TUHAN
Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan
bahwa hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.
Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui."
Page 1 of 18
Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:
Apabila Anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai tenang, kesibukan
hidup atau haru hati telah dapat teratasi, terdengarlah suara nurani, yang mengajak
Anda untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud
Yang Maha mutlak.
Suara itu mengantar Anda untuk menyadari betapa lemahnya manusia dihadapan-
Nya. Dan betapa kuasa dan perkasa Dia Yang Mahaagung itu. Suara yang Anda
dengarkan itu, adalah suara fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan
terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walau seringkali -karena kesibukan dan dosa-
dosa- ia terabaikan, dan suaranya begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi
bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa,
maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali
kepada Allah semata, tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan,
tiada tempat mengabdi kecuali kepada-Nya. La haula wa la quwwata illa
billahi-'Aliyyil-'Azhim (Tiada daya untuk memperoleh manfaat, tiada pula kuasa
untuk menolak mudarat, kecuali bersumber dari Allah Yang Mahatinggi lagi
Mahaagung). Dan dengan demikian tidak ada lagi rasa takut yang menghantui atau
mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam.
"Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram karena mengingat
lah. Memang hanya dengan mengingat Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS Al-
Ra'd [13]: 28).
Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini –singkat atau panjang- dimana
manusia mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan
tersebut mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan
kepercayaannya, tetapi ketika itu keraguannya akan beralih menjadi kegelisahan,
khususnya pada saat-saat ia merenung.
Di atas telah penulis katakan bahwa hampir tidak ditemukan ayat yang
membicarakan tentang wujud Tuhan. Ini, karena harus diakui bahwa ada beberapa
ayat Al-Quran yang dapat dipahami sebagai berbicara tentang wujud Tuhan, dan
ada pula beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir manusia yang ateis.
Misalnya,
Page 2 of 18
"Dan mereka berkata, 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
ja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.'"
(QS Al-Jatsiyah [45]: 24)
"Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, dan mereka tidak
lain hanyalah menduga-duga saja."
Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak mempercayai wujud
Tuhan adalah orang-orang yang kehabisan akal dan keras kepala ketika berhadapan
dengan satu kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu kotornya" itu.
Yang demikian dapat dipahami dari ayat yang menguraikan diskusi yang terjadi
antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa masanya (Namrud) (QS Al-Baqarah [2]: 258),
atau Fir'aun ketika berhadapan dengan Musa a.s. yang bertanya, "Siapa Tuhan
semesta alam itu?" (QS Al-Syu'ara, 126]: 23).
Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras kepala adalah
pengakuan Fir'aun sendiri ketika ruhnya akan meninggalkan jasadnya. Dalam
konteks ini Al-Quran, menjelaskan sikap Fir'aun yang ketika itu kembali kepada
fitrah, namun sayang dia telah terlambat.
"... hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia. 'Saya percaya
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan
saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).' Apakah sekarang
(baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu
dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?" (QS Yunus [10]: 90-
91).
Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia
yang merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud
tersebut, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada
akhirnya -sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia akan mengakui-Nya.
Memang, kebutuhan manusia bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera
seperti kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa saat, seperti
kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan, dapat ditangguhkan lebih lama
daripada kebutuhan minuman, tetapi kebutuhan pemenuhan seksual bisa lebih
lama ditangguhkan daripada kebutuhan pada makan dan minum; demikian
seterusnya. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan adalah kebutuhan
tentang keyakinan akan adanya Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa.
Merujuk kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu
membawa ajaran tauhid.
Page 3 of 18
"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami
wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku"
(QS Al-Anbiya' [21]: 25).
"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya."
Demikian ucapan Nabi Nuh, Hud, Shaleh dan Syu'aib yang diabadikan Al-Quran
masing-masing secara berurut dalam surat Al-A'raf (7): 59, 65, 73, dan 85. Demikian
juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung dari Allah:
"Aku yang memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang diwahyukan
(padamu): 'Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku.
Sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'" (QS Thaha [20] 13-
14) Nabi Isa a.s.
"Isa berkata (kepada Bani Israil), 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu.' Sesunguhnya siapa yang mempersekutukan-Nya maka Allah
mengharamkan baginya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tiada penolong
bagi orang-orarg yang aniaya." (QS Al-Maidah [5]: 72)
Namun, walaupun semua nabi membawa ajaran tauhid, terlihat melalui ayat-ayat
Al-Quran bahwa ada perbedaan dalam pemaparan mereka tentang prinsip tauhid.
Jelas sekali bahwa Nabi Muhammad Saw., melalui Al-Quran diperkaya oleh
Allah dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang membungkam
siapa pun yang mempersekutukan Tuhan
"Maka topan membinasakan mereka, dan mereka adalah orang-orang aniaya" (QS
Al-'Ankabut [29]: 14).
Ketika tiba masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalu jauh dari
Nuhpemaparan beliau hampir tidak berbeda, tetapi di sana sini telah jelas bahwa
masyarakat yang diajaknya berdialog, memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas
umat Nuh. Karena itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakan oleh Hud a.s.
disertai dengan peringatan tentang nikmat-nikmat Allah yang mereka dapatkan.
Dalam rangkaian ayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan Allah, Hud
mengingatkan:
"Ingatlah (nikmat Allah) oleh kamu sekalian ketika Allah menjadikan kamu
ebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh; dan
Tuhan melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh),
Page 4 of 18
maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS
Al-A'raf [7]: 69, dan juga dalam QS Al-Syu'ara' [26]: 123-140)
Nabi Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas dan rinci penjelasannya,
karena wawasan umatnya lebih luas pula. Mereka misalnya diingatkan tentang asal
kejadian mereka dari tanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud [11]:
61).
Akal yang mampu mencerna dapat memahami bahwa asal kejadian manusia berasal
dari tanah dalam arti bahwa sperma yang dituangkan ke rahim istri berasal dari
makanan yang dihasilkan oleh bumi. Manusia yang memiliki akal yang dapat
mencerna ini atau walau hanya memahaminya secara umum, pastilah lebih mampu
dari mereka yang sekadar dipaparkan kepadanya nikmat nikmat Ilahi, sebagaimana
halnya kaum Hud dan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan Nabi
Shaleh:
"Dan kepada Tsamud (Kami mengutus) saudara mereka Shaleh. Dia berkata,
'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-
Nya. Sesungguhnya telah dating bukti yang sangat nyata kepadamu; unta betina
Allah ini sebagai bukti untuk kamu ...'" (QS Al-A'raf [7]: 73).
Ketika tiba masa Syu'aib, ajakan dakwahnya lebih luas lagi, melampaui batas yang
disinggung oleh ketiga Nabi sebelumnya. Kali ini ajaran tauhid tidak saja dikaitkan
dengan bukti-bukti, tetapi juga dirangkaikan dengan hukum-hukum syariat.
Ayat ini bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka untuk membangun satu
masyarakat yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan.
Setelah itu, datang ajakan Nabi Ibrahim, yang merupakan periode baru dari
tuntunan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai
"Bapak Para Nabi," "Bapak Monoteisme," serta "Proklamator Keadilan Ilahi"
karena agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada agama beliau.
Page 5 of 18
diperlihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan yang mati, dan permintaan
beliau itu dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260)
Karena itu ketika memaparkan tauhid kepada umatnya, Nabi mulia ini tidak lagi
berkata sebagai Nabi-nabi sebelumnya berkata,
tetapi dinyatakannya,
"Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih baik
untukmu kalau kamu mengetahuinya" (QS Al-'Ankabut [29]: 16)
Dan dinyatakannya bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan seru sekalian alam,
bukan Tuhan suku, bangsa dan jenis makhluk tertentu saja.
Terlihat juga dari Al-Quran bagaimana beliau "berdiskusi" dengan umatnya dalam
rangka membuktikan kesesatan mereka, dan menunjukkan kebenaran akidah tauhid
(antara lain surat Al-Anbiya, [21]: 51-67).
Demikianlah tahap baru dalam uraian tauhid, dan karena itu -seperti ditulis oleh
Abdul-Karim Al-Khatib dalam buku karyanya, Qadhiyat Al-Uluhiyyah baina Al-
Falsafah wa Ad-Din- sejak Nabi Ibrahim, sampai dengan nabi-nabi sesudahnya
Page 6 of 18
tidak dikenal lagi pemusnahan total bagi umat satu Nabi sebagaimana yang terjadi
terhadap umat-umat sebelumnya.
Pemaparan tauhid pun dari hari ke hari semakin mantap dan jelas hingga mencapai
puncaknya dengan kehadiran Nabi Muhammad Saw.
Uraian Al-Quran tentang Tuhan kepada umat Nabi Muhammad Saw. Dimulai
dengan pengenalan tentang perbuatan dan sifat-Nya. Ini terlihat secara jelas ketika
wahyu pertama turun.
Hal ini untuk menggarisbawahi Wujud Tuhan Yang Maha Esa, yang dapat
dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya.
Dari satu sisi memang dikenal satu ungkapan yang oleh sementara pakar dinilai
sebagai hadis Qudsi yang berbunyi:
"Aku adalah sesuatu yang tersembunyi, Aku berkehendak untuk dikenal, maka
Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku."
Di sisi lain, tidak digunakannya kata "Allah" pada wahyu-wahyu pertama itu, dalah
dalam rangka meluruskan keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga
menggunakan kata "Allah" untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan
mereka tentang Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh Islam. Mereka
misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara "Allah" dan jin (QS Al-Shaffat
[37]: 158), dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita (QS Al-Isra' [17]: 40), serta
manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog dengan Allah, karena Dia
demikian tinggi dan suci, sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu
disembah sebagai perantara-perantara antara mereka dengan Allah (QS Al-Zumar
[39]: 3)
Page 7 of 18
benar Esa, Tuhan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, dan
Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari" (QS Al-Shaffat [37]: 1-5).
Ada sementara orang yang menuntut bukti wujud dan keesaan Tuhan dengan
pembuktian material. Mereka ingin segera melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s.
suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya,
sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya,
"'Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke bukit itu,
jika ia tetap di tempatnya [seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat
melihat-Ku.' Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut
menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah
Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha suci Engkau, aku bertobat kepada-Mu,
dan aku orang yang pertama (dari kelompok) orang beriman'" (QS Al-A'raf [7]:
143).
Peristiwa ini membuktikan bahwa manusia agung pun tidak berkemampuan untuk
melihat-Nya -paling tidak- dalam kehidupan dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-
hari menunjukkan bahwa kita dapat mengakui keberadaan sesuatu tanpa harus
melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan atau
melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya "nyawa" bukan saja
tanpa melihatnya bahkan tidak mengetahui substansinya?
Page 8 of 18
Di sisi lain ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak dapat melihat sesuatu.
Pertama, karena sesuatu yang akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan.
Sebutir pasir lebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin ditemukan oleh
seseorang. Namun kegagalan itu tidak berarti pasir yang dicari tidak ada wujudnya.
Faktor kedua adalah karena sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak
dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya matahari
dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat? Tetapi bila malam tiba,
dengan; mudah ia dapat melihat. Demikian pula manusia tidak sanggup menatap
matahari dalam beberapa saat saja, bahkan sesaat setelah menatapnya ia akan Tuhan
Pencipta matahari itu.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al-
Yamani,
Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan mata.
Bukankah mata sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam
sungai, bintang yang besar terlihat kecil dari kejauhan.
Dahulu dikenal apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi, dan teleologi. Bukti
ontologi menggambarkan bahwa kita mempunyai ide tentang Tuhan, dan tidak
dapat membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti
kosmologi berdasar pada ide "sebab dan akibat" yakni, tidak mungkin tertadi
sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir pastilah Tuhan. Bukti
teleologi, berdasar pada keseragaman dan keserasian alam, yang tidak dapat
terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur keserasian itu
Page 9 of 18
1. Kenyataan wujud yang tampak.
2. Rasa yang terdapat dalam jiwa manusia.
3. Dalil-dalil logika.
Dalam konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya
keberadaan alam raya ini dengan segala isinya. Berkali-kali manusia diperintahkan
untuk melakukan nazhar, fikr, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat
betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang mewujudkannya.
"(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang.
Maka lihatlah berulang-ulang, adakah sesuatu yang kamu lihat tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali
kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu pun yang cacat, dan penglihatanmu
itu pun dalam keadaan payah" (QS Al-Mulk [67]: 3-4).
"Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan (berlayar)
di lautan. Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera
Page 10 of 18
itu membawa para penumpangnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka
bergembira karenanya: (kemudian) datanglah angin badai dan apabila gelombang
dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah
terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya jika Engkau
menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang
yang bersyukur'" (QS Yunus [10]: 22).
3. DALIL-DALIL LOGIKA
"Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia yang
menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu" (QS Al-An'am
[6]: 101)
"Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah
keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22)
Maksud ayat ini adalah "seandainya ada dua pencipta, maka akan kacau ciptaan,
karena jika masing-masing Pencipta menghendaki sesuatu yang tidak
dikehendaki oleh yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan
kacau atau tidak akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka
yang kalah bukan Tuhan; dan apabila mereka berdua bersepakat, maka itu
merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan
Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas
sesuatu."
Pengalaman ruhani pun disebutkan oleh Al-Quran yaitu pengalaman para Nabi dan
Rasul. Misalnya pengalaman Nabi Musa a.s. (Baca QS Thaha [20]: 9-47). Demikian
juga pengalaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw., serta nabinabi yang lain
dengan berbagai rinciannya yang berbeda, namun semuanya bermuara pada tauhid
atau Keesaan Tuhan.
Page 11 of 18
"Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, 'Kemukakan
bukti kalian!'" (QS Al-Anbiya' [21]: 24).
"Katakanlah, 'Jelaskanlah kepadaku tentang apa yang kamu sembah selain Allah;
perlihatkan kepada-Ku apakah yang telah mereka ciptakan dan bumi ini, atau
adakah mereka berserikat (dengan Allah) dalam (penciptaan) langit. Bawalah
kepadaku kitab sebelum (Al-Quran) ini, atau peninggalan dan pengetahuan
(orang-orang dahulu) jika kamu adalah orang-orang yang benar'" (QS Al-Ahqaf
[46]: 4)
MACAM-MACAM KEESAAN
Abu As-Su'ud, salah seorang pakar tafsir dan tasawuf menulis dalam tafsirnya,
bahwa Al-Quran menempatkan kata huwa untuk menunjuk kepada Allah, padahal
sebelumnya tidak pernah disebut dalam susunan redaksi ayat ini kata yang
menunjuk kepada-Nya. Ini, menurutnya, untuk memberi kesan bahwa Dia Yang
Mahakuasa itu, sedemikian terkenal dan nyata, sehingga hadir dalam benak setiap
orang dan hanya kepada-Nya selalu tertuju segala isyarat.
Ahad yang diterjemahkan dengan kata Esa terambil dari akar kata wahdat yang
berarti "kesatuan," seperti juga kata wahid yang berarti "satu." Kata ini sekali
berkedudukan sebagai nama, dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia
berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah Swt. semata.
Dalam ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah Swt., dalam arti bahwa
Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
Dari segi bahasa, kata Ahad walaupun berakar sama dengan Wahid, tetapi
masingmasing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata Ahad hanya
digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam
benak apalagi dalam kenyataan, karena itu kata ini -ketika berfungsi sebagai sifat-
tidak termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan wahid (satu); Anda
dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya, walaupun
penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.
Page 12 of 18
berbilang unsurnya, berbeda dengan kata Ahad yang mutlak tidak berbilang, walau
hanya sekadar unsurnya?
Benar! Allah terkadang juga disifati dengan kata Wahid seperti antara lain dalam
firman-Nya:
"Tuhan-Mu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah [2]: 163)
Sementara ulama berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di atas, menunjuk
kepada keesaan Zat-Nya disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia
Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan sebagainya,
sedangkan kata Ahad dalam surat Al-Ikhlas itu, mengacu kepada keesaan Zat-Nya
saja, tanpa memperlihatkan keragaman sifat-sifat tersebut.
Terlepas dari setutu atau tidak dengan pembedaan terakhir ini, namun yang jelas
bahwa Allah Maha Esa, dan Keesaan-Nya itu mencakup empat macam keesaan
1. Keesaan Zat
2. Keesaan Sifat
3. Keesaan Perbuatan, dan
4. Keesaan dalam beribadah kepada-Nya.
1. KEESAAN ZAT-NYA
Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah
Swt. tidak terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian, karena bila Zat Yang
Mahakuasa itu terdiri dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsure atau
bagian itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan
kata lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai
contoh sebuah jam tangan. Anda menemukan jam tersebut terdiri dari beberapa
bagian, ada jarum yang menunjuk angka, ada logam, ada karet, dan lain-lain.
Bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian itu,
ia tidak dapat menjadi jam tangan. Nah, ketika itu, walaupun jam tangan ini hanya
satu, tetapi ia tidak esa, karena ia terdiri dari bagian-bagian tersebut. Jika demikian,
Zat Tuhan pasti tidak terdiri dari unsur atau bagianbagian betapapun kecilnya,
karena jika demikian, Dia tidak lagi menjadi Tuhan. Benak kita tidak dapat
membayangkan Tuhan membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun menegaskan
demikian:
"Wahai seluruh manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah Mahakaya
tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha Terpuji" (QS Fathir [35]: 15).
Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala
sesuatu dan Dia sendiri tidak bersumber dari sesuatu pun. Al-Quran menegaskan
bahwa,
Page 13 of 18
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi
Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11)
Perhatikan redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan- Nya."
Yang serupa dengan-Nya pun tidak ada, apalagi yang seperti Dia. lebih-lebih yang
sama dengan Nya. Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang
seperti dengan-Nya, yang secara imajinatif pun tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Keragaman dan bilangan lebih dari satu adalah substansi setiap makhluk, bukan ciri
Khaliq. Itulah sebagian makna Keesaan dalam Zat-Nya.
2. KEESAAN SIFAT-NYA
Adapun keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat
yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, walaupun
dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut sama. Sebagai
contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga digunakan untuk
menunjuk rahmat atau kasih sayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas
rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.
Allah Esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi dan
kapasitas sifat tersebut. Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya
itu, dalam arti bahwa Zat-Nya sendiri merupakan sifat-Nya. Demikian mereka
memahami keesaan secara amat murni. Mereka menolak adanya "sifat" bagi Allah,
walaupun mereka tetap yakin dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha
Pengampun, Maha Penyantun, dan lain-lain yang secara umum dikenal ada
sembilan puluh sembilan. Mereka yakin tentang hal tersebut, tetapi mereka menolak
menamainya sifat-sifat. Lebih jauh penganut paham ini berpendapat bahwa "sifat-
Nya" merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid Zat, dinafikan segala
unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun kecilnya unsur itu, maka dengan
tauhid sifat dinafikan segala macam dan bentuk ketersusunan dan keterbilangan
bagi sifatsifat Allah. Berapa jumlah sifat Allah itu? Yang populer menurut sebuah
hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad Husain Ath-Thabathaba'i, setelah
menelusuri ayat-ayat Al-Quran, menyimpulkan bahwa ada 127 nama atau sifat
Allah yang ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya merupakan Al-Asma', Al-
Husna. Rincian sifat/nama-nama itu dikemukakannya dalam Tafsirnya Al- Mizan
ketika menafsirkan QS Al-A'raf [7]: 180.
3. KEESAAN PERBUATAN-NYA
Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini,
baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujud-Nya, kesemuanya adalah hasil
perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya terJadi, dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh manfaat),
tidak pula kekuatan (untuk menolak madarat), kecuali bersumber dari Allah Swt.,
itulah makna:
[tulisan Arab]
Page 14 of 18
Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah Swt. Berlaku sewenang-wenang, atau
"bekerJa" tanpa sistem yang ditetapkanNya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan
dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang ditetapkan-Nya.
Tetapi ini bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata "jadilah;" ayat ini
hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan
sesuatu Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala
sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai dengan
kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kun.
Pada ayat lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian Isa, yang dimulai dengan
kehadiran malaikat kepada Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang
kelahiran, dan akhirnya lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26).
Sekali lagi, kata kun bukan berarti bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya
terjadi serta-merta tanpa suatu proses.
Kalau ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini,
maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan
terdahulu.
Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu ragamnya yang paling
jelas, adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan atau kadarnya langsung oleh
Allah atau melalui Rasul-Nya, dan yang secara populer dikenal dengan istilah
ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, mencakup
segala macam aktivitas yang dilakukan demi karena Allah.
Page 15 of 18
Salah satu ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allah dalam jiwa manusia
adalah
firman-Nya,
"Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh
beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih (buruk perangai mereka),
dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang saja. Adakah
keduanya (budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).
Ayat ini bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat
kepada sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu saling
berselisih dan buruk perangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini memerintahkan
satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau memerintahkannya
dengan perintah lain, yang ketiga pun demikian. Begitu seterusnya, sehingga pada
akhirnya budak itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui
bagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu dengan seorang budak
lain yang hanya menjadi milik penuh seseorang sehingga ia tidak mengalami
kebingungan atau kontradiksi dalam kesehariannya.
Page 16 of 18
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS Al- Ra'd
[13]: 28).
Kalau dalam ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainya pada keduanya
(langit dan bumi) terdapat banyak Tuhan (Pengusa yang mengatur alam) selain
Allah, maka pastilah keduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam
QS Al-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan bahwa seandainya di dalam jiwa
seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yang mengatur hidupnya, maka pasti
pula jiwanya akan rusak binasa.
Kalau uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusia kepada akidah tauhid,
maka rangkaian pertanyaan berikut dapat menjadi salah satu bukti tentang
kebutuhan akalnya terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang
menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak mengarah ke
belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu mencari tempat yang rendah? Apa
yang mengantar ilmuwan untuk memperoleh semacam, kepastian, dalam
langkahlangkahnya?" Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh kecuali
melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karena jika Tuhan
berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur alam dan menetapkan kehendak-
Nya dan kali lain tuhan yang itu. Apa yang menjamin kepastian itu, seandainya
Tuhan Yang mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga butuh kepada
sesuatu?
Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat menjamin!
Jika demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran yang harus diakui
karena diperlukan oleh jiwa manusia, tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya
demi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan
pemikiran manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme murni, setelah pada
awalnya menganut keyakinan politeisme (banyak tuhan), kemudian dua tuhan,
disusul dengan kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan
tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.
Kalau dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumber kehidupan makhluk
di permukaan bumi ini, dan yang berkeliling padanya planet-planet tata surya yang
tidak dapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan matahari
Page 17 of 18
kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya kesatuan-kesatuan yang tidak
dapat pula melepaskan diri atau dilepaskan darinya. Kesatuan dimaksud antara lain
adalah kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan
natural dan supranatural, kesatuan ilmu, kesatuan agama, kesatuan kemanusiaan,
kesatuan umat, kesatuan kepribadian manusia, dan lain-lain.
Prinsip lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah, dan diasuh. Memang
boleh jadi seorang Muslim mengalami godaan sehingga timbul tanda tanya
menyangkut kehadiran Allah Yang Maha Esa itu. Yang demikian adalah wajarwajar
saja, asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal ini dialami juga oleh
para sahabat Nabi Saw. Mereka yang mengadukan pengalamannya kepada beliau
ditanggapi oleh Nabi Saw. dengan bersabda,
"Segala puji bagi Allah yang menangkal tipuannya (setan) menjadi waswasah
(bisikan)."
Sahabat Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu Zamil Sammak ibn Al-Walid,
"Apakah yang saya rasakan di dalam dadaku (ini)?" "Apakah itu," tanya Ibnu
Abbas."Demi Allah saya tidak akan mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik,
"Apakah semacam syak atau keraguan?" Si penanya mengiyakan. Ibnu Abbas
kemudian berkata, "Tidak seorang pun (dari kami) yang terbebaskan dari yang
demikian, sampai turun firman Allah:
"Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepadamu, maka
tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu" (QS Yunus
[10]: 94).
Apabila engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal, Dia Yang Akhir, Dia
Yang Zhahir (tampak melalui ciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak
hakikat Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu." Demikian Allah Swt.
Karena itu wajar kita bermohon:
"Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, karuniakanlah kepada
kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah"
(QS Ali 'Imran 13]: 8).[]
Page 18 of 18