Anda di halaman 1dari 2

FOLU Net Sink 2030: Target Penurunan emisi atau target memperkaya partai politik?

Penulis: Bagus Karyo Widhiasto (Mahasiswa Pascasarjana IPB)

Perjanjian Paris tahun 2015 mewajibkan para pihak yang meratifikasinya untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca agar kenaikan suhu bumi dapat ditekan di bawah 2 derajat Celcius,
bahkan idealnya ditekan hingga 1,5 derajat Celcius. Seluruh negara di dunia yang tergabung
dalam perjanjian Paris termasuk Indonesia diwajibkan untuk melakukan aksi mitigasi dan
adaptasi sebagai upaya menekan suhu bumi. Indonesia berkomitmen melalui dokumen
Kontribusi yang Ditetapkan Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk
menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri hingga 41% dengan bantuan
internasional. Target tersebut berubah di dalam dokumen Enhanced NDC tahun 2022
menjadi 31,89% dengan usaha sendiri hingga 43,2% dengan dukungan internasional.
Untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030 membutuhkan biaya sekitar Rp 204,02 Triliun
sampai tahun 2030 (Rp 18,55 Triliun per tahun). Sedangkan pagu anggaran KLHK tahun
2023 hanya sebesar Rp 7,57 Triliun. Anggaran tersebut dialokasikan untuk program FOLU
Net Sink 2030 hanya sekitar 60% per tahun atau sekitar RP 4 Triliun per tahun. Alokasi
anggaran tersebut tidak cukup untuk melaksanakan program, sehingga KLHK berinisiatif
untuk membuat skema pendanaan FOLU Net Sink 2030 yang dibagi menjadi 3 bagian yaitu
pasar karbon, non pasar karbon dan RBP. Sumber pendanaan dapat berasal dari Negara
(APBN dan APBD) atau swasta (kemitraan, hibah, atau sumber dana yang sah lainnya). Peran
pemerintah dalam pendanaan penurunan emisi sekitar 45% dari total biaya, sementara swasta
memegang 55% sisanya. Dana yang dibutuhkan dapat tercapai melalui bargain geopolitik
Indonesia sebagai presiden G20. Akan tetapi seiring program tersebut dijalankan, KPK
melaporkan adanya 650 kasus korupsi sumberdaya alam di Indonesia, diantaranya 164 kasus
dilakukan swasta dan 148 dilakukan oleh DPR dan DPRD, dan 77 dilakukan oleh Bupati dan
Gubernur. PPATK pada bulan maret 2023 mengungkap adanya dana yang terindikasi sebagai
hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai 45 triliun yang mengalir ke sejumlah
politikus untuk dana kampanye tahun 2019 dan 2024 mendatang. PPATK menjabarkan
potensi TPPU tersebut berasal dari 53 laporan dari 6 dugaan tindak pidana asal. Pada tahun
2022, PPATK mendapat 11 laporan terkait perdagangan ilegal TSL/ilegal wildlife trades.
Kemudian 8 laporan di bidang kehutanan dan 8 di bidang pertambangan. Selanjutnya 6
laporan di bidang lingkungan hidup serta 1 di bidang kelautan dan perikanan. Pada tahun
2023, PPATK mendapatkan 5 laporan terkait perdagangan ilegal TSL/ilegal wildlife trades, 3
laporan di bidang pertambangan, masing-masing 1 laporan di bidang kehutanan dan
lingkungan hidup. Kemudian 6 laporan di bidang perpajakan serta 3 laporan di bidang
kelautan dan perikanan. Transaksi satu kasus Green Financial Crime mencapai 1 triliun.
PPATK mengungkapkan bahwa adanya risiko tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada
dana kampanye di sejumlah provinsi, yang dominan terjadi TPPU adalah Jawa Timur (9),
DKI Jakarta (8,90), Sumatera Barat (7,91), Jawa Barat (7,57), Papua (7,30), Sulawesi Selatan
(7,24), dan Sumatera Utara (7,02). Tingginya TPPU kejahatan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan ini telah menjadi bagian dari transnational organized crime.
Kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan berdampak besar terhadap kerusakan ekosistem,
bencana ekologis, kerugian negara, dan kewibawaan negara. Kewibawaan Negara Indonesia
telah digadaikan dan diselewengkan untuk mendapatkan pendanaan kampanye partai politik
tertentu melalui program FOLU Net Sink 2030. Target dari program ini tidak terukur dan
membual terhadap publik Internasional. Jika ditelisik lebih jauh, Peraturan presiden nomor 98
tahun 2021 terkait penetapan kebijakan dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca
untuk pengendalian perubahan iklim dalam program nasional “Indonesia’s FOLU Net Sink
2030”. Indonesia memiliki peran penting terhadap tercapainya net zero emission pada tahun
2030, karena 60% dari target penurunan emisi adalah “tanggung jawab” sektor lingkungan
hidup dan kehutanan. 60% target penurunan emisi tersebut setara dengan target KLHK yang
dialokasikan pada 72 Juta Ha, yang berarti ditahun 2030 seluruh kegiatan pada kelima bidang
(Pengelolaan Hutan Lestari, Peningkatan Cadangan Karbon, Konservasi, Rehabilitasi
Gambut, dan Penegakan hukum) harus terimplementasi dengan baik.
Secara equal, 8juta hutan harus direhabilitasi tiap tahunnya, tetapi angka tersebut terlihat
tidak masuk akal jika dibandingkan dengan capaikan rehabilitasi hutan yang telah dilakukan
oleh Dirjen PDASRH, dan BRGM ditahun 2021 yang hanya dapat merehabilitasi 203.386,58
sebagaimana yang telah disampaikan oleh Dirjen PDASRH KLHK pada acara Refleksi Akhir
Tahun 2021. Selain itu, karena lokasi prioritas FOLU dibuat menggunakan 3 indeks yang
meliputi indeks deforestasi, kebakaran, dan emisi. Maka lokasi yang menjadi prioritas tinggi
pada kegiatan FOLU adalah lokasi yang memiliki tingkat deforestasi tinggi, kebakaran tinggi,
dan emisi yang tinggi. Apakah dengan kondisi tersebut, target FOLU Net Sink 2030
dapat tercapai atau hanya sekedar janji politik kepada publik internasional untuk
mendapatkan dana hibah yang dapat diolah oleh partai politik? Jika target tersebut tidak
tercapai maka penanggung jawab dari tim Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 harus
bertanggung jawab karena telah merugikan bangsa Indonesia di publik internasional.
Harapannya kasus ini harus segera diatasi oleh tim gabungan antara KPK, PPATK,
GAKKUM KLHK, KPU, BAWASLU, DPR RI serta stakeholder lainnya untuk memberantas
TPPU terkait dengan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TPLHK). Jika kasus
ini tidak segera diatasi, maka ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk mendukung perubahan
menuju perbaikan, tetapi mendukung kepentingan untuk perusakan sistem.

Anda mungkin juga menyukai