Patofisiologi Nyeri
Patofisiologi Nyeri
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
REFARAT
PATOFISIOLOGI NYERI
Oleh:
Lista Yul Zamrul
10119210030
Halaman
DAFTAR ISI................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................4
2.1 Definisi Nyeri........................................................................................4
2.2 Klasifikasi Nyeri....................................................................................4
2.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri ................................................................7
2.4 Patofisiologi Nyeri................................................................................9
2.5 Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri...................................................13
2.6 Pengukuran Intensitas Nyeri................................................................16
2.7 Diagnostik Nyeri..................................................................................18
2.8 Mekanisme Kerja Obat Analgetik........................................................19
2.9 Manajemen Nyeri.................................................................................19
2.9.1 Manajemen Farmakologis.........................................................19
2.9.2 Manajemen Non Farmakologis.................................................29
BAB III KESIMPULAN............................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................31
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau
penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping
seminimal mungkin. Pereda nyeri pascaoperasi haruslah mencerminkan kebutuhan masing-
masing pasien dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor.
Faktor-faktor tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related faktor dan faktor
lokal. Pada analisa akhir, ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari pereda nyeri pasca
operasi adalah persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit.1
Efektivitas dari pereda rasa nyeri pasca operasi adalah sangat penting untuk menjadi
pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani operasi. Hal ini
awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian ditemukan bahwa dengan
adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akan
menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan
pasca operasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga
dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Nyeri viseral
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi
otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi
terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan
keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ
lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot
polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter.
Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin
iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih
dari jaringan.
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi
nyeri visceral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri
alih parietal. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis
yaitu:3
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul
dan sulit dilokalisasi
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara
serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara
lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.
(orde 2).
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3).
Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas
• Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,
ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris
(termasuk withdrawl respon).
• Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat
A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk).
Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan,
baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior.
Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan
serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi.
Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian
pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat,
sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang
merupakan polipeptida.3
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel
mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.3,4
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion
kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk
siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan
prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor
tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan
nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai
dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak.
Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada
daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi
perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian
merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan
anti enzim siklooksigenase.
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral
juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses
ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam
beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif
kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat
stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis.
Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut.
Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu
stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir
dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron
pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi
atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis
terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif
responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic
range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-
noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field,
sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi.
7
Gambar 2.7. Faces Pain Scal
2.7 DIAGNOSTIK NYERI
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik nyeri
sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi
langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu
pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian
diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk
menegakkan diagnosa nyeri tidak ada.7,10
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan sebelum
pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan
nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam
setelah pemberian peroral.
• Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana
kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk
mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri
yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu.
intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan
pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang
penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.
• Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus
simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come
scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia,
hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan
nyeri neurogenik.
• Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging
seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.5,6
Tabel 3. NSAIDs
Daily dose
Drug name Forms available Half life (h)
range
Mefenamic
Tablet, capsule 1500mg 4
acid
Opioid Lemah
Codeine
Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti
morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat
diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga
sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-
hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan
kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam
dengan maksimum 300 mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara struktural
berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal
ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan
yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam
kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum
300mg setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di
perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang
berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:
Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4 jam sampai
maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g
secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum
4 dosis dapat digunakan3
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin. Tramal dapat
diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400
mg per hari.6
Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada
pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti
morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak
dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan.3
Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat.
Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan, dan takikardi.
Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter
Oddi lebih ringan.
Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang tidak ada
hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Sedangkan
morfin tidak.
Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.6
Fentanyl
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3
µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya
digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.6
Anestesi Lokal
Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik anestesi
lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk
memberikan pain relief yang efektif.5
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan
infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di
bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut.5
Max. single
% solution %
dose mg/kg.
for Duration solution
Agent (Total mg in Comments
analgesic (hours) for
adults* see
blocks infusion
footnote)
Lignocaine
Mepivacaine
Prilocaine
Bupivacaine
Chloroprocaine
Lowest systemic
toxicity of all agents.
Infiltration 1 0.5-1 14 -
Motor / sensory deficits
may follow intrathecal
injection.
1. Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
2. Nyeri paska operasi termasuk nyeri akut yang bila tidak tertangani dengan baik bisa
mengarah kepada nyeri kronik.
3. Ada 4 tahap dalam fisiologi nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi
4. Penilaian skala nyeri bisa dilakukan berdasarkan beberapa skala
5. Manajemen nyeri paska operasi bisa dilakukan melalui manajemen farmakologis dan
non farmakologis
DAFTAR PUSTAKA
4. Reddi D, Curran N. Chronic Pain After Surgery: Pathophysiology, Risk Factors and
Prevention. Postgraduate Medical Journal. 2014;90:222–227.
5. Suseno E, Carrey M, Jonathan YE, et al. Pencegahan Nyeri Kronis Pasca-Operasi. J
Maj Ked. Andalas. 2017:40(1);40-51