatu yang dikehendaki tanpa batas-batas dan peraturan-peraturan
yang mengekangnya.
Oleh karena itu sudah menjadi hal yang wajar kita lihat dalam masyarakat seperti
itu adanya perilaku-perilaku anarkis dari warganya yang tidak lagi berfikir mengenai
peraturan pemenuhan kebutuhan. Mereka membiarkan nalurinya bebas dalam mencari
sarana-sarana materi untuk memuaskannya, dan mereka terus- menerus larut di
belakang nafsunya, Sementara akalnya hanya berfikir tentang bagaimana membuat
variasi-variasi dalam memenuhi kebutuhan dan kenikmatan-kenikmatan duniawi. Maka
merebaklah ditengah-tengah masyarakat perilaku-perilaku menyimpang, berzina
dengan sesama keluarga, hubungan pria dan wanita sebagaimana binatang kemudian
berkembanglah berbagai obat terlarang, arak dsb.
Dan karena harta adalah hal yang sangat penting untuk meraih kesenangan, maka
memiliki harta yang melimpah adalah hal yang paling mulia dalam masyarakat Barat.
Dan karena pemikiran mengenai kebebasan ini begitu mendominasi benak pemikiran
orang-orang Barat, maka mereka berusaha mendapatkan harta dengan metode apapun
yang mereka kehendaki, baik dengan cara berdagang ataupun degan cara riba, dengan
persewaan ataupun dengan cara prostitusi, berindustri ataupun berjudi. Meskipun
kapitalisme memberikan batasan atas kebebasan manusia dengan mengatakan bahwa
sesungguhnya kebebasan akan terhenti karena mulai berbenturan dengan orang lain,
akan tetapi tidak mampu menghetikan banyaknya manusia karena paradigma
kebebasan lebih mendominasi pemikiran mereka daripada pasal-pasal undang-undang.
Maka merebaklah kelompok-kelompok yang terorganisir seperti ‘mafia’, perdagangan
obat-obat terlarang dan ganja yang laris, perampasan kehormatan harta dan nyawa
tersebar luas meskipun diburu oleh polisi dan undang-undang.
Selain itu, popularitas dan kekuasaan adalah termasuk sarana-sarana yang penting
dalam mewujudkan kesenangan manusia maka keduanya adalah hal tertinggi bagi

77
masyarakat Barat. Dengan demikian kebahagiaan dalam pandangan hadharoh Barat
dan para pengekornya adalah meraih sebanyak mungkin harta, kekuasaan dan
popularitas. Semuanya itu menjadikan masyarakat Barat laksana hutan rimba di mana
yang kuat memakan yang lemah. Mereka saling berlomba mendapatkan sekerat; roti
siapa yang mendapatkannya akan mendapatkan kedudukan yang mulia. Mereka
berlomba-lomba mendapatkan pangkat supaya sejajar dengan orang orang besar dan
mendapatkan kekuasaan supaya bisa masuk dalam komunitas mereka.
Demikianlah, masyaraat Barat mulai menyadari bahwa pintu yang diharapkan bisa
menuju pada kebahagiaan malah membawa mereka pada kesengsaraan kemelaratan dan
keruwetan.
Realitas ini diakibatkan karena mereka (masyarakat Barat ) melupakan tiga hal
penting yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia.
Yang pertama, kebutuhan jasmani seperti makan, minum, tidur dan naluri-naluri
seperti naluri seks, naluri mempertahankan diri dsb, membutuhkan pemenuhan yang
bersifat materi. Sementara naluri beragama tidak bisa dipenuhi kecuali dengan
pemenuhan-pemenuhan yang bersifat spiritual (ruhiah, karena dia bersifat syu’ury
(perasaan), membutuhkan adanya Sang pencipta yang maha mengatur, manusia
senantiasa menghadapnya untuk membangun hubungan ruhani. Akan tetapi orang-orang
Barat melupakan adanya aspek spiritual, maka sebenarnya mereka menciptakan satu
celah yang besar dalam perasaan kemanusiaannya yang mebuat mereka bagaikan yatim
piatu dalam kehidupan ini.
Poin kedua problematika yang penting yang berhubungan dengan kebutuhan
jasmani dan naluri manusia adalah tatacara atau bagaimana memenuhi kebutuhan tsb,
bukannya pemenuhan itu sendiri karena sebenarnya manusia sangatlah mudah untuk
mendapatkan sarana-sarana pemenuhan kebutuhannya yang sudah merupakan hal yang
lumrah. Manusia mendapatkan makanan, lawan jenis yang dikehendakinya, maupun
menggunakan benda-benda untuk membantunya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
kapanpun dia menginginkannya. Adapun kondisi di mana sarana-sarana itu langka dan
tidak ada adalah kondisi pengecuaian bukan sesuatu yang alami. Adapun cara
pemenuhan, aturan-aturan pemenuhan itulah yang akan mendatangkan manusia pada
kebahagiaan ataupun kesengsaraan. Maka masalahnya bukanlah makan atau tidak,
bukan pula bisa berpakaian ataukah tidak, atau berapa banyak dia memiliki, bukan pula

78
pertanyaan apakah kaum pria bisa meggauli para wanita ataukah tidak, dengan kata
lain, pertanyannya bukanlah apakah bisa hidup ataukah tidak, akan tetapi masalahnya
adalah bagaimana cara atau metode manusia untuk makan, berpakaian, memiliki
sesuatu, pria bergaul dengan wanita, dsb atau dengan kata lain “ bagaimana cara
menjalani hidup ?”.
Dan yang terakhirPerkara yang terlupakan lagi adalah bahwa manusia dalam
memenuhi kebutuhannya terkadang menyimpang sehingga berbuat sesuatu yang lain
dengan tidak melakukan pemenuhan yang semestinya yang menyebabkan manusia jatuh
pada kebingungan, kegelisahan dan gundah-gulana sebagaimana halnya orang-orang
Barat sekarang ini

Sesungguhnya metode yag sahih untuk mewujudkan kebahagiaan terkandung


dalam pemenuhan kebutuhan jasmani (hajatul udhawiyah ) dan naluri (gharizah ) yang
teratur, harmonis dan selaras tidak saling meninggalkan satu sama lain.
Sesungguhnya hal terpenting untuk diperhatikan dan merupakan hal yang paling
tampak pada diri manusia dan paling berpengaruh terhadap perilaku sesorang adalah
naluri beragama (gharizah tadayyun). Manusia ketika menyadari dirinya berada dalam
kehidupan ini dan mendapatkan dirinya terdorong untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya, maka secara fitri dia akan menyadari bahwa kenikmatan duniawi ini
meliputi di sekelilingnya, karena sarana-sarana kebutuhan ada di sekitarnya dan begitu
mudah untuk mendapatkannya dalam kehidupan ini, udara, air, makanan, suhu yang
sedang dan sarana-sarana lain yang merupakan unsur pokok dalam kehidupan
semuannya tersedia di sekitarnya dan mudah didapatkan tanpa kepayahan sama sekali.
Maka diri manusia terdorong untuk mencari pemilik kekuasaaan yang telah memberikan
berbagai kemikmatan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Karena itu manusia
mengekspresikan rasa sukur dan terimakasihnya dengan menyembah, mengagungkan
dan mensucikan-Nya serta senantiasa merendahkan diri di hadapan-Nya. Kita melihat
manusia sejak jaman dulu kala semuanya menyembah dan beragama. Sampai manakala
tersesat jalan untuk mengetahui hakikat sang pencipta, mereka membuat rumusan-
rumusan, dan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai Tuhan yang disembah.
Kemudian manusia dalam realitas kehidupan ini merasa bingung dan gelisah
bagaimana caranya saya menjalani kehidupan, bagaimana saya memanfaatkan benda-

79
benda yang ada di sekitar saya, dan bagaimana saya menghadapi hidup?, maka dia
merasa lemah dan kurang untuk mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan. Dia
membutuhkan pengaturan dari Tuhannya maka dia datang pada Tuhannya memohon
padanya untuk mengatur urusanya dan keseluruhan kehidupannya.
Demikianlah jika segi kerohanian yang cemerlang ini terlupakan dan hanya
melakukan pemenuhan pemenuhan yang bersifat materi yang jauh akan kesadaran akan
hubungannya dengan Allah swt -jauh dari aspek keruhanian- maka manusia akan tetap
berada dalam kegelisahan, kekacauan, susah dan bingung dalam mencari sa’adah yang
tidak pernah mereka temukan. Mereka bagai berpacu mengejar fatamorgana.
Allah swt berfirman:

“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di


tanah yang datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi bila
didatangi air tersebut,ia tidaklah mendapati sesuatu apapun Dan didapatinya
ketetapan Allah disisinya, lalu Allah memberikan padanya perhitungan amal-amal
dengn cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”.1

“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh ombak yang
diatasnya ombak pula di atasnya lagi awan gelap gulita yang tindih menindih,
apabila dia mengeluarkan tangannya tiadalah dia dapat melihatnya, dan barang
siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai
cahaya sedikitpun”.2

Islam telah memberikan gambaran kehidupan yang sahih metodenya mendatangkan


kebahagiaaan pada umat manusia karena sesuai dengan fitrah manusia sehingga
manusia memenuhi gharizah tadayyunnya dengan cara yang benar. Islam
memberitahukan manusia siapa penciptanya dan membangun kesadaran hubungan
dengan Allah dengan menjelaskan aqidah dan mensyariatkan ibadah, Islam mengatur
urusan manusia, kehidupan, dan pemenuhan kebutuhannya, tidak membebaskan naluri
tetapi mengaturnya, menserasikannya dan meletakkannya dalam tempat yang benar,

1
S. An Nur [24] :39.
2
S. An Nur [24]: 40.

80
sehingga seorang muslim menjalani hidupnya sesuai dengan perintah dan larangan
Allah.
Karena itu manusia mewujudkan sa’adah bagi dirinya sebanding dengan perintah
dan larangan Allah, dan sekadar keterikatan perilakunya dengan aturan Illahi sehingga
mafhum yang benar mengenai sa’adah adalah meraih keridhaan Allah sementara
kesengsaraan adalah jauhya dari ridha Allah. Allah berfirman :

“Sesungguhnya telah datang padamu cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan “dengan kitab itukah Allah menunjuki orang- orang yang
mengikuti keridhaannya”3

“Barang siapa yang mengerjakan amal solih, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik”.4

“.Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang


mengikuti petunjuk-Ku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka”.5

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami adalah Allah’,


kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran atas mereka
dan mereka tiada (pula) berduka cita”.6

Kemudian Allah menjelaskan menjelaskan perbedaan kelompok yang bahagia dan


celaka
“Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit.” 7
Dengan mafhum ini maka kebahagiaan terkandung bersama dengan kenikmatan,
perhiasan dunia dan kemewahannya; yaitu jika manusia menjalani kehidupan dunia ini

3
S. Al Maidah :15-16.
4
S. An Nahl [16]: 97.
5
S. Al Baqarah [2]: 38.
6
S. Al Ahqaf [26]: 13.
7
S. Thaha [20]: 123-124.

81
dengan berpegang teguh pada aturan dan larangan Allah serta terikat dengan hukum-
hukum syara’. Adapun jika manusia menghadapi dunia ini dengan berpaling dari aturan
Allah, maka dia tidak akan merasakan kebahagiaan meskipun selalu dikejarnya karena
jiwanya tidak pernah stabil dan tenang karena manusia tak akan merasakan ketenangan
tanpa merasakan keridhaan Allah swt.
Sa’adah (kebahagiaan) terkadang bersama dengan kesempitan, cobaan dan
kegentingan. Seorang muslim ketika berperang di medan perang, dia mendedikasikan
nyawa dan darahnya untuk ditumpahkan akan tetapi dia merasakan besarnya
kegembiraan dan kebahagiaan karena dia melaksanakan sesuatu yang diridhai Allah;
dengan berjihad menegakkan kalimah Allah yang agung. Demikian juga kondisi mereka
ketika menerima penindasan karena memperjuangkan kalimatul haq dan berpegang
teguh pada aqidah sebagaimana Bilal ra, beliau merasa mereguk kesadaran dan
kemulian meski dijemur di padang pasir yang membakar seraya tak henti-hentinya
mengucapkan Ahad Ahad.
Begitu juga Nabi Yusuf as, beliau memberi teladan pada kita sesuatu yang sangat
mengagumkan ketika beliau lebih memilih penjara demi mendapatkan ridha Allah dari
pada kesenangan dunia namun dimurkai Allah. Yaitu ketika Zulaiha mengancamnya
dengan mengatakan :

“Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya


(kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak menaati
apa yang aku perintahkan kepadanya niscaya dia akan dipenjarakan, dan dia
akan termasuk golongan orang-orang yang hina.” 8
Akan tetapi Yusuf menjawab :
“Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku”.9
Dalam sebagian ayat, Allah swt menguatkan bahwa tidak ada kebahagiaan tanpa
keridhaan-Nya dan menyertakan janji-janji-Nya itu dengan surga serta kenikmatannya

8
S. Yusuf [12]: 32.
9
S. Yusuf [12]: 33.

82
RUH DAN ASPEK KEROHANIAN

Sejak zaman klasik, sebelum Islam muncul, bahkan sebelum Masehi, sudah
terdapat suatu pemikiran yang mendominasi bangsa-bangsa di dunia mengenai
keberadaan (eksistensi) semua benda yang intinya, bahwa benda itu tersusun dari dua
unsur yaitu; materi dan ruh. Sesuatu disekitar manusia yang tampak dan terindera
dianggap materi, sementara sesuatu yang tidak tampak dan terindera dianggap ruh atau
alam ruh. Mereka beranggapan bahwa esensi suatu benda adalah ruh, sementara materi
tidak lain hanyalah jasad semata-mata. Berdasarkan mafhum ini merebaklah
pemahaman dalam mendefinisikan pengertian alam ruhani. Diantaranya ada yang
menggambarkan ruh sebagai pencipta alam semesta, ada pula yang mempopulerkannya
sebagai malaikat, alam jin atau ruh-ruh yang lain.
Yang terpenting dari falsafah ini adalah pandangan mengenai manusia, yaitu
penggambaran bahwa manusia tersusun atas dua unsur yaitu; materi maksudnya jasad
dan ruh. Mereka memahami bahwa dua unsur ini senantiasa berkonfrontasi karena
keduanya memiliki sifat yang berlawanan. Perlawanan ini pasti dimenangkan salah satu
unsur dalam diri manusia. Adakalanya ruh mengalahkan jasad dan sebaliknya jasad
mengalahkan ruh. Jika ruh mengalahkan jasad maka manusia akan mendapatkan
kebaikan, kesucian dan ketaqwaan yang tinggi di atas alam materi dan hinanya
kehidupan. Akan tetapi jika jasad yang mendominasi ruh maka manusia akan menjadi
hina, terjerumus ke alam binatang dan terombang-ambing di lembah dunia dan
kehinannya sehingg ia terisolir dari ketinggian alam ruhani.
Adapun bagaimana proses pertempuran ruh sehingga meraih kemenangan atas
jasad serta bagaimana jasad membekuk dan mengalahkan ruh, dalam pandangan
mereka, manusia adalah ruh yang dipersulit oleh jasadnya dan dihalangi mendaki tangga
ketinggian, kebebasan dan kemuliaan menuju alam ruh yang lebih tinggi. Maka untuk
memperoleh kemenangan ruh maka manusia harus memperlemah jasadnya, memaksa
dan menghinakannya sehingga jasad tidak lagi kuat melawan ruh dan ruh akan
melampaui jasad dan terbebas dari jeratannya. Siapa saja yang menghendaki naiknya
ruh, maka dia haruslah menjalani hidupnya dengan melawan jasadnya, menjauhkan diri
dari kesenangan hidup dan kemewahannya dengan jalan tidak memenuhi hasrat dan
syahwatnya, maka dia menjauhkan diri dari kesenangan dunia dan kemewahan, tidak

83
makan kecuali sedikit, yang sekadar menegakkan tulang punggungnya saja. Itupun
dengan makan-makanan yang sederhana lagi tidak enak. Tidak memakai pakaian yang
bagus tetapi hanya mengenakan kain wol yang kasar dan usang, tidak mengendarai
kendaraan yang nyaman tapi berjalan tanpa alas kaki siang malam dengan rambut acak-
acakan. Tidak tinggal di rumah yang megah, namun hidup di rumah-rumah sederhana
dan gubug-gubug reot. Tidak tidur di atas kasur atau bersandarkan permadani tapi
cukup di atas tanah atau tikar-tikar yang basah. Kaum pria menjauhi wanita dan begitu
pula sebaliknya kaum wanita menjauhi pria. Keduanya mengekang nafsu seksualnya
dan hidup sebagaimana rahib. Mereka akan menghabiskan waktunya dengan
mengekang jasad, mendudukkannya di pojok-pojok rumah ibadah dan berkutat
sepanjang hari di rumah ibadah. Keadaan ini terus dilaksanakan sebagai upaya
melemahkan jasad sehingga jasad tidak bisa mempengaruhi ruh demi menuju alam ruh
yang tinggi dan menyingkap qadha’ manusia dengan jelas dan nyata, bukan dengan
jalan-jalan indera dan penglihatan tetapi dengan jalan terbukanya “perasaan”. Dengan
demikian ruh akan sampai -dalam pandangan mereka- menuju penyatuan ruh dengan
ruh tertinggi yaitu Dzat Ilahi Yang Maha Agung.
Adapun manusia yang memperturutkan hawa nafsunya, melampiaskan
keinginan dan syahwatnya, hanya berorientasi pada kenikmatan dunia; menikmati
makanan-makanan yang enak dan mengejar fasilitas hidup adalah tipe manusia yang
telah mengabaikan ruhnya dan mematikannya. Dia akan tenggelam di lembah dunia
yang fana dan terhitung dalam golongan orang-orang celaka dan fasik.
Konsep filsafat seperti inilah yang menjadi acuan dan menjadi pola hidup
masyarakat India dan China sejak zaman dahulu dan tetap hidup sampai sekarang.
Falsafah ini pula yang menyelinap ke dalam benak sebagian filasafat Yunani; tulisan-
tulisan mereka dan juga pendapat-pendapat filsafatnya. Filsafat ini memiliki pengaruh
yang besar dalam penyimpangan-penyimpangan aqidah Nasrani dan juga
pendidikannya. Kemudian juga berpengaruh besar dalam masyarakat Eropa di abad
pertengahan. Yang demikian itu karena ketika agama Nasrani berkembang di negeri
Syam dan kemudian ke seluruh penjuru imperium Romawi mengakibatkan raja-raja
Eropa para pengikutnya dan para pendeta terpengaruh oleh filsafat yang memporak
porandakan pemikiran dan dan mengacaukan pemahaman di benak mereka. Maka
kembalilah agama samawi-sesudah masuknya para kaisar, raja dan para filosuf ini

84
menjadi agama yang baru. Dan termasuk hal-hal yang menyusup dalam agama itu
adalah filasafat mengenai ruh dan jasad. Orang-orang nasrani sepakat akan adanya
keselarasan dengan aqidah mereka yang mengatakan bahwa kehidupan sejak turunnya
Adam dan Hawa ke muka bumi sampai hari kiamat hanyalah perjalanan penebusan dosa
karena kesalahan pertama kali yang dilakukan Adam dan Hawa, maka manusia tidak
berhak untuk hidup dalam ketenangan, rasa nyaman dan kemurahan di dunia tetapi
harus menerima kehinaan, kesengsaraan dan azab di dunia sampai menemui kebahagian
dan kenikmatan pada kehidupan lain. “Mereka beranggapan bahwa semua kelezatan
indrawi adalah kesesatan diantara kesesatan-kesesatan setan maka mereka mencaci
maki alam jasmani, menahan syahwat dengan berpuasa dan memperbanyak berbagai
penyiksaan badan”1
Demikianlah bersamaan dengan tersebarnya Nasrani di negeri Eropa, falsafah ini
terefleksi dalam kehidupan masyarakat dan politik, sehingga, disamping kekuasaan
politik yang diagung-agungkan oleh para raja, para pemimpin dan kaum hedonis.
Berkembanglah suatu kekuasaan baru yaitu kekuasaan Gereja yang dipimpin oleh Paus
di Roma yang menduduki “kursi kenabian”. Dengan demikian dalam masyarakat terjadi
pertentangan dua kekuatan yaitu: kekuatan sekuler dan kekuatan ruhaniah atau agama.
Istilah sekuler disini sinonim dengan materi. Kemudian, karena antara materi dan ruh itu
berlawanan berlawanan terus menerus untuk saling menjatuhkan, maka secara alamiah
terjadilah juga pertentangan antara kekuasaan sekuler dengan kekuasaan agama di
Eropa.
Abad pertengahan adalah era agama, dimana kekuasaan agama menginjak-injak
kekuasaan sekuler, sampai pada penghinaan yang terendah-rendahnya pada para raja
dan para penguasa kota. Para raja dan kaisar telah dicekoki oleh Paus Roma sehingga
mengatur rakyatnya dengan kepasrahan penuh yang dikenal dengan taqlid ilmani yang
mereka dapat dari pemimpin Gereja Katolik. Para raja atau amir akan celaka jika
mendapatkan murka atau mendapatkan mosi tidak percaya dari gereja. Di tambah lagi
kesuksesan perang salib yang diprovokasi oleh pendeta-pendeta agung Roma yang
mayoritas tujuannya adalah negeri-negeri muslim di Irak, dan Afrika Utara adalah
unsur-unsur yang semakin menguatkan kedudukan Gereja dan kekuasaanya di Eropa
pada abad pertengahan. Akan tetapi masa berganti, dimana para raja dan amir terlepas
1
Wal Durant, Qisshatul Hadharah, J.11, hlm.282.

85
dari cengkeraman Gereja seiring dengan melemahnya perang Salib dan habisnya taget-
target perang. Maka kembalilah kejayaan seluruh kekuasaan sekuler diatas seluruh
kekuasaan agama. Dan pada era baru -antara permulaan abad XVI dan akhir abad
XVIII- pengaruh agama dalam masyarakat melemah sampai merebaknya filsafat
pencerahan dan Gereja kehilangan kekuasaan yang dimilikinya sejak abad pertengahan.
Dan satu-satunya kekuasaan yang dipatuhi adalah kekuasaannya raja dan para amir.
Bersamaan dengan permulaan abad XIX muncullah pemisahan agama dari negara dan
masyarakat. Gereja terusir dari urusan politik dan pemerintahan sementara ruang
lingkupnya terbatas dalam urusan-urusan ibadah dan spiritual, perkawinan dsb.
Kemudian jadilah negara Vatikan menguasai urusan-urusan kependetaan Kristen
Katolik di seluruh dunia.
Demikianlah, pengaturan urusan masyarakat terbelah dalam dua kekuasaan yang
terpisah; kekuasaan yang mengatur interaksi masyarakat, menjalankan politik dalam dan
luar negeri, dan kekuasaan yang menguasai urusan keagamaan, kependetaan yang
terlepas dari kekuasaan sekuler.
Inilah pengaruh filsafat materi dan ruh terhadap sebagian umat dan negara sejak
zaman dahulu sampai sekarang. Dan pertanyaan yang muncul setelah memahami fakta
ini adalah : “Sejauh mana kesahihan filsafat ini? Kemudian bagaimana pandangan
Islam mengenai hal ini?
Sesungguhnya kebanyakan kaum muslimin yang tetap membahas topik ini
tidaklah mengupas masalah ini dari akarnya. Mereka menyangka bahwa perbedaan
mereka dengan penganut filsafat ini bukanlah hal yang pokok tetapi hanya perbedaan
cabang, rincian dan bagian semata. Kebanyakan kaum muslimin menerima pemahaman
bahwa manusia tersusun dari materi dan ruh kemudian mereka membagi metode-
metode yang berkenaan dengan aktivitas jasad dan ruh. Sebagian mereka menyatakan
bahwa Islam menjaga keseimbangan antara jasad dan ruh dengan memberikan santapan
untuk masing-masing dari keduanya, dan memenuhi kebutuhannya tanpa melakukan
penyimpangan yang satu terhadap lainnya. Ruh diberi santapan dengan iman, dzikir dan
ibadah sementara santapan jasmani diatur dengan hukum-hukum yang berkenaan
dengan makanan, pakaian dan pernikahan dll.
Akan tetapi kita berkelit dengan mengatakan, bahwa solusi masalah-masalah
yang kasat mata seperti ini hendaknya lebih riel dan mendalam menganalisis pemikiran-

86
pemikiran dan pendapat-pendapat yang terlontar darinya. Maka diajukalah pertanyaan
untuk meneliti pengaruh dari fondasi tegaknya filsafat ini: “Apakah manusia itu benar-
benar tersusun dari materi dan ruh?”
Sebenarnya kerancuan masalah yang menimpa kebanyakan manusia adalah
disebabkan sesuatu yang sudah dimaklumi bahwa manusia itu memiliki ruh (nyawa).
Adakalanya nyawa berarti hidup dan keluarnya nyawa adalah kematian. Allah
berfirman:
“Kemudian Kutiupkan kedalamnya ruh-Ku”.2
Dia juga berfirman:
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam tubuhnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”.3
Dan masih banyak lagi ayat-ayat dan hadits yang membahas ruh dan keberadaannya
dalam diri manusia. Demikianlah kebanyakan kaum muslimin menerima pemikiran ini,
yang mengatakan bahwa manusia terdiri dari jasad dan ruh dan masing-masing
keduanya memiliki santapan masing-masing.

Pembahasan yang teliti mengharuskan adanya penelitian yang mendalam


mengenai pemikiran ini untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dengan ruh yang
mereka perbincangkan. Kata ruh adalah kata mmusytarak mengandung beberapa arti.
Dalam bahasa Arab dan juga Qur’an ruh juga memiliki sejumlah arti. Diantaranya:
“Ditiupkan oleh ruh suci (Jibril).Ke dalam hati engkau (Muhammad) supaya
engkau memberi peringatan”. 4
Yang dimaksud ruh disini adalah Jibril as. Allah juga berfirman:
“Dan mereka bertanya kepada engkau tentang ruh, katakanlah ruh itu
sebagian dari urusan tuhanku, kamu tiada diberi pengetahuan, melainkan
sedikit”.5
Yang dimaksud ruh di sini adalah nyawa manusia yang keberadaannya merupakan
kehidupan manusia dan keluarnya dari jasad adalah kematian manusia. Ruh dalam
pengertian ini adalah hal yang tidak dapat dilihat oleh manusia meskipun pengaruhnya

2
S. Al Hijr [15]: 29.
2
As Sajdah [32]: 9.
4
As Syu’ara [26]: 193,194.
5
S. Al Isra’ [ ]: 85.

87
dapat dilihat yaitu kehidupan yang menjalar dalam jasad dan menimbulkan adanya
gerakan dan kehidupan. Kesimpulannya ruh diartikan dengan sejumlah makna.
Pengarang kitab mukhtar as shahih mengatakan
“Ruh dimudzakkarkan dan dimu’annastkan, jamak dari ruh adalah arwah.
Qur’an menyebutkan bahwa Isa dan Jibril adalah ruh, sementara malaikat dan
jin-jin diistilahkan dengan ruhani yang jamaknya adalah ruhaniyun begitu juga
segala sesuatu yang memiliki ruh disebut ruhani.”6
Hanya saja semua makna itu bukanlah objek pembahasan ketika berbicara
mengenai ruh, ruhani, dan aspek kerohanian dalam konteks kehidupan alam semesta
dan manusia. Makna yang dikehendaki adalah makna istilah bukan makna lughawi
(bahasa) yang bisa kita temukan dalam kamus-kamus bahasa arab terdahulu.Jika kita
menghendaki untuk mengetahui suatu makna istilah maka haruslah mendalami nash-
nash yang menjelaskan istilah tersebut untuk menentukan makna yang dikehendaki
oleh mereka yang sedang memperbincangkannya. Pembahasan yang teliti mengenai
nash-nash menunjukkan bahwa para pakar menggunakan kata ruh, ruhani, atau aspek
keruhanian untuk menggambarkan sesuatu yang dirasakan manusia ketika dia
menyadari hubungaannya dengan pencipta yang maha agung. Maka dikatakan seorang
mukmin merasakan aspek keruhanian ketika beribadah seperti sholat, puasa atau haji,
atau ketika merenungi kekuasaan Allah, begitu juga ketika mendengar ratapan dan do’a-
do’a, atau masuk ke suatu rumah ibadah dsb. Semuanya itu tidak ada hubungannya
dengan pengertian ruh yang berarti nyawa yang merupakan rahasia kehidupan karena
makna yang terakhir ini terdapat dalam diri orang mumin yang merasakan adanya aspek
keruhanian maupun orang kafir yang ingkar akan keberadaan Allah yang tidak
merasakan adanya aspek keruhanian maupun ruhani sedikitpun.
Berdasarkan hal ini kita bisa mendefinisikan aspek ruhani dengan mengatakan
bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah swt. Alam semesta, kehidupan dan manusia
bukan benda-benda yang tersusun dari dua unsur; materi dan ruh akan tetapi hanya
terdiri dari materi, dan dalam strukturnya tidaklah terdapat unsur selain materi. Hanya
saja dia mempunyai sifat berupa aspek keruhanian yang tidak termasuk susunannya.
Aspek keruhanian ini hanyalah ungkapan belaka (amr i’tibary),aspek itu adalah ciptaan
Allah. Aspek keruhanian yang ada di alam semesta ini adalah makhluk Allah, begitu
6
Imam Muhammad bin Abu Bakar ar Razi, Mukhtar as Shihah, Entry: Ruh.

88
juga aspek keruhanian dalam hidup maupun dalam diri manusia adalah ciptaan Allah.
Dengan demikian ruh -dalam makna istilah yang sedang kita bahas- adalah kesadaran
manusia akan hubugannya dengan Allah. Perasaan manuisia mengenai ruh dan
keruhanian adalah kesadaranya akan hubungan dengan Allah ta’ala di mana dia adalah
makhluk Allah dan hamba-Nya yang tunduk pada kekuasan dan aturan-Nya.
Berdasarkan hal ini sudah tidak ada tempat lagi untuk mengatakan bahwa
manusia tersusun dari jasad dan ruh di mana terjadi perlawanan yang terus menerus
antara kedua unsur ini dan manusia harus memenangkan ruh atas jasad, atau
menyeimbangkan keduanya. Masalah yang terlontar adalah pertanyaan “Sejauh mana
pengaruh ruh -sebagai kesadaran hubungan dengan Allah- terhadap kehidupan dan
tingkah laku manusia”.
Sesungguhnya asal-usul tngkah laku manusia adalah, bahwa dalam dirinya
terdapat potensi hidup yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan. Maksudnya
dengan potensi hidup inilah muncul dorongan-dorongan dan kebutuhan-kebutuhan
yang mendorong manusia secara alamiah untuk memenuhinya. Jika kita mendalami
fakta mengenai manusia akan kita dapati bahwa potensi hidup itu adalah kebutuhan
jasmani (hajatul udhawiyah) seperti makan tidur dsb yaitu hal-hal yang mutlak dipenuhi
oleh manusia karena tanpa hal-hal itu tidak mungkin manusia tetap hidup. Kedua adalah
naluri (ghara’iz) yang terus menerus mendesak manusia untuk memenuhinya karena
mausia akan merasa gelisah dan gundah-gulana jika naluri ini belum dipenuhinya.
Hajatul udhawiah dan ghara’iz yang terdapat pada diri manusia
mengharuskan adanya aturan yang mengatur tata cara pemenuhannya, peraturan ini ada
yang berasal dari Allah dan ada yang berasal dari manusia. Jika pemenuhan kebutuhan
jasmani dan naluri ini menggunakan peraturan yang berasal dari selain Allah maka
pemenuhannya bersifat materi dan tidak ada ruh di dalamnya, akan tetapi jika
menggunakan aturan Allah yang berdasarkan kesadaran akan hubungannya dengan
Allah ta’ala, yaitu berdasarkan iman pada Allah sebagai Sang Pencipta sekaligus
Pengatur maka pemenuhan kebutuhannya adalah pemenuhan yang benar dan berjalan
seiring dengan ruh. Di antara naluri (gharizah) yang ada dalam diri manusia dan harus
dipenuhi adalah gharizah tadayyun (naluri beragama) yang pengaruhnya tampak pada
diri manusia berupa pengkultusan, pemujaan, ibadah , merendahkan diri, serta
mengagungkan yang lebih kuat. Perasaan manusia yang merasa kurang dan lemah yang

89
sudah menjadi tabiat manusia secara otomatis akan membawa manusia pada kebutuhan
akan sang pencipta yang maha mengatur, inilah yang kami beri label sebagai gharizah
tadayun. Gharizah tadayyun seperti juga gharizah-gharizah yang lain, ada kalanya
dipenui dengan pemenuhan materi yang terlepas dari keimanan pada Allah sebagai
pencipta yang maha mengatur, seperti penyembahan pada berhala bintang -bintang, para
pahlawan ataupun makhluk-makhluk yang lain, tetapi ada kalanya dipenuhi secara
ruhiyah dengan beribadah pada Allah sesuai syari’at-Nya.
Islam yang tegak di atas iman pada Allah ta’ala, menetapkan adanya aspek
keruhanian pada diri manusia, kehidupan dan alam materi yang mengelilinginya yang
semuanya itu adalah makhluk Allah ta’ala. Kemudian Islam menjadikan kehidupan
seorang mukmin seluruhnya berlandaskan atas landasan ruh dan menjadikan ruh
bersatu dalam setiap amal perbuatannya. Karena Allah ta’ala telah mensyariatkan suatu
aturan yang mencakup kehidupan manusia secara keseluruhan dan solusi atas seluruh
problematikanya yang menjadi hukum syara’ atas seluruh perbuatan hamba dan
dipegang teguh oleh setiap mukmin ketika melaksanakan suatu perbuatan. Semua
perbuatan hamba berdasar atas iman pada Allah ta’ala, Tuhan yang disembah dan
ditaati. Allah berfirman
”Tidak, demi Tuhanmu mereka tiada akan beriman (kepada engkau) sehingga
mereka mengangkat engkau sebagai hakim untuk mengurus perselisihan di
antara mreeka kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hatinya
menerima putusan engkau dan mereka menerima dengan kelegaan hati .” 7
Seorang mukmin ketika dalam seluruh perbuatanya -yang hanya berupa materi-
berpegang teguh pada perintah dan larangan Allah dan kesadaran akan hubungannya
dengan Allah, maksudnya berdasarkan keimanan pada Allah maka sesungguhnya dia
telah menyatukan antara materi dengan ruh dan seluruh kehidupannya tegak atas asas
ruh, yaitu aqidah islam. Berdasarkan hal di atas maka masalahnya bukanlah apakah
manusia bisa memenuhi kebutuhannya atau tidak bukan pula seberapa banyak
pemenuhannya juga bukan apa pemenuhannya dengan jasad ataukah ruh, bukan pula
mana yang menang; jasad ataukah ruh, karena membahas hal-hal di atas ini adalah suatu
kesalahan karena bidang pembahasannya hanyalah “Bagaimana cara melakukan
pemenuhan dan atas asas apa dilakukan pemenuhan itu?.”
7
S. An Nisa’[4] :65

90
Oleh karena itu orang yang menganggap bahwa ketakwaan adalah
kesengsaraan dan menjauhkan diri dari kesenangan dan kelezatan, serta menghindari
kenikmatan duniawi adalah keliru. Praktek menyengsarakan diri seperti itu terkadang
dilaksanakan oleh orang-orang kafir yang tidak beriman pada Allah, jika demikian lalu
dari mana dikatakan takwa, bahkan ayat-ayat qur’an dan juga hadist-hadist nabi
menegaskan bahwa Allah ta’ala menciptakan dunia dan segala kesenangannya yang
terdapat di dalamnya untuk manusia supaya diambil, sesuai dengan haknya. yaitu sesuai
perintah dan larangannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnyan telah kami muliakan bani (anak-anak) Adam dan kami angkut
mereka dengan kendaraan di darat dan di laut serta kami beri rizki mereka
dengan yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk
yang kami jadikan. Dengan kelebihan (yang sempurna)”8

“Dia menundukkan untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada
di bumi semuanya (sebagai karunia )dari-Nya, sungguh pada demikian itu
terdapat beberapa ayat (keterangan) bagi kaum yang berfikir”.9

“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan (memakai) perhiasan Allah yang


dikeluarkan-Nya untuk hamba-Nya dan rezki (makanan) yang baik-baik.
Katakanlah semuanya itu untuk orang-orang yang beriman waktu hidup di
dunia dan khusus untuk mereka pada hari kiamat. Demikianlah Kami terangkan
ayat-ayat untuk kaum yang mau memahaminya."10
Allah juga menyebutkan kenikmatannya untuk hamba-hamba-Nya:
“Binatang-binatang ternak Dia ciptakan untukmu dengan dia kamu
mendapatkan (pakaian ) panas dan manfaat dan di antara kamu makan
dagingnya. Pada binatangpbinatang itu kamu mendapatkan keindhan ketika
kamu membawanya ke kandang dan ketiak melepaskannya Binatang-binatang
itu membawa beban kamu ke negeri yang tiada kamu sampai kepadanya,
melainkan dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu penyantun lagi

8
S. Al Isra’[17]:70
9
S. Al Jatsiyah [ ] : 13.
10
S. Al A’raf [ ]: 32.

91
penyayang. Dan Dia telah menciptakan kuda, bighal dan keledai, agar kamu
menungganginya dan menjadikannya perhiasan. Dan Allah menciptakan apa
yang kamu tidak ketahui”. 11
Pada jaman Nabi saw ada sebagian orang yang beranggapan bahwa taqwa adalah
menyengsarakan diri, serta memaksa diri dan jasadnya, sehingga ketika mereka
bertanya mengenai ibadah Rsulullah saw mereka menganggap amal mereka sedikit,
kemudian mereka bernazar pada diri mereka dengan taklif (beban) dan mereka berkeras
hati dengan ayat-ayat Allah mengenai kekuasaan sementara mereka menganggap
bahwa mereka melakukan perbuatan baik dan menetapi ketaqwaan, ketika berita ini
sampai pada Rasulullah saw, beliau merasakan adanya bahaya dari pemahaman yang
menyimpang ini, maka beliau segera mengambil tindakan untuk menjernihkan masalah
ini. Diriwayatkan dari Anas bin Malik:
“Tiga orang shahabat datang kepada istri-istri Nabi saw guna menanyakan
mengenai ibadah Nabi saw maka ketika mereka diberitahu, mereka seakan-akan
merasa bahwa ibadah Nabi itu sedikit, mereka berkata “Dimana posisi kami
dibandingkan dngan Rasulullah saw, beliau telah diampuni dosanya yang
dahulu dan yang akan datang. Salah seorang di antara mereka mengatakan:
“Saya akan melakukan shalat malam terus menerus”, yang lain mengatakan:
“Saya akan berpuasa terus dan tidak akan berhenti”, sementara yang satu lagi
mengatakan “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-
lamanya,tidak lama Rasul saw dating, beliau bersabda : “Kaliankah yang telah
mengatakan demikian demikian, ingatlah, demi Allah saya adalah orang yang
paling takut dan paling taqwa kepada Allah di antara kalian tapi aku
berpuasa dan berbuka, aku sholat dan tidur juga menikahi wanita, maka barang
siapa yang membenci sunnahku maka dia bukan golonganku.”12
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kesenangan dengan ruh.
Manusia yang memakan rizki yang halal berupa makanan yang enak dengan memuji
Allah ta’ala atas kenikmatan-Nya, dia merasakan adanya ruh seiring kelezatan makanan
yang dinikmatinya.
Allah berfirman:

11
S. An Nahl [ ]: 5-8.
12
Shahih Bukhari, Kitab an Nikah, no. hadits 5063.

92
“Hai orang yang beriman makanlah mana yang baik di antara rizki yang kami
berikan kepadamu dan berterimakasihlah pada Allah jika kamu hanya
menyembah-Nya.”13
Dia juga berfirman:
“Hai orang yang beriman janganlah kamu mengharamkan (memakan) yang
baik yang telah dihalalkan Allah bagimu (memakannya) dan janganlah kamu
melampaui batas sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melanggar batas.”14
Seorang pedagang yang senantiasa mencari keuntungan yang banyak dan harta
yang berlimpah juga merasakan adanya aspek keruhanian jika dia tetap berada dalam
hukum syari’at , menjaga halal-haram dalam perdagangannya.
Rasulullah saw bersabda :
“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan dikumpulkan bersama para nabi,
orang-orang amat jujur dan orang-orang yang mati syahid.”15
Begitu juga dalam hidup berumah tangga Rasul saw bersabda :
“Hubungan seksual salah seorang di antara kamu adalah shadaqah, para
sahabat bertanya:”Ya Rasul,, apakah jika seseorang memenuhi syahwatnya dia
mendapatkan pahala?. Rasul menjawab: “Bagaimana pendapatmu, jika hal itu
dilakukan dengan jalan haram apakah ia mendapatkan dosa?, begitu juga jika
dilakukan dengan jalan halal tentu ia mendapatkan pahala”.16
Pandangan syar’i mengenai manusia dan serta tingkah laku dan ketakwaannya
inilah yang menjadi corak khas dalam kehidupan masuarakat Islam pada masa-masa
kebangkitannya dan kekuatan Daulahnya. Tidak pernah ditemukan dalam masyarakat
Islam perbedaaan antara materi dengan ruh, dan tidak pernah detemukan dalam Daulah
Islam adanya pertentangan antara dua kekuasaaan yaitu kekuasaan sekuler dan
kekuasaan agama. Yang ada hanya kekuasaan tunggal yang mengatur manusia dengan
sistem Islam dan berlandaskan pada aqidah Islam, yaitu berdasarkan kesadaran akan
hubungannya dengan Allah ta’ala. Negara adalah kekuasaan politik yang tegak atas
dasar ruh. Tidak pernah ada peradilan sipil dan peradilan agama seperti sekarang ini,

13
S. Al Baqarah [2]: 172.
14
S. l Maidah [ ]: 87.
15
Sunan Ad darimi, Kitab al Buyu’, Bab fi at Tajir ash Shaduq.
16
Shahih Muslim, Kitab az Zakat, No. hadits 54 dalam bab ini.

93
yang ada hanyalah peradilan Islam yang mengatasi segala bentuk perselisihan antara
manusia dengan hukum-hukum syari’at Islam baik yang berhubungan dengan hukum,
harta, sosial (ahwal syakhshiah) dan interaksi-interaksi sosial lain.
Sampai datang masanya negara-negara Barat menguasai negeri-negeri Islam,
merobohkan Daulah Islamiyah, menyingkirkan aturan-aturan Islam dari kancah
kehidupan, masyarakat dan negara, dan menjadikan masalah agama hanya terbatas pada
masalah ibadah, akhlak yang dikenal dengan (ahwal as syakhsiyah). Lalu Barat
mendirikan negara yang menerapkan hukum-hukum buatan yang bersifat materialis dan
sekuler.
Kemudian dalam negeri-negeri Islam terdapat kekuasaan spiritual yang
dipimpin oleh seorang mufti. Mereka membagi peradilan menjadi peradilan sipil yang
menyelesaikan persengketaan dengan undang-undang buatan yang berhubungan dengan
hukum, harta dsb, dan peradilan agama yang mengurusi urusan sosial yang disebut
dengan , seperti pernikahan, talak, dan waris.
Pola hidup seperti inilah yang kini dijadikan aturan hidup kita, bukan pola
hidup yang diridhai Allah yang telah Dia gariskan dalam risalah Islamiyah.Oleh kaarena
itu problematika kaum muslimin sekarang ini adalah berjuang untuk meneruskan
kembali kehidupan Islam dan mengembalikan sistem Islam dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat dan menolak ide pemisahan antara agama dan negara, seperti
pembagian antara peradilan sipil dan peradilan agama, adanya kekuasaan agama,
didirikannya lembaga kementrian urusan waqaf, masjid dsb. Dalam sistem Islam hanya
ada satu kekuasaan yang menghukumi dengan apa yang telah Allah turunkan dan wajib
bagi kaum muslimin untuk mentaatinya.
Allah swt berfirman:
Hai orang-orang yang berfirman, taatilah Allah dan rasul-Nya dan Uli al Amri
diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (al Qur’an) dan rasul (Sunnah) jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
bagi kamu dan lebih baik akibatnya. 17

17
S. An Nisa [ ]: 59.

94
KUNCI KEBANGKITAN UMAT ISLAM: WAHYU

Telah kami sebutkan dalam fasal-fasal terdahulu bahwa kebangkitan


manusia dalam kehidupan, masyarakat maupun negara hanyalah berpangkal pada
pemikiran yang mendasar (mabda’i) yang tegak di atas aqidah aqliyah yang
memunculkan pemikiran yang menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan
kehidupan dan menjadi qa’idah fikriah yang terbangun di atasnya pemikiran-pemikiran
mengenai kehidupan dunia, serta terpancar darinya aturan kehidupan masyarakat dan
negara. Kebangkitan yang sahih adalah kebangkitan yang tegak di atas ideologi
(mabda’) yang sahih, sementara mabda’ yang sahih adalah mabda’ yang sesuai dengan
fitrah manusia, menetapkan adanya gharizah tadayyun di dalamnya, dan juga gharizah-
gharizah yang lain dan memberikan pemenuhan yang sahih pula yang tegak di atas akal
dan mampu menundukkan akal dengan kesahihan aqidahnya dan terealisasinya mabda’
dalam realitas kehidupan. Mabda’ ini adalah Islam beserta aqidahnya yang rasional
serta pemikiran-pemikiran yang terbina di atasnya dan aturan-aturan yang terpancar
darinya.
Dalam pembahasan ini kita akan membatasi pembahasan pada mabda’ Islam
saja, beserta kandungan-kandungannya untuk mengetahui sifat dari kebangkitan umat
Islam, rukun-rukunnya dan juga usur-unsur yang menguatkannya. Kemudian kita
berhenti sampai pada garis merah yang tidak boleh diterjang oleh umat Islam karena itu
adalah garis pemisah antara kebangkitan dan kemunduran.
Tahapan pertama yang harus kita ambil adalah memahami aqidah Islam terlebih
dahulu, yang merupakan asas bagi mabda’ Islam. Memahami Islam tergantung pada
pemahaman atas aqidahnya, begitu pula memegang teguh pada Islam juga tergantung
pada berpegang teguh pada aqidahnya.
Islam berdiri diatas dua pilar dua kesaksian “Tiada Tuhan selain Allah,
Muhammad adalah Rasul-Nya”. Keduanya adalah asas di mana semua cabang dari
syari’at Islam ditegakkan. Kedua kesaksian ini meyakini bahwa sama sekali tidak ada
Tuhan yang layak disembah selain Allah ta’ala, Tuhan yang Maha mencipta dan Maha
mengatur. Tuhan adalah dzat yang disembah. Ibadah sendiri adalah kepatuhan yang
mutlak dan ketundukan yang sempurna dengan memasrahkan segala perkara pada-Nya.
Sementara segala sesuatu selain Alah ta’ala baik itu berupa berhala atau arca-arca,

95
benda hidup ataupun mati, manusia ataupun bukan tidaklah layak untuk tuhan yang
disembah, karena tidak mampu untuk menciptakan sesuatupun. Akan tetapi dia
hanyalah makhluk yang terbatas, seberapa besar derajat dan keagunganya tetap saja dia
sebagai makhluk yang kecil dan hina di hadapan Allah swt. Bahkan keagungan dan
kebesarannya adaah dalil yang menguatkan kebesaran penciptanya yang telah
menciptakannya dari tidak ada menjadi ada. Allah berfirman:
(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itulah Allah tuhan kamu, tidak ada
Tuhan selain Dia. Pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia dan Dia adalah
pemelihara seegala sesuatu.1
Dan lihatlah ayat-ayat yang melarang tegas-tegas manusia menyembah tuhan selain
Allah.
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam, siang,
matahari, bulan. Janganlah kamu semua sujud kepada matahari, dan janganlah
pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang telah menciptakannya,
jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. 2

“Hai manusia, Telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu


perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-
sekali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
mennyembah dan amat lemah pula yang disembah”. 3
Dalam sebagian ayat Allah menceritakan bahwa nabi Ibrahim as yang berdebat
melawam raja Namrudz yang mendakwakan sifat ketuhanan atas dirinya. Firman-Nya:
“Apakah kamu tidak tahu seorang yang berdebat dengan nabi Ibrahim tentang
Tuhannnya karena telah diberi anugerak kerajaan, Ibrahim berkata:
Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari arah timur, silakan anda
terbitkan matahari dari arah barat, maka terkengangalah orang yang kafir .
Allah tidak memberi hidayah kepada kaum yang dzalim.” 4
1
S. Al An’am [ ]:102.
2
S. Fusilat :37
3
S. Al Haj:73
4
S. Al Baqarah [2] :258

96
Tidak sah beribadah pada ciptaan Allah, karena ibadah hanya diberikan semata-
mata pada sang pencipta yang telah menciptakan segala sesuatu dan membaguskannya.
Dialah dzat yang Maha esa, sang penyandang sifat kesempurnaan, tidak kurang, tidak
lemah, maupun tidak membutuhkan tapi segala sesuatu yang lainlah yang
membutuhkan-Nya.
Demikianlah tauhid uluhiyah pada Allah swt adalah ibadah manusia secara
mutlak pada sang pencipta yaitu Allah swt. Sesungguhnya, ketika al Qur’an berbicara
mengenai ibadah, dia tidak hanya memberikan mafhum-mafhum yang bernuansa
spiritual (ruhiyah)semata-mata tetapi ketundukan yang mutlak dan sempurna manusia
kepada Tuhannya dalam seluruh aspek hidupnya yaitu tingkah lakunya dalam
kehidupan dunia ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah, menyerahkan dirinya,
memasrahkan segala urusannya dalam kehidupan ini pada Allah. Dengan demikian
tauhid uluhiyah diartikan juga sebagai mentauhidkan Allah dalam mengatur dan
mensyari’atkan hukum-hukum bagi perbuatan hamba-Nya. Lihatlah firman Allah ta’ala
yang menetapkan bahwa hukum itu hanyalah milik Allah dan disertakan pula tauhid dan
tawakkal pada Allah.
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu
tidak m enyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus”.5

“Keputusan (menetapkan sesuatu) hannyalah hak Allah, kepada-Nyalah aku


bertawakkallah hanya kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal
menyerahkan diri”. 6

“Dan dialah Allah, Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia.
Baginyalah segala puji di dunia dan akhiraat, dan baginyalah segala
penentuan dan hanya kepada kamu semua dikembalikan”. 7

5
S. Yusuf [12]: 40.
6
S. Yusuf [12]: 67.
7
S. Al Qashas:70

97
“Dan (hukum) siapakah yanga lebih baik daripada (hukum ) Allah bagi
orang-orang yang yakin”. 8

“Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendaknya) tidak ada yang dapat
menolak ketentuannya dan Dialah yang Maha cepat hisabnya”.9

Selain itu ada juga ayat-ayat yang melarang manusia untuk menjadi musyari
(legal maker) yang menghalalkan dan mengharamkan dengan kehendak mereka sendiri,
mereka mengada-adakan kebohongan pada Allah sebgai dzat yang berhak membuat
syari’at.AnNahl :112
“Dan janganlah kamu menyatakan terhadap yang disebuut-sebut oleh lidahmu
secara dusta ‘ini halal dan ini haram” untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesunguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan
terhadap Allah tiada beruntung”. 10
Di sebagian ayat, Allah mencela orang-orang yang membuat-buat syari’at.
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah”. 11

Dengan demikian syahadat laa Ilaha illallah artinya adalah meyakini bahwa tidak ada
dzat yang disembah dan tidak ada dzat yang berhak membuat syari’at kecuali Allah.
Artinya sistem yang wajib dijalankan oleh manusia dalam kehidupan adalah sistem
yang disyari’atkan Allah.
Syahadat yang agung ini mengharuskan manusia untuk bertanya “jika syari’at
itu hanya hak Allah, maka bagaimana mengetahui dan bagaimana menerimanya?”
Oleh karena itu datanglah syahadat yang kedua yang menjadi penyempurna
syahadat yang pertama dan sekaligus menjawab pertanyaan yang muncul, yaitu
Muhammad Rasulullah. Artinya adalah meyakini bahwa syari’at yang diridhai Allah

8
S. Al Ma’idah:50
9
S. Ar Ra’d:41

10
AnNahl :112

11
assyra:21

98
ta’ala untuk manusia adalah syari’at yang diturunkan oleh Allah ta’ala pada
Muhammad saw yang diwahyukan melalui malaikat jibril as.
Sesudah turunnya wahyu pada nabi Muhammad saw, maka bagi orang yang
menghendaki untuk mentauhidkan Allah, baik uluhiyah maupun tasyri’ wajib mengikuti
agama yang dibawa oleh Muhammad karena beliaulah yang mengemban risalah ilahi
pada manusia yang serba lemah dan kurang dan membutuhkan adanya aturan dan
petunjuk dari Sang Maha pencipta.
“Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas suatu syari’at (peraturan) dari
urusan agama”. 12
S. Ali Imran [ ]:31.
“Katakanlah: ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya
Allah akan mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu’. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.13

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak akan beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.14

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal-amal


saleh serta beriman pula kepada apa yanng diturunkan kepada Muhammad dan
itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapus kesalahan-kesalahan
mereka dan memperbaiki keadan mereka”. 15
Agama yang dibawa nabi Muhammad saw memiliki pemikiran yang
menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan serta memiliki sistem
yang mengatur perikehidupan. Dengan demikian maka agama ini juga adalah sebuah

12
S. Al Jatsiah [ ]:18.
13
S. Ali Imran [ ]:31.

14
S. An Nisa [ ]: 65.

15
S. Muhammad [47]:3.

99
mabda’ atau ideologi. Mabda’ Islam adalah satu-satunya mabda’ yang muncul dari
wahyu bukan dari manusia. Inilah rahasia kebangkitan umat Islam. Kebangkitannya
adalah hasil dari kehidupannya yang bergantung pada wahyu ilahi serta keterikatannya
pada perintah, larangan dan aturan-aturan yang diridhai Allah untuk hamba-hamba-Nya
yang bertakwa. Dengan demikian Islam adalah satu-satunya kebangkitan yang sahih
karena perilaku manusia dalam Islam selaras dengan gerak alam semesta dan semua
makhluk, semua tunduk pada aturan yang dikehendaki Allah.
“Hanya kepa-Nyalah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi menyerahkan
diri baik dengan suka ataupun terpaksa dan hanya kepada-Nyalah kamu semua
dikembalikan”. 16

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang


Maha Perkasa lagi Maha Mengetahiui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”. 17

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan bumi itu masih merupan
asap lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya
menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduannya
menjawab:”Kami datang dengan suka hati”. Maka Dia menjadiaknnya tujuh
langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit
urusannya”. 18

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada
Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memujinya, tetapi
kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha
penyantun lagi Maha Pengampun”. 19

16
S. Ali Imran [ ]: 83.
17
Yasin [36]: 38-40.
18
S. Fusshilat [41]:11-12.
19
S. Al Isra [ ]: 44.

100
Termasuk hal terpenting yang selaras dan harmonis dengan perilaku dan kehidupan
yang terikat dengan syari’at Allah adalah fitrah manusia yang telah diciptakan Allah
yang berupa kecenderungan manusia untuk beribadah pada sang pencipta. Firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Allah; (tetaplah) atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yamng lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. 20

Banyak ayat-ayat yang menghubungkan antara berpegang teguh pada syari’at


dengan sempurnanya kenikmatan, memancarnya kebaikan, menikmati rasa aman tenang
dan mulia.S. Al Jin [ ]: 6.
“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam) benar-benar kami akan memberi minum pada mereka air yang segar
(rezki yang banyak)”. 21
Firman-Nya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah
kami akan melimpahkan pada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya”. 22
Lihatlah ayat-ayat yang mulia yang menceritakan mengenai seruan Nabi Nuh as pada
kaumnya yang melampaui batas dan fasik:
“Maka aku katakan pada mereka: Mohon ampun pada Tuhanmu. sesungguhya
dia adalah maha pengampun. Niscaya dia akan mengirim hujan kepadamu
dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan
untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-
sungai”. 23
Kemudian lihatlah ayat-ayat yang menjelaskan bahwa seorang mukmin yang
beramal salih sebagai khalifah di muka bumi:

20
S. Ar Rum [30] :3.
21
S. Al Jin [ ]: 6.
22
S. Al- A’raf [ ]: 96.
23
S. Nuh [ ]:10-12.

101
“Dan Allah telah berjanji pada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal salih bahwa Dia akan benar-benar menjadikan kamu
berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang
sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi
aman sentousa. Mereka tetap menyembah-Ku denga tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku . Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. 24
Allah juga mengancam umat yang menentang perintah-Nya, berbuat durhaka di
muka bumi, dan mendustakan ayat-ayat-Nya dengan akibat yang buruk dan tertimpa
bencana. Allah memberikan contoh pada kita kaum yang dihan curkan-Nya, Firman-
Nya:
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang
dahulu aman lagi tenteram, rizkinya datang melimpah ruah dari segenap
tempat. Tapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah
merasakan pada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang
telah mereka perbuat”. 25
Kebangkitan umat Islam adalah hasil dari keterikatan utuh terhadap perintah dan
larangan Allah. Dengan kata lain kebangkitan umat Islam adalah hasil dari keterikatan
mereka dengan agama yang dibawa Muhammad saw. Bangkit dan meningkatnya kaum
muslimin tergatung pada keterikatan mereka pada wahyu baik secara pemikiran maupun
tingkah laku. Adapun kemunduran dan kemerosotannya adalah juga seukur dengan
menjauhnya umat Islam dari aturan wahyu. Hal ini adalah fakta yang pasti dan tak
mungkin berubah lagi dari hari ke hari. Sejarah adalah saksi terbaik atas hal ini.
Masyarakat muslim awal (para sahabat dan khulafa’ ar rasyidin) mengatur
kehidupannya dengan Islam dan mereka mampu mewujudkan kebangkitan yang ideal
dan masa itu menjadi masa yang terbaik. Akan tetapi ketika kerancuan-kerancuan dalam
tatanan indah masyarakat Islam mulai muncul, maka mulailah muncul perilaku-

24
S. An Nur [ ]: 55.
25
S. An Nahl [ ]: 112.

102
perilaku dalam masyarakat Islam yang terpisah dari kaidah dan hukum-hukum yang
diturunkan lewat wahyu. Kemerosotan demi kemerosotan mulai meresap dalam tubuh
umat Islam. Adapun kadar kemerosotan itu selaras dengan kadar pemisahan perilaku
masyarakat dengan wahyu, maka setiap kali pemisahaan itu bertambah maka semakin
bertambahlah kemunduran umat sampai syari’at tenggelam dari kehidupan kaum
muslimin dan tercabutlah dari negara dan masyarakat, sehingga mereka berada dalam
kemunduran dan kegelapan yang hina.
Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa kaum muslimin wajib untuk
bersungguh-sungguh dalam memahami Islam secara mendalam, bersih dan murni tanpa
adanya kerancuan-kerancuan yang merusak, sehingga keterikatan mereka pada Islam
adalah keterikatan mereka pada wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad.
Umat Islam wajib menjadikan perundang-undangan mereka berdasarkan sumber-
sumber syari’at Islam.
Dulu pada waktu kaum muslimin menerima syari’at Islam hanya terbatas pada
empat hal saja yaitu: al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan qiyas, mereka mengambil hal itu
karena tidak boleh bagi kaum muslimin mengambil syari’at dari selain wahyu. Al
Qur’an adalah kitabullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw dengan
makna dan lafadznya. Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber pada Rasul saw
baik berupa ucapan, perbuatan, maupun penetapan. Sunnah sebenarnya adalah wahyu
juga, karena Rasul tidak pernah bersabda berdasarkan hawa nafsunya melainkan
berdasarkan wahyu sehingga sunnah adalah wahyu yang diwahyukan pada Rasul saw
berupa maknanya saja tapi tidak secara lafadznya.
Adapun ijma’ di sini adalah ijma’ shahabat. Ijma’ adalah ekspresi dari wahyu
juga karena para sahabat adalah orang yang telah dipuji oleh Allah dalam al Qur’an
maka mereka tidak mungkin bersepakat atas sesuatu yang tidak ada dalilnya dari
Rosulullah, sehingga ijma’ shahabat dianggap sebagai dalil syar’i karena dia
menyingkap dalil yang tidak kita ketahui.
Adapun qiyas juga terpancar dari wahyu. Qiyas disini tidaklah sama dengan
anggapan kebanyakan orang yang mengartikannya sebagai pengambilan hukum
berdasarkan akal, tetapi qiyas adalah pengambilan dalil atas hukum-hukum karena
adanya ilat syar’i dalam nas-nas syara’ baik al Quran maupun Sunnah. Maksudnya,
qiyas adalah hukum atas fakta lain karena kesamaan illat dengan suatu nash syara’ baik

103
al Qur’an maupun Sunnah. Sehingga pengambilan dalil dengan qiyas adalah
pengambilan hukum dari wahyu.
Demikianlah pemahaman kaum muslimin terhadap Islam dan syari’atnya pada
masa-masa kebangkitan Islam. Adapun pada masa-masa kemundurannya telah
merajalela dalam diri kaum muslimin sumber-sumber syari’at yang bermacam-macam
yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu. Pengambilan dalil tidak lagi
bersumber pada syari’at dan wahyu akan tetapi akal, fakta, kemaslahatan dsb yang
menjadikan kaum muslimin semakin merosot, mundur dan tertindas.
Ironis jika umat kini menghendaki kemenangan Islam -yaitu wahyu yang
diturunkan pada Nabi Muhammad saw- sementara mereka meninggalkan syari’at yang
telah digariskan dan malah mengadopsi hukum-hukum selainnya dan berusaha
mengelaborasi jalan kebangkitan yang tidak selaras dengan syara’.
Marilah kita renungi firman Allah:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah maha pengampun lagi
maha penyayang”. 26

26
S. Ali Imran [ ]:31.

104
PERADABAN ISLAM
BEBAS DARI KONTAMINASI PERADABAN LAIN

Seorang pengkaji yang meneliti sejumlah peradaban dan pemikiran yang


mendominasi bangsa-bangsa sepanjang sejarah, tentu akan melihat adanya fenomena
yang harus diperhitungkan yaitu saling keterpengaruhan satu peradaban dengan
peradaban lain dan kelahiran suatu peradaban sebagai anak dari peradaban lain.
Terkadang suatu peradaban adalah kelanjutan dari peradaban sebelumnya, hanya saja
memiliki perbedaan-perbedaan karena adanya sifat-sifat baru dan beberapa hal yang
lain. Lalu bagaimanakah menafsirkan fenomena ini?
Berbicara mengenai peradaban (hadharoh) yang diartikan sebagai sekumpulan
ide mengenai kehidupan, maksudnya adalah sekumpulan pemikiran-pemikiran dalam
sekup yang besar yang mencakup berbagai aspek kehidupan dan masyarakat, baik
hukum, undang-undang, ekonomi, sosial, politik, seni, dsb. Andai pemikiran-pemikiran
itu adalah produk akal manusia, maka kita bisa memastikan adanya pengaruh suau
peradaban terhadap peradaban yang lain, baik pengaruh yang konstruktif maupun
destruktif.
Adanya saling keterpengaruhan itu karena akal manusia yang menghasilkan
pemikiran-pemikiran yang kemudian diadopsi oleh manusia sebagai mafahim adalah
terbatas dan seukur dengan informasi-informasi yang ada saja. Ketika manusia
berkreasi sebenarnya hanya berdasar atas khazanah keilmuan yang ada dalam
benaknya saja. Sesungguhnya manusia tidak mampu mengetahui segala sesuatu kecuali
seukur informasi yang dimiliki yang digunakan untuk menafsirkan fakta-fakta yang
terindera. Adapun penciptaan atau kreasi bukan berarti manusia itu memunculkan
pemikiran yang baru yang tidak berhubungan dengan fakta-fakta yang terindera maupun
informasi yang telah ada, akan tetapi menemukan sesuatu yang baru atau memunculkan
pemikiran baru yang belum pernah ditemukan oleh orang lain sebelumnya, namun tetap
bersandar pada fakta dan informasi yang telah ada. Sebenarnya para pencipta hanya
mengkaitkan data-data tertentu, kemudian mengeluarkan pemikira baru yang belum
pernah didahului seorang pun, maka dia menjadi orang pertama yang memunculkannya
tanpa melihat benar atau salahnya pemikiran itu. Selanjutnya mereka menciptakan

105
pemikiran, teori-teori, atau khayalan-khayalan seukur informasi yang sudah ada, dan
kemampuan mereka dalam mengkait-kaitkan informasi-informasi itu.
Pemikir atau pencipta secara alami pasti terpengaruh oleh pemikiran yang
melingkupinya, tempat di mana mereka hidup dan hal-hal yang bersinggungan
dengannya, maka mereka akan mengeluarkan pemikiran-pemiiran, teori-teori yang
kadang-kadang sejenis dengan pemikiran yang melingkupinya dan kadang-kadang
bertentangan. Inilah yang kami fahami sebagai pengaruh peradaban yang satu dengan
peradaban yang lain, karena sesungguhnya peradaban (hadharoh) seperti yang sudah
kami jelaskan adalah sekumpulan ide mengenai kehidupan yang dimiliki oleh suatu
bangsa, yaitu pemikiran-pemikiran yang mereka pegangi. Pemikiran-pemikiran itu
adalah produk akal yang saling berpengaruh satu sama lain dan saling mengadopsi satu
sama lain sehingga terbentuklah pemikiran baru yang berbeda satu sama lain.
Berdasarkan hal ini kita bisa memahami obyek yang menjadi pembahasan para
sejarawan maupun para peneliti mengenai pengaruh peradaban Asyuria dan Babilonia,
ataupun yang lain dengan peradaban Sumeria misalnya. Atau terpengaruhnya peradaban
Rumania dengan peradaban Yunani kuno, atau bahkan kelanjutannya, atau pengaruh
peradaban Yunani dengan peradaban Mesir.
Berdasarkan hal ini pula kita bisa memahami tabiat hubungan antara hadharoh
Eropa pada abad pertengahan dan hadharoh Eropa kontemporer liberal. Begitu pula
hubungan yang menentukan liberal dengan hukum-hukum peradaban komunis. Di sini
terjadi pengaruh yang destruktif karena kedua hadharoh ini bertentangan.
Dominasi gereja dan kekuasaan para raja yang berlabel pasrah ketuhanan
(tafwid Ilahi) dan gentingnya kegelapan di bawah naungan sistem feodal di mana
terdapat kesenjangan antara tuan dan budak, kaum feodal dan petani, kungkungan
kekuasaan spiritual dan agama terhadap wilayah-wilayah yang merosot dan terbelakang
selama abad pertengahan menyebabkan munculnya tindakan perlawanan yang tampak
dalam ide pemisahan agama dari kehidupan masyarakat dan negara, juga ide-ide
demokrasi dan kebebasan umum yang meliputi kebebasan individu, pemilikan
keyakinan dan pendapat yang ada pada diri para pemikir liberal.
Kemudian muncullah masyarakat kapitalis di mana terjadi penderitaan para
pekerja dan pegawai karena kezaliman dan kesewenang-wenangan para kapitalis,
pemilik perusahaan dan pabrik-pabrik, yayasan-yayasan dimana terjadi akumulasi

106
kapital di tangan sekelompok kecil para borjuis. Sementara kalangan rakyat jelata yang
merupakan mayoritas hampir-hampir tak mampu selain sekadar menyambung hidup.
Kondisi ini menimbulkan tindakan perlawanan pada diri para pemikir dan para pemilik
teori ekonomi yang tampak pada teori-teori sosialis yang memandang adanya
pembagian harta pada penduduk yang lebih adil daripada dalam masyarakat kapitalis.
Di antara teori-teori terpenting yang paling banyak pengikutnya adalah sosialis Marxis
yang melakukan revolusi Bolshevik dan kemudian mendirikan Uni Sovyet.
Adapun jika mengambil contoh hadharah Islam yang tersebar bersamaan
dengan awal abad pertengahan, akan kita dapatkan bahwa pembahasan di atas sama
sekali tidak sesuai dengan hadharah Islam. Karena melihat awal-awal kemunculannya
tidaklah ditemukan adanya keterpengaruhan ataupun keterkaitan antara Islam dengan
hadharah- hadharah sebelumnya maupun yang semasa, baik pengeruh konstruktif
maupun destruktif karena Islam memiliki pola hidup yang berbeda sama sekali dengan
pola hidup sebelum Islam maupun yang semasa dengan Islam. Islam melakukan
revolusi fundamental dalam masyarakat, tidak meninggalkan sebagian aspek dari aspek-
aspek yang lain, akan tetapi Islam menaklukkan suatu peradaban dan merubahnya sejak
dari asasnya. Islam telah melakukannya berawal dari jazirah Arab yang sudah terbiasa
dengan pola hidup jahiliyah sejak berabad-abad, terus berjalan sampai negara-negara
tetangga yang mengelilinginya dan berlanjut ke negara-negara jauh yang dipimpin oleh
peradaban Romawi, Persia dll.
Dua yang hadharah Barat yaitu kapitalis dan komunis yang tegak karena
revolusi atas peradaban di abad pertengahan, tidak pernah eksis di muka bumi ini
kecuali sesudah adanya beberapa indikasi yang panjang sepanjang sejarah yaitu dengan
adanya para pemikir dan para filosof yang terus menerus membuat pemikiran dan teori-
teori sampai mereka merenovasi pemikiran-pemikiran yang berserakan itu dan
membentuk dua ideologi yang sempurna yang belum pernah diterapkan kecuali setelah
masa-masa persalinan peradaban yang rumit.
Selain dua hadharah ini, kita juga menemukan bahwa hadharah Islam yang
melakukan revolusi di jazirah Arab dan bangsa-bangsa sekitarnya mulai menyebar sejak
Nabi Muhammad saw memproklamirkannya di Makkah kemudian menaklikkan jazirah
Arab dan mereka memetik buahnya setelah 13 tahun sejak kelahirannya ketika Islam
telah menjadi kuat di Madinah (Yatsrib), kemudian Islam menyebar sesuadah itu selama

107
10 tahun ke seluruh negeri-negeri di jazirah Arab. Kemudian Islam merambah ke
seluruh penjuru alam dan tidak ada satu masa pun kecuali telah berada di bawah
naungan Islam yang membentang luas dari timur yaitu China, sampai bumi belahan
barat dan samudera atlantik.
Muhammad Asad (Leopold Feis) berkata:
Sudah jelas bila kita menyelami dan meneliti pembahasan hadharah-
hadharah manusia terdahulu, maka kita tidak akan pernah menemukan masa
tertentu benih-benih peradaban apapun muncul, dan sejarah kelahirannya, dan
kita tidak akan menemukan perbedaan yang tegas antara hadharah yang satu
dengan hadharah berikutnya.
Akan tetapi ada satu distingsi yang sangat jelas, sebuah distingsi yang
mudah dicerna akal dan menjadi buah bibir. Sejarah peradaban manusia yang
selama ini dikenal belum pernah mengenang sebuah peradaban yang seolah-olah
muncul dari alam ghaib. Peradaban tersebut berdiri tegak dalam kevakuman
sejarah manusia, tidak lain dan tidak bukan yaitu peradaban Islam yang khas.
Seandainya semua peradaban selain Islam tumbuh dan berkembang
perlahan-lahan dengan warisan khazanah klasik mereka yang mengandung
berbagai macam konsep dan aliran pemikiran, lalu mulai mengkristal
membentuk format dan wadah tertentu dalam masa yang panjang, niscaya
peradaban Islam tetap akan unggul dan memiliki kekhasan tertentu, dan tanpa
akan ada peradaban lain pun baik masa dahulu maupun yang akan datang yang
menyamainya.
Peradaban ini (Islam) sejak fajar kebangkitannya menyatukan semua
pilar pembentuk sebuah peradaban yang komprehensif dan paripurna.
Masyarakat peradaban ini memiliki ajaran-ajaran yang jelas, konsep yang khas
tentang kehidupan, sistem peraturan yang komprehensif dan pola interaksi yang
harmonis antar individu sebagai anggota masyarakat.
Tegaknya peradaban ini bukanlah buah ajaran yang ditanam sejak masa
lalu, bukan pula tongkat estafet warisan pemikiran, namun peradaban ini lahir
dari sebuah rangkaian peristiwa sejarah yang khas yang berasal dari inspirasi al
Qur’an karim semata. 1

1
Al Islam wa at Tahaddy al Hadhari, hlm. 19-20.

108
Para pemikir Barat terlebih lagi para orientalis, kemudian para pendidik yang
sekuler di dunia Islam tidak punya kemampuaan untuk menemukan pandangan atau
teori yang menghubungkan antara peradaban manusia dan peradaban Islam. Mereka
tetap meraba fakta-fakta dan kejadian-kejadian dalam sejarah Islam yang bisa
digunakan untuk meyakinkan bahwa bahwa hadharah Islam adalah kelanjutan dari
semua hadharah yang terdahulu maupun yang semasa dengan Islam yaitu jahiliyah,
Rumania, Persia, India dsb. Hanya saja pembahasan yang jernih akan memastikan
bahwa usaha ini hanyalah sia-sia belaka dan mustahil bagaikan mempercayai bahwa
orang tua lebih muda dari anaknya.
Demikian itu karena hadharah Islam bukanlah kreasi akal maupun akumulasi
dari akal . Tetapi wahyu Allah dzat yang maha bijaksana. Hadharah Islam adalah
sekumpulan ide mengenai kehidupan, sementara semua ide (mafahim) ini hanya
diambil dari nash-nash wahyu atau dibangun di atas al Qur’an dan Sunnah. Keduanya
adalah wahyu dari Allah, yang berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkan itu (al Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya.Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya”.2
Mafahim Islam dibangun di atas aqidah aqliyah yang memberikan pemikiran yang
menyeluruh mengenai alam semesta manusia dan kehidupan yaitu aqidah La Ilaha
ilallah, Muhammad rasulullah. Hadharah Islam adalah hadharah yang mendasar
(mabda’i) yang meliputi seluruh aspek kehidupan, masyarakat dan negara.
Allah swt telah berfirman:
“Dan Kami turunkan padamu al Kitab (al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. 3

2
S. An Najm [ ]:3-4.
3
S. An Nahl [16]:89.

109
BAGIAN KETIGA: MASYARAKAT ISLAM

:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬


‫يحمل هداالعلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين‬

Artinya: Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil dalam setiap
generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang fanatik,
penjiplakan orang-orang yang batil dan ta’wil orang-orang yang bodoh.

HR. al Baihaqi

KEBANGKITAN SEBUAH MASYARAKAT

Ketika seorang pengkaji meneliti dan merenungkan sejarah manusia dengan pelan-
pelan dan mendalam, ia akan menemukan fenomena yang amat menonjol. Fenomena
tersebut adalah perbedaan suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain dari segi
kemajuan dan segi kemundurannya. Atau dengan kata lain, ada masyarakat yang
bangkit dan ada pula masyarakat yang terbelakang.
Teks-teks sejarah pada dasarnya adalah arsip perjalanan komunitas-komunitas
manusia yang hidup di muka bumi. Bila masyarakat yang beragam itu dibandingkan
akan kita temukan perbedaan yang mencolok entah itu dalam segi karakteristik atau
levelnya, dalam pola perkembangannnya atau dalam segi maju
tidaknya. Sejarah yang digali dengan susah payah oleh para sejarawan, filosof dan ahli
politik –baik teori dan praksis- demi menyuluh api kebangkitan masyarakatnya menuju
kemajuan. Diantara mereka ada yang berhasil membawa masyarakatnya mencapai
tujuannya dan ada pula yang tersuruk kegagalan.
Isu kebangkitan selalu menjadi buah bibir perhatian para peneliti, kalangan
akademis dan pakar politik sampai daman modern ini. Hal itu disebabkan manusia
merupakan makhluk yang hidup dalam catatan masa lalu, kini dan masa datang.

110
Tidak ketinggalan pula umat Islam, sejak fajar sejarah mulai merekah umat
mengkajinya dengan intens demi meraih kemajuan dan berjalan perlahan mendirikan
masyarakat yang beradab yang berlandaskan Islam. Para pendahulu kita-masa Rasul
saw dan para sahabatnya- telah berhasil mewujudkan tujuan ini, apalagi Allah telah
memberi rambu-rambu dan metodenya dalam bentuk wahyu yang diturunkan kepada
Muhammad saw. Dia berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman diantaramu dan
mengerjakan amal perbuatan yan saleh bahwa Dia sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi sebagaimana Di telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhainya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka
tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan Ku. Siapa
yang kafir sesudah janji itu mereka itulah orang-orang yang fasik.” 1
Sedangkan pada masa modern ini, umat Islam menyandang gelar terbelakang. Oleh
karena itu sudah selayaknya umat mengkaji kembali metode yang dapat melecutnya
bangkit kembali. Kebangkitan yang bukan sembarang kebangkitan dan hanya
kebangkitan Islamlah satu-satunya kebangkitan yang benar,
Tak diragukan lagi bahwa Islam telah memberikan tuntunan yang merumuskan
metode mendirikan masyarakat Islami. Yaitu metode untuk mewujudkan kebangkitan
masyarakatnya. Akan tetapi resep yang ditawarkan tidak mungkin majur kecuali bila
memahami terlebih dahulu fakta masyarakat itu sendiri. Solusi yang ditawarkan Islam
untuk memecahkan problematika umat sbb:
❖ Menela’ah fakta dengan akurat untuk menganalisis lebih lanjut substansi
masalah yang ingin dipecahkan.
❖ Kembali ke nash-nash syar’i yang berkaitan dengan fakta tadi dalam
kerangka syar’i untuk mengetahui hukum Allah tentang fakta tersebut.
❖ Mengaplikasikan solusi syar’i terhadap fakta tadi.
Dari rumus diatas, kita harus memahami terlebih dahulu fakta masyarakat
manusia dari aspek masyarakat itu sendiri, yaitu dengan memahami definisi masyarakat.

1
S. al Nur [ ]:55.

111
Banyak pakar yang mendefinisikan ‘masyarakat’ dengan pandangan sambil lalu
dan terkesan dangkal. Mereka mendefinisikannya dengan definisi yang tidak mencakup
fakta masyarakat yang sesungguhnya. Mereka berkata masyarakat adalah sekumpulan
individu manusia. Selaras dengan definisi ini, mereka mengajukan konsep kebangkitan
masyarakat dengan ‘bila individu baik tentu masyarakat juga akan baik dan maju’.
Agar sebuah definisi dikatakan benar, ia harus bersifat jami’ (mencakup semua
unsur-unsur yang masuk kedalamnya) dan mani’ (mengeluarkan semua unsur yang
tidak termasuk didalamnya). Bila kita amati dengan seksama definisi ini sudah jami’
karena mencakup setiap masyarakat namun tidak mani’ karena juga mencakup selain
masyarakat.
Bila kita kita terapkan definisi dalam kenyataan, ia jami’ karena setiap
masyarakat pasti adalah sekumpulan individu namun tidak mani’ karena mencakup
selain yang disebut masyarakat. Sekumpulan individu tidak dapat disebut masyarakat
secara mutlak. Salah satu contohnya:
Sekumpulan penumpang satu perahu tidak dapat disebut masyarakat walaupun
jumlahnya banyak sampai ribuan dan ini merupakan kesepakatan semua orang.
Bukankah penumpang perahu itu juga sekumpulan individu?.
Kenapa mereka tidak dapat disebut sebuah masyarakat?. Hal ini menunjukkan
bahwa definisi di atas kurang sempurna sehingga keliru.
Ribuan penumpang di atas kapal api tidak dapat disebut masyarakat, dalam
waktu dan kesempatan lain ratusan manusia yang tinggal di sebuah desa kecil kita sebut
masyarakat. Kesepakatan ini juga disetujui oleh orang banyak.
Definisi yang benar adalah definisi yang menekankan perbedaan esensial antara
individu-individu yang membentuk sebuah masyarakat walaupun hanya berjumlah
ratusan di sebuah desa dan antara individu-individu yang berkumpul dalam satu
kesempatan tidak dapat disebut masyarakat walaupun berjumlah ribuan. Perbedaan
esensial ini tersurat dalam penduduk desa yang berinteraksi terus menerus sehingga
solidaritas mereka terbangun, bersatu padu dan kumpulan orang-orang tadi-bukan
individu-individunya- memiliki kepribadian khas dan menyandang identitas tertentu.
Dalam pada itu, penumpang kapal api yang berjumlah ribuan tidak lebih dari teman
seperjalanan dan tidak terjadi interaksi yang intens diantara mereka serta akan berpisah
di dermaga tujuan masing-masing.

112
Kalau begitu, definisi masyarakat adalah sekumpulan manusia yang mempunyai
interaksi abadi (intens) yang membangun kuimpulan tersebut dan menyandang
kekhasannya tersendiri selaras dengan ciri hubungan(interaksi) tadi. Bila interaksi
bersifat maju masyarakat pun akan ikut maju, sebaliknya bila bersifat rendah
masyarakatnya juga akan mundur.
Dari sini muncul pertanyaan berikut:
Kriteria apa ‘hubungan atau interaksi’ itu dikatakan maju atau dicap mundur?.
Jawaban pertanyaan ini terkandung dalam faktor-faktor yang mengontrol interaksi yang
berlangsung.
Analisis kritis terhadap fakta masyarakat mengindikasikan kepada kita bahwa
faktor yang mengontrol interaksi antara individu-individu ada tiga hal; mafhum
(persepsi), emosi (perasaan) dan sistem yang diterapkan.
Adapun mafhum, suluk (tingkah laku) seorang manusia tunduk pada mafhum
yang diembannya. Ia akan berbuat apa yang dianggapnya benar dan menjauhi apa yang
dianggapnya salah. Agar interaksi terbangun diantara individu-individu, mereka harus
menyelaraskann mafhum yang mereka emban, yaitu berkumpul demi maslahat. Suatu
interaksi tidak akan terbangun antara dua pihak kecuali bila mafhum keduanya menyatu
dalam maslahat. Adapun bila mafhum seputar maslahat itu berbeda, maka interaksi
tidak akan terbangun.
Adapun emosi, mafhum yang diemban manusia akan mengikat emosi-emosi
sejenis antar manusia sehingga terbangun interaksi antara mereka. Emosi mereka harus
sama seputar maslahat yang mereka tuju sehingga mereka berkumpul. Mereka semua
bergembira melihat sesuatu yang mereka anggap benar dan benci, gelisah dan marah
melihat sesuatu yang mereka anggap salah. Pemikiran dan emosilah yang membentuk
tradisi suatu masyarakat.
Mengenai sistem, setiap masyarakat pasti memiliki seperangkat sistem yang
mengatur perikehidupannya. Sistem tersebut menata interaksi yang berlangsung dan
mengatasi perselisihan dan permusuhan antara mereka. Semua ini berdasarakan sistem
yang diadopsi dan diaplikasikan oleh mereka yang mewajibkan semua anggota
masyarakat untuk mematuhinya. Sistem inilah yang mempunyai peranan besar dalam
masyarakat.

113
Melalui paparan diatas, jelas bahwa masyarakat adalah individu-individu yang
terikat dengan pola pikir, emosi dan sistem tertentu. Masyarakat tersebut akan
terbangun sesuai dengan ketiga eleman diatas. Bila ketiga elemen tadi bersifat kapitalis
maka masyarakatnya akan disebut masyarakat kapitalis, begittu pula bila ketiga elemen
tadi khas komunis masyarakat yang terbentuk disebut masyarakat komunis dan bila
ketiga elemen diatas bercirikan Islam masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat
Islam.
Sebuah masyarakat yang memiliki identitas tertentu dan berkepribadian khas
harus menyandang pola pikir, emosi dan sistem yang sejenis dan tidak kontradiktif satu
sama lain.
Bila kita ilustrasikan sebuah masyarakat memiliki elemen yang campur aduk
seperti pola pikirnya gabungan antara kapitalisme dan Islam –seperti halnya negeri-
negeri Islam saat ini-, sebuah keniscayaan masyarakat tadi tidak memiliki nuansa dan
identitas yang jelas-selagi masyarakat tersebut dalam kondisi ini-. Masyarakat gado-
gado tadi tidak akan pernah dihampiri kebangkitan bentuk apapun.
Begitu pula bila dalam masyarakat tersebut terbangun tradisi setempat dan
sistem yang sama, namun pemerintahnya menerapkan sistem yang kontradiktif dengan
mafhum dan emosi masyarakat setempat- seperti halnya yang terjadi pada mayoritas
negeri-negeri Islam-, masyarakat tersebut akan guncang, tidak stabil, api permusuhan
terus menyala-nyala antara pemerintah dan yang diperintah (rakyat) sehingga ujung-
ujungnya masyarakat akan jauh sekali mereguk arti kemajuan atau kebangkitan.
Kemudian, sebuah masyarakat akan maju seiring dengan majunya pola pikir,
emosi dan sistemnya, dan akan mundur dan terbelakang bila ketiga elemen tadi juga
mundur. Ketiga elemen tadi dikatakan maju bila dibangun atas satu qa’idah fikriyah
(paradigma berpikir). Qa’idah fikriyah ini harus berupa aqidah aqliyah yang
memberikan fikrah kuliyah (ide universal, weltanschaung, world view) tentang alam
semesta, manusia dan kehidupan sehingga fikrah tadi layak dijadikan pijakan awal bagi
semua sub-pemikiran dan menjadi fondasi sistem yang dilahirkannya.
Ringkasnya, sebuah masyarakat akan menuai kemajuan bila tradisi yang
berlangsung; pola pikir dan emosi yang diembannya dibangun diatas landaasan aqidah
aqliyah yang memancarkan sistem. Aqidah inilah yang akan menjadi fondasi sebagai

114
tempat berpijak masyarakat tadi dan menjadi qiyadah fikriyah (ide yang mendominasi)
yang akan mengantarkan menuju kebangkitan.
Bila kita ingin mewujudkan sebuah masyarakat yang mengecap kebangkitan
yang benar, hal tersebut tidak akan tercapai kecuali dengan adanya masyarakat Islam
yaitu sebuah masyarakat yang berlandaskan aqidah Islam dengan pola pikir, emosi dan
sistemnya pun Islam. Pemilihan tersebut karena hanya aqidah Islam yang benar dan
aqidah selainnya adalah batil.
Bila kita tengok fakta masyarakat muslimin di berbagai penjuru dunia
berdasarkan paparan di atas, kita akan mengatakan masyarakat muslimin terbelakang
dan mundur. Hal itu walaupun pemikirannya banyak yang Islami namun juga kerap
mengadopsi pemikiran susupan yang tidak Islami yang kebanyakan bernuansa Barat.
Seperti pemikiran sekulerisme (poemisahan agama dari kehidupan), kebebasan umum
dan lain-lain.
Dari segi emosi yang mendominasi masyarakat, meskipun banyak penjaga umat
yang memiliki emosi dan perasaan Islami, namun di kalangan umat tersebar dengan luas
emosi dan perasaan yang menyimpang seperti sukuisme, nasionalisme dan lain-lain.
Dari segi sistem, mayoritas peraturan yang diberlakukan di negeri-negeri Islam
adalah sistem dan peraturan kufur yang dicaplok dari UU buatan negara-negara lain.
Begitulah, masyarakat yang didiami kaum muslimin terbentuk dari gabungan
pola pikir, emosi & perasaan dan sistem yang Islami dan tidak Islami sehingga membuat
masyarakat muslimin menjadi mundur tidak terbersit sekalipun kata ‘kebangkitan’.
Jadi meskipun mayoritas manusia yang membentuk sebuah masyakat memeluk
agama Islam tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat Islam.

115
METODE RASULULLAH MENGUBAH MASYARAKAT

Rasul saw diutus kepada masyarakat jahiliyah yang didominasi mafhum,


perasaan dan sistem jahiliyah. Tujuan utama Rasul adalah merubah total masyarakat
tersebut. Perubahan itu bukan dengan merubah masyarakatnya atau membinasakan
individu-individunya dan mendatangkan individu-individu yang lain sebagai ganti
mereka. Perubahan yang dilakukan Rasul adalah merubah mafhum (persepsi), perasaan
dan sistem yang berlaku dengan menghilangkan pola pikir, perasaan dan sistem yang
kufur dan mewujudkan pola pilkir, perasaan dan sistem yang Islami.
Lalu metode apa yang harus kita tempuh untuk merubah masyarakat?
Melalui penganalisaan dan penelitian sirah Rasul saw sejak turunnya wahyu,
terlihat tiga fase yang dilalui Rasul saw.
❖ Tahap I: Fase persiapan dan penggemblengan asas Islam dan pengkayaan
tsaqafah Islam.
❖ Tahap II: Fase tampil berdakwah dan berinteraksi dengan masyarakat
❖ Tahap III: Fase penerapan Islam secara praksis melalui Daulah Islam.
Berikut akan diperinci lebih lanjut.
Tahap I: Fase Pembinaan (Tastqif)
Fase ini berlangsung selama tiga tahun, Rasul saw menanamkan aqidah Islam
kepada para shahabat. Beliau memperkuat iman mereka melalui dalil-dalil dan bukti-
bukti rasional yang qath’i dan mengajarkan mereka hukum-hukum Islam dan membina
mereka dengan tsaqafah Islam. Rasul tidak lupa menyodorkan dalil-dalil dan bukti
bobroknya aqidah, persepsi dan sistem jahili. Beliau selalu menganjurkan
memperbanyak dzikir kepada Allah dan merenungkan alam semesta guna menambah
keyakinan dan keta’atan kepada Allah serta mempertajam rohani dengan shalat,
membaca qur’an dan shalat malam. Rasul mencabut akar dan emosi jahiliyah yang
bersarang di hati para shahabat seperti solidaritas jahiliyah dan fanatisme kesukuan.
Sebagai gantinya Rasul menanamkan emosi dan perasaan Islami yang menyatu dengan
mafhum keislaman yang benar. Beliau membiasakan agar hanya meminta pertolongan
kepada Allah, Rasul dan kaum mukminindan melarang keras meminta bantuan kepada
setan dan pengikutnya walaupun mereka adalah bapak, saudara, anak atau kerabat
sendiri. Rasul terus mendesak mereka agar mewujudkan kebenaran dan melenyapkan

116
kebatilan sampai titik darah penghabisan. Aqidah Islam mendidih dalam dada para
shahabat, mafhum Islami terpatri dalam benak mereka. Fakta dihadapan mereka berupa
keyakinan, adat istiadat, tradisi, sistem yang rusak dan usang, kezaliman yang amat
berat, penganiayaan yang tak terperikan, hegemoni kalangan bertabiat buruk,
terlantarnya gelandangan, tangan besi thagut-thagut Mekah, penindasan, anak-anak
perempuan yang dikubur hidup-hidup, penipuan dalam timbangan, masyarakat ysng
dicengkram dengan riba, dan berperang demi fanatisme. Semua fakta diatas mendorong
dan mengugah para shahabat ra untuk berkonfontasi dan melawannya demi
meluruskannya.
Rasul terus memfokuskan dalam tahap ini hingga terbentuk sekelompok
shahabat yang benar-benar matang dalam tsaqafah Islam. Dalam diri mereka terbentuk
aqliyah (pola pikir) Islami dan kepribadian Islam yang kuat. Dengan keberhasilan Nabi
ssaw mewujudkan kutlah (kelompok) yang memiliki kepribadian Islam yang matang
yang sadar akan eksistensi Allah dan tidak terpengaruh oleh masyarakat jahiliyah, hati
Rasul menjadi tenang. Rasul saw kemudian bersiap-siap tampil berdakwah kepada
masyarakat umum untuk mengikis habis tradisi jahiliyah yang bercokol dalam
masyarakat.
Fase Kedua: Fase berdakwah dan Berinteraksi dengan masyarakat
Pada fase ini, Rasul terus menggembleng dan membina kutlahnya, memperkaya
tsaqafah Islam dan menambah jumlah pengikut. Rasul saw membubuhkan beberapa
aktivitas lain yang lebih berbahaya, lebih sulit dan masa paling pedih yang dialami para
shahabat. Aktivitas itu adalah:
1. Dakwah umum secara terang-terangan untuk menyebarkan Islam dan
mewujudkan opini umum tentang Islam.
2. Benturan pemikiran aqidah, sistem dan pemikiran-pemikiran kufur, juga dengan
tradisi, pola pikir dan persepsi yang salah dengan menjelaskan dan mengajak
meninggalkannya.
3. Perjuangan politik yang ditujukan kepada para pembesar Quraisy karena mereka
tetap kufur dan memerintah masyarakat dengan sistem dan peraturan batil, juga
karena mereka selalu menentang dakwah Islam.
Dalam fase kedua ini, Rasul mengemban dakwah dan menampilkan kutlah yang
ikut berdakwah bersamanya secara terang-terangan menentang selain Islam. Disamping

117
itu pada hakikatnya dakwah ini merupakan perjuangan politik menentang para pembesar
Quraisy dan masyrakat umum di Mekah karena dakwah Rasul menyeru agar
mengesakan Allah, hanya beribadah kepad-Nya, meninggalkan penyembahan berhala
dan mencabut sistem bobrok yang berlaku di tengah kehidupan masyarakat Mekah.
Benturan yang terjadi amat keras, Rasul saw merendahkan kemampuan akal kaum
Quraisy, menghina sesembahan mereka, mengkritik kehidupan mereka yang kacau dan
mencela sarana-sarana kehidupan mereka yang zalim. Al qur’an turun kepada Nabi saw
berkata lantang kepada kafir Mekah:
“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan
neraka jhanam, kamu pasti akan masuk kedalanya.”1
Kemudian Rasul menentang riba habis-habisan. Allah berfirman:
“Riba yang kamu berikan agar bertambah pada harta manusia, maka riba itu
tidak bertambah di sisi Allah.”2
Rasul mengancam orang-orang yang berbuat curang dalam menakar dan menimbang.
Firman Nya:
“Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”3
Oleh karena itu, orang-orang Quraisy mulai menentang dakwah Rasul, menyakiti beliau
dan para shahabat lewat aksi fisik (menyiksa), memboikot, propaganda melawan Rasul
dan agamanya. Namun tetap saja Rasul dengan tegar berdakwah, menyerang opini-opini
yang keliru, berusaha meruntuhkan aqidah mereka yang salah dan bersunguh-sungguh
menyebarkan Islam. Beliau berdakwah secara terrang-terangan, tidak memakai kata
kiasan, tidak memberi isyarat yang samar, tidak melunak, pantang menyerah, tidak
memihak dan tidak pernah menjilat sekalipun penyiksaan beraneka ragam menimpanya
dan berbagai kesulitan menghadangnya.
Padahal Rasul hanya seorang diri, tidak punya penolong, tidak punya
perlengkapan apalagi senjata, beliau tetap berdakwah secara terbuka menantang hanya
mengajak kepada agama Allah. Dalam hatinya tidak terbersit kelemahan sedikitpun
menanggung beban dakwah yang berat, dengan tantangann semacam itu. Rasul dapat

1
S. Al Anbiya’ [21]: 98.
2
S. Al Rum [30]: 39.
3
S. Al Muthaffifin [83]: 1-3.

118
menaklukan kendala yang dilontarkan orang-orang Quraisy untuk menghalanginya
berdakwah kepada masyarakat. Rasul berhasil menyampaikan dakwah kepada
masyarakat, mereka menerima agama Allah sehingga kekuatan kebenaran menjadi
tinggi, cahaya Islam bertambah setiap hari di kalangan orang Arab. Banyak penyembah
berhala dan orang-orang Nasrani masuk Islam bahkan para pembesar Quraisy
mendengarkan al qur’an dengan hati berdebar-debar.
Pergulatan antara pemikiran tampak dalam fase ini, benturan antara kaum
muslimin dengan kaum kafir. Benturan tersebut terjadi pertama kali ketika Rasul saw
dan sekelompok shahabat berbaris rapi berjalan (di seputar ka’bah) yang belum pernah
dikenal orang Arab sebelumnya. Sejak saat itu, Rasul menyebarkan dakwah kepad
seluruh masyarakat terang-terangan, siang-malam secara terbuka dan menanntang.
Dakwah umum dan pembinaan publik ini berpengaruh terhadap orang-orang Quraisy.
Mereka semakin dengki dan merasakan bahaya akan segera mengancam. Kaum Quraisy
mulai mengambil langkah-langkah strategis untuk melakukan perlawanan, yang pada
awalnya Quraisy tidak memperdulikan Muhammad dan dakwahnya, maka pertarungan
politik semakin memanas. Al qur’an yang mulia dalam satu suratnya mencerca Abu
Lahab, salah satu pemimpin Mekah dan juga paman Nabi saw:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa. Harta dan
apa yang ia upayakan tidak memberi faedah kepadanya. Kelak, ia akan masuk
ke dalam api yang bergejolak.”4
Al Qur’an turun menyerang Walid bin Mughirah yang mempelopori perang pemikiran
dan informasi dalam firman Nya:
“Sekali-kali tidak, karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami. Aku
akan membebaninya dengan pendakian yang melelahkan. Sesungguhnya dia
telah memikirkan dan menetapkan. Maka celakalah dia Bagaimana dia
menetapkan?. Kemudian celaka dia bagaiman dia menetapkan?. Kemudia dia
memikirkan. Sesudah itu dia bemasam muka dan merengut. Kemudian dia
berpaling dari kebenaran dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata:
“alqur’an ini hanyalah sihir yang dipelajari dari orang-orang terdahulu. Ini

4
S. Al Lahab[111]: 1-3.

119
tidak lain hanyalah perkataan manusia. Aku (allah) akan memasukkannya ke
dalam neraka Saqar.”5
Penyiksaan dan penindasan semakin bertambah terhadap Nabi saw dan para
shahabatnya.
Dakwah secara umum mempunyai pengaruh yang lebih luas, walaupun para
pengembannya dihadang berbagai siksaan. Api permusuhan semakin menyala-nyala di
hati para pembesar Quraisy karena Rasul dengan konsisten berusaha membuka kedok
kezaliman mereka. Fase ini adalah fase paling berat dan berperan paling penting.
Semenjak Rasul saw dan para shahabatnya tampil berdakwah secara terang-
terangan, Rasul mempunyai target untuk merubah tradisi jahiliyah yang mendominasi
Mekah menuju tradisi Islami. Sebab langkah tersebut sebagai kunci untuk merubah
masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam. Tradisi pada hakikatnya adalah
sekumpulan pemikiran dan perasaan yang mengontrol suluk (perilaku), interaksi dan
sikap masyarakat. Jika Islam sudah tersebar dan dipeluk orang banyak di mekah, berarti
mereka telah mengemban pola pikir Islami dan terhunjam dalam hati mereka perasaan
Islami, dengan itu tradisi Mekah telah terbentuk atas dasar Islam-walaupun baru kulit
luarnya- sehingga terwujud opini umum yang mengedepankan Islam dalam semua
pendapat dan sikapnya. Masyarakat seperti itu selangkah lagi akan menjadi masyarakat
Islam dengan diterapkannya sistem Islam melalui kekuasaan dan pemerintahan.baik
semua penduduk Mekah masuk Islam sehingga Islam menjadi sistem yang dominan
dengan sendirinya atau dengan kekuatan ketika opini umum di Mekah menjadi Islami
dan menyuarakan hidup dengan sistem Islam. Dengan metode ini, Mekah akan menjadi
batu pertama masyarakat Islam.
Akan tetapi hal itu tidak terwujud ketika Rasul berdakwah di Mekah, mekipun
orang-orang yang masuk Islam bertambah jumlahnya pada fase ini, mereka belum
sanggup menggoncang Mekah sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi dan opini umum
Mekah menjadi Islami. Tradisi yang mendominasi masih adat jahiliyah, begitu pula
dengan opini umumnya. Keadaan masyarakat Mekah menjadi kaku dan keras
menyambut dakwah Rasul saw karena interaksi dakwah denngan masyarakat diganjal
intimidasi dan teror yan dilancarkan para pemimpin Quraisy, apalagi terhadap orang-
orang yang baru masuk Islam. Situasi ini mendorong Rasul untuk mencari lahan baru

5
S. Al Muddatstsir [74]: 16-26.

120
untuk berdakwah menyebarkan Islam sebagai pengganti kota Mekah sebagai batu
loncatan dari fase dakwah menuju fase penerapan Islam melalui pemerintahan. Beliau
menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah yang berdatangan ke Mekah sampai Allah
memuliakan penduduk Yatsrib sebagai penolong Islam dan Rasul saw.
Momentum ini terjadi ketika beberapa orang dari utusan Madinah masuk Islam
pada salah satu musim haji melalui tangan Nabi, kemudian mereka kembali kepada
kaumnya untuk mengajak masuk Islam dan hendaknya datang kembali pada musim
berikutnya dengan jumlah pemeluk Islam yang lebih besar. Lalu mereka membai’at
Nabi di ‘aqabah dan Rasul mengutus bersama mereka seorang shahabat agung yang
cerdas dan pandai bergaul, Mush’aib bin Umair ra untuk mengajarkan Islam dan
memberi pemahaman yang benar serta menyebarkan Islam di Madinah. Belum sampai
setahun sejak kedatangan Mush’ab ra di Madinah, tradisi Islam telah terbentuk di kota
tersebut setelah masuk Islamnya para pembesar dan mayoritas penduduknya. Artinya
tradisi Islam di madinah terdiri dari dua pilar yaitu mafhum (persepsi) dan perasaan
Islami yang berlandaskan aqidah Islam sampai kedatangan Rasul saw ke Madinah
meletakkan sistem yang terpancar dari aqidah Islam untuk diaplikasikan melalui
kekuasaan dan pemerintahan. Dengan peletakan tersebut, telah berdiri masyarakat Islam
untuk pertama kali.
Hijrah Rasul saw ke Madinah adalah penobatan berdirinya masyarakat Islam
sejak Rasul saw menginjakkan kaki dan menerapkan Islam di segala bidang;
pemerintahan, ekonomi, hubungan pria–wanita, pendidikan, sanksi dan politik dalam
dan luar negeri. Pada tahap ini, Rasul memasuki fase ketiga; fase penerapan Islam
secara praksis melalui pemerintahan dan kekuasaan yaitu dengan berdirinya Daulah
Islam.

121
MASYARAKAT ISLAM DALAM
BENTURAN PERADABAN DAN PEMIKIRAN

Ketika kita mengatakan bahwa peradaban Islam adalah sekumpulan persepsi


Islami tentang kehidupan, berarti peradaban Islam, adalah aqidah Islam dan pemikiran-
pemikiran yang terpancar, lahir dan dibangun diatas landaasan tadi. Selanjutnya sejauh
mana suatu masyarakat berpegang teguh dengan perintah dan larangan-Nya, berjalan
sesuai peraturan Allah, maka akan terlihat daalam masyarakat tadi peradaban Islam.
Sejauh man pula pola pikir Islam merasuk dalam hati kaum Muslimin sehingga mereka
menerapkannya dengan utuh serta sejauh mana pula ajaran itu murni, bersih maka akan
terwujud peradaban Islam yang murni. Maksud dari murni, bersih adalah pemikiran
Islam itu tidak ternodai oleh pemikiran susupan karena setiap pemikiran yang tidak
islami yang menodainya akan mengkontaminasi dan memutarbalikkan ajaran Islam
yang benar. Sebabnya pemikkiran Islam –yang nota bene wahyu Allah- adalah
kebenaran dan pemikiran selainnya adalah batil dan tidak mungkin keduanya
bergabung. Hal ini membuat peradaban Islam berbeda dengan peradaban lainnya dan
tidak berkaitan sedikitpun dengan peradaban lain.
Sejauh mana kemurnian pemikiran Islam dalam dada setiap muslim dan
kehidupan mereka sepanjang sejarah Islam sampai saat ini?
Hikmah Allah swt telah menetapkan wahyu Islam turun di tengah kaum yang
buta huruf, jauh dari hingar bingar kota dan peradaban yang kompleks dan tumpang
tindih yang mengharu biru benak bangsa-bangsa dan umat. Firman Nya:
“Dialah Allah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan dan mengajarkan mereka al Kitab dan hikmah (Sunnah) walaupun
sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”1
Jika kita meraba-raba perbedaan antara masyarakat jahiliyah di jazirah Arab dan
masyarakat-masyarakat lain, kita temukan beberapa perbedaan penting yang
menyangkut hikmah diturunkannya wahyu di tengah-tengah mereka.
Bila kia lihat dengan seksama kehidupan dan iklim yang mengelilingi bangsa
Arab, kita temukan hal yang paling mencolok dalam kehidupan mereka adalah

1
S. al Jum’ah [62]:2.

122
kesederhanaan. Barang-barang disekitar mereka tidak banyak; padang pasir yang
menghampar, pegunungan, sungai, kebun kurma di oase, unta, hewan ternak, kemah-
kemah, sebagian rumah bertembok dan fenomena alam yang sering kita lihat seperti
matahari di siang hari serta bulan dan bintang-bintang di malam hari. Berikut gambaran
Qur’an yang membuat perumpamaan hal-hal yang familiar dengan mereka:
“Apakah mereka tidak melihat unta, bagaiman ia diciptakan. Langit,
bagaimana ia ditinggikan. Gunung-gunung, bagaiman ia ditegakkan. Dan bumi
bagaiman ia dihamparkan.”2
Begitu pula kita tengok aqidah dan pemikiran mereka amat sederhana dan tak
berarti. Keyakinan mereka berkisar penyembahan berhala, mengagungkan kerabat dan
berbangga dengan banyaknya anak dan harta serta berpegang dengan tradisi dan nilai
luhur seperti ksatria, pemberani, jantan dan dermawan dan sebagainya. Seiring dengan
kesederhanaan aqidah dan pemikiran mereka, adat istiadat, pola hubungan merekapun
amat sederhana, jauh dari kerumitan. Sehingga benak dan hati mereka polos, lepas dari
kekacauan dan keruwetan. Mungkin kesederhanaan merekalah yang menyebabkan
mereka mempunyai ingatan yang kuat, hal ini terllihat dalam hapalan mereka tentang
nasab, nama dan syair-syair mereka.
Adapun masyarakat-masyarakat lain yang pernah bersentuhan dengan
peradaban-peradaban kuno seperti Roma, Persia, India dan China. Mereka adalah
masyarakat berbudaya yang mengenal kemajuan, dalam benak mereka bertumpuk
pemikiran dan informasi yang melimpah dari khazanah filsafat, agama, peraturan-
peraturan kuno, peradaban, kebudayaan dan informasi yang beraneka ragam. Kehidupan
mereka ditandai keruwetan dan hingar bingarnya peradaban, sarana fisik, dan sarana-
sarana materi sehingga membuat benak dan hati mereka penuh dengan kekacauan dan
pertanyaan.
Begitulah, bangsa Arab yang mendiami padang pasir lebih layak daripada
masyarakat-masyarakat lain mendapat kenabian dan risalah di tengah-tengah mereka
karena benak dan hati mereka kosong dari aqidah dan pemikiran dangkal yang tidak
berarti dan mudah menyerap pemikiran baru yang turun (wahyu) dari Allah swt
sehingga warisan pemikiran terdahulu tidak bercampur aduk dengan wahyu Ilahi. Bila
tidak demikian, terkadang warisan pemikiran terdahulu dan wahyu dapat menciptakan
2
S. al Ghatsiyah [88]: 17-20.

123
agama dan peradaban baru yang bukan jahiliyah dan bukan pula Islami; sebuah
peradaban gabungan keduanya yang tidak memiliki identitas dan bernuansa khas.
Bila kita andaikan keadaan apa yang akan terjadi bila Islam, pada awalnya
tersebar di tengah masyarakat Roma, Persia, India misalnya, selintas kita akan
mengingat yang terjadi dengan agama kristen ketika tersebar di imperium Roma. Ajaran
Kristen bercampur aduk dengan paham paganis dan filsafat Yunani serta filasafat India.
Begitu pula, kita lihat sekte-sekte bid’ah yang menyimpang dari Islam setelah tersebar
di luar jazirah Arab dan pada hakikatnya bid’ah-bid’ah tersebut mengadopsi pemikiran
paganis, filasafat kuno dan berusaha menisbatkannya secara keji kepada Islam.
Dengan demikian, bangsa Arab lebih layak menjadi batu pertama terbentuknya
peradaban Islam yang bersih, murni, terkristal, jelas dan jauh dari keraguan, noda atau
intervensi asing.
Lalu sejauh mana keberlangsungan kemurnian pola pikir Islam sepeninggal
Rasul saw?
Seorang pengkaji sejarah pemikiran Islam sejak masa Rasul saw dan berabad-
abad sepeningal beliau, niscaya ia berkesimpulan bahwa umat Islam menjaga
kemurnian ajarannya dengan amat ketat. Belum pernah ada satu umat yang begitu ketat
dan disiplin memegang ajarannya, menjaga identitas dan selalu berjalan selaras dengan
sudut pandang dan qiyadah fikriyahnya seperti halnya umat Islam. Aqidah Islam
merupakan qaidah fikriyah (paradigma berpikir) yang dipegang teguh oleh umat Islam,
juga sebagai landasan pemikiran-pemikiran lainnya. Nash-nash wahyu yaitu al Qur’an
dan Sunnah merupakan sumber peraturan kehidupan dan negara. Umat amat segan
mengambil pemikiran atau peradaban selain Islam karena dalam pandangan umat Islam,
sesuatu selain Islam adalah kufur dan tidak ada sesudah kebenaran kecuali kesesatan.
Hanya saja fakta diatas tidak berlangsung semestinya. Kondisi yang sekarang
kita alami; pemikiran Islam yang murni tidak lagi terpatri dalam benak umat Islam,
ajaran Islam yang murni tidak terlihat lagi bahkan dalam benak para ulama, pengajar
ilmu-ilmu syari’ah dan mahasiswanya karena telah begitu ternodai. Pemikiran-
pemikiran selain Islam-yang nota bene Islam bebas darinya-dinisbatkan kepada Islam
secara membabi buta. Lalu apa yang menyebabkan noda itu masuk dalam tubuh umat
Islam? Kapan mulai terjadinya? Metode apa yang sanggup mengelakkan pemikiran-
pemikiran itu dan mengembalikan kemurnian pemahaman umat terhadap Islam?

124
Secara spontan, kita dapat mengatakan bahwa terpengaruhnya suatu bangsa
dengan pemikiran bangsa lain adalah hasil pergesekan pemikiran antara bangsa-bangsa
itu. Pergesekan ini terkadang berakhir dengan kalah-menang atau terpengaruhnya
pemikiran yang satu dengan pemikran yang lain atau keduanya saling mempengaruhi
satu sama lain.
Sejarah telah mewartakan kepada kita bahwa pemikiran Islam sejak bergesekan
dengan pemikiran lainnya belum pernah terkalahkan oleh pemikiran manapun selagi
masih ada orang yang memahaminya secara benar dan mengemban sebaik-baiknya.
Ketika Islam kehabisan para pengembannya yang memahami Islam secara utuh maka
terbukalah jalan bagi pemikiran lain untuk mengalahkannya; bukan terhadap Islam
namun terhadap umat Islam.
Pemikiran Islam telah menghadapi berbagai macam himpitan dan tekanan serta
faktor-faktor yang menodai dan mencampur baurkannya bahkan merubahnya. Kalau
saja Allah tidak menjamin lestarinya Islam, entah apa yang akan terjadi. Allah
berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz dzikr (al Qur’an) dan Kami
pula yang akan menjaganya.”3
Lalu apa saja tekanan dan faktor-faktor tersebut serta sejauh mana pengaruhnya
terhadap tsaqafah Islam?

Sejak munculnya Islam di Mekah, Rasul saw dan para shahabatnya telah
menyelami pergulatan pemikiran hingga perjuangan politik dimana kekufuran dan
orang-orang kafir berada di atas angin di tengah masyarakat. Fase tersebut dapat
dikatakan sebagai fase kepahlawanan karena Rasul saw memikul beban yang amat
berat. Rasul berdiri sendiri menantang pembesar pembesar Quraisy, beliau
menyodorkan Islam, mencela sesembahan mereka, merendahkan akal mereka, dan
meremehkan warisan nenek moyang mereka. Beliau berdakwah terang-terangan, tidak
menjilat, dan tidak pernah lengah sedikitpun. Lalu orang-orang kafir berupaya dengan
segala cara baik lewat kekuasaan, perantara dan sarana materi untuk menghentikan Nabi
saw atau mengambil hatinya. Dalam satu kesempatan mereka menawarkan harta,
kedudukan, wanita atau kekuasaan kepada Nabi, pada kesempatan yang lain, mereka

3
S. al Hijr [15]: 9.

125
menawarkan akan menyembah Allah bila Rasul saw pun juga menyembah tuhan
mereka atau minimal Rasul menahan diri agar tidak mencela atau merendahkan
sesembahan mereka. Apabila tehnik-tehnik mengambil hati ini gagal, mereka akan
segera beralih menteror Nabi saw dengan membunuh shahabat, menyiksa, mengusirnya
sampai pembikotan ekonomi, sosial, politik dll. Apakah rintangan, halangan tersebut
berhasil mempengaruhi laju dakwah Nabi, apakah mereka berhasil mempengaruhi
pemikiran Islam?
Kita dapat mengatakan-kalau saja bukan Nabi saw pengemban dakwahnya-
bahwa para pengemban dakwah akan jatuh berguguran melepaskan sebagian pemikiran
dan sikap mereka serta berbalik menjilat musuh-musuh mereka dan berjalan beriringan
hingga para pengemban dakwah itu mengacuhkan siksa masyarakat dan pemerintah
bahkan mereka rela cenderung menjadi pengikut agama mereka setelah melakukan
berbagai modifikasi terhadap Islam dalam format yang selaras dengan penerimaan
masyarakat dan karakter mereka sebagaimana yang banyak dilakukan para pengemban
dakwah. Meskipun Rasul saw maksum tidak mungkin melakukan hal-hal diatas, namun
al Qur’an tetap memperingatinya agar tidak terjerumus jerat syetan yang ditebarkan
para pembesar Quraisy, apalagi sampai menjilat, memihak mereka atau pun cari muka.
Firman Allah:
“Maka janganlah kamu patuhi orang-orang yang kerap berdusta. Mereka ingin
supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu.”4
Sebagian ayat al Qur’an dengan gamblang menyatakan bahwa orang-orang kafir hampir
saja memalingkan Rasul saw dari sebagian ajaran Islam, kalau saja Allah tidak
meneguhkan hati Nabi agar tetap istiqamah di jalan Allah, niscaya Nabi pun akan
terpedaya. Firman-Nya:
“Sesungguhnya hampir saja mereka memalingkan kamu (Muhammad) dari apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu berbuat yang lain dengan
mendustakan Kami, kalau sudah begitu tentulah mereka akan mengangkatmu
sebagai sahabat. Bila Kami tidak meneguhkan hatimu, niscaya kamu hampir
saja condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, Kami benar-benar

4
S. al Qalam [68]: 8-9.

126
akan menimpakan siksa berlipat ganda di dunia dan di akhirat. Dan kamu tidak
akan mendapat seorang penolong pun dari siksa-Ku.”5
Al Qhurthubi dalam menafsirkan ayat ini berkata:
“Ini adalah ucapan para pembesar Quraisy kepada Nabi saw: “Usirlah tukang
loak dan bekas budak dari pandangan kami sehingga kami bisa duduk-duduk
bersamamu dan mendengarkan ajaranmu. Rasul saw hampir saja memenuhi
tawaran tersebut, namun keburu dicegah oleh Allah. Sedangkan Qatadah
berkata: ”Dituturkan kepada kami bahwa orang-orang Quraisy menghabiskan
waktu semalaman bersama Nabi saw hingga subuh. Mereka berbicara dengan
Nabi, memuliakan dan mengangkatnya serta berusaha mendekatinya. Mereka
berkata: “Engkau telah membawa sesuatu (ajaran) yang belum pernah dibawa
oleh seorang pun dan anda adalah junjungan kami, hai panutan kami. Orang-
orang Quraisy terus merayu dan membujuk Nabi hingga beliau hampir saja
menuruti sebagian keinginan mereka. Kemudian Allah menjaganya dari hal
tersebut dengan turunnya ayat ini. Ketika ayat ini turun (Lawla an Tsabbatnaka
…) Rasul saw berkata: “Ya Allah, janganlah Engkau tundukkan diriku kepada
hawa nafsu walaupun sekejap mata.” Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah saw
adalah orang yang ma’shum (terjaga dari maksiat), akan tetapi ayat ini
memperingatkan umatnya agar tidak condong, dan memihak orang-orang
musyrik berkaitan dengan syari’at dan hukum-hukum Allah walaupun sedikit.”
Dalam atmosfir kehidupan Nabi saw dan para shahabatnya yang mulia di
Mekah, umat Islam menghadapi berbagai tekanan dan himpitan materi terutama para
pengemban dakwah. Namun semua tekanan dan himpitan tersebut tidak mempengaruhi
sama sekali gerak dakwah Islam ataupun pemikiran Islam yang original. Masa tersebut
adalah fase nubuwwah dan komandannya adalah Muhammad saw, sang utusan Allah.
Maka bagaimana kekufuran akan memenangkan pertempuran ini. Rasul saw telah
melalui fase ini hingga berhasil mewujudkan Islam sebagai fondasi negara yang
melaksanakan hukum dengan apa yang diturunkan Allah. Rintangan dan hambatan tadi
pupus dari pundak para pengemban dakwah setelah mereka berhasil mengalahkan
kesewenang-wenangan orang-orang kafir, mereka menjadi tokoh di tengah masyarakat
Madinah yang bercahaya dengan diterapkannya Islam secara menyeluruh. Belum

5
S. al Isra’ [17]: 73-75.

127
sampai sepuluh tahun, Islam telah tersebar di seluruh jazirah Arab pada masa Rasul
saw. Beliau menerapkan Islam yang murni, bersih dan dalam bentuk yang paling
sempurna.

Sepeninggal Rasul saw, para shahabat yang mulia mengikuti jejaknya. Mereka
membai’at seorang khalifah yang memerintah mereka dengan Kitabullah dan Sunnah
dan melayani kepentingan publik dengan peraturan-pertaturan yang lahir dari aqidah
Islam. Al Khulafa’ al Rasyidun amat gigih menjaga kemurnian ajaran Islam dari bercak
noda atau intervensi asing. Hingga meluasnya Daulah Islam, umat Islam tidak pernah
tergoda mengambil pemikiran dan sistem pemerintahan dan ekonomi bangsa lain.
Mereka dapat membedakan secara jernih antara hadharah dan madaniyah, antara
tsaqafah dan ilmu, antara sistem hukum dan peraturan administrasi. Umat Islam
mengenyahkan hadharah, tsaqafah dan semua peraturan hidup selain Islam dan
mengambil hal-hal yang diperlukan berupa madaniyah, ilmu dan peraturan administrasi.
Hal inilah yang pernah dilakukan shahabat Umar ra ketika mengadopsi sistem
perkantoran yang tidak lebih hanyalah tehnik perkantoran seperti pergantian shift,
birokrasi dan pengarsipan agar sistem pelayanan lebih efektif berjalan.
Selama masa al Khulafa’ al Rasyidun, pemikiran Islam yang murni tetap terjaga
dengan baik. Begitu pula pada masa-masa setelahnya, hanya saja pada masa Khilafah
Umawiyah, sebagian noda mencemari benak kaum muslimin yang menyebabkan umat
mencampur adukkannya dengan Islam.
Upaya pertama kali untuk menembus jantung pemikiran Islam adalah
penyusupan hadits-hadits palsu dalam perbendaharaan hadits Nabawi. Kaum kafir
zindik membuat hadits-hadits palsu dan memberi kandungan makna yang tidak Islami;
mafhum yang bertentangan dengan Islam sehingga umat mengambilnya dan dengan
senang hati mengamalkannya, dengan sebab ini umat terjauh dari ajaran Islam tanpa
sadar. Mereka banyak membuat hadits palsu dan menyebarkannya di tengah umat
seraya mengklaimnya sebagai hadits Nabi. Tidak berapa lama, umat memehami
kelicikan mereka dan berhasil menggagalkan persekongkolan mereka. Para Ulama dan
perawi hadits mulai mengumpulkan berbagai hadits dan menuliskan sejarah para
periwayatnya serata karakter dan sifat mereka. Para Ulama menjelaskan kriteria hadits

128
shahih dari hadits dha’if dan maudhu’ sehingga khazanah Islam terjaga dengan intens
dan periwayatan hadits terbatas pada tabi’ al tabi’in dari tabi’in dari para shahabat serta
tidak menerima riwayat-riwayat yang tidak jelas. Para perawi didata dengan teliti
sehingga identitas mereka diketahui dengan cermat, juga diterangkan tingkatan-
tingkatan kitab-kitab hadits. Hebatnya dengan sistematika dan kriteria ilmu ini, seorang
muslim yang benar-benar meneliti suatu hadits akan dapat mengetahui kadar shahih
atau tidaknya dengan mengkaji secara kritis sanad dan matannya. Disamping itu Daulah
Islam memvonis keras tindakan kaum zindik sehingga rata-rata vonis mereka adalah
dibunuh sebagai balasan atas perlakuan busuk mereka terhadap hadits-hadits Nabi saw.
Dengan penjagaan ini, konspirasi menggerogoti Islam (dari dalam) tidak berpengaruh
besar.Akan tetapi bahaya yang mengancam tsaqafah Islam mengincar dari jalan lain.
Hal ini terjadi ketika pergesekan pemikiran berlangsung antara umat Islam
dengan bangsa-bangsa taklukan seperti Roma Kristen, orang-orang Persia, India, Koptik
Mesir dll. Bangsa-bangsa tersebut sebelum ditaklukan oleh umat Islam mempunyai
tsaqafah dan khazanah pemikiran yang sangat mempengaruhi benak mereka. Umat
Islam harus menyingsingkan lengan baju ketika terjun dalam pergulatan pemikiran
dengan mereka sampai mereka tunduk dan masuk Islam. Penaklukan-penaklukan yang
dilakukan Daulah Islam disyari’atkan demi tujuan ini. Setiap penaklukan akan diiringi
dengan penyebaran para ulama dan pengemban dakwah sehingga umat manusia
berbondong-bondong masuk Islam. Ada sekelompok ulama yang berdebat dengan
orang-orang Majusi Iran dan adapula yang berdebat dengan kaum paganis India dan
China.
Hitungan di atas kertas, umat Islam pasti merengkuh kemenangan mutlak atas
semua tsaqafah (kebudayaan) dan peradaaban serta agama-agama yang dianut bangsa-
bangsa kafir tadi yang telah ditaklukan umat Islam. Tidak sampai tahunan, bangsa-
bangsa tersebut telah memeluk Islam lebih cepat dari kejapan mata menurut hitungan
sejarah bangsa dan umat. Peradaban dan kebudayaan mereka berpindah dan melebur
dengan peradaban dan kebudayaan Islam.
Aka tetapi pemikiran dan peradaban yang dimenangkan Umat Islam terhadap
segala kebudayaan dan peradaban lain tidak bertahan lama karena tertimpa sebagian
pecahan pemikiran yang berkecamuk di medan diskusi. Benturan pemikiran tersebut
amat keras dan keji. Para pemeluk agama lain mengedepankan syubhat dan mendebat

129
umat Islam dalam masalah aqidah karena asas dakwah berdiri diatas aqidah dan
pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan aqidah. Semangat umat yang menggebu
untuk berdakwah dan menolak argumentasi lawan mendorong sebagian besar mereka
mempelajari sebagian pemikiran filsafat sebagai senjata melawan mereka. Lalu
masalah-masalah filsafat ketuhanan dari kalangan Nasrani Nestoria dan logika
Aristoteles merembes di tubuh umat. Sebagian kaum muslimin menelaah kitab-kitab
filsafat dan banyak karya-karya Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Suryani lalu
diterjemahkan kedalam bahasa Arab kemudian penerjemahan langsung dari bahasa
Yunani kedalam bahsa Arab. Keadaan dan situasi ini amat mendorong timbulnya
pemikiran-pemikiran filsafat. Agama-agama terdahulu, terutama Yahudi dan Nasrani
telah mempersenjatai diri dengan filsafat Yunani dan menyebarkan pemikiran-
pemikiran filsafatnya di penjuru negeri. Kondisi diataslah yan mewujudkan pemikiran-
pemikiran filsafat berkembang dan mendorong umat Islam untuk mempelajarinya.
Studi yang dilakukan umat Islam terhadap filsafat tidak bersifat utuh, umat
hanya mengkaji pemikiran–pemikiran filsafat demi menolak pandangan orang-orang
Nasrani dan Yahudi. Dengan mengetahui pokok pikiran filsafat Yunani apalagi yang
berkaitan dengan logika dan ketuhanan akan mudah bagi umat Islam untuk
mengkounter mereka. Oleh karena itu, umat Islam tergoda mempelajari secara utuh bab-
bab lain lengkap dengan komentar dan alur argumentasinya. Dengan ini, negeri-negeri
Islam menjadi halaman yang penuh dengan berbagai pendapat dan ajaran agama-agama
yang saling adu argumen. Tidak diragukan bahwa perdebatan-perdebatan yang sengit
ini menarik orang-orang yang berkecimpung didalamnya untuk berpikir dan mengkaji
lebih lanjut, masalah-masalah yang beraneka ragam perlu direnungkan lebih seksama
serta mendorong setiap kelompok berpegang dengan premis-premis yang sah menurut
mereka. Perdebatan pemikiran-pemikiran ini mempunyai pengaruh yang amat besar
sehingga menciptakan sekelompok orang yang memiliki metode baru pembahasan,
perdebatan dan pengujian. Pemikiran-pemikiran filsafat amat mempengaruhi proses
istidlal (mencari dalil) sebagian pola pikir umat. Salah satunya adalah berdirinya ilmu
kalam yang menjadi disiplin ilmu tersendiri yang tersebar di negeri-negeri Islam dan
lahirnya para mutakallimin di tengah umat Islam.
Memang benar para mutakallimun, fondasi asasi mereka adalah al Qur’an, juga
landasan dasar pembahasan mereka al Qur’an pula, hanya mereka-setelah mempelajari

130
filsafat untuk membela al Qur’an dan sebagai senjata melawan musuh-musuh mereka-
mempunyai metode tertentu ketika membahas dan memikirkan satu masalah. Metode
yang berbeda dengan al Qur’an, Sunnah dan pendapat para shahabat, dan dalam waktu
bersamaan metode tersebut berbeda pula dengan metode filsafat Yunani ketika
membahas, menetapkan dan berdalil mengenai satu masalah.6
Tatkala ilmu kalam muncul di pelataran tsaqafah Islam, ia disambut tentangan
yang keras dari para ulama dan fuqaha. Karena ilmu kalam menciptakan metode yang
asing dalam membahas satu masalah yang berseberangan dengan metode al Qur’an dan
Sunnah ketika membahas aqidah. Oleh karena itu mayoritas fuqaha menentang ilmu
kalam dan mencela mereka dengan amat keras. Salah satunya ucapan imam Syafi’i ra:
“Menurut saya, para mutakallimun dihukum pukul dengan pelepah kurma lalu
diarak ke setiap kabilah dan suku dan dikatakan kepada mereka: “Ini adalah
balasan orang-orang yang meninggalkan al Qur’an dan Sunnah dan malah
berpegang dengan ilmu kalam.”7
Imam Ibnu Abd al Barr berkata dalam masalah ini:
“Pakar fiqh dan hadits di segala kota telah sepakat bahwa mutakallimin adalah
ahli bid’ah yang menyimpang. Mereka tidak dianggap sebagai generasi ulama
menurut kesepakatan para ulama’ di semua kota. Ulama adalah orang yang
menggeluti hadits dan fiqh dan berlomba-loba dengan ketekunan, ketelitian dan
pemahaman.”8
Namun dengan berlalunya masa, ilmu kalam tersebar dengan bentuk yang utuh
dan mulai diterima oleh mayoritas ulama sehingga ungkapan ‘ilmu kalam’ sinonim
dengan ‘ilmu tauhid’ atau ‘ushuluddin’. Bahkan para ulama yang sebelumnya
mengingkari ilmu kalam dan mutakallimin, tergelincir menyelami masalah ilmu kalam
dan menempuh metode mereka tanpa menyadari keterjerumusannya. Salah satu
pengaruh terburuknya adalah meleburnya ilmu kalam dengan ilmu ushul fiqh sehingga
mendistorsi ilmu ini yang nota bene adalah ilmu yang paling agung.
Mungkin munculnya ilmu kalam dan mutakallimin merupakan pengaruh
tsaqafah dan peradaban lain yang pertama kali menimpa umat Islam. Setelah itu,
gelombang pengaruh datang bertubi-tubi menggoyang bangunan berpikir umat Islam.

6
Lih. Al Nabhani, al Syakhsiyyah al Islamiyah, J. I, hlm. 47-50.
7
Talbis Iblis, hlm. 107.
8
Jami’ al Bayan wa Fadhluh, J. 2, hlm. 95.

131
Setelah munculnya ilmu kalam dan mutakallimin serta tersebarnya karya-karya
filsafat dan terjemahannya, kegiatan mentelaah filsafat Yunani dan filsafat lainnya
menjadi amat mudah di negeri-negeri Islam sehingga memunculkan sekelompok orang
yang disebut ‘Filosof Muslim’. Mereka tidak sekedar mentelaah sebagian bab-bab
filsafat dan mengkounternya namun mereka juga melangkah lebih jauh dengan
mengkajinya sampai ke akar-akarnya dan menerapkan metodenya dengan utuh.
Diantara filosof Muslim yang terkenal anatara lain: al Kindi (w. 260 H), kemudian
jejaknya diikuti al Farabi, Ibnu Sina, Jabir bin Hayyan dll.
Keliru besar orang yang menilai filsafat mereka sebagai filsafat Islam karena
filsafat yang mereka ajarkan tidak berkaitan sama sekali dengan Islam baik dari segi
asas atau perincian-perincian. Dari segi asas, filasafat mengkaji sesuatu dibalik alam
semesta yaitu wujud mutlak berbeda dengan Islam yang hanya mengkaji alam semesta
dan benda-benda yang dapat diindera saja. Allah berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang
dan malam, perahu yang berlayar di tengah laut membawa apa yang
bermanfaat bagi manusia, hujan yang diturunkan Allah dari langit, lalu Allah
menghidupkan dengan air itu bumi yang tandus dan menyebarkan makhluk-
makhluk di muka bumi, pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berakal.”9
Islam melarang mengkaji dzat Allah, sesuatu yang ada dibalik alam semesta dan
memerintahkan manusia agar pasrah secara mutlak serta menerima hal-hal yang harus
diimani tanpa menambah sedikitpun, tanpa memberi wewenang kepada akal untuk
berupaya mengkajinya. Adapun dari segi perincian, filsafat memiliki pembahasan yang
dianggap Islam kufur. Filsafat berpendapat bahwa alam semesta itu qidam dan bersifat
azali, bahwa nikmat surga bersifat rohani, abstrak bukan materi, bahwa Allah tidak
mengetahui juziyyat (hal-hal pertikular) dan pembahasan lain yang menyebabkan
kekufuran dengan tegas dalam pandangan Islam.10

Layak disebutkan disini, bahwa para filosof tersebut tidak sampai mendirikan
jama’ah atau madzhab tersendiri dan tidak diikuti jumhur (sebagian besar) umat Islam.

9
S. al Baqarah [2]: 164.
10
Lih. Al Nabhani, al Sykhsiyah al Islamiyah, J. I, hlm. 122-125.

132
Artinya pendapat para filosof diatas tidak dianggap opini umum Islam dan bukan pula
bagian dari pemikiran Islam. Oleh karena itu, tidak benar mengambil pembahasan
mereka ketika mempelajari kajian tsaqafah yang mendominasi umat saat itu. Tidak
semua orang yang menulis kitab atau menyusun karya tulis membentuk mainstream
berpikir umat kecuali bila pemikiran-pemikirannya telah tersebar meluas di kalangan
sebagian besar masyarakat. Bahkan penulis melihat para filosof tersebut tersisih dari
opini umum masyarakat yang memandang mereka penuh curiga bahkan benci meilhat
pembahasan dan penyimpangan berpikir mereka. Para filosof tadi tidak memperoleh
kedudukan yang penting sepanjang sejarah seperti yang dicapai kaum filosof pada masa
modern ini. Ajaran mereka tersebar luas di negara-negara Barat melalui tangan umat
Islam pada masa modern sebagai buah gerakan orientalisme yang selalu menyerang
Islam dengan menonjolkan sekte-sekte bid’ah yang tersesat seperti qaramithah dan
sekte-sekte kebatinan lain, juga menonjolkan keadaan para filosof seperti Ibnu Sina, al
Farabi, al Kindi, Ibnu Hayyan dan Ibnu Rusyd. Kaum orientalis senantiasa berupaya
memunculkan para filosof tersebut dalam bentuk kalangan terpelajar yang tercerahkan;
para jenius yang inovatif yang mengguncang stagnasi abad pertengahan,
keterbelakangan dan krisis yang menghantam, juga dalam klaim mereka, para filosof
muslim adalah korban kesewenang-wenangan para fuqaha, para pembesar dan hakim
yang berpikiran picik. Sama halnya mereka amenggambarkan kalangan intelektual yang
menggerakkan abad kebangkitan Eropa atau para filosof yang tercerahkan yang
berusaha mengguncang kelaliman agama, penganiayaan dan penindasan yang dilakukan
tokoh agamawan dan Gereja yang memerintah masyarakat dengan ajaran absolutnya.

Namun karena para filosof itu sedikit jumlahnya, pengaruhnya tidak begitu
terasa, hanya saja sebagian pemikiran filsafat yang seharusnya tidak menyebar dan
mengental di benak umat Islam, ternyata di kemudian hari ada sebagian ulama yang
mempersembahkan waktu dan tenaganya dengan memberikan sifat-sifat syar’i kepada
pemikiran-pemikiran filsafat tadi. Pemikiran-pemikiran yang paling menonjol tadi
adalah karya yang dituis dibawah judul “tasawuf”.

Ketika pemikiran sufisme dan tasawuf baru maemasuki khazanah tsaqafah di


dunia Islam melalui terjemahan kitab-kitab India dan Persia dan dipeluk sebagian

133
kalangan dengan mengambil pemikiran-pemikirannya, serentak umat Islam-dengan para
ulama dan fuqaha sebagai ujung tombaknya- memperlakukan mereka sebagaimana
umat memperlakukan filsafat dan para filosof bahkan sikap umat terhadap mereka lebih
keras karena pemikiran sufisme dan aqidah Islam amat berseberangan ditinjau dari segi
asasnya. Filsafat sufi yang datang dari Hindu dan China yang mempengaruhi umat
Nasrani sebelum umat Islam bahkan sebelum munculnya Islam, mengandung pemikiran
dan pendapat yang bertentangan dengan Islam, bahkan dapat disebut dengan jelas
sebagai kekufuran. Sufisme mengajarkan inkarnasi, unionisme (ittihad), naiknya
seorang mutashawwif ke hadirat dzat Ilahi, penitisan dzat Ilahi kedalam tubuh seorang
sufi. Sufisme pun beriktiqad terjadinya mukjizat melalui tangan para sufi dan
sebagainya berupa hal-hal yang tidak mungkin diterima oleh umat Islam, bahkan oleh
orang terbodoh sekalipun. Oleh karena itu, individu-individu yang mengambil ajaran
sufisme dan memeluknya seperti Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, al Hallaj termasuk orang-
orang yang diusir dan dibenci masyarakat Islam dan mereka dianggap dalam bilangan
orang-orang zindik kafir yang murtad.

Sampai datang saatnya sufisme mulai diterima, ketika mendapat sentuhan dari
sebagian ulama yang membaktikan dirinya dan memikul tanggungjawab untuk
membersihkan dan menjernihkan sufisme dari hal-hal yang bertentangan dengan aqidah
Islam. Salah satu tokoh yang paling menonjol adalah imam Abu Hamid al Ghazali (w.
505 H), namun sayangnya tugas ini malah mengadopsi asas landasan sufisme, padahal
sufisme baik secara global maupun terinci adalah konsep purbakala asing yang jauh dari
Islam.

Asas landasan sufisme adalah keyakinan bahwa wujud segala sesuatu terdiri dari
materi dan ruh. Artinya segala sesuatu itu mempunyai aspek materi yang dapat diindera
dan aspek gaib yang tidak dapat dilihat yang dinamakan kaum sufi sebagai ruh. Begitu
pula manusia dalam pandangan mereka juga terbentuk dari materi yaitu tubuh, dan ruh.
Mereka berpendapat bahwa materi adalah kejahatan secara mutlak dan bahwa ruh
adalah kebaikan secara mutlak, yang selanjutnya menimbulkan paham bahwa manusia
terdiri dari dua aspek yang selalu bertentangan, keduanya selalu berusaha mendominasi
satu sama lain. Adakalanya jasad mengalahkan ruh sehingga manusia tersebut akan
meluncur ke derajat terbawah, tempat kenistaan, kehinaan, kejahatan dan lumpur bumi,
namun adakalanya aspek ruh mengalahkan tubuh sehingga manusia tersebut akan meniti

134
tangga jajaran malaikat dan para wali dan dia terbebas dari belenggu materi; bumi,
debu, tubuh sehingga pada puncaknya ia merengkuh ilmu-ilmu dan ma’rifat bukan
dengan belajar dan melakukan perantara, namun dengan jalan ‘kasyf’, ‘tajalli’, dan
munculnya mukjizat atau karamah melalui tangan para wali yang saleh.

Begitulah, dengan jerih payah para ulama seperti al Ghazali dan ulama lain, ide,
syiar dan ritual sufisme tersebar. Mulailah rombongan para sufi menempuh gerbang
‘riyadhah jiwa dan ruh’ dengan hidup sengsara, menyiksa badan, menjauhi kenikmatan
dan fasilitas hidup di dunia, lari dari masyarakat, meninggalkan hukum kausalitas,
mengabaikan aktivitas dan perjuangan politik dan berdiam diri ‘tapa’ di pojok-pojok
dan panti. Semua hal itu dilakukan agar ruh dapat mengalahkan jasad sehingga
mencapai derajat “orang yang bertaqwa” sampai tingkat malaikat dan para wali.
Disamping itu filsafat yang mendasari sufisme sedikitpun bukan dari Islam, bahkan
amat sangat bertentangan.11 Konsep diatas merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan kemunduran dalam masyarakat Islam. Konsep ini mendorong manusia
agar meninggalkan masyarakat, melecehkan kehidupan sampai batas yang membuat
mutashawwif menjadi manusia yang tidak punya tujuan, ia tidak mempunyai kegairahan
hidup dan tidak beramal mengelola dunia atas dasar taqwa kepada Allah swt yang telah
memberi kewenangan mengelola bagi manusia. Dalam firman Nya:

“Dia telah menciptakan kamu sekalian dari bumi lalu menjadikan kamu orang
yang memakmurkannya.”12

Parahnya lagi, konsep sufisme bergabung dengan paham Qadariyah yang berpendapat
bahwa manusia bagaikan sehelai bulu yang ditiup angin atau kayu yang mudah
diombang-ambingkan ombak. Maka tidak ada nilai kehendak, dan jerih payah manusia.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah hasil rencana yang telah ditetapkan; seorang
manusia tidak dapat mempengaruhi sedikitpun. Bagi orang yang sadar, persepsi-perspsi
di atas tak pelak lagi merupakan bahaya yang dapat melenyapkan eksistensi suatu
masyarakat.

Pada fase tersebarnya gerakan terjemah yaitu pada masa Abbasiyah, tersebar
pula di sebagian negeri-negeri Islam madzhab dan konsep baru yang tidak kalah

11
Lih. Bab Ruh dan aspek Rohani dalam buku ini.
12
S. Hud [11]: 61.

135
berbahayanya dari pemikiran-pemikiran yang telah disebutkan diatas. Kali ini, konsep
ini berasal dari kebudayaan orang-orang Iran yang telah memeluk Islam sesudah
negaranya telah ditaklukan umat Islam seperti halnya bangsa-bangsa lain yang memeluk
Islam di bawah panji Daulah Islam. Tidak diragukan keikhlasan mereka memeluk
Islam, namun sebagian orang-orang yang dengki dengan Islam dan umatnya, dengan
berkedok Islam menempuh jalan hipokrit menusuk Islam dari dalam. Mereka membawa
serta warisan berpikir kebudayaan dan agama mereka yang sudah padam dan berusaha
menyusupkannya kedalam tsaqafah Islam. Salah satu buah karya mereka adalah
tersebarnya faham ‘maksumnnya para Imam’ di beberapa kalangan. Dan konsep ‘wasiat
khilafah kepada imam yang maksum’. Ringkasnya konsep tersebut menyatakan bahwa
Allah swt tidak membiarkan umat sepeninggal Rasul saw untuk memilih sendiri
khalifahnya dan mengangkatnya melalui bai’at karena tidak diperbolehkan pelayanan
kebutuhan umat dan urgennya menjaga agama diberikan kepada orang-orang yang
kadang salah kadang benar. Sebenarnya Allah swt telah menentukan nama-nama para
Imam, mereka adalah para khalifah secara syar’i yang akan menggantikan kedudukan
Rasul saw lewat teks-teks wahyu. Mereka termasuk orang-orang yang terjaga dari
maksiat, berseberangan dengan syara’ serta tidak diperbolehkan bagi seseorang selain
mereka menduduki jabatan khalifah; setiap orang yang menduduki jabatan tersebut
merupakan orang yang melampaui batas syara’ dan merampas hak khalifah para Imam
yang maksum.

Seseorang yang benar-benar mengkaji secara mendalam sejarah dan hadharah


Iran, niscaya ia akan menemukan korelasi antara kebudayaan Iran dengan konsep
‘maksumnya para Imam’. Raja yang memerintah Iran, dahulu kala memerintah
rakyatnya sebagai representasi kehendak Tuhan. Bahkan rakyat Iran berkeyakinan:

“Bahwa ketetapan dan hukum yang dikeluarkan raja merupakan wahyu yang
diberikan Tuhan sendiri, menurut landaasan ini, UU kerajaan dipetik dari
kehendak Ilahi dan setiap peraturan yang berlaku dianggap melaksanakan
kehendak Tuhan.”13

Dan bukan kebetulan pula, konsep ‘maksumnya para Imam’ ini tumbuh dan
berkembang di negeri Iran dan masih kokoh hingga sekarang. Terlepas dari semua itu,

13
Wall Durrant, Qishshah al Hadharah, J. 2, hlm. 418.

136
konsep pemerintahan atas nama pelimpahan wewenang Ilahi benar-benar hidup pada
masa itu, jarang sebuah negara yang tidak menggunakan konsep ini dalam
pemerintahannya.

Begitulah, pengaruh peradaban dan pemikiran lain satu demi satu menyusup ke
medan tsaqafah Islam, betapa umat Islam kehilangan kemurnian dan kesucian pola
pikirnya sampai batas yang amat sulit digambarkan.

Akan tetapi, terlepas dari hal diatas, umat Islam tidak sampai kehilangan
identitas atau arah peradaban atau sampai kehilangan kepribadiannya. Pengaruh asing
itu, hari demi hari tidak bertambah kuat mengalahkan iman kaum muslimin dengan
aqidah dan kepercayaan umat terhadap syari’at dan mafhum-mafhum Islam. Aqidah
Islam senantiasa menjadi qa’idah fikriyah (paradigma berpikir) sebagai landasan
pemikiran-pemikiran cabang. Al Qur’an dan Sunnah dan apa yang ditunjukkan
keduanya selalu menjadi sumber tasyri’ dalam pandangan umat. Sebenarnya tujuan
ulama kalam mempelajari logika sampai ke akar-akarnya adalah untuk mengokohkan
aqidah Islam dan mereka menjadikan aqidah Islam sebagai asas pembahasannya,
sedangkan para filosof yang muncul di tengah-tengah umat tersisihkan sebagai individu-
individu dan tak pernah disinggung dalam opini umum.

Sufisme dengan segala bahaya, kerusakan dan jauhnya dari Islam tidak mampu
menggoyahkan aqidah Islam yang begitu merasuk dalam dada umat. Konsep ‘maksum
dan ‘wasiat khilafah’ hanya dianut sekelompok kaum yang dikenal sebagai Syi’ah
Imamiyah dan tidak diterima kalangan terbanyak umat, apalagi kedua konsep tersebut
bersifat imajiner dan tidak mungkin diterapkan. Bahkan para penganutnya sendiri tidak
menerapkannya secara konsekuen ketika mereka memegang tampuk kekuasaan dan
politik, entah mereka itu orang-orang Buwaithi atau Fatimiyah atau kalangan sufi.

Yang patut digarisbawahi, adalah kontributor terbesar yang membentuk opini


umum dan kecenderungan tsaqafah di dunia Islam adalah fuqaha’. Mereka adalah
orang-orang yang tidak pernah tersentuh pengaruh kebudayaan dan pemikiran selain
Islam. Pembahasan mereka ditegakkan dengan mengkaji bahasa Arab sebagai bahasa al
Qur’an dan Sunnah serta memahami apa yang ditunjukkan (madlul) dari segi bahasa
dan segi syar’i terhadap al Qur’an dan Sunnah untuk mengistinbathkan (memetik)
hukum syar’i dan membatasi perilaku umat dengan hukum-hukum tadi. Kehidupan dan

137
interaksi umat dalam bermasyarakat dan bernegara selalu dikendalikan sekumpulan
hukum syar’i yang dipetik dari al Qur’an dan Sunnah. Seorang hakim tidak pernah
berpikir mengganti sistem peraturan Islam dengan sistem peraturan buatan manusia.

Adapun upaya sebagian orientalis dan para pembebeknya dari kalangan


terpelajar yang sok kebarat-baratan, dengan mempropagandakan bahwa fiqh Islam juga
dipengaruhi sistem hukum lain, terutama sistem hukum Roma, hal itu tidak benar sama
sekali, bahkan propaganda tersebut dibuat-buat dan tidak pernah ada dalam kenyataan.

Karena tidak pernah seorangpun mewartakan bahwa seorang dari umat baik ia
faqih atau bukan pernah menyinggung peraturan Roma entah dengan mengkritik atau
mendukungnya ataupun mengadopsinya, dan tidak seoragpun menyebut peraturan
Roma sedikit atau banyak dalam perbincangan mereka apalagi menjadi bahan kajian.
Memang benar sebagian umat menerjemahkan filsafat Yunani, namun peratuarn Roma
belum pernah diterjemahkan satu kata, atau satu kalimat pun apalagi satu buku. Satu hal
yang menandakan dengan tegas sistem peraturan Roma benar-benar diabaikan, umat
hanya seskedar menaklukkan negerinya.

Umat Islam pun berkeyakinan bahwa Allah telah menitahkan syari’at Islam
kepada semua manusia dan mengharamkan mereka membuat UU sendiri. Firman Nya:

”Menetapkan hukum hanya hak Alah”14

Begitu pula firman-Nya:

“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kamu sekalian dari Tuhanmu dan
janganlah kamu sekalian mengikuti penolong-penolong selain-Nya.”15

Umat berpendapat setiap orang yang tidak beriman dengan syari’at Islam adalah orang
kafir, hukum apa saja selain hukum Islam adalah hukum kafir yang haram, apalagi pada
masa-masa awal, masa penaklukan dimana khazanah fiqh tumbuh berkembang
mengkristal menjadi madzhab-madzhab fiqh yang tetap hidup hingga kini seperti
madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dll. Umat Islam menaklukkan berbagai negeri untuk
menyelamatkan rakyatnya dari cengkeraman sistem kufur. Bagaimana bisa umat malah
mengambil sistem kufur padahal mereka datang untuk melenyapkan sistem tersebut dan

14
S. al An’am [6]: 57.
15
S. al A’raf [7]: 3.

138
menggantikanya dengan sistem Islam?. Fakta mengatakan bahwa fiqh Islam adalah
hukum-hukum yang diistinbathkan dari al Qur’an dan Sunnah atau dalil-dali yang
ditunjukkan oleh keduanya. Suatu hukum jika tidak bersandarkan dalil syar’i, hukum
tersebut tidak dianggap hukum Islam, bukan dari bagian fiqh.

Dengan adanya para mujtahid dan pakar fiqh, perdebatan dan diskusi mereka
serta perlombaan meraih pendapat yang paling dekat dengan kebenaran dalam masalah-
masalah fiqh, hal itu merupakan katup pengaman bagi masyarakat Islam dan jaminan
untuk memecahkan peroblematika yang menimpa umat Islam. Oleh karena itu, adalah
bencana terbesar ketika umat menetapkan pintu ijtihad telah ditutup. Arti dibalik itu
menyiratkan vitalitas berpikir prinsipal umat Islam yang merupakan faktor maju dan
bangkitnya umat telah ditiadakan. Keputusan ini merupakan kesalahan sejarah terbesar
yang dilakukan umat sehingga seluruh kaum muslimin walaupun ada ulama dan fuqaha
agar tidak diperkenenkan keluar dari kerangka madzhab-madzhab yang bertahan
sebelum tertutupnya pintu ijtihad.

Memang benar ada pula sekelompok mujtahid yang tidak memperdulikan


keputusan ini dan berusaha memenuhi tugas mulia ini, namun tertutupnya pintu ijtihad
telah diterima umat sehingga menimbulkan stagnasi berpikir dan kerdilnya ilmu para
ulama. Bila kita perhatikan masa keemasan fiqh dengan munculnya madrasah fiqh
seperti Syafi’iyah, Hanafiyah, fenomena tersebut tidak kita dapati lagi setelah pintu
ijtihad ditutup, bahkan mayoritas fuqaha’ dan mujtahid yang muncul belakangan ini
menisbatkan dirinya kepada madzhab-madzhab diatas.

Secara spontan, seeorang peneliti pasti akan menuding dengan ditutupnya pintu
ijtihad akan menambah infiltrasi pemikiran asing kedalam tsaqafah uamt Islam dan
terkontaminasinya pola pikir dunia Islam. Namun fakta, berkata sebaliknya. Benar
bahwa bangunan berpikir umat Islam telah kehilangan imunitasnya setelah ditutupnya
pintu ijtihad namun hal itu belum cukup untuk memudahkan penyusupan dan
kontaminasi pola pikir dan tsaqafah Islam. Racun dan distorsi tsaqafah tersebut tidak
berwujud sampai sekarang. Peradaban-peradaban yang dihadapi umat pada permulaan
sejarah Islam bersamaan dengan perlawanan menghadapi penaklukan-penaklukan umat-
di garis terdepannya peradaban Roma dan Persia-eksistensinya tidak dianggap dalam
hitungan Negara Islam. Negara Persia runtuh dan imperium Bizantium sebagai

139
representasi peradaban Roma juga menghembuskan nafas terakhirnya. Eropa Barat
Katolik hidup dalam kegelapan dan kemunduran abad pertengahan dan tidak ada misi
peradaban yang diemban ke negara-negara lain. Bangsa Mongol, Tar Tar dan
Turkmenistan yang belum memeluk Islam saat itu lebih terbelakang dan merosot
peradabannya. Adapun gerakan penerjemahan dan penelaahan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan klasik telah berhenti pada satu titik dan sirna tujuan awalnya. Begitulah,
umat Islam tetap menjadi ujung tombak peradaban dan kebudayaan apalagi dalam
bidang politik di kancah internasional dan hidup dengan warisan fiqh klasik. Disamping
itu, para fuqaha terkemudian mensyarahi karya-karya fiqh klasik dan menlis penjelasan
matan-matan fiqh dan terkadang mensyarahi syarah lain atau meringkas karangan tadi
atau meringkas syarahnya.

Sepanjang ratusan tahun, umat Islam tidak menjumpai satu bangsapun yang
mengungguli pemikiran dan peradabannya, bahkan umat semakin percaya diri ketika
berhasil meraup kemenangan militer dengan mengusir pasukan Salib, Mongol dan Tar
Tar dan kekhilafahan kembali muncul di tangan Utsmaniyah yang menyatukan dunia
Islam dan menjadi negara terkuat di dunia dengan angkatan militernya yang tak
terkalahan. Umat Islam bersandar tenang kepada kebudayaan, pemikiran, sistem hukum
dan peradabannya secara umum karena tidak ada lonceng yang dibunyikan yang
memberitahu umat adanya bahaya besar mengancam.

Akan tetapi, sejarah yang mengisahkan betapa kokohnya institusi Islam kini
diincar satu peradaban lain yang telah merengkuh kemajuan dan kebangkitan.
Peradaban tersebut menyerang Islam hingga pilar-pilar Islam bergoncang dan institusi
Islam runtuh. Bila umat Islam, dahulu kala telah mengalahkan semua bangsa dalam
taraf pemikirannya karena mengemban satu mabda’ (ideologi) yang agung,
menerapkannya dengan baik, memenangkan pertempuran karena kuatnya iman,
kekuatan rohani, cinta jihad dan mati syahid di jalan Allah, maka telah datang saatnya
kemunculan satu institusi baru yang melawan umat dalam lapangan peradaban dan
pemikiran yang menyandang ideologi baru serta menyerang secara militer dengan
kekuatan industri dan teknologinya. Institusi tersebut adalah peradaban Barat
kontemporer yang telah sempurna bentuknya awal abad 19 M. Penulis tidak bermaksud

140
membahas pertempuran militer dan materi yang melibatkan negara Islam dengan
negara-negara Barat, pembahasan disini difokuskan pada pergulatan pemikiran dan
kebudayaan antara kaum muslimin dengan budaya dan peradaban lain. Namun
penyerangan militer dan materi mempunyai peran yang amat besar, karena Barat lebih
unggul daripada Negara Islam sehingga Barat dapat mengalahkan Daulah Islam.
Kejadian tragis yang menimpa umat ini menghilangkan kepercayaan pada diri umat,
peradaban, kebudayaan dan sistem hukumnya. Bila umat Islam tidak mengemban
risalah Allah yang kekal sampai hari kiamat, pasti seorang peneliti akan berkomentar
bahwa peristiwa tersebut merupakan tragedi yang meluluh lantakkan umat dan
peradaban Islam.

Umat Islam, sepanjang sejarah telah menghadapi berbagai macam musuh dari
segala penjuru, namun musuh bebuyutan yang selalu menentangnya sejak awal sejarah
Islam hingga kini adalah negara-negara Eropa, baik dalam bentuk imperium Bizantium
yang ditaklukkan umat Islam 1453 M atau kerajaan-kerajaan Eropa Katolik yang
menyerang umat Islam lewat Andalusia atau yang kini menjelma dalam negara-negara
Eropa imperialis baru yang berdiri di atas landasan baru; kapitalisme liberal.

Ketika negara-negara Eropa belum mempunyai misi peradaban yang


diembannya ke seluruh pelosok dunia pada abad pertengahan dan menyerang uamt
Islam pada khususnya, senjata mereka satu-satunya adalah perang salib. Oleh karena itu,
bahaya besar belum terasa gaungnya, apalagi terhadap umat yang berdiri di atas
landasan yang mengakar dan maju seperti umat Islam, bahkan peperangan tersebut tidak
akan berhasil bila kondisi dunia Islam saat itu tidak sedang dilanda perpecahan dan
pertentangan internal serta persaingan antar wilayah dan imarah (pemerintahan daerah).
Karena itu, umat Islam kembali menyatukan barisan sehingga pasukan Salib pulang ke
negerinya menanggung kekalahan. Akan tetapi bencana terbesar adalah ketika
masyarakat Barat merumuskan prinsip-prinsip baru yang mewujudkan institusi
peradaban baru yang memiliki pemikiran, mafhum dan sistem peraturan yang sanggup
menggoncangkan seluruh pelosok dunia termasuk umat Islam; raksasa yang ditakuti
Eropa berabad-abad.

Peradaban Barat kontemporer belum pernah mengalahkan peradaban Islam satu


haripun, pemikiran Barat belum pernah mengungguli mabda’ Islam karena mabda’

141
Islam adalah satu-satunya mabda’ yang berdiri di atas aqidah yang benar bukan lainnya,
sistem peraturan Islam adalah sistem yan diturunkan Allah. Islam adalah satu-satunya
peraturan hidup yang layak diterapkan umat manusia. Jika Barat berhasil mengalahkan
umat Islam dalam lapangan pemikiran dan peradaban, hal itu bukan menandakan Islam
telah kalah. Islam adalah agama Allah yang tinggi dan tidak akan pernah ada yang
mengunggulinya. Islam adalah agama yang tidak didatangi kebatilan baik dari depan
maupun belakang. Barat hanya berhasil mengalahkan kaum muslimin yang belum
mengadopsi kembali Islam dengan teguh, faham dan sadar seperti keadaan mereka
dahulu.

Pada awal abad 19 M, dengan berkobarnya berbagai pemberontakan di Barat,


dimana pembukaannya adalah pemberontakan Perancis 1789 M, ajaran-ajaran
peradaban Barat mulai mengkristal dan menjadi sempurna bangunan berpikirnya
sehingga masyarakat Barat berdiri diatas dasar-dasar pemikian dan sistem baru yang
terwujud dalam kapitalisme liberal setelah Barat dikekang sistem feodalisme.
Disamping itu, peradaban tersebut berdiri diatas landasan aqidah aqliyah siyasiyah
(keyakinan berlandaskan proses berpikir) yang memancarkan sistem peraturan
kehidupan, masyarakat dan negara. Barat telah mewujudkan kebangkitan yang dalam
pandangan kita; umat Islam bukanlah kebangkitan yang benar, namun peradaban
tersebut cukup mendobrak suatu umat yang lamban dan stagnan pola pikirnya, umat
yang menerapkan sistem peraturannya dengan buruk dan hidup di pinggir peradabannya
yang agung yaitu umat Islam.

Pada abad 19 M, peradaban Barat berkembang pesat, institusi politiknya berdiri


di atas landasan yang kuat, masyarakatnya berkembang semakin banyak, maju menuju
kebagkitan dan semakin kuat bidang ekonomi dan militernya. Barat menciptakan
inovasi sarana fisik, perkotaan dan teknologi yang canggih disaat Negara Islam
menghadapi konflik dan satu persatu giginya mulai tanggal serta problem dan krisis
politik dan ekonomi menghantamnya. Keadaan itu diperparah dengan melemahnya
militer dan keterbelakangan sarana fisik dan teknologi sehingga Daulah Islam merosot
dengan cepat menjadi terbelakang. Ringkasnya, piringan neraca Barat naik dengan
kecepatan yang mencengangkan.

142
Hal-hal diatas ditambah kelinglungan yang melanda umat Islam setelah terkecoh
dengan unggulnya musuh, terbukalah kesempatan bagi Barat untuk mengobarkan jenis
perang baru terhadap umat Islam. Barat menggunakan senjata yang lebih tajam daripada
senjata perang Salib. Perang tersebut adalah perang peradaban, senjatanya adalah
pemikiran, kecenderungan hidup dan sistem peraturan, medan laganya adalah
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan diskusi. Ketika faktor terpenting dalam peperangan
ini hal-hal bersifat abstrak hingga pemikiran jauh-jauh hari Barat telah menggenggam
kemenangannya. Karena umat Islam memicingkan mata keterbelakangan mereka dan
unggulnya musuh mereka, maka mulailah umat kehilangan kepercayaan terhadap diri
mereka, mafhum dan sistem peraturan Islam. Umat memandang kandungna ajaran Islam
lemah, tidak berdaya berhadapan dengan musuh yang tinggi dan luhur kandungan
ajarannya; peradaban, pemikiran dan sistem yang modern.

Dari sinilah timbul pertentangan di benak kaum muslimin; kenapa Barat


bangkit? Dan kenapa kita terbelakang? Apakah Barat menjunjung tinggi faktor-faktor
yang membangkitkannya sedangkan kita mengacuhkannya? Apakah mafhum kita
mungkin tidak benar? Mungkin pemahaman kita terhadap Islam salah! Barangkali Barat
mengambil segi-segi positif agama kita! Bolehkah kita mengambil dari Barat sebab-
sebab kebangkitannya? Kenapa Barat mengambil dari kita sebab-sebab kebangkitan
setelah kita mengamalkannya? Mungkinkah mengkompromikan antara Islam dengan
peradaban Barat? Bolehkah kita mengadopsi sebagian sistem Barat? Apakah Islam
mengharamkan memanfaatkan sistem atau apa saja milik peradaban lain?

Ditengah-tengah pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan dan


mengacaukan umat, Barat dengan leluasa membidik panah racun pemikiran untuk
mendistorsi peradaban, hukum, solusi, sistem dan pola hidup Islam. Dalam hal ini,
posisi Barat adalah pihak penyerang dan umat Islam adalah pihak yang bertahan.
Mudah-mudahan umat berhasil bertahan.

Barat menyerang sistem khilafah dan menudingnya sebagai rezim individu


diktator dan penggantinya adalah sistem demokrasi. Barat juga menyerang konsep jihad
dan menuduhnya sebagai kezaliman dan pola penyebaran Islam lewat kekuatan pedang
serta merampas hak menentukan nasib sendiri suatu bangsa. Tidak luput pula konsep
poligami, Barat mengklaimnya sebagai penganiayaan terhadap wanita dan menghina

143
kehormatannya. Barat juga mengecam konsep ikatan persaudaraan sesama muslim,
Barat mencapnya sebagai fanatisme dan menganggap bahwa ikatan yangbenar adalah
sukuisme atau nasionalisme. Terakhir Barat berkoar bahwa hukum-hukum agama
bersifat konservatifdan usang maka sudah selayaknya agama dipisahkan dari institusi
negara dan politik.

Lalu pembelaan bentuk apa yang dilakukan umat Islam terhadap serangan dan
tudingan diatas?

Keadaan putus asa yang menimpa umat Islam menjadikan sikap pasrah umat
menerima tuduhan-tuduhan tersebut. Merupakan suatu kewajiban bagi umat untuk
membela dirinya terhadap tuduhan-tuduhan itu, disamping itu, konsep-konsep yang
diserang Barat adalah hal-hal yang baik, bukan hal-hal yang nista, konsep-konsep itu
tidak buruk sama sekali. Akan tetapi ketika umat sudah kehilangan vitalitas berpikir dan
kecerdasan hati, buah berabad-abad yang lalu dan umat mengumandangkan pintu ijtihad
telah tertutup, umat tidak dapat menyadari dengan baik hakekat tudingan tadi. Alih-alih
umat mempertahankan konsep khilafah dan berkeyakinan konsep tersebut baik serta
kepemimpinan tidak mungkin terwujud kecuali di tangan satu orang, yang seharusnya
umat berkata tegas bahwa demokrasi adalah sistem haram karena memberikan hak
membuat UU kepada rakyat, padahal hak tersebut hanya milik Allah dan demokrasi
adalah konsep yang menipu dan dusta besar, umat malah menanggapi dengan berkata
bahwa demokrasi termasuk ajaran Islam, sesungguhnya pemerintahan dalam Islam
berdiri atas musyawarah yang merupakan substansi demokrasi. Yang seharusnya umat
bangga dengan jihad memerangi negara dan pemerintahan untuk memecahkan barikade
yang menghalangi tersebarnya Islam sebagai misi ke seluruh penjuru alam, dimana
umat dan bangsa lain saling berperang dan menumpahkan darah dengan tujuan
menguasai suatu negara, memperbudak penduduknya dan menjarah kekayaannya,
malah umat berkata bahwa jihad adalah perang untuk mempertahankan diri dan jihad
hanya berlangsung untuk mengusir musuh-musuh dari negeri-negeri Islam.

Seharusnya, umat teguh berpegang kepada hukum-hukum Islam dan berusaha


menerapkannya, dan berkata dengan lantang bahwa kewenangan poligami adalah
peraturan yang benar karena hal itu berasal dari sisi Allah yang telah menciptakan
manusia sedang Ia lebih tahu apa yang layak bagi ciptaan-Nya serta kewenangan ini

144
merupakan peraturan cadangan agar zina dan pelecehan tidak tersebar, dan agar kaum
wanita tidak tersia-sia, umat malah berkata bahwa Islam telah membatasi poligami dan
tidak memperbolehkannya kecuali dalam hal-hal tertentu.

Begitulah, umat Islam kian terjebak mengkompromikan peradaban Barat dengan


Islam sehingga umat mencampur adukkan pemikian dan hukum Ialam dengan
pemikiran, hukum dan sistem Barat. Bila ratusan tahun sebelumnya umat Islam tidak
terpengaruh kecuali dalam skala yang amat sedikit dari pemikiran peradaban dan
kebudayaan lawan benturan umat, namun kini hanya dalam bilangan puluhan tahun
sejak Barat mengobarkan perang peradaban dan pemikiran terhadap umat, sudah cukup
menciptakan peradaban Islam gado-gado yang kacau balau yang terdiri dari pemikiran
Islam dan pemikiran peradaban Barat.

Dahulu kala, ketika umat tidak henti-hentinya menghina Brat, masyarakat dan
peradabannya, umat amat enggan mengambilnya sedikitpun, apakah itu berbentuk
penemuan, inovasi, benda sarana fisik ataupun teknologi materi dan ketika sebagian
Gubernur di wilayah Islam berusaha memodernisir tehnik, sarana dan bentuk di negeri-
negeri Islam, serentak para fuqaha menentangnya bahkan ada yang mengharamkan
pemakaian barang cetakan dan telepon. Dan ketika Barat telah unggul dengan bentuk
yang jelas, menggentarkan Daulah Islam serta umat Islam terpesona dengan Barat,
kemajuan sarana dan benda-benda fisik serta industri maka keadaan berbalik. Umat
membuka pintu lebar-lebar setiap apa yang datang dari Barat tanpa membedakan antara
madaniyah (sarana dan benda fisik) dan hadharah (hasil peradaban yang khas), tanpa
membedakan antara tsaqafah dan ilmu. Pemikiran-pemikiran Barat dengan deras
menerjang kita. Konsep demokrasi menyerang kita, isu kebebasan publik, sukuisme,
nasionalisme juga digembar-gemborkan Barat. Semua konsep dan isu tersebut selalu
dikaitkan dan dilandaskan ajaran Islam, sehingga pemikiran dan konsep-konsep di atas
dinisbatkan kepada Islam, padahal Islam sama sekali telepas dari konsep-konsep itu.
Umat Islam berkata bahwa demokrasi bagian dari Islam, Islam menjaga kebebasan
publik, Islam mendukung sukuisme, keistimewaan dan kehormatannya dan Islam pun
memuliakan perasaan nasionalis ketika Islam memerintahkan membela tanah air. Setiap
konsep Barat diatas menjadi opini umum yang mendesak Islam yang putih bersih lewat
perantaran-perantaraan qaidah-qaidah fiqhiyah yang belum pernah kita dengar dari para
fuqaha’ klasik seperti qaidah “La Yunkaru Taghayyur al Ahkam bi Taghayuuril azman”

145
(Tidak diingkari perubahan hukum dengan berubahnya masa), “Haytsuma takunu al
mashlahah fatsamma syar’ullah” (Dimana ada maslahah maka disitu ada hukum Allah)
dan dengan pembicaraan ‘elastisitas syari’ah dan kedinamisannya’.

Semangat kompromistis antara Islam dan peradaban Barat semakin menjadi-jadi


setelah lenyapnya kekuasaan Islam dengan runtuhnya institusi khilafah Islamiyah serta
tunduknya negeri-negeri Islam pada abad 20 M kepada pemerintahan yang
melaksanakan UU selain dengan apa yang diturunkan Allah, berdirinya yayasan yang
bergerak dalam bidang informasi, pendidikan yang menjajakan peradaban Barat dengan
mengklaimnya sebagai puncak tujuan yang dapat dicapai manusia berupa
perkembangan, kemajuan dan keluhuran dan bahwa sistem humanisme yang layak pada
abad ini. Dan dengan rela umat berkata bahwa Islam, solusi dan hukum-hukumnya tidak
layak pada abad kontemporer ini. Mayoritas kalangan terpelajar tampil berusaha
mengkompromikan antara Islam dan peradaban Barat sekaligus mengemban pemikiran-
pemikiran yang bertolak belakang secara jelas dan sharih dengan Islam sehingga ide
sekulerisme menjadi opini umum, berperkara dengan UU buatan sesuatu yang wajar dan
selalu membebek di belakang politik, strategi dan propaganda penjajah tanpa merasa
cela sedikitpun. Ikatan etnis dan nasionalisme menggantikan ikatan Islam. Propaganda
sistem dan kecenderungan berpikir anti Islam tersebar luas seperti semboyan ‘Berikan
hak Tuhan kepada Tuhan dan Berikan hak kaisar kepada kaisar’, ‘Agama untuk Allah
dan negara untuk semua orang’, ‘Islam itu suci, jangan sampai politik menodainya’.
Ketika tampak permusuhan negara-negara Barat kapitalis dan kerakusannya terhadap
negeri-negeri Islam, kalangan terpelajar condong ke arah sosialisme, filsafat dan sistem
peraturannya hingga mereka tidak segan-segan mendeklamasikan dirinya atheis dan
bangga menganut diakletika materialis. Islam politik dan peradaban tidak pernah
menjadi bahan kajian. Alangkah pahitnya kenyataan ini. Kalangan terpelajar tidak
memperhatikan lagi apakah konsep itu sesuai atau tidak dengan Islam. Islam dalam
pandangan mereka tidak berkaitan dengan kehidupan umum, masyarakat, negara dan
politik. Islam hanya menyinggung hubungan manusia dengan Penciptanya dan
tempatnya di mesjid dan rumah bukan kehidupan umum, masyarakat dan politik.

146
Beruntungnya, agama yang telah mendapat jaminan penjagaan Allah, tidak
kehilanagn sekelompok dari umat mukmin yang ikhlas yang tetap berpegang erat
dengan Islam sebagai sebuah agama dan sistem kehidupan. Mereka tidak terhanyut
derasnya arus sekulerisme dan atheis. Giliran mereka tiba agar menjadi pemuka
pemikiran dan tsaqafah di medan laga yang penuh dengan lontaran pemikiran dan
propaganda yang meluncur ke dunia Islam, baik dari Barat maupun Timur. Menilik
situasi dan kondisi perkembangan politik terakhir, mereka saling bahu membahu
mendorong umat Islam sejak dasawarsa 70-an agar kembali memegang teguh Islam
sebagai agama dan sistem kehidupan, masyarakat dan negara serta agar umat
mengenyahkan orientasi, ajaran yang bertentangan dan menentang Islam.

Kalau begitu, faktor terpenting untuk merubah umat agar kembali memegang
teguh Islam adalah adanya para pengemban dakwah dari kaum muslimin yang konsisten
melawan mainstream yang menghanyutkan sehingga arusnya tidak lagi meninabobokan
umat. Namun perubahan umat dengan meraih kembali kegembiraan dan terlepas dari
kesusahan dihadang bahaya mengenaskan yang mengelilingi umat sejak peradaban
Barat menggempur ajaran Islam yaitu campur aduknya ajaran Islam dengan ajaran non
Islam. Ketika umat Islam berusaha menuju Islam yang bersih murni dan ingin
melepaskan diri dari kondisi umat yang menurun, sayangnya mereka tidak selamat dari
pengaruh peradaban Barat, tsaqafah dan sistemnya. Sebagaimana kondisi dan iklim
yang diciptakan sistem yang berkuasa sejak puluhan tahun telah menciptakan dinding
yang amat tinggi yang menghalangi kaum muslimin menengok sistem Islam, pola hidup
dan masyarakatnya dengan pandangan yang jernih sehingga mereka tidak mampu
menggambarkan bentuk sistem Islam dan pola masyarakat Islam yang lepas dari sistem
yang sedang berlaku dengan institusi dan relasi-relasi khasnya.

Bersamaan dengan kenyataan diatas, muncul harakah (pergerakan) dan


organisasi yang mengadopsi Islam sebagai sistem kehidupan, masyarakat dan negara,
namun pergerakan dan organisasi tersebut memposisikan Islam dalam bentuk yang tidak
bertentangan dengan peradaban Barat, UU internasional dan ketetapan PBB. Pergerakan
dan organisasi itu tidak mengajukan solusi yang sempurna dan utuh menghadapi situasi
dan kondisi yang berlangsung di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri lainnya di dunia.
Mereka hanya mengusulkan sebagian istilah dan modifikasi serta memahami Islam
dalam format yang melegalkan hidup berdampingan dengan kondisi politik lokal,

147
teritorial dan nasional, dalam format yang selaras dengan opini umum yang secara
emosional berkorelasi dengan Islam dan dalam pola pikir berkorelasi dengan peradaban
Barat.

Bangsa kafir imperialis yang tetap tejaga mencegah kebebasan umat Islam dari
dominasi dan kekuasaannya mendapati pada tahun-tahun belakangan ini bahwa Islam
akan merajai umat Islam. Tidak berakhir satu hari pun kecuali Islam dipelajari sebagai
peraturan hidup. Barat mulai melemparkan isu dan konsep yang menawarkan Islam
yang selaras dengan peradaban Barat; hukum positif dan ketetapan PBB. Hal ini
berlangsung terus menerus dan berganti kedok dari hari ke hari. Hal itu karena bila
Islam sampai ke puncak kekuasaan dan elit kekuasaan mendeklamasikan negaranya
sebagai negara Islam, namun mereka akan menerapkan secara praksis apa yang telah
diterapkan elit kekuasaan terdahulu yang sekuler. Maka bidikan Barat menjadi longgar
dibantu isu dan gerakan yang disokong kalangan terpelajar dan para tokoh. Barat
menciptakan kekuatan besi, penggelapan informasi terhadap orang-orang yang
berdakwah kepada Islam sebagai mabda’ karena Barat tahu betul bahwa dakwah
tersebut yang akan memberantas kekufuran dari negeri-negeri Islam ketika masyarakat
telah melebur dengan pemikiran para pengemban dakwah tersebut dan menjadi ide yang
mendominasi.

Begitulah, benturan itu beralih menjadi benturan antara dakwah Islam dan
dakwah sekulerisasi dan atheis, menjadi benturan antara pemahaman ideologis yang
jernih terhadap Islam dan pemahaman yang ternodai dan campur aduk bahkan
menyesattkan terhadap Islam.

148
PENYERU KEBANGKITAN : ANTARA SIKAP IDEOLOGIS DAN
PRAGMATIS

Telah diketahui bahwa dakwah ideologis-yaitu gerakan politik- jika tumbuh dalam
mayarakat yang mundur, target utamanya adalah aktivitas ke arah kebangkitan
masyarakat tersebut. Karena suatu masyarakat akan mundur seiring dengan
rendahnya tradisi yang mendominasi dan sistem yang diperlakukan, dan masyarakat
tadi akan maju selaras dengan luhurnya tradisi dan sistem, maka urgensi dakwah
ideologis adalah aktivitas merubah masyrakat dengan jalan merubah tradisi dan
sistem yang berlaku -yang kesemua hal tadi bertentangan dengan ideologi- agar
digantikan pemikiran, keyakinan, mafhum (persepsi), emosi dan sistem yang maju
dan benar.

Ini menunjukkan dakwah ideologis harus melabrak kenyataan yang rusak sejak
dini hari karena dakwah tersebut datang dengan membawa sesuatu yang baru dan aneh,
berbeda dengan kenyataan hidup masyarakat. Secara alami, sebuah masyarakat akan
memegang erat adat istiadat, ajaran leluhur dan keyakinan, dan tidak mudah
melepaskannya begitu saja, butuh ketelatenan bertahun-tahun, perjuangan
berkesinambungan, pergulatan tak henti-henti dan kesabaran yang teguh dari para
pengemban dakwahnya, sehingga masyarakat mulai menanggalkan keyakinan dan
pemkiran-pemikiran mereka, agar perasaan mereka mulai dibentuk dalam keadaan atau
nuansa baru. Oleh karena itu, gerakan-gerakan politik yang bertujuan merubah
masyarakat dan bangkit harus terjun sejak dini hari berkonfrontasi dengan masyarakat,
menentang dan merendahkannya. Para pengemban dakwah berbicara tentang hal-hal
yang berseberangan dengan tabiat manusia, menentang adat istiadat dan ajaran leluhur.
Kegiatan semacam ini akan dianggap masyarakat, menentang adat istiadat dan keluar
dari pakem ajaran leluhur yang seiring dengan berjalannya waktu ajaran tersebut hampir
dikultuskan.
Jika kita tengok ulang kejadian-kejadian masa lampau, kita temukan bahwa
setiap seruan (dakwah) sesuatu yang baru pasti menghadapi perlawanan sengit,
fanatisme dan taklid ajaran lama, terutama dalam masyarakat yang mundur. Hal ini
dapat kita lihat pada dakwah yang diserukan Rasul saw. Para pengemban dakwah pada

149
umumnya diutus kepada bangsa-bangsa yang tenggelam dalam kubangan kemunduran,
lalu mereka menyeru bangsa tadi agar memeluk aqidah dan agama yang berlandaskan
akal, namun bangsa tersebut malah menyambut mereka dengan celaan, perlawanan,
penyiksaan dan caci maki. Renungkanlah firman Allah ini:
“Alangkah besarnya penysealan hamba-hamba itu, tidak seorang Rasul pun
datang kepada mereka melainkan meraka selalu memperolok-oloknya.”1
“Demikianlah tidak seorang Rasul pun yang datang kepada orang-orang
sebelum mereka melainkan mereka berkata: “Ia adalah seorang tukang sihir
atau orang gila.”2
Perhatikan pula ayat-ayat ini yang mengisahkan berbagai bangsa dan kaum yang
mendustakan utusan –utusan Allah:

“Sebelum mereka, kaum Nuh telah mendustakannya, mereka mendustakan


hamba Kami dan mengatakan ‘dia orang gila dan sudah pernah diancam’.
Maka dia mengadu pada Tuhannya bahwa aku orang dikalahkan, oleh sebab itu
tolonglah aku.”3
“Kaum Tsamud pun telah mendustakan ancaman-ancaman itu. Mereka berkata:
Apa kita akan mengikuti seorang manusia sama seperti kita? Kalau kita benar-
benar mengikutinya, berarti kita orang-orang yang sesat dan gila. Apakah
wahyu itu diturunkan kepadanya dalam kalangan kita, sebaliknya ia adalah
pendusta ulung lagi sombong. Kelak, mereka akan mengetahui siapa yang
sebenarnya pendusta lagi sombong.”4
Dari titik ini, kita bisa berkata bahwa sambutan masyarakat yang meremehkan
dakwah politik sejak dini hari tidak menunjukkan keberhasilan dakwah tersebut,
namun terkadang menunjukkan dakwah tersebut gagal sama sekali. Kenapa?

Salah satu karakter suatu bangsa adalah berkumpul di seputar orang-orang yang
merepresentasikan pemikiran, keyakinan dan tujuannya. Ketika bangsa yang
terbelakang berkerumun di sekitsr gerakan politik apa pun sejak awal, maka hal tersebut
mengindikasikan gerakan tersebut bagian dari masyarakat tadi yang menyandang

1
S. Yasin [36]: 30.
2
S. al Dariyat [51]: 52.
3
S. al Qamar [54]: 9-10.
4
S. al Qamar [54]: 23-26.

150
pemikiran, gambaran dan keyakinan masyarakat itu. Artinya gerakan politik yang
mundur merepresentasikan keadaan masyarakat.
Bila target utama gerakan-gerakan politik dalam mayarakat yang mundur adalah
kebangkitannya, maka sudah sewajarnya pemikiran gerakan-gerakan tersebut berbeda
dengan adat istiadat dan emosi yang tidak benar. Tegasnya, gerakan tersebut
mengemban pemikiran yang tidak diadopsi masyarakat yang sanggup merubah
masyrakat. Kalau pemikiran itu tidak mampu merubah, maka adanya pemikiran itu
tidak ada artinya bahkan terkadang lebih baik pemikiran yang kerdil itu tidak ada,
karena seseorang yang ingin memajukan suatu masyarakat, ia harus berpikiran maju
terlebih dahulu dan lagi seseorang yang tidak mempunyai ap-apa pasti ia tidak bisa
memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya. Inilah ciri khas dakwah ideologis yang
konsisten, berbeda dengan dakwah faktual yang mengalir selaras dengan kenyataan.
Dakwah faktual adalah dakwah yang mengetahui benar bahwa fakta lapangan
rusak dan merasa berkewajiban merubah keadaan itu, namun para pengembannya
langsung terjun ke masyarakat tanpa memikirkan hakikat problematika yang melanda
umat, tanpa meraba konsep kebangkitan ideal yang akan ditawarkan kepada masyarakat
dan tanpa merumuskan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan
tersebut. Dakwah faktual melakukan aktivitasnya spontanitas, tanpa persiapan dan tidak
terprogram serta dakwah mereka tidak mempunyai target yang pasti.
Pada hakikatnya, dakwah yang mereka lakukan bersumber dari kenyataan
lapangan yang rusak artinya mereka memposisikan fakta-walaupun rusak- sebagai
sumber pemecahan, bukan sebagai subyek yang harus diberi pemecahan (solusi). Hal ini
menciptakan dakwah yang dilancarkan bersifat akomodatif dengan fakta yang rusak dan
malah mengokohkan prinsip-prinsip yang dipegang masyarakat. Dengan karakteristik di
atas, dakwah faktual merupakan ekspresi pola pikir, keyakinan, tolok ukur dan perasaan
suatu masyarakat yang mundur. Dan lagi, suatu bangsa akan tunduk kepada sekelompok
orang yang merepresentasikan pola pikir, emosi dan kecenderungannya, tampaknya
masyarakat akan menyambutnya dengan senang hati dakwah semacam ini sejak awal,
padahal dakwah semacam ini merupakan tindakan mundur yang mendukung status quo
kenyataan yang rusak yang sedang bercokol di masyarakat, terutama ketika
mengkaitkan fakta berupa pemikiran dan keyakinan yang rusak dengan baju syari’at dan
ilmu, serta melegitimasi fakta tersebut dengan dalil-dalai syar’i dan kaidah-kaidah fiqh.

151
Bila diperkirakan, masyarakat akan bangkit sebab pengaruh para pengemban dakwah
ideologis maka masyarakat tersebut dengan cepat akan menjauhi diri dari dakwah
faktual dan tidak akan kembali, barulah saat itu target dan keyakinan dakwah ideologis
terwujud.
Adapun dakwah ideologis adalah aktivitas dakwah yang mengetahui benar
kerusakan fakta di lapangan dan terbelakangnya masyarakat, lalu para pengembannya
mengkaji fakta secara mendalam untuk mengetahui substansi masalah karena seseorang
yang tidak mengetahui duduk permasalahannya, mustahil ia berhasil memecahkannya.
Para pengembannya mengkaji fakta masyarakat berupa pola pikir, keyakinan, tolok
ukur, emosi dan sistem secara mendalam dan jeli untuk mengetahui mana yang benar
dan mana yang salah, juga untuk mengetahui perangkat apa yang dibutuhkan
masyarakat entah itu berupa pola pikir atau emosi dll. Para pengembannya juga
mengkaji pemikiran dan emosi yang disusupkan yang sebenarnya asing lagi rusak untuk
memahami betul fakta UU dan peraturan yang berlaku di tengah masyarakat kemudian
beralih kepada mabda’nya -Islam- untuk mencari solusi terbaik yang sahih untuk
memecahkan fakta dan hal ini termanifestasikan dalam sekumpulan mafhum dan sistem
peraturan yang berlandaskan Islam yang akan mewujudkan perubahan masyarakat
secara sempurna.
Dakwah ideologis ketika menggali solusi untuk merubah maysrakat, tidak
terpengaruh oleh kenyataan rusak yang hidup di tengah masyarakat. Solusi itu harus
steril, bersih, sama sekali dari situasi dan kondisi rusak yang menimpa masyarakat.
Disaat gerakan dakwah faktual bergandengan erat dengan fakta yang rusak dan
mengambil gambaran dan solusi dari fakta tersebut serta tidak kuasa keluar dari
pengaruhnya, gerakan dakwah ideologis telah menguliti iklim, situasi dan kondisi
masyarakat, menguak hakikat fakta yang sebenarnya lalu merumuskan target
kebangkitan yang diidamkan agar umat menempuh jalan menuju kemajuan dan
kebangkitan.
Begitulah, dakwah ideologis mulai menghadapi masyarakat heterogen, pola pikir
klasik yang rusak mulai berbenturan dengan pola pikir baru yang diemban dakwah
ideologis, juga antara strategi sistem yang menguasai masyarakat di satu sisi dengan
solusi dan sistem yang ditawarkan dakwah ideologis di satu sisi yang lain. Gerakan
ideologis ini terlihat mencolok karena gerakan ini dipandang aneh berbeda dengan

152
kenyataan yang berlaku, dalam imjinasi masyarakat gerakan itu seolah-olah datang dari
planet lain dan tidak pernah bersentuhan dengan masyarakat sedikit pun. Namun
kenyataan seperti ini justru mendatangkan kabar gembira bagi para pengemban dakwah
karena mereka jelas-jelas berada di atas jalan yang lurus, karena mereka mengalami apa
yang telah dialami para pengemban dakwah sepanjang sejarah ketika mereka
menghadapi masyarakat heterogen yang mundur.
Kenyataan yang dihadapi gerakan ideologis pada masa-masa awal tidak lama
kemudian akan berganti dan berubah. Para pengemban dakwah ideologis ketika mulai
bergerak berdakwah, menyadari telah terjun ke dalam medan pergulatan pemikiran dan
meyakinkan diri agar keluar sebagai pemenang. Kancah perjuangaannya adalah
masyarakat yang tenggelam dalam kubangan keterbelakangan dan kemunduran;
kegelapan yang menutup hakikat dari penglihatan mereka sehingga mereka tidak dapat
menyadari salahnya kebatilan dan bajiknya kebenaran, membedakan perkara yang
shahih dan yang salah, anatara yang layak dan yang rusak, antara kejujuran dan
kebohongan. Untungnya, para pengemban dakwah mempunyai mata setajam mata
elang, mereka menyadari hakikat duduk masalah dan memulai berdakwah dengan
mengkritik pemikiran, keyakinan dan sistem yang usang. Tatkala pola pikir yang benar
berbenturan dengan pola pikir yang salah, mafhum yang luhur dengan mafhum yang
rendah, berkobarlah peperangan yang menerangi medan laga sehingga masyarakat
tercelik, terbuka tirai kebatilan dan kebajikan kebenaran bersinar, firman Nya:
“Demikianlah Allah membuat perumpamaan sesuatu yang hak dan bathil.
Adapun buih maka akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna.
Sedanngkan yang memberi manfa’at kepada manusia, maka ia tetap di bumi.”5
Benturan dan peperangan itu berlanjut, berulang hingga kesadaran umum yang
terbentuk selaras dengan mabda’ yang dibawa dakwah ideologis, berlanjut menjadi
opini umum yang melahirkan gerakan dinamis di masyarakat. Umat mendekap erat para
pengemaban dakwah ideologis, mengemban ajaran-ajarannya, berjalan di belakang
mereka, memenuhi panggilan mereka dan memulai kehidupan yang Islami.

Hal ini pernah dialami pada masa Rasul saw. Ketika beliau mulai berdakwah terang-
terangan bersama sedikit shahabat, Rasul saw menghadapi konfrontasi yang sengit
dari masyarakat Mekah jahiliyah. Rasul menuai penghinaan, penyiksaan,

5
S. al Ra’d [13]:17.

153
pengepungan (blokade) sampai pembunuhan sebagian pengikutnya. Umat Islam saat
itu dianggap tubuh asing yang terpisah dari masyarakat umum. Akan tetapi dengan
keteguhan pola pikir yang diemban beliau, kokohnya keimanan dan kesabaran,
beliau bersama para shahabat menanggung beban berat menyebarkan dan
meninggikan Islam, hal tersebuit sanggup membentuk opini umum tentang Islam,
iklim dan keadaannya menjadi layak dan kondusif untuk menegakkan Daulah Islam
di Madinah dan mengaplikasikan Islam secara praksis.

Perubahan yang didambakan para pengemban dakwah tidak akan terwujud bila
mereka mengikuti jalan yang berliku-liku atau berupaya beradaptasi dengan kenyataan
yang rusak atau malah cari muka dan menjilat para pendukung kekufuran dan kesesatan.
Satu hal yang pasti -ketika para pengemban dakwah mulai bergerak terjun menyerukan
pola pikir Islam dan berinteraksi dengan masyarakat- mereka akan dihadang godaan dan
rayuan yang membujuk mereka agar berjalan sesuai kondisi yang rusak, menjilat orang-
orang kaya atau berdakwah mengharap kerelaan manusia. Kadang-kadang kesulitan dan
kesengsaraan membelokkan para pengemban dakwah dari tujuan suci mereka dan
mendorong mereka mencari sasaran dan tehnik yang malah menjerumuskan dakwah
mereka mundur dan surut ke belakang.
Al Qur’an telah menggoreskan pandangannya tentang fenomena ini ketika
menegur Rasul saw:
“Sesungguhnya hampir saja mereka memalingkan kamu (Muhammad) dari apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu berbuat yang lain dengan
mendustakan Kami, kalau sudah begitu tentulah mereka akan mengangkatmu
sebagai sahabat. Bila Kami tidak meneguhkan hatimu, niscaya kamu hampir
saja condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, Kami benar-benar
akan menimpakan siksa berlipat ganda di dunia dan di akhirat. Dan kamu tidak
akan mendapat seorang penolong pun dari siksa-Ku.”6
Para pengemban dakwah ideologis harus menyadari benar dan berhati-hati
terhadap cobaan dan ujian yang menghadang mereka, mereka harus menyadari bahwa
karakter benturan antara Islam dan kufur adalah benturan universal; benturan yang
meninggikan panji kebenaran dan melenyapkan kebatilan.

6
S. al Isra’ [17]:73-75.

154
“Katakanlah (wahai Muhammad): Kebenaran telah datang dan kebatilan telah
lenyap. Sesungguhnya kebatilan pasti musnah”7
Dan benturan yang mengalahkan dengan telak kekufuran dan orang-orang yang
mendukungnya:
“Sebenarnya kamu melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak
menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan
kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati Allah dengan sifat yang tidak
layak bagi-Nya.”8
Perbedaan antara Islam dan kufur adalah perbedaan anatra yang hak dan yang batil,
antara cahaya dan kegelapan, anatara hidayah dan kesesatan, antara kebaikan dan
kejahatan, antara surga dan neraka. Tidak ada kata kompromi untuk berdampingan
antara kedua kubu ini, tidak ada jalan untuk saling menawar dan tidak ada kesempatan
untuk bernegosiasi.
Rasul saw telah mencontohkan sejak hari pertama beliau menyebarkan
dakwahnya, kita lihat beliau berdakwah kepada masyarakat dengan mantap dan penuh
percaya diri, melawan kekufuran dan orang-orang kafir dengan lantang dan berani serta
berdakwah menantang terbuka, ajarannya jelas dan gamblang kata-kata dan tujuannya
yang tidak menyisakan keraguan sedikitpun; Rasul tidak terpengaruh dengan cobaan
dan ancaman yang datang bertubi-tubi. Al Qur’an turun dengan menganggap bodoh akal
orang-orang kafir, mencela sesembahan mereka dan mengkritik pola hidup mereka yang
rusak serta menghina adat istiadat dan tradisi mereka. Al Qur’an mengkritik berhala
mereka:
“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan
neraka jahana, kamu pasti akan terperosok kedalamnya.”9
“Maka apakah kamu patut menganggap al Lata dan al Udda . Dan yang ketiga
al Manah yang paling akhir (sebagi anak perempuan Allah). Ini tidak lain
hanyalah nama-nama yang diadakan kamu dan nenek moyangmu, Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun untuk menyembahnya. Mereka tidak lain

7
S. al Isra’ [17]:81.
8
S. al Anbiya’ [21]: 18.
9
S. al Anbiya’ [21]:98.

155
hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan keinginan hawa nafsu mereka,
Sungguh telah datang petunjuk dari Tuhan mereka.”10
Al Qur’an mengecam taklid buta mereka kepada nenek moyang dan pengkultusan
mereka terhadap ajaran-ajaran tersebut:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang diturunkan Allah,
mereka balik menjawab: Bahkan mengikuti apa yang kami dapati apa yang
nenek moyang kami kerjakan. Apakah (mereka akan tetap) mengikuti walupun
nenek moyang mereka tidak memahami ajaran tersebut dan tidak mendapat
hidayah.”11
Al Qur’an mencela para pembesar yang dalim sebagai berikut:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa. Harta dan
apa yang ia upayakan tidak memberi faedah kepadanya. Kelak, ia akan masuk
ke dalam api yang bergejolak.”12
Juga mencerca Walid bin Mughirah dan mengncamnya dengan siksa yang pedih:
“Dan jangnlah kamu ikuti setiap orang yang kerap bersumpah lagi hina. Yang
banyak mencela dan menghambur fitnah kesana kemari. Yang sangat enggan
berbuat baik, ynag melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain
itu juga terkenal kejahatannya. Karena dia mempunyai banyak harta dan anak.
Apabila dibacakan ayat-ayat Kami, ia berkata: “Ini adalah dongeng orang-
orang kuno.” Kelak akan Kami beri tanda di belalainya.”13
Ketika al Qur’an melihat betapa rusaknya interaksi-interaksi yang berlangsung,
misalnya tentang timbangan:
“Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Apakah mereka tidak tahu bahwa mereka akan dibangkitkan. Pada hari yang
agung”14

10
S. al Namj [53]:18-23.
11
S. al Baqarah [2]: 170.
12
S. Al Lahab[111]: 1-3.
13
S. al Qalam [68]: 10-16.
14
S. al Muthaffifin [83]: 1-5.

156
Disaat orang-orang kafir berusaha bernegosiasi dengan Rasul saw; mereka menawarkan
agar Rasul menyembah sesembahan mereka selama setahun dan mereka akan
menyembah Allah setahun pula, wahyu datang menolaknya dengan tegas:
“Katakanlah (hai Muhammad): Wahai orang-orang kafir. Aku tidak
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kalian bukan penyembah apa yang
aku sembah. Dan aku bukanlah penyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian
bukan penyembah apa yang aku sembah. Bagi kamu agamamu dan bagiku
agamaku.”15
Ayat-ayat diatas secara terperinci menegaskan perbedaan anatara Islam dan kufur dalam
segala dimensinya. Hanya ada kesesatan dibalik kebenaran. Ketika orang-orang kafir
menawarkan berbagai bujuk rayu kepada Nabi saw agar melepaskan dakwahnya, Rasul
saw menolaknya dengan tegas.

“Demi Allah, apabila mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan
di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan
meninggalkannya sehingga Allah memberi kemenangan atau aku binasa
karenanya.”16
Begitu pula metode para Nabi ulul admi sebelumnya. Renungkan firman Allah ini:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa ynag kamu sembah
selain Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata permusuhan dan
kebencian antara kami dan kamu selama-lamanya sampai kamu beriman hanya
kepada Allah.17
Dalam ayat yang mulia ini, tampak kejelasan sikap kaum mukminin yang ketat dengan
aqidah yang benar dihadapan setiap setiap yang bertentangan dengan keyakinan,
mafhum mereka yang telah pasti kebenarannya dan melangsungkan hidup di atas
landasan itu. Sayyid kita, Nabi Ibrahim as dan para pengikutnya mengumumkan
keterlepasan mereka secara total dari segala keyakinan, mafhum, adat istiadat hingga
kebenaran menang dan kebatilan lenyap.

15
S. al Kafirun [109]: 1-6.
16
Sirah Ibnu Hisyam, bab Permulaan Dakwah Rasul kepada Kaumnya dan Respon Mereka.
17
S. al Mumtahanah [68]:4.

157
Apabila para pengemban dakwah menempuh jalan ini dan menjual dirinya kepada
Allah semata, dan bertujuan demi meninggikan kalimat-Nya serta melaksanakan
syari’at-Nya, niscaya mereka tidak akan terkecoh dan tetap konsisten di jalan yang
dirumuskan Allah yang telah berfirman:

“Katakanlah: Ini adalah jalanku, aku menyeru kepada agama Allah dengan
hujjah yang nyata; aku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah
dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.18
Bila para pengemban dakwah melaksanakan hal-hal di atas, tidak diragukan lagi niscaya
Allah akan mewujudkan janji-Nya dan memberikan kemenangan-Nya. Firman-Nya:

“Jika kamu sekalian menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu
dan meneguhkan kedudukanmu.”19
Setelah penulis menguraikan dengan jelas karakteristik kedua sifat dakwah ini;
ideologis dan faktual dan kriteria pokok dan sifat apa saja yang harus dipenuhi dalam
dakwah ideologis, penulis akan berpindah meneropong fakta umat pada abad-abad ini
untuk melihat sejauh mana kontribusi kedua macam dakwah ini dan apa saja yang sudah
diwujudkan di lapangan masyarakat.
Sesudah institusi khilafah Islamiyah dihancurkan pada saat berakhirnya Perang
Dunia I, umat Islam dalam kesia-siaan dan kemunduran yang parah, setiap rakyat
dengan perkembangannnya dan kecenderungnnya merasakan hal ini. Umat Islam hidup
dibawah pencaplokan militer untuk waktu ynag lama dan tetap tertindas di bawah
kekuasaan penjajah yang memerintah negeri-negeri Islam dengan selain apa yang
diturunkan Allah. Pihak penjajah mengangkat pejabat-pejabat boneka, merampas
kekayaan negeri, menyebar luaskan kebudayaan, pemikiran dan peradabannya, berusaha
mencekoki pola hidup mereka terhadap umat dan terus menerus merusak akhlak
masyarakat agar umat mengacuhkan agama dan syari’at Islam.
Untuk merespon keaadaan di atas, para pendakwah muslim bergiat diri dan
melaksanakan berbagai aktivitas tanpa persiapan untuk menghadapi kenyataan yang
rusak. Para pendakwah itu tidak mempunyai mafhum (persepsi) yang jelas tentang
kebangkitan,mereka belum mengkaji secara mendetail konsep yang akan mereka
terapkan menuju kebangkitan dan metode yang akan mereka tempuh. Oleh karena itu,

18
S. Yusuf [12]:108.
19
S. Muhammad [47]:7.

158
mereka hanya membidik target-target yang remeh, kecil, mereka menempuh metode
yang berliku-liku tanpa program dan berganti-ganti setiap hari seiring dengan
bergantinya situasi dan kondisi. Metode aktivitas mereka dipengaruhi kenyataan rusak
sampai batas yang jauh dimana faktalah yang menentukan target, isu yang dilontarkan
dan metode amal mereka; mereka adalah pengemban dakwah faktual. Mari kita ambil
salah satu contoh, para pengemban dakwah faktual mengmbil konsep-konsep yang
datang dari Barat yang bertentangan dengan syari’at Islam dan pola pikirnya agar kita
melihat sikap mereka terhadap konsep-konsep itu. Mereka, yang seharusnya mengkaji
kepalsuan dan pertentangannya dengan Islam malah menelan mentah-mentah,
mengemban dan mengkompromikannya dengan ajaran Islam.
Sosialisme membuat peraturan yang bertentangan secara diametral dengan
peraturan Islam, di tangan mereka, sosialisme dipandang bagian dari Islam sampai taraf
sebagian buku-buku karangan mereka berjudul ’Sosialisme Islam’ dan berusaha
melontarkan tesis bahwa Islam adalah yang pertama kali mengusung ide sosialis.
Demokrasi yang berlandaskan aqidah ‘pemisahan agama dari kehidupan’,
memberikan hak kedaulatan bagi rakyat yaitu; melimpahkan wewenang membuat UU
dan peraturan kehidupan kepada rakyat, di tangan mayoritas mereka, demokrasi menjadi
bagian dari Islam. Mereka menggambarkan sistem pemerintahan Islam dengan
demokrasi. Rasul saw dan para al Khulafa’ al Rasyidun, mereka anggap sebagai orang-
orang yang demokratis dan mengklaim ‘syura’ sinonim dengan demokrasi dsb. Salah
satu diantara pernyataan mereka:
“Kita dituntut mengetahui masa kini dan perkembangannya, diantaranya adalah
demokrasi. Demokrasi adalah ekspresi kontemporer sebuah konsep yang kita
namakan dalam terminologi fiqh dan tsaqafah Islam dengan syura. Hikmah
adalah barang hak milik seorang mukmin yang hilang, jika ia menemukannya
maka ia lebih berhak memungutnya. Kita sebagai umat Islam menyambut
demokrasi sepenuh hati, mengokohkannya dan kita berpendapat bahwa Islam
menganggap demokrasi bagian dari Islam.20
Salah seorang aktivis muslim berkata:

“Kita selalu bersama-sama dengan demokrasi dengan segala dimensi dan


maknanya yang sempurna dan integral. Kita tidak berkeberatan dengan adanya

20
Koran ‘al Syarq al awsath’, 5,6,7,9, Februari 1990 M.

159
berbagai macam partai, rakyatlah yang memegang kekuasaan atas pola pikir dan
kepribadian individu.”21
Adapun konsep kebebasan yang lahir dari aqidah ‘pemisahan agama dari
kehidupan’, sebuah konsep yang mengkondisikan manusia bebas dari segala ikatan atau
standar yang memberikan hak pengelolaan sekehendak hati dalam kehidupan pribadi,
hak berpindah agama dan memeluk keyakinan apapun, hak memiliki apa yang ia
inginkan dan bagaimana ia mendapatkannya tanpa ikatan atau peraturan yang baku,
konsep kebebasan inidalam pandangan para pengemban dakwah faktual merupakan
dasar-dasar, maksud dan tujuan syari’at. Salah satu kitab yang disusun seorang aktivis
muslim berjudul ‘Kebebasan publik dalam Daulah Islam’. Pengarangnya berupaya
memaparkan hukum-hukum syar’i dengan menganalogikannya dengan negara
demokrasi kontemporer. Salah satu pemikirannya adalah kewenangan seorang wanita
menjadi khalifah atau hakim berlandaskan “keumuman ajaran Islam yang mendukung
persamaan pria dan waniata”22, padahal hadits Rasululah saw dengan jelas
mengharamkan seorang wanita menjadi penguasa urusan kaum muslimin yang
berbunyi: ‫لن يفلح قوم ولوأمرهم إمرأة‬
Artinya: Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat seorang wanita
sebagai pemimpinnya.23
Begitu pula pernyataan yang dilontarkannya berkaitan dengan ‘kebebasan beragama’
dalam Islam, ia menolak vonis bunuh bagi orang murtad dan mengklaim bahwa
dibunuhnya orang murtad pada masa Nabi adalah vonis yang bersifat ta’dir karena
keadaan politik saat itu menuntut hal tersebut.24
Contoh-contoh diatas baru sekelumit yang menyingkapkan kepada kita sejauh mana
para pengemban dakwah faktual terpengaruh pola pikir rusak yang mendominasi
masyarakat yang pada umumnya merupakan ekses negatif perang melawan
peradaban Barat.

Adapun sisi pandang mereka terhadap syari’at dan metode memahaminya juga
terpengaruh metode empiris Barat sampai titik yang fatal.

21
Majalah al ‘Alam, Edisi 123, 21 Juni 1986.
22
Rsyid Gnosyi, al Hurriyatul Ammah fi al Daulah Islamiyah, hlm.129.
23
HR. al Bukhari, Kitab al Maghadi, no. 4163.
24
Rasyid Gnosy, Op. Cit, hlm. 48-50.

160
Metode Islam dalam mengkaji, menerapkan dan memecahkan problem sbb:
Fakta tersebut dipahami substansinya secara mendalam, lalu dideteksi masalah yang
ingin dipecahkan dan manathul hukumnya (tempat bergantung hukum), kemudian
setelah itu nash-nash syar’i dan dalil-dalil yang berkaitan dengan fakta dipahami untuk
mengetahui hukum syar’i dan menerapkannya pada fakta tersebut. Melalui proses ini,
masalah sudah terpecahkan sesuai dengan syara’.
Akan tetapi para pengemban dakwah faktual (kaum faktualis) tidak mengikuti
metode ini, mereka mengambil solusi untuk memecahkan fakta dari fakta itu sendiri,
kemudian baru mereka menengok nash-nash syari’i untuk mencari dalil yang tepat
dengan solusi menurut fakta itu, walaupun hal tersebut memperkosa dalil dan hukum
syari’i agar sesuai dengan solusi tadi. Inilah yang menyebabkan mereka memperluas
sumber-sumber tasyri’ sehingga mencakup semua sumber hukum rumusan ushuliyyin
yang sebenarnya diperselisihkan, tanpa melihat sejauh mana kesahihan sumber-sumber
tadi. Sehingga ruang lingkup sumber hukum meluas dihadapan mereka untuk mencari
dalil melegitimasi konsep yang mereka emban atau solusi yang mereka adopsi atau
sikap yang mereka ambil. Sebagai tambahan keempat sumber hukum tasyri’ yang telah
disepakati jumhur ushuliyyin, yaitu; al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, kita lihat
mereka mengambil sumber yang tidak disepakati kesahihannya seperti istihsan,
maslahah mursalah, syar’u man qablana, ‘urf, fatwa ahahabat, akal dll. Kesemua dalil
itu masih mengandung keraguan (syubhat), namun malah mereka jadikan dalil asal
sesuai dengan tujuan mereka.
Kaum faktualis terdorong membuat kaidah-kaidah fiqh yang baru, berpegangan
dengan kaidah-kaidah yang lemah, sebagai tambahan terhadap kaidah-kaidah
yangtidak mengandung makna. Mereka mendeklamasikan kaidah:

‫ال ينكر تغير األحكام بتغير الزمان والمكان‬

Artinya: Perubahan hukum tidak diingkari seiring dengan berubahnya daman dan
ruang.

‫إن الشريعة مرنة ومتطورة‬

Artinya: Syari’at Islam itu elastis dan dinamis

‫حيثما تكون المصلحة فثم شرع هللا‬

161
ِِِِArtinya: Dimana ada maslahah, disitu pasti ada hukum Allah.

Setiap hal yang dipandang mereka maslahah maka mereka berhujjah dengan kaidah
ini untuk menetapkan hukum perkara tadi, mereka juga memaknai umum kaidah
“Adh dharuratu tubihu al mahdurat darurat memperbolehkan hal-hal yang
diharamkan”. Kaidah ini yang sebenarnya hanya mencakup kegentingan
dikhawatirakan binasa dan makanan yang diharamkan, mereka artikan secara general
mencakup hal-hal selain makanan hingga barang-barang non primer (lux).

Dengan jalan diatas, mereka dengan mudah memberikan solusi fakta apapun dengan
fenomena syara’. Contoh hal itu banyak. Penulis sebutkan diantaranya untuk
mencontohkan aktivitas sebagian ‘fuqaha’ gadungan ketika mereka melegalkan
campur aduk hukum. Mereka mengkaji dan memberi dalil-dalil yang
memperbolehkan berhukum selain dengan apa yang diturunkan Allah yang pada
intinya mereka berdalil dengan ‘syari’at sebelum kita’ dengan mengklaim bahwa
Nabi Yusuf as memerintah dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan
’maslahah’ dengan memandang bahwa berhukum dengan selain apa yang diturunkan
Allah berarti bermitra dengan para pejabat untuk mewujudkan kemaslahatan kaum
muslimin, mereka mengabaikan ayat-ayat qath’i yang mengharamkan berhukum
selain dengan apa yang diturunkan Allah. Lalu mereka juga mengklaim bahwa
keberadaan Najasyi di puncak kekuasaan Ethiopia adalah dalil bolehnya berhukum
selain dengan apa yang diturunkan Allah. Mereka lupa atau pura-pura melupakan
bahwa Najasyi menyembunyikan keislamannya karena ia tidak berani
mengumumkan keislamannya didepan rakyatnya dan rentang waktu antara
keislamannya dan wafatnya amat pendek sehingga Rasul tidak mengetahui keislaman
Najasyi kecuali pada hari meninggalnya (melalui informasi wahyu).25 Ketika
sebagian mereka membolehkan penerapan hukum syari’at secara bertahap, mereka
berdalil dengan turunnya wahyu berangsur-angsur pada masa Rasul saw padahal
yang dikaji adalah metode penerapan syara’ bukan metode turunnya al Qur’an.
Penerapan hukum syara’ termasuk perbuatan hamba sedang turunmya wahyu
termasuk perbuatan Allah ta’ala, bagaimana perbuatan hamba diqiyaskan dengan
perbuatan Allah.

25
Lih. Ahmad al Mahmud, al Da’wah ila al Islam, hlm. 308-315.

162
Begitu pula, para pengemban dakwah faktual berjalan beriringan dengan hawa nafsu
masyarakat, sependapat dengan pola pikir mereka dan tunduk kepada tujuan dan sisi
pandang masyarakat, disaat para pengemban dakwah ideologis menyadari masalah
umat sebenarnya dan berupaya mentransformasikan masyarakat dari kemunduran,
kehinaan yang tercermin dalam keterbelakangan pola pikir menuju kondisi
kebangkitan dan kemajuan dengan jalan menyebarkan tsaqafah Islam yang bersih
murni lagi sahih.

Genderang perang telah ditabuh; pertempuran antara para pendakwah ideologis dan
pemikirannya di satu sisi melawan pemikiran yang akut dan peraturan yang rusak di
sisi yang lain sehingga tampak di kaki langit kemenangan pemikiran yang sahih
aktivitas berlandaskan ideologi.

Dengan meletusnya peperangan ini, sebagian besar kelompok faktualis tercerai berai
dan mulai mengemban pemikiran kaum ideologis yang tampak semakin bersinar dari
hari ke hari. Kaum ideologis menjadi tempat bergantung cita-cita umat dan isu-isu
yang dilontarkan kaum fakktualis dianggap basi, konservatif dan sikap akomodatif
dengan fakta berupa pemikiran, keyakinan, kebudayaan dan sistem yang rusak.

Para pengemban dakwah ideologis mengkaji secara mendalam fakta yang hidup di
tengah masyarakat; pola pikir, emosi, sistem dan posisi politik setelah mempelajari
lebih dahulu konsep Islam yang murni bersih, terkristal dan pemahaman yang akurat
demi mengemban dakwah yang tercermin dalam perilaku Rasul saw. Mereka
bertekad terjun ke lautan pergulatan pemikiran demi mewujudkan kebangkitan umat
dan memulai kehidupan Islam. Mereka mengalami banyak hambatan dan kesulitan
berinteraksi dengan masyarakat untuk mempengaruhi dan mendorong umat
mengemban Islam sebagai sistem integral bagi kehidupan, masyarakat dan negara
dan agar melenyapkan sistem, pola pikir dan ideologi selain Islam serta agar
kehidupan Islami bisa ditegakkan dengan mengembalikan pemerintahan berdasarkan
apa yang diturunkan Allah dan agar umat Islam melakukan aktivitas dan berjuang
menempuhnya.

Interaksi berlangsung, para pendakwah ideologis pada mulanya menghantam dengan


sengit opini umum, keadaannya sama halnya keadaan setiap masyarakat yang
merintangi, menentang orang-orang yang melanggar adat istiadat, tradisi dan pola

163
hidup mereka. Akan tetapi halangan ini merupakan bukti keluhuran para pendakwah
ideologis diatas fakta yang rusak dengan pola pikir, emosi dan peraturannya. Hal ini
pula yang membuat betah para pengemban dakwah ideologis dan mengukuhkan
keyakinan mereka karena aktivitas mereka adalah untuk merubah masyarakat bukan
mereka yang dirubah masyarakat.

Para pengemban dakwah menentang setiap pemikiran asing, tsaqafah susupan dan
setiap kecenderungan yang berbeda dengan Islam. Mereka memahami dengan baik
hadits:

‫من أحدث في أمرنا هدا ما ليس منه فهو رد‬

Artinya: Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam uruan (agama) kami sesuatu
yang tidak berasal darinya, maka sesuatu itu tertolak.26

Disaat banyak para penulis menyusun buku-buku menisbatkan sosialisme,


demokrasi, sukuisme, nasionalisme dan kebebasan kepada Islam, kaum ideologis
berupaya menetapkan bahwa sosialisme adalah kufur, meragukan propaganda kaum
faktualis dan melunturkan kewibawaan mewreka di mata masyrakat serta
menjelaskan sisi buruk demokrasi; demokrasi sebenarnya racun dan bertentanngan
dengan Islam dari segi landasan dan perinciaannya, menyingkap aib sukuisme;
sukuisme sebenarnya adalah gerak mundur dan menjijikkan, menyingkap keburukan
dan kepalsuan nasionalisme, dan menjelaskan dengan gamblang bahwa jargon
kebebasan merupakan aib bagi umat yang mengemban aqidah seperti aqidah Islam.
Kaum ideologis berdiri mendeklamasikan keterlepasan total dari sistem buatan
manusia, pemisahan integral antara Islam dan non Islam dan menampakkan
kerusakan sistem, UU yang diberlakukan untuk mengatur urusan umat sebagai
representasi sabda Nabi saw:

“Ilmu ini akan disandang oleh orang-orang terbaik pada setiap generasi.
Mereka menepis penyimpangan kaum yang ekstrim, membongkar pemalsuan
ahli bathil danmematahkan takwil kaum yang jahil.”27

Mabda’ telah mengharuskan kepada para pengemban dakwah agar memeriksa


kejernihan dan kemurnian pemikiran dan tsaqafah yang mereka emban sebagai

26
HR. Muslim, Kitab al Aqdhiyah, 17.
27
HR. al Bayhaqi, Lih pula Misykah al Mashabih, M. Tibridi, Kitab al IIm, hadits no. 248.

164
seruan kepada umat. Merupakan kewajiban bagi para pengemban dakwah ideologis,
sedangkan mereka menyerukan dakwah kepada Islam; sistem dan hukum-hukumnya,
agar membersihkan aqidah mereka dari setiap noda dan racun yang ditebarkan sejak
sejarah Islam kuno sampai masa kontemporer. Mereka harus menggali sumber yang
murni dan jernih bagi hukum-hukum syara’ yaitu al Qur’an, Sunnah dan apa yang
ditunjukkan oleh keduanya secar qath’i berupa dalil-dalil tasyri’. Mereka wajib
berpegangan dengan kaidah-kaidah syar’i yang ditunjukkan dalil syar’i lewat istidlal
yang sahih dan menyelidiki hukum-hukum yang disandarkan kepada dalil yang lebih
kuat serta dalil terkuatlah yang menjadi tolok ukur ketika menimbang ijtihad satu
dengan lainnya, pendapat satu dengan pendapat lain tanpa memandang apakah hal itu
selaras dengan sistem yang berlaku dan fakta abad 20 M serta interaksi atau
hubungan-hubungan ala masyarakat kapitalis. Fakta bukanlah solusi
masalah/problem, maslahat bukan dalil hukum, peradaban abad 20 ‘peradaban
Barat’ bukanlah penengah ajaran dan hukum Islam. Sebuah ideologi (mabda’) tidak
diperkenankan mengadaptasi fakta yang rusak, masyarakat yang mundur dan
hubungn-hubungan ala kapitalisme. Bahkan faktalah yang seharusnya dirubah agar
sesuai dengan mabda’, yaitu selaras dengan tuntunan Islam, dan diatas pundak para
pendakwah terletak tanggung jawab merubah umat menjadi masyarakat Islam, hal itu
dengan jalan mengkondisikan benturan-benturan pemikiran dan informasi melawan
interaksi-interaksi yang rusak, pemikiran yang salah, perasaan yang menyimpang dan
sistem yang usang yang kini mendominasi umat. Hal ini tidak akan tercapai kecuali
dengan memegang teguh mabda; dengan segala aqidah, pemikiran, hukum dan
solusinya tanpa terkecoh sedikitpun dengan pemikiran selainnya. Mari kita ingat
kembali hadits Rasul saw yang berbunyi:

“Ingatlah, ruang lingkup Islam itu bundar, maka berputarlah bersama al Kitab
(al Qur’an) kemana ia berputar. Ingatlah, sesungguhnya al Qur’an dan
kekuasaan akan berpiah, maka janganlah kamu sekali-kali berpisah dengan al
Qur’an.28

Ketika para pendakwah ditanya tentang sistem pemerintahan dalam Islam, maka
mereka harus menjawab sistem khilafah dimana umat mewakilkan pelayanan urusn-

28
HR. al Hafidd al Haytsami dalam Majma’ al Dawaid, ia berkata: Hadits ini diriwayatkan al
Thabari.

165
urusannya kepada khalifah dengan jalan bai’at; seorang pria yang dilimpahi
kekuasaan yang sempurna agar memerintah dengan apa yang diturunkan Allah, yang
kelak ia akan dimintai pertangungjawaban dihadapan Allah di akhirat dan dihadapan
rakyat tentang pelayanan dan kebijakannya mengurus rakyat. Mereka harus
menjelaskan bentuk sistem pemerintahan tersebut sebagaimana yang ditunjukkan
dalil-dalil syar’i dan teladan yang diberikan Rasulullah, Muhammad saw, al khulafa’
al Rasyidun sepeninggal beliau dan sebagaimana yang tertulis di kitab-kitab
mu’tabar. Bukan dengan mengadopsi sistem pemerintahan lalu mencari-cari mana
sistem yang lebih dekat dengan substansi Islam lalu menamakannya sistem tersebut
sebagai Islami padahal itu adalah kebohongan dan kepalsuan sehingga mereka
berkata bahwa sistem pemerintahan Islam adalah demokrasi atau republik atau
parlemen.

Mereka berkewajiban menjawab ketika ditanya tentang sistem ekonomi Islam


dengan apa yang telah disinggung sekumpulan hukum syara’ yang berkaitan dengan
ekonomi dan harta yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh baik itu hukum mu’amalah
privat atau mu’amalah yang berkaitan dengan negara. Tidak mengapa
mensistematisir hukum-hukum ini dan membuat bab-bab dalam format yang
memudahkan merujuknya sehingga layak dihadapkan dengan sistem buatan
kontemporer. Namun tidak diperkenankan berkata, ketika pemikiran ekonomi liberal
di atas angin bahwa Islam, sistem ekonominya lebih dekat dengan sistem lliberal atau
dinyatakan, ketika seruan pemikiran sosialisme beredar bahwa Islam, sistem
ekonominya cenderung sesuai dengan kecenderungan sosialisme, atau dinyatakan
bahwa Islam adalah gabungan anatara sisi- sisi positif kedua sistem; liberal dan
sosialis.

Sesungguhnya mabda’ menyetir para pengembannya agar mengukuhkan


kebersihan Islam dari semua peraturan daan membuktika kekhasannya dari mabda’,
aliran, peraturan lain baik ditinjau dari asas landasannya atau sumber yang
melahirkannya atau kandungannya yang terjelma sebagai peraturan bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.

Ditinjau dari segi asas, asas sistem Islam adalah aqidah “la ilaha
illallah,Muhammadur Rasulullah”, sedangkan asas sistem kapitalis adalah aqidah

166
“pemisahan agama dari kehidupan” dan asas sistem sosialis-komunis adalah aqidah
“Tidak ada Tuhan dan kehidupan adalah materi”. Dari segi sumber, sumber sistem
Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad saw, firman-
Nya:

“Kemudian kami jadikan kamu diatas syari’at dari urusaan (agama) itu, maka
ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak kamu ketahui”29

sedangkan sumber sistem hukum positif (buatan) adalah akal manusia, hawa nafsu
dan kejeniusannya. Adapun dari sisi kandungannya , maka kitab-kitab fiqh, sejarah
Islam dan Daulah Islam adalah bukti-bukti hidup yang tak terbantahkan bahwa Islam
memiliki wadah peradaban, sistem peraturan dan pola hidup yang berbeda dan tidak
berkaitan sama sekali dengan peradaban manapun, bahwa Islam bersih, bebas dari
semua selainnya dengan jenis keterputusan yang belum pernah dikenang sejarah.

Begiitulah, para pengemban dakwah harus memegang teguh semua konsep Islam,
semua solusi dan peraturan hukum yang diberikan Islam. Mereka tidak dituntut
menjustifikasi hukum jihad, mereka tidak dipaksa melegitimasi poligami, hukum
thalaq dan hukum potong tangan dll. Namun mereka harus bangga karena
mengemban sistem teragung yang pernah dikenal umat manusia. Islam adalah
syari’at Allah yang dihidayahkan sebagai rahmat alam semesta.

Para pengemban dakwah dilarang mencari-cari hukum yang sesuai dengan fakta lalu
mengambilnya walaupun itu berupa ijtihad yang lemah atau disandarkan kepada
dalil-dalil yang lemah. Mereka tidak diperkenankan mentakwilkan nash-nash syar’i
agar sesuai dengan sustansi modernitas yang nota bene adalah pola peradaban Barat.
Tidak diperkenankan bgai mereka melepas sebagian hukum, memodifikasi atau
menyembunyikannya untuk menjilat penguasa atau mencari selamat dari
kejahatannya. Dan atau mengincar kedudukan atau harta dunia. Akan tetapi dakwah
adalah bersikap tegar dan kebenaran dimana para pengembannya akan memperoleh
kemuliaan dunia dan akhirat seidin Tuhan mereka.

Keteguhan kaum ideologis diatas metode dan sikap ini akan menyebabkan mereka
ditindas, dianiaya, dibunuh, diusir, dipenjara, diputus mata pencahariannya serta

29
S. al Jatsiyah [45]: 18.

167
dieksposnya informasi yang mengaburkan identitas mereka di mata masyarakat
sehingga masyarakat memandang meraka dengan kaku sebagian waktu. Hal itu
ditambah intimidasi materi dan informasi salah yang bertubi-tubi menimpa
pengemban dakwah dan orang-orang yang berkerumun disekitar mereka serta orang-
orang yang mendukungnya.

Cobaan, rintangan dan halangan tersebut tidak menyurutkan orang-orang yang


memeluk aqidah teragung dan bersabar demi meraih surga seluas langit dan bumi
mendarma baktikan hidupnya demi dakwah, memikul beban berat serta memandang
dakwah adalah tuntutan hidup dan mati. Mereka selalu mengingat firman Allah swt:

“Apakah kalian mengira akan masuk surga padahal belum datang kepadamu
ujian sebagaimana orangorang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa
malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan sehingga Rasul dan orang-
orang yang beriman bersamanya berkata: kapan pertolongan Allah datang?
Ingatlah, sesunguhnya pertolongan Allah itu dekat.”30

Hal-hal diatas sudah pernah dialami Rasul saw para shahabat, orang-orang yang
mendukungnya dan menjaga beliau. Kaum Quraisy pernah memboikot Bani Hasyim
karena mereka membela Rasul saw, memerangi setiap orang yang menolong atau
membantu seruan kebenaran atau memihak Islam. Masyarakat menjadi kaku
dihadapan Rasul saw, khalayak umum mengambil sikap wait and see menanti akibat
apa yang akan terjadi, namun Rasul tetap teguh berdakwah dan terus mencari lahan
dakwah yang subur hingga Allah memuliakannya dengan keimanan penduduk
Madinah, dengan hal ini terwujudlah pertolongan Allah kepada Rasul-Nya yang
mulia.

Kini, para pengemban dakwah ideologis, bila mereka bersabar tetap berdakwah,
kami melihat pintu-pintu peertolongan dibuka dengan cepat, umat akan mencetak
generasi baru yang tulus, yang sadar dan yang berpegang teguh dengan mabda’ dan
dakwah. Mereka akan menjadi cita-cita masyarakat sebagai penarik gerbong
perubahan. Lihatlah khilafah telah menjadi buah bibir masyarakat, kabar datangnya
pertolongan terpancar di kaki langit dalam keagungan yang baru, kalimat Allah lah
yang lebih tinggi diatas kalimat orang-orang kafir, Islam yang jernih dan murni

30
S. al Baqarah [2]: 214.

168
mengalir dalam nadi kehidupan umat, tidak ada dengan seidin Allah pengaruh
keterbelakangan dan kegelapan serta tidak ada suara meninggi selain generasi umat
ini yang ikhlas dan sadar.

Jerih payah yang sudah menetes tatkala berdakwah diatas rel yang digarisk,an
mabda’ demi mewujudkan kehidupan Islami pupus dengan tersiarnya kabar kelahiran
kebangkitan yang hakiki yang mengembalikan kelangsungan peradaban Islam,
kemuliaan dan keagungan umat, identitas masyarakat dan menara dunia.

Wahai umat terbaik yang lahir ditengah dunia, seruan itu ditujukan kepada kalian,
panggilan yang telah didengungkan Allah dalam firman-Nya:

“Wahai orang-oang yang beriman ,penuhilan seruan Allah dan Rasul-Nya bila Rasul
menyeru kamu kepada sesuata yang memberimu kehidupan. Ketahuilah bahwa Allah
membatasi antara seseorang dengan hatinya dan Hanya kepada-Nya kamu semua
dikumpulkan.”31

31
S. al Anfal [8]: 24.

169
DAFTAR PUSTAKA

Al Islam ka Badil, Murad Hoffman, (terj) Dr. Gharib M. Gharib, cet. I, Majalah al Nur

al Kuwaitiyah wa Muassasah Bafariya.

Al Islam ‘ala Muftaraq al Thuruq, M. Asad, (terj) Umar Farukh, 1987, dar al ‘ilm li al

Malayin, Beirut.

Al Islam wa al tahaddi al hadhari (artikel sepuluh cendekiawan Islam), Dar al Katib

al’Arabi, Beirut, 1992M/1412H.

A’lam al Fikr Al Siyasi, moris Cranston, cet. III, Dar al Nahar li al Nasyr, Beirut.

Bahjah al Ma’rifah, Mawsu’ah ‘ilmiyah Mushawwarah, al Syirkah al ‘Ammah li al

Nasyr wa altawji’ wa al I’lan.

Al Tafsir al Islami li al tarikh, Imad al Din Khalil, cet. V, 1991, Dar al Ilm li al

Malayin.

170
Talbis Iblis, al Hafid Imam abu al Faraj, Abd al Rahman ibn al Jauwdi al Baghdadi (w.

597 H), tahqiqoleh” ‘Isham Faris al harastani, al Maktab al Islami, Beirut, cet.

I, 1414H/1994M.

Jami’ bayan al Ilm wa fadhluh, al Imam abu Umar, Yusuf bin Abd al Barr al Qurthubi

(w. 462H), Idarah al Thiba’ah aljidiyyah, Mesir, tt.

Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, abu ‘Abd allah, Muhammad bin Ahmad al Anshari, al

Qyrthubi, dar al Kitab al ‘Arabi, Beirut, tt.

Al Hurriyah al ‘Ammah fi al Dawlah al Islamiyah, Rasyid al Gnosy, Markad dirasat al

Wahdah al ‘Arabiyah, Beirut, 1993.

Al Da’wah ila al Islam, Ahmad al Mahmud,cet. I, 1415H/ 1995M. dar al Ummah,

Beirut.

Sunan al Darimi, al Imam abd Allah bin ‘Abd al Rahman al Darimi al Samarqandi (w.

255H).

Al Sirah al Nabawiyah, Ibn Hisyam, (w. 213/218H), ta’liq wa al takhrij oleh: Dr. Umar

Abd aL Salam Tadammuri, Dar al Kitab al ‘Arabi, cet. IV, 1993 M.

171
Al Syakhsiyah al Islamiyah, J. I, Taqiy al din al Nabhani, cet. IV, 1994 M, Dar al

Ummah, Beirut.

Shahih al Bukhari, Imam al Hafid abu ‘Abd Allah, Muhmmad bin Isma’il al Bukhari (w.

256 H).

Shahih Muslim, Imm abu al Husain, Muslim bin al Hajjaj al Qusyairi al Naisaburi (w.

261H).

Al ‘aqd al Ijtima’i, JJ. Rousseau, (terj) Dduqan Qarqat, dar alQalam, Beirut.

Qishshah al Hadharah, Wall Durrant, (terj) sekumpulan pakar, Dar al Jil, Beirut.

Majma’ al Dawaid wa Manba’ al Fawaid, Al Hafid Nur al Din Ali bin Abu Bakar al

Haytsami (w. 807 H), Muassasah al Ma’arif, Beirut, 1406 H/ 1986 M.

Mukhtar al Shihah, Muhammad bin abi Bakar al Radi, Maktabah Lebanon, 1992 M.

Musnad al Imam Ahmad, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Diteliti ulang oleh

Shidqi al ‘Aththar, Dar alFikr, Beirut, Beirut, 1994 M.

172
Al Mawsu’ah al falsafiyah, Lembaga Akademis Uni Sovyet dibawah pengawasan M.

rosenthal dan B. Yodein, (terj) Sumair Karam, Dar al Thali’ah, Beirut, 1987.

Al Niddam al Iqtishadi fi al Islam, Taqy al din al Nabhani, cet. VI, 1990 Dar al Ummah,

Beirut.

Nihayah alTarikh wa al Insan al Akhir, Francis Fukuyama,diterjemahkan dibawah

pengawasan Mutha’ Shifdi, Markad al inma’ al Qawmi, Beirut, 1993M.

Al Wa’i (majalah), Jami’iyah Fikriyah Tsaqafiyah, diterbitkan oleh sekelompok insan


akademis Muslim di Libanon.

173

Anda mungkin juga menyukai