Anda di halaman 1dari 37

TONSILITIS DIFTERI

Oleh :
Vivi Christin Longgorung
10119210049

Pembimbing :
dr. Andre Iswara, Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KHAIRUN
RSUD DR. H.CHASAN BOESOIRIE TERNATE
2023
LATAR BELAKANG

• Corynebacterium diphteriae

• Transmisi melalui inhalasi


Difteri • Infeksi Saluran napas atas

• Pseudomembran

• Obstruksi saluran napas kematian


Amerika 10 % pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi
yang tidak adekuat.

Indonesia : Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah


berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka
kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan
gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada
golongan umur rentan yaitu bayi dan anak (Henry G, 2000).
 Tonsil palatina adalah suatu
massa jaringan limfoid yang
TINJAUAN PUSTAKA terletak di dalam fosa tonsil.

Anatomi dan fisiologi  Tonsil palatina merupakan


tonsil bagian dari Cincin Waldeyer

 Tonsil palatina terletak


Arkus anterior didalam fosa tonsil dibatasi
oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar
posterior (otot
palatofaringeus).
Arkus posterior
 Bentuk oval, panjang 2-5 cm,
mempunyai 10-30 kripte
meluas  jaringan tonsil
(Anggraini, 2011).
Vaskularisasi
• Arteri maksilaris interna.
• Arteri Faringeal asenden.
• Arteri fasialis.
• Arteri lingual dorsal.
• (Wiatrak BJ, 2005).

Vaskularisasi Tonsil Palatina


(Bhat, 2012)
• Persarafan tonsil : IX (nervus glosofaringeal)
dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves (Bhat, 2012).
• Aliran limfe dari dari tonsil  KGB servikal
profunda (deep jugular node)  kelenjar toraks 
duktus torasikus (Nawaz & Nawas, 2013)

Gambar. Nawaz & Nawas, 2013.


Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing
dengan efektif
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitasi sel limfosit T dengan antigen spesifik
(Wiatrak, 2011)
Definisi
• Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut
yang menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai
pembentukan pseudomembran pada kulit dan
atau mukosa (Henry G, 2000).
Etiologi
• Corynebacterium diphteriae 
kuman batang gram-positif (basil
aerob), tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora.
Patogenesis
enzim translokase

Gambar. Kerusakan sel eukariotik akibat C.diphtheriae


(Bagheri, Ghambarian, Salemi, & Es-Haghi, 2009)
Manifestasi Klinis

• Difteria mempunyai masa tunas 2-5 hari, rata-rata

1-10 hari.

• Gejala pada umumnya mirip ISPA

• Demam, T : 38,9 oC, jarang mencapai 39oC.

• Batuk dan pilek.


Gambar. Membran putih
• Mual, muntah , sakit kepala. kelabu yang menyelimuti
tonsil terbentuk dari
• Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan penumpukan sel-sel mati
akibat toksin C. Diphtheria
(bullneck)

• Adanya pembentukan selaput di tenggorokan

berwarna putih ke abu abuan kotor.

(Vitek & Wharton, 2008).


Keluhan serta gejala lain tergantung
pada lokasi penyakit diphtheria.

Diphtheria Hidung
Gejala mirip common cold

Rhinitis erosif, purulen, serosanguinis


dengan pembentukan membran.
Pada pemeriksaan tampak membran putih
pada daerah septum nasi gambar disamping
(Vitek & Wharton, 2008)
(Vitek & Wharton, 2008)
Diphtheria Tonsil-Faring
Nyeri tenggorok, disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala.
1-2hr –> membran tonsil unilateral atau bilateral, meluas
secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle,
orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis.
Injeksi faring ringan
 Bullneck.
Gagal nafas atau sirkulasi, Stupor, koma, kematian.
Kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan
biasanya terjadi penyembuhan sempurna (Vitek &
Wharton, 2008).
Diphtheria Tonsil-Faring

(Heesemann & Sing, 2005)

(Heesemann & Sing, 2005)


Diphtheria Laring

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring.

 Pada difteria laring primer gejala toksik kurang nyata, oleh

karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang

rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi

saluran nafas atas lebih mencolok.

 Bila terjadi pelepasan membran menutup jalan nafas 

kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas

ke percabangan trakeobronkial. (Vitek & Wharton, 2008)


Diphtheria Laring

(Heesemann & Sing, 2005)


Diagnosis

• Anamnesis  demam, disfagia, serak, malaise


atau nyeri kepala. Difteri hidung gejala-gejala
common cold.
• Gejala obstruksi saluran napas, pasien tampak
sesak sampai tidak bisa bernapas yang
kemudian menjadi sianosis, stupor, koma dan
kematian.
• Jika disertai komplikasi maka akan muncul
gejala-gejala gangguan organ, seperti gangguan
fungsi jantung, ginjal dan syaraf (Vitek &
Wharton, 2008)
• Pemeriksaan fisik.
• Suhu tubuh meningkat
• Stridor inspirasi apabila sudah terjadi obstruksi
saluran napas atas.
• Status lokalis tampak membran berwarna putih kelabu
pada faring, tonsil, uvula, hidung atau laring yang
melekat kuat pada dasarnya yang akan berdarah jika
dilepaskan, dan bagian yang terkena tampak hiperemis
(Vitek & Wharton, 2008) (Nankervis, 2008).
• Penunjang
• Identifikasi secara Flourescent antibody technique.
• Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae
dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmot)
dan in-vitro (tes Elek).
• Kelainan jantung dapat dideteksi dengan
melakukan pemeriksaan EKG (Rampengan &
Laurentz, 1992) (Vitek & Wharton, 2008).
Diagnosis banding
• Disertai adanya membran putih pada tonsil :
• Tonsilitis Difteri
• Tonsilitis membranosa
• Keganasan (Bhat, 2012).
a. Tonsillitis difteri : Terdapat membrane putih kelabu yang tebal, melekat
kuat pada dasarnya dan apabila di lepaskan mudah berdarah. b. Tonsillitis
membranosa : Terdapat pus pada kripte-kripte tonsil yang melebar. Pus
berasal dari sel radang, bakteri jan jaringan limfoid yang telah mati jika
dilepaskan tidak mudah berdarah (Bhat, 2012).
Komplikasi

• Obstruksi jalan nafas akibat membran atau


adema jalan nafas, sistemik ; efek eksotoksin ke
otot jantung, syaraf, dan ginjal
• Miokardiopati toksik terjadi sekitar 10-25%
penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-
60% kematian. (Vitek & Wharton, 2008).
• Neuropati toksik terjadi secara akut atau 2-3
minggu sesudah mulai radang orofaring.
Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan
fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan
hipestesia dan paralisis lokal palatum molle,
sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi (Vitek & Wharton, 2008).

• Neuropati kranial menyebabkan paralisis


okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak
sebagai strabismus, pandangan kabur, atau
kesukaran akomodasi(Vitek & Wharton, 2008).
Pengobatan umum

• Pasien diisolasi dan tirah baring selama 2-3 minggu.


• Pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan
lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein
dan kalori.
• Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer (Tejpratap & Thomas, 2014).
Pengobatan Khusus

• 1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)


• Dosis ADS difteria faring dan laring : 20.000 - 40.000
unit, difteri nasofaring : 40.000-60.000 unit.
• Dosis untuk anak sama dengan dosis dewasa. Dosis
tidak perlu diulang (Tejpratap & Thomas, 2014).
• Pemberian secara intramuskular dapat diberikan pada
kasus ringan atau sedang.
• Suhu ADS harus dihangatkan antara 32-34oC sebelum
diinjeksikan.
• Harus dilakukan tes sensitifitas sebelum diberikan ADS
dan jika perlu dapat dilakukan desensitisasi (Vitek &
Wharton, 2008).
Antibiotik
• Dosis :
• Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari
i.m. tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil
biakan 3 hari berturut-turut (-).
• Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari,
p.o atau injeksi, tiap 6-8 jam selama 14 hari.
• Penisilin G kristal aqua IM 300.000 U/ hari
untuk yang BB kurang dari 10 kg dan 600.000
U/hari untuk yang BB lebih dari 10 kg , dibagi
dalam 4 dosis selama 14 hari.
• Terapi diberikan selama 14 hari (Vitek &
Wharton, 2008).
Kortikosteroid

korikosteroid diberikan pada kasus difteria disertai


gejala obstruksi saluran nafas atas (dapat disertai
atau tidak bullneck) dan bila terdapat miokarditis
(Chiou, 2010).
• Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap
6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari (Vitek &
Wharton, 2008).
• Ancaman gagal napas  tracheostomyn (WHO,
2009).
Tabel 1. Pengobatan Terhadap Kontak Difteria
Mekanisme Rujukan

• Siapkan surat rujukan beserta keterangan perjalanan


penyakit pasien.
• Mengamankan Airway dan Breathing
• Memasang iv line.
• Memberikan antibiotik.
• Memberikan obat simtomatik.
• Menghubungi RS tujuan.
• Transfer pasien dengan didampingi tenaga medis.
Prognosis
• Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan
antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya.
• Kematian tersering pada anak kurang dari 4
tahun akibat membran difteri. Kematian
mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan
oleh karena :
▫ Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh
terlepasnya difteria.
▫ Adanya miokarditis dan gagal jantung,
▫ Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus
nefrikus.
Pencegahan
• Menjaga kebersihan, makan yang bergizi dan
edukasi.
• Imunisasi DPT dan pengobatan karier.
• Jadwal pemberian vaksin DTP pertama kali
diberikan paling cepat pada umur 6 minggu (1.5
bulan). Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP
atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak
umur lebih dari 7 tahun DTP yang diberikan
harus vaksin Td, di-booster setiap 10 tahun.
KESIMPULAN
• Difteri ialah salah satu penyakit infeksi saluran
napas akibat bakteri Corynebacterium diphteriae
yang bisa menimbulkan kegawatdaruratan.
pembentukan pseudomembran pada mukosa dapat
menyebabkan obstruksi napas. Difteri harus
didiagnosa dengan cepat tepat serta pengobatan
yang tepat untuk mencegah komplikasi dan
prognosis yang buruk. (Vitek and Wharton, 2008).
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai