Anda di halaman 1dari 16

KOMA DAN TATALAKSANANYA

Oleh:
Lista Yul Zamrul
10119210030

Pembimbing:
Dr. Mawardy Anwar, Sp.An

BAGIAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Kesadaran merupakan kondisi sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan. Kesadaran
terdiri dari 2 aspek yaitu bangun (wakefulness) dan ketanggapan (awareness). Kesadaran diatur
oleh kedua hemisfer otak dan asending reticular activating system (ARAS), yang meluas dari
midpons ke hipotalamus anterior. Gangguan pada hemisfer serebri atau ARAS dapat
menimbulkan gangguan kesadaran.1
Ketidaksadaran adalah keadaan tidak sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan dan
dapat bersifat fisiologis (tidur) ataupun patologis (koma atau keadaan vegetatif). Penyebab
kesadaran menurun beragam dengan karakteristik masing-masing. Banyak dari penyebab
penurunan kesadaran merupakan ancaman jiwa yang membutuhkan intervensi yang cepat,
karena berpotensi terhadap morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perubahan fisiologis yang
terjadi pada penderita dengan gangguan kesadaran antara lain pada pemenuhan kebutuhan dasar
yaitu gangguan pernapasan, kerusakan mobilitas fisik, gangguan hidrasi, gangguan aktivitas
menelan, kemampuan berkomunikasi, gangguan eliminasi.1,2
Bergantung pada beratnya kerusakan, gangguan kesadaran dapat berupa apatis, delirium,
somnolen, stupor atau koma. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau
keadaan “unarousable unresponsiveness” yaitu keadaan dimana dengan semua rangsangan,
penderita tidak dapat dibangunkan. Dalam bidang neurologi, koma kegawatdaruratan medik
yang paling sering ditemukan atau dijumpai. Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu
keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor serta membutuhkan tindakan
penanganan yang cepat dan tepat, sebab makin lama koma berlangsung makin parah keadaan
susunan saraf pusat sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan sempurna.
Gangguan kesadaran dapat disebabkan oleh beraneka ragam penyebab baik primer intrakranial
ataupun ektrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural atau metabolik di tingkat korteks
serebri, batang otak atau keduanya.3
Penanggulangan koma sangat tergantung pada patologi dasarnya serta patofisiologi
gangguan kesadaran. Hal ini sangat sulit, apalagi jika riwayat penyakit dan perkembangan gejala
fisik sebelumnya tak jelas diketahui.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan
“unarousable unresponsiveness”, yaitu keadaan dimana dengan semua rangsangan,
penderita tidak dapat dibangunkan.4 Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu
keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor serta membutuhkan
tindakan penanganan yang cepat dan tepat, sebab makin lama koma berlangsung makin
parah keadaan susunan saraf pusat sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya
penyembuhan sempurna.5
Kesadaran adalah suatu kondisi seseorang dengan tingkat awareness terhadap diri
yang baik dan dia mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kesadaran terdiri atas
arousal (Kemampuan berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan dalam kondisi bangun
penuh) dan awareness (kemampuan untuk menerima dan memahami isi stimulus).
Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di
klinik yaitu kompos mentis, delirium, somnolen, stupor, dan koma. Terminologi tersebut
bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara
kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow. 5
Tingkat kesadaran kualitatif :
1. Compos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca
indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh
rangsangan baik dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam
keadaan awas dan waspada.
2. Delirium berarti gangguan kesadaran dengan disertai penurunan kemampuan
untuk mempertahankan fokus atau mengalihkan perhatian yang ditandai dengan
adanya perubahan kognisi atau mengalami gangguan persepsi. Gangguan terjadi
dalam jangka waktu yang singkat.
3. Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti mengantuk, mata
tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih
dapat menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan
orientasi terhadap sekitar menurun.
4. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup, dengan
rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata.
Motorik hanya berupa gerakan mengelak tehadap rangsang nyeri.
5. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan
“unarousable/unresponsiveness”,yaitu keadaan dimana dengan semua rangsangan,
penderita tidak dapat dibangunkan. Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama
sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara,maupun reaksi motorik.3
Tingkat kesadaran kuantitatif: 3
1. Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/Mata (E), Pemeriksaan
Motorik (M) dan Verbal (V);
2. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata: E1 tidak membuka
mata dengan rangsang nyeri;
3. E2 membuka mata dengan rangsang nyeri E3 membuka mata dengan rangsang suara
E4 membuka mata spontan;
Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk Motorik: 3
1. M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri M2 reaksi deserebrasi
dengan rangsang nyeri;
2. M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri;
3. M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran M5 reaksi
menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran;
4. M6 reaksi motorik sesuai perintah;
Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk Verbal: 3
1. V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none) V2 respon
mengerang dengan rangsang nyeri (sounds);
2. V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words);
3. V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused);
4. V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated).

B. Etiologi

Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat atau dibuat jembatan keledai
menjadi kalimat “SEMENITE”. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat membedakan
manakah yang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma diensefalik.4
1. S : Sirkulasi – gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark);
2. E : Ensefalitis – akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dan lain-lain;
3. M : Metabolik – akibat gangguan metabolik yang menekan/mengganggu kinerja
otak. (gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dan sebagainya);
4. E : Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium);
5. N : Neoplasma – tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan
penekanan intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat (papiledema,
bradikardi, muntah);
6. I : Intoksikasi – keracunan;
7. T : Trauma – kecelakaan;
8. E : Epilepsi.

C. Pemeriksaan Pasien Koma


Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses
patologi, apakah di hemisfer, batang otak atau di keduanya, dan penyebabnya.
1. Anamnesis
Sangat penting tapi jarang bisa didapat. Penyebab koma seringkali dapat ditentukan
melalui anamnesis perjalanan penyakit melalui keluarga, teman, personel ambulan,
atau orang lain yang terakhir kontak dengan pasien dengan menanyakan:
a. Kejadian terakhir
b. Trauma
c. Riwayat medis pasien
d. Riwayat psikiatrik
e. Obat-obatan
f. Penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol.

2. Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan
melalui pemeriksaan fisik:
a. Tanda vital: hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial
dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi
b. Kulit: tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness (
keracunan CO), atau kuning
c. Napas: alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
d. Kepala: tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
e. THT: otorea atau rinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan
serangan kejang.
f. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine):
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.

3. Pemeriksaan saraf

a. Observasi, posisi tidur: alamiah atau posisi tertentu. Menguap, menelan,


berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang tergantung (mulut
terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.

b. Derajat kesadaran ditentukan dengan GCS.


c. Pengamatan pola penapasan
1) Bentuk Cheyne-Stokes atau periodic breathing
Pola pernapasan seperti ini disebabkan oleh proses patologik di hemisfer
dan / atau batang otak bagian atas (pedunkulus serebri);
2) Central neurogenic breathing (istilah lama: pernapasan Kussmaul/Biot)
Pola pernapasan seperti disebabkan oleh proses patologik di tegmentum
(batas antara mesensefalon dan pons). Letak proses ini lebih kaudal bila
dibandingkan dengan proses patologik yang menimbulkan pola pernapasan
Chyene-Stokes;
3) Pernapasan apneustik: inspirasi dalam kemudian diikuti berhentinya napas
pasca-ekspirasi;
4) Pernapasan ataksik: pernapasan yang cepat, dangkal dan tak teratur
Pola pernapasan seperti ini biasanya tampak ketika formasio retikularis
bagian dorsomedial medula oblongata terganggu. Pola pernapasan seperti ini
sering tampak pada tahap agonal, sehingga dianggap sebagai tanda menjelang
kematian;
d. Kelainan pupil
1) Pemeriksaan pupil terutama pada pasien koma sama nilainya dengan
pemeriksaan tanda vital lainnya;
2) Bila pupil tampak sangat kecil (pin point) maka diperlukan kaca pembesar;
3) Sebelum diperiksa dengan teliti maka mata jangan ditetesi midriatikum;
Yang harus diperiksa meliputi:
a) Besar / lebar pupil;
b) Perbandingan lebar pupil kanan dan kiri ;
c) Bentuk pupil;
d) Refleks pupil terhadap cahaya dan konvergensi;
e) Reaksi konsensual pupil;
e. Gerak dan / atau kedudukan bola mata
1) Deviasi konjugat
a) Kedua bola mata melirik ke samping, ke arah hemisfer yang terganggu;
b) Ukuran dan bentuk pupil normal;
c) Refleks cahaya positif;
d) Bila gangguan pada area 8 lobus frontalis;
2) Proses di talamus
a) Kedua bola mata melirik ke hidung;
b) Pasien tidak dapat dapat menggerakkan kedua bola mata ke atas;
c) Pupil kecil dan refleks cahaya negatif;
3) Proses di pons
a) Kedua bola mata berada di tengah;
b) Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka tidak terlihat gerakan
bola mata ke samping (dolls eye manoever yang abnormal);
c) Pupil sangat kecil, reaksi terhadap cahaya positif (dilihat dengan kaca
pembesar);
d) Kadang-kadang tampak adanya ocular bobbing;
4) Proses di serebelum
a) Pasien tidak dapat melihat ke samping;
b) Pupil normal (bentuk dan reaksi terhadap cahaya);
f. Refleks sefalik batang otak
1) Refleks pupil (mesensefalon)
a) Refleks cahaya, refleks konsensual dan refleks konvergensi
b) Pada pasien koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan konvergensi
c) Bila refleks cahaya terganggu berarti ada gangguan di mesensefalon
(bagian atas batang otak)
2) Doll’s eye manoever
a) Bila kepala pasien digerakkan ke samping maka bola mata akan bergerak
ke arah yang berlawanan;
b) Refleks negatif bila ada gangguan di pons;
3) Refleks okulo-auditorik. Bila telinga pasien dirangsang dengan suara yang
keras maka pasien akan menutup matanya (auditory blink reflex);
4) Refleks okulovestibular (pons)
a) Bila meatus akustikus eksternus dirangang dengan air panas (44 0C) maka
akan terjadi gerakan bola mata cepat ke arah telinga yang dirangsang;
b) Bila tes kalori ini negatif berarti ada gangguan di pons;
5) Refleks kornea. Bila kornea digores dengan kapas halus maka akan terjadi
penutupan kelopak mata
6) Refleks muntah (medula oblongata). Dinding belakang faring dirangsang
dengan spatel maka akan terjadi refleks muntah
g. Reaksi terhadap rangsang nyeri
1) Tekanan di atas orbita, jaringan di bawah kuku jari tangan, atau tekanan pada
sternum;
2) Reaksi yang dapat dilihat:
a) Gerakan abduksi, seakan-akan pasien menghalau rangsangan; ini
menandakan bahwa masih terdapat fungsi hemisfer (high level function);
b) Gerakan aduksi, seakan-akan pasien menjauhi rangsangan (withdrawal);
ini berarti bahwa masih terdapat fungsi tingkat bawah;
c) Gerakan fleksi lengan dan tungkai; ini berarti bahwa terdapat gangguan di
hemisfer;
d) Kedua lengan dan tungkai mengambil posisi ekstensi (rigiditas
deserebrasi); hal ini berarti bahwa terdapat gangguan di batang otak;
h. Fungsi traktus piramidalis
1) Traktus piramdalis merupakan saluran saraf terpanjang dan karena itu itu amat
sering terganggu pada suatu kerusakan struktural susuna saraf pusat;
2) Bila tidak dijumpai gangguan traktus piramidalis maka kita harus mencari
penyebab koma ke arah gangguan metabolik;
3) Gangguan traktus piramidalis dapat diketahui dari:
a) Kelumpuhan
- Dengan rangsangan nyeri, ada gerakan lengan / tungkai atau tidak
- Menempatkan lengan / tungkai dalam kedudukan sulit;
- Menjatuhkan lengan / tungkai dan membandingkan lengan / tungkai
kanan dan kiri; ekstremitas yang lumpuh akan jatuh lebih cepat dan
lebih berat.
b) Refleks tendon
- Pada tahap akut di sisi kontralateral lesi akan terjadi penurunan refleks;
- Pada tahap pasca-akut di sisi kontralateral lesi muncul peningkatan
refleks;
c) Refleks patologik
Dijumpai refleks patologik di sisi kontralateral lesi, di di tangan mau pun
di kaki.Tanda refleks patologis yang paling terkenal dan mudah
ditimbulkan adalah refleks Babinsky di tapak kaki.
d) Tonus
- Pada tahap akut di sisi kontralateral lesi dijumpai penurunan tonus;
- Pada tahap pasca-akut di sisi kontralateral lesi dijumpai peningkatan
tonus;

4. Pemeriksaan Penunjang
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien
dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus
segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain:
a. CT atau MRI scan Kepala: pemberian kontras diberikan apabila kita curigai
terdapat tumor atau abses. Mintakan print out dari bone window pada kejadian
trauma kepala.
b. Punksi Lumbal: dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat
ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
c. EEG: bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui
pemeriksaan CT dan LP.

D. Pengelolaan Pasien Koma


1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying
lesions/ SOL) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan
pertamanya:
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 – 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau
abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan
asiklovir 10 mg/kg iv tiap 8 jam.
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan
ceftriaxon 2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur.

Terapi Umum :
1. Proteksi jalan nafas: adekuat oksigenasi dan ventilasi;
2. Hidrasi intravena: gunakan normal saline pada pasien dengan edemaserebri atau
peningkatan TIK;
3. Nutrisi: lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube,
hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan
refluks;
4. Kulit: hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan
gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin danpelindung tumit;
5. Mata: hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan
plester;
6. Proteksi jalan nafas: adekuat oksigenasi dan ventilasi;
7. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur;

Hal yang perlu Dipikirkan


Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada
beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu:8
1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut?
2. Apakah jalan napas baik?
Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang
disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi
karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT)
dengan intubasi merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas
baik dan oksigenasi yang adekuat. Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam
atau adanya tanda gangguan respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi
untuk melakukan intubasi. Pada pasien stupor dengan pernafasan yang normal
dapat kita berikan 100% oksigen dengan face mask sampai hipoksemia tidak
kita temukan.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit
sekarang dan dahulu baik medis maupun neurologis.
4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya?
Orang tua, kerabat, teman, personil ambulans, atau orang lain yang terakhir kali
kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk
menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan
terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain:
1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi bila
telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS) ataupun
Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang jalur intrravena (iv line). Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan
glucose stick. Hal ini harus dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia
merupakan kasus yang dapat ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau
koma yang dapat disertai keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma).
Lakukan pemeriksaan darah antara lain :
a. Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum, kreatinin)
b. Hitung darah lengkap
c. Analisa gas darah
d. Kalsium dan magnesium
e. Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)
3. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi, tes
fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.
4. Lakukan pemasangan folley catheter
5. Lakukan pemeriksaan urinalisa, EKG dan rontgen thoraks.
6. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan ’dilapangan’ atau bila etiologi
dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya:
a. Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan pasien
dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut (Wernicke
ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian dekstrose karena
hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin yang berlebihan dan
memperburuk keadaan pasien.
b. 50% dekstrose 50 ml (1 ampul) iv, Naloxone (Narcan) 0.4–0.8 mg iv, pada
keadaan koma yang disebabkan intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai
10 mg. Flumazenil (Romazicon) 0.2–1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang
koma dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat diberikan hingga
3 mg dan jangan diberikan bila telah terjadi kejang pada pasien, karena
flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.
Penanggulangan edema serebri dan peninggian tekanan intrakranial
Sejumlah proses (trauma, perdarahan, infark, tumor dan sebagainya) akan
mengakibatkan edema serebri yang meninggikan tekanan intrakranial dan
menyebabkan herniasi jaringan otak. Dalam banyak hal, bertambah buruknya keadaan
disebabkan edema serebri dan edema ini kemungkinan besar adalah reversibel. 7,8
Pengobatan edema serebri merupakan tindakan penyelamatan hidup, sampai
dicapainya pengobatan yang mengoreksi proses patologi spesifik., yaitu:8
1. Hindari cairan hipotonik;
2. Hiperventilasi;
3. Mannitol 20% dosis 1.0 gr/kg IV dihabiskan dalam waktu 10-30 menit. Diulang
12 jam kemudian. Pemberian lebih dua kali kurang efektif. Efek antiedema
serebrinya segera dan berakhir setelah beberapa jam;
4. Steroid. Dexamethason dosis 10-100 mg IV dan kemudian 4 mg IV tiap 6 jam.
Efek antiedema serebrinya dimulai dalam 4-6 jam dan maksimal pada 24 jam;

E. Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi obat
lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan struktur
intrakranial. Kemungkinan penyembuhan dari koma yang dalam selama lebih dari
beberapa jam sulit diramalkan. Jika penyebabnya adalah cedera kepala, bisa terjadi
penyembuhan, bahkan jika koma berlangsung selama beberapa minggu (tetapi tidak
lebih dari 3 bulan). Penyembuhan total setelah mengalami koma selama 1 bulan
karena jantung berhenti atau karena kekurangan oksigen, jarang terjadi. Kadang setelah
mengalami cedera kepala, kekurangan oksigen atau kerusakan otak yang berat,
penderita bisa masuk ke dalam status vegetatif.
Pola tidur dan terjaga relatif normal, penderita bisa bernafas dan menelan secara
spontan dan bahkan bisa memberikan reaksi yang mengejutkan terhadap suara keras.
Tetapi penderita kehilangan seluruh kemampuan berpikir dan perilaku sadarnya, baik
untuk sementara waktu maupun selamanya. Sebagian besar penderita memiliki refleks
abnormal yang khas, seperti kekakuan atau sentakan pada lengan dan tungkainya.
Status locked-in adalah suatu keadaan yang jarang terjadi, dimana penderita
sadar dan mampu berfikir tetapi mengalami kelumpuhan hebat, sehingga hanya bisa
berkomunikasi dengan cara membuka atau menutup matanya.
Hal ini bisa terjadi bersamaan dengan kelumpuhan saraf tepi yang berat atau
dengan stroke akut. Kehilangan kesadaran yang paling berat adalah kematian otak. Pada
keadaan ini secara permanen otak telah kehilangan seluruh fungsi vitalnya, termasuk
kesadaran dan kemampuan mempertahankan pernafasan. Tanpa bantuan respirator dan
obat-obatan, penderita akan segera meninggal. Secara hukum seseorang dikatakan
meninggal jika otaknya telah berhenti berfungsi, meskipun jantungnya masih
berdenyut. Dokter dapat menyatakan kematian otak dalam waktu 12 jam setelah
berusaha memperbaiki semua kelainan medis, tetapi otak masih tidak memberikan respon,
mata tidak bereaksi terhadap cahaya dan penderita tanpa bantuan respirator penderita
tidak bernafas. EEG (elektroensefalogram) tidak menunjukkan adanya fungsi otak.
Penderita kematian otak yang mendapatkan bantuan respirator bisa memiliki beberapa
refleks jika medula spinalisnya masih berfungsi.7,8
BAB III
KESIMPULAN

Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan


“unarousable unresponsiveness”, yaitu keadaan dimana dengan semuarangsangan,
penderita tidak dapat dibangunkan. Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu
keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor serta membutuhkan tindakan
penanganan yang cepat dan tepat, sebab makin lama koma berlangsung makin parah
keadaan susunan saraf pusat sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan
sempurna.
Berdasarkan susunan anatomi, koma dibagi menjadi 2 yaitu; koma kortikal
bihemisferik dan koma diensefalik. Penyebab koma secara garis besar dapat
disingkat/dibuat jembatan keledai menjadi kalimat “SEMENITE”. Dari jembatan keledai ini
kita juga dapat membedakan manakah yang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun
koma diensefalik dimana S (Sirkulasi), E (Ensefalitis), M (Metabolik), E (Elektrolit), N
(Neoplasma), I (Intoksikasi), T (Trauma), dan E (Epilepsi).
Terapi umum pada pasien koma adalah proteksi jalan nafas, hidrasi intravena,
nutrisi, perawtan kulit untuk menghindari dekubitus, perawatan matta dengan menghindari
abrasi retina, perawatan bowel dengan menghindari konstipasi, perawatan bladder, dan
mobilitas joint.
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari dalamnya
suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi obat lebih baik
prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial.
DAFTAR PUSTAKA

1. Avner, J.R. Altered states of consciousness. Pediatrics in Review;27:331-8 (2006).


2. Ganong, W.F. Review of Medical Physiology, 25nd ed. Mc Graw-Hill, Boston (2016).
3. Harsono, dkk. Buku Ajar neurologi Klinis, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta (2005).
4. Hasan, M.M., Hamdan, M., Machin, A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Departemen
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (2017).
5. Poerwadi, T., Poernomo, H. Buku Ajar Neurologi Klinik & Penanganan Awal, Kepala
Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK.Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya (2014).
6. Greer, D.M., Yang, J., Scripko, P.D., Sims, J.R., Cash, S., et all. Clinical examination
for outcome prediction in non-traumatic coma (2012).
7. Laureys, S. How to examine a comatose patient. XX th World Congress of Neurology:
WCN Teaching Course (2011).
8. Taylor, D.A., Ashwal, S. Impairment of consciousness and coma. Dalam: Swaiman
KE, Ashwal, S; penyuting. Pediatric Neurology, principles & practice. Edisi ke-4.
Phildelphia (2013).

Anda mungkin juga menyukai