…hidup bukan hanya sekedar hitam dan putih, benar dan salah, iya dan tidak. Namun, juga bersama
ketidakjelasan abu - abu dan abstrak, sebuah persepektif, kebiasaan dogma dan paradigma yang paling
dominan ialah yang akan jadi pemenang. Entah itu salah maupun benar, namun yang paling jelas kedia
pengelompokkan tersebut mempunyai pendampingnya sendiri. Berbagai pertempuran terjadi dengan
bangsa sendiri, saudara setanah air, saudara sekeyakinan, pengadu dombaan argumen, penghasutan
pertempuran, perjanjian, pelanggaran, penghinaan, pujian, cemoohan, kematian, kehidupan. Semua
menjadi padu, semua hanya tentang waktu. Tapi, kapan mereka akan bersatu.
Pada tahun 1821, Belanda mengangkat James Du Puy dan dijadikannya residen di Minangkabau.
Sementara itu, Datuk Didi dan Tuanku Imam Bonjol bertemu di suatu tempat.
Fahmi : "Mengapa kita harus berpisah seperti ini Datuk? Bukannya kita ini sama"
Gipar : "Apanya yang sama?, Jelas kita ini berbeda! Kau dengan segala cerita omong kosong mu,
dan Awak dengan ajaran nenek moyang Awak."
Fahmi : "Tapi, kita bisa bersatu dengan adanya perbedaan."
Gipar : "Terserah kau imam. Tapi yang terpenting Awak sudah menyetujui perjanjian ini dan batas
kaum adat sudah ditentukan."
Fahmi : "Awak harap, ini memang yang terbaik untuk kaum adat."
Tetapi siapa menyangka, Belanda mengingkari perjanjian tersebut. Belanda juga melakukan
tindakan - tindakan yang kejam kepada penduduk Minangkabau yaitu dengan dipaksa kerja.
Sementara di kediaman Tuanku Imam Bonjol, Belanda masih terus mengupayakan perjanjian
damai dengan kaum Padri. Namun, karena sudah dikhianati di perjanjian Masang, kaum Padri
menjadi berhati-hati dalam melakukan perjanjian dengan Belanda. Belanda meminta bantuan
kepada seorang saudagar keturunan Arab yang bernama Sulaiman Aljufri untuk membujuk
tokoh-tokoh dari kaum Padri supaya bisa diajak berdamai.
Pablo : “Tuan dan nyonya, mari kita hentikan peperangan ini dengan mengadakan perjanjian
perdamaian kembali.”
Kayla : “Hah, tidak ! Kami tidak akan percaya lagi kepada kalian, kalian ini bangsa yang sangat
licik.”
Maikel : Tuan, nyonya, kolonial telah berjanji untuk selalu menepati persyaratannya karena
mereka telah belajar dari kesalahan mereka dulu, bukankah perdamaian itu indah? Tidak ada
korban karena perang lagi, percayalah pada mereka.”
Fahmi : “Bolehkah kami membaca surat perjanjiannya terlebih dahulu. ( membuka surat
perjanjian tersebut )
1. Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk
Sigandang, Agam, Bukitinggi, dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
2. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
3. Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang g sedang melakukan perjalanan
4. Secara bertahap Belanda akan melarang praktik sabung ayam.
Fahmi : “Tidak, saya tidak akan pernah menyetujui perjanjian itu.”
Kayla : “Apakah Belanda benar - benar akan menepati semua perjanjiannya ?”
Maikel : “Tentu saja.”
Kayla : “Baiklah saya setuju dengan Perjanjian Padang ini. ( menandatangani perjanjian tsb )
Maikel : “Apakah Tuan Imam Bonjol tidak setuju dengan perjanjian ini, seperti yang terlihat
mereka sudah menyetujui perjanjian ini.”
Fahmi : “Tidak, saya tidak akan pernah menyetujui perjanjian itu. Mohon hargai keputusan
saya.” Dan benar saja, lagi - lagi Belanda mengingkari perjanjian tersebut dengan masih
memberlakukan kerja rodi kepada penduduk Minangkabau. Belanda juga membangun Benteng
Fort van der Capellen di Batusangkar dan Benteng Fort De Kock di Bukit Tinggi untuk
memperkuat kedudukannya di Sumatera Barat. Belanda juga melakukan tindakan - tindakan yang
kejam kepada penduduk Minangkabau yaitu dengan dipaksa kerja.
Beberapa waktu kemudian, Datuk Didi pergi pergi melewati perbatasan untuk bertemu Imam
Bonjol.
Gipar : “Awak menyesal telah mengikuti perjanjian itu, kini sekarang kaumku sering mengadu
bahwa Belanda sering memaksa mereka untuk bekerja keras.”
Fahmi : “Sekarang kau sudah lihat kan, apa yang dilakukan Belanda kepada penduduk sekitar.
Mereka hanya memanfaatkan kita dari awal, tetapi kau tidak pernah menyadarinya. Sekarang
bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?”
Gipar : “Awak percaya ketika awak melihatnya, dan maafkan awak telah percaya kepada mereka.
Kini kita hanya bisa mengusirnya, tapi bagaimana caranya ?”
Fahmi : “Baik, mari sekarang kita usir orang Belanda tersebut. Sekarang kau kumpulkan semua
pengikutmu.”
Gipar : “Baik”
Fahmi : “Kita bisa bertemu di dekat peristirahatan Belanda, awak akan membawa pasukan awak.
Jika kita kalah, jangan sampai kita tertangkap oleh Belanda, sebisa mungkin kita lari.”
Setelah pertemuan itu, Tuanku Imam Bonjol dan Datuk Didi akhirnya berencana untuk
melakukan penyerangan kepada Belanda. Dalam peperangan ini, Belanda mengalami kesulitan
menghadapi kedua golongan tersebut.”
Fahmi : “Datuk, apakah semua sudah berkumpul ?”
Gipar : “Sudah.”
Fahmi : “Apakah kalian siap?
Kayla : “Siap !”
Fahmi : “Serang sekarang !”
Aisha : “Tuan, kita diserang ! Sebaiknya kita kabur sebelum mereka datang dan membunuh kita.”
Pablo : “Kau ikutlah denganku !”
Setelah lama bersembunyi, James pun mengirim Karina untuk meminta bantuan kepada pihak
Belanda yang berada di Pulau Jawa.
James : “Huh, kita telah mengalami kekalahan ! Jika kedua kaum tersebut bersatu, mereka sangat
kuat, kita harus meminta bantuan ke prajurit yang ada di Pulau Jawa.”
Kayla : “Baik tuan.”
Sesampainya di Pulau Jawa,
Kayla : “Lapor, saya dikirim oleh Kapten James untuk meminta bantuan karena pasukan telah
gugur melawan rakyat Sumatera.”
Maikel : “Alright, kau kembalilah malam ini. Kita akan ke Pulau Sumatera dan membawa
pasukan yang akan ikut denganmu.”
Kayla : “Oke, terima kasih tuan.”
Sesampainya di Pulau Sumatera Barat, ……
Kayla : “Tuan, saya sudah membawa pasukan bantuan dari Pulau Jawa.”
Pablo : “Bagus, besok kita akan menyerang kedua kaum itu tanpa ampun.”
Kayla : “Baik tuan.”
Keesokan harinya, perang pun terjadi kembali. Setelah mendapat bantuan dari pihak Belanda dari
Pulau Jawa, Belanda berhasil menguasai Pulau Sumatera Barat, tetapi Tuanku Imam Bonjol dan
pengikutnya berhasil meloloskan diri dari pihak Belanda dan melanjutkan perjuangannya.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tapi
pada saat itu juga, Tuanku Imam Bonjol ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Cianjur,
kemudian ke Ambon, lalu ke Lotak, Minahasa, dekat Manado.
Pablo : “Hei, kematianmu kini sudah ada di tanganku, di tangan kami para penguasa. Ah, tidak,
wilayah dan kaummu kini sudah ada di tanganku.”
Fahmi : “Hidup dan mati kami sudah ditentukan oleh Tuhan kami yaitu Allah SWT.”
Pablo : “Betul, Tuhanmu kini bukankah saya? Hah?! Saya yang dapat memastikan kau hidup dan
mati.”
Fahmi : “Bukankah kalian dapat memberi? Tapi mengapa kalian selalu meminta. kalian adalah
bangsa pengemis.”
Pablo : “Kau sebut bangsa kami adalah pengemis? Lalu bangsa kalian ini apa hah?! Dasar bangsa
sampah ! Perlakuan kalian yang salah ! Jika kalian menuruti kami, kalian akan hidup dengan
damai !”
Fahmi : “Itu bukan damai, namun pasrah ! Kata pasrah tak akan pernah ada dalam kamus kami,
perjuangan kami tak akan pernah padam walaupun aku harus mati. Dan seandainya aku mati
disini, maka kematianku adalah awal dari kekalahanmu, James !”
Tuanku Imam Bonjol meninggal pada tanggal 6 November 1864. Beliau dimakamkan di Minahasa
dan Sumatera Barat ( Minangkabau ) pun menjadi milik Belanda.