Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi teoritik dan hasil penelitian terkait


1. Konsep Stroke
a. Pengertian
Definisi menurut WHO (World Heath Organisation) dalam jurnal The
Definition Of Stroke tahun 2016 oleh Alexander P Coupland dkk,
Stroke adalah suatu keadaan dimana ditemukan tanda-tanda klinis
yang berkembang cepat berupa defisit neurologik fokal dan global,
yang dapat memberat dan berlangsung lama selama 24 jam atau lebih
dan atau dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vascular.
Stroke terjadi akibat pembuluh darah yang membawa darah dan
oksigen ke otak mengalami penyumbatan dan ruptur, kekurangan
oksigen menyebabkan fungsi kontrol gerakan tubuh yang dikendalikan
oleh otak tidak berfungsi (American Heart Association [AHA], 2015)

b. Klasifikasi
Stroke dapat dibagi menjadi 2 kategori utama yaitu, stroke iskemik
dan stroke hemorrhagic. Kedua kategori ini merupakan suatu kondisi
yang berbeda, pada stroke hemorhagic terdapat timbunan darah di
subarahchnoid atau intraserebral, sedangkan stroke iskemik terjadi
karena kurangnya suplai darah ke otak sehingga kebutuhan
oksigen dan nutrisi kurang mencukupi. Klasifikasi stroke
menurut Wardhana (2011), antara lain sebagai berikut :
1) Stroke Iskemik
Stroke iskemik terjadi pada otak yang mengalami gangguan
pasokan darah yang disebabkan karena penyumbatan pada
pembuluh darah otak. penyumbatnya adalah plak atau timbunan
lemak yang mengandung kolesterol yang ada dalam darah.
Penyumbatan bisa terjadi pada pembuluh darah besar (arteri
karotis), atau pembuluh darah sedang (arteri serebri) atau
pembuluh darah kecil.
Penyumbatan pembuluh darah bisa terjadi karena dinding bagian
dalam pembuluh darah (arteri) menebal dan kasar, sehingga
aliran darah tidak lancar dan tertahan. Oleh karena darah berupa
cairan kental, maka ada kemungkinan akan terjadi gumpalan
darah (trombosis), sehingga aliran darah makin lambat dan
lama-lama menjadi sumbatan pembuluh darah. Akibatnya, otak
mengalami kekurangan pasokan darah yang membawah nutrisi
dan oksigen yang diperlukan oleh darah. Sekitar 85 % kasus
stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark, stroke infark
pada dasarnya terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak.
Penurunan aliran darah yang semakin parah dapat menyebabkan
kematian jaringan otak. Penggolongan stroke iskemik atau infark
menurut Junaidi (2011) dikelompokkan sebagai berikut :
a) Trancient Ischemia Attack (TIA)
Suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang gejalanya
berlangsung kurang dari 24 jam atau serangan sementara dan
disebabkan oleh thrombus atau emboli. Satu sampai dua jam
biasanya TIA dapat ditangani, namun apabila sampai tiga jam
juga belum bisa teratasi sekitar 50 % pasien sudah terkena
infark (Grofir, 2009; Brust,2007, Junaidi, 2011).
b) Reversible Ischemic Nerurological Defisit (RIND)
Gejala neurologis dari RIND akan menghilang kurang lebih 24
jam, biasanya RIND akan membaik dalam waktu 24–48 jam.
c) Stroke In Evolution (SIE)
Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal terus
berkembang dimana terlihat semakin berat dan memburuk
setelah 48 jam. Defisit neurologis yang timbul berlangsung
bertahap dari ringan sampai menjadi berat.
d) Complete Stroke Non Hemorrhagic
e) Kelainan neurologis yang sudah lengkap menetap atau
permanen tidak berkembang lagi bergantung daerah bagian
otak mana yang mengalami infark.
2) Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi pada otak yang mengalami kebocoran
atau pecahnya pembuluh darah di dalam otak, sehingga darah
menggenangi atau menutupi ruang-ruang jaringan sel otak.
Adanya darah yang mengenangi atau menutupi ruang-ruang
jaringan sel otak akan menyebabkan kerusakan jaringan sel otak
dan menyebabkan kerusakan fungsi kontrol otak. Genangan
darah bisa terjadi pada otak sekitar pembuluh darah yang pecah
(intracerebral hemorage) atau dapat juga genangan darah
masuk kedalam ruang sekitar otak (subarachnoid hemorage) bila
ini terjadi stroke bisa sangat luas dan fatal bahkan sampai pada
kematian. Stroke hemoragik pada umumnya terjadi pada lanjut
usia, karena penyumbatan terjadi pada dinding pembuluh darah
yang sudah rapuh (aneurisma). Pembuluh darah yang sudah
rapuh ini, disebabkan karena faktor usia (degeneratif), akan tetapi
bisa juga disebabkan karena faktor keturunan (genetik). Keadaan
yang sering terjadi adalah kerapuhan karena mengerasnya
dinding pembuluh darah akibat tertimbun plak atau
arteriosklerosis akan lebih parah lagi apabila disertai dengan
gejala tekanan darah tinggi. Beberapa jenis stroke hemoragik
menurut Feigin (2007), yaitu:
a) Hemoragi ekstradural (hemoragi epidural) adalah
kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan
segera. Stroke ini biasanya diikuti dengan fraktur tengkorak
dengan robekan arteri tengah atau arteri meningens lainnya.
Pasien harus diatasi beberapa jam setelah mengalami cedera
untuk dapat mempertahankan hidup.
b) Hemoragi subdural (termasuk subdural akut) yaitu hematoma
subdural yang robek adalah bagian vena sehingga
pembentukan hematomanya lebih lama dan menyebabkan
tekanan pada otak.
c) Hemoragi subaraknoid (hemoragi yang terjadi di ruang
subaraknoid) dapat terjadi sebagai akibat dari trauma atau
hipertensi tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran
aneurisma.
d) Hemoragi interaserebral, yaitu hemoragi atau perdarahan di
substansi dalam otak yang paling umum terjadi pada pasien
dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral karena
perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya
menyebabkan ruptur pembuluh darah.

c. Etiologi
Penyebab stroke adalah:
1) Trombosis Serebri
Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral
penyebab utama terjadinya trombosis serebral yang adalah
penyebab paling umum dari stroke (Smeltzer,2005). Trombosis di
temukan pada 40 % dari semua kasus stroke yang telah dibuktikan
oleh ahli patologi. Biasanya ada kaitannya dengan kerusakan lokal
dinding pembuluh darah akibat aterosklerosis (Price, 2015).
2) Emboli Serebri
Terlepasnya lapisan lemak dari jantung sehingga terjadinya
penyumbatan pembuluh darah sehingga darah tidak bisa
mengalirkan oksigen dan nutrisi ke otak.
3) Hemorhagik
Hemorhagik dapat terjadi di luar durameter (hemorhagik
ekstradural dan epidural di bawah durameter (subdural), di ruang
subarachnoid dan dalam substansi otak (intraserebral) (Wijaya &
Putri, 2013)

d. Faktor resiko
Faktor resiko terjadinya stroke non hemoragik merupakan proses yang
multi kompleks dan didasari oleh berbagai macam faktor risiko. Ada
faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan di modifikasi antara lain
(Valante dkk, 2015) :
1) Tidak dapat dirubah adalah Usia, Jenis kelamin, Ras, Genetik.
2) Yang dapat dirubah
a) Hipertensi
Merupakan faktor risiko utama yang dikarenakan terjadinya
arterosklerosis pembuluh darah serebral yang menyebabkan,
terjadinya penebalan dan degenerasi yang kemudian pecah dan
menimbulkan perdarahan.
b) Penyakit kardiovaskuler
Embolisme serebral berasal dari jantung seperti gagal jantung
kongestif, MCI, hipertrofi ventrikel kiri dan arteri fibrilasi
(AF). Pada fibrilasi atriummenyebabkan penurunan CO
sehingga perfusi darah ke otak menurun, maka otak akan
kekurangan oksigen dan terjadilah stroke.
c) Diabetes Mellitus
Pada DM akan terjadi mikrovaskularisasi dan aterosklerosis
yang dapat menyebabkan emboli sehingga terjadi iskemia di
otak.
d) Merokok
Zat nikotin dalam rokok menyebabkan timbulnya plaque pada
pembuluh darah yang merupakan salah satu faktor pencetus
aterosklerosis yang mengakibatkan terjadinya stroke.
e) Alkoholik
Alkoholik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga
terjadi penurunan aliran darah ke otak dan kardiak aritmia serta
kelainan motilitaqs pembuluh darah sehingga terjadi emboli
serebral.

f) Peningkatan kolesterol
Terbentuknya emboli lemak yang memperlambat aliran darah
ke otak sehingga terjadinya penurunan perfusi otak.
g) Obesitas
h) Arterosklerosis
i) Kontrasepsi
j) Stress emosional

e. Patofisiologi
Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat atau terganggu, maka
pemberian makanan berupa glukosa dan oksigen ke daerah otak akan
berkurang otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak mempunyai
cadangan oksigen, jika aliran darah terhambat karena adanya thrombus
dan embolus, maka mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak.
kekurangan selama 1 menit dapat mengarah terjadinya penurunan
kesadaran dan bila lebih dari 1 menit menyebabkan 1900 juta neuron
rusak. Selanjutnya kehilangan oksigen yang lebih lama dapat
menyebabkan nekrosisi mikroskopik neuron-neuron (infark). Stroke
akan meluas setelah serangan pertama sehingga terjadi edema serebral,
peningkatan intracranial (TIK) dan kematian pada area yang lebih luas.
Prognosisnya tergantung pada daerah otak yang terkena dan luasnya
daerah otak yang terkena (AHA, 2015).
Gangguan aliran darah otak dapat terjadi di dalam arteri-arteri yang
membentuk sirkulasi willisi yaitu arteri karotis dan sistem
vertebrobasiler dan semua cabangnya, apabila aliran darah ke otak
terputus selama 15 sampai 20 menit akan terjadi infark dan kematian
jaringan sehingga akan mengakibatkan terjadinya kerusakan organ
tubuh sebagai manifestasi dari otak yang mengalami infark.Oklusi di
suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang di
perdarahi oleh arteri tersebut, karena dapat terjadi sirkulasi kolateral
yang memadai daerah tersebut. Proses patologinya dapat berupa
(Guyton & Hall, 2014) :
1) Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti
thrombosis, robeknya dinding pembuluh darah atau peradangan.
2) Berkurangnya perfusi akibat gangguan aliran darah, seperti syok
atau hiperviskositas.
3) Gangguan aliran darah akibat embolus infeksi dari jantung.
4) Rupture vaskuler di dalam jaringan otak atau ruang subarachnoid.

f. Manifestasi klinik
Menurut WHO, dalam Internasional Statistik Classification Of
Diseases And Related Health Problem 10 th Revision, stroke dapat di
bagi atas:
1) Perdarahan Intraserebral (PIS)
Stroke akibat PIS mempunyai gejala prodromal yang tidak jelas,
kecuali nyeri kepala hebat di karenakan hipertensi, serangan sering
kali setiap hari, saat beraktivitas, emosi/marah, mual dan muntah.
Kesadaran sangan cepat menurun sampai dengan koma (65 %
terjadi kurang dari setengah jam 23% antara ½ sampai dengan 2
jam dan 12% terjadi seteklah 2 jam, samapai 19 hari).
2) Perdarahan subarachnoid (PSA)
Stroke akibat PSA mempunyai gejala prodromal berupa nyeri
kepala hebat dan akut. Kesadaran menurun, adanya tanda
rangsangan meningeal, edema papil dapat terfjadi bila ada
perdarahan subhialoid karena pecahnya aneurisme pada arteri
komunkans anterior atau arteri karitis interna. Manifestasi
strokenya dapat berupa kelumpuhan (plegi), kelemahan
(parase),gangguan sensibilitas pada atau atau lebi anggota
tubuh,perubahan mendadak status mental,afasia,ataksia,mual dan
muntah.
3) Stroke Non Haemorhagik (SNH)
Gejala utama pada stroke non haemorhagik adalah timbulnya
defisit neurologik secara mendadak dan subakut, terjadi pada
waktu istirahat atau bangun pagi dan biasanya tidak terjadi
penurunan kesadaran kecuali bila terjadi emboli yang cukup besar.
Klasifikasi SNH berdasarkan manifestasi kliniknya, antara lain
adalah:
a) Serangan Ischemik sepintas/Transiens Ischemik Attack (TIA)
Gangguan neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak dan akan menghilang dalam waktu 24 jam.
b) Defisit neurologic ischemic sepintas/Reversible Ischemik
Neurological Deficit (RIND).
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu
lebih lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.
c) Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evolution)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
d) Stroke Komplet (complete stroke/permanenent stroke)
Kelainan meurologik sudah menetap dan tidak berkembang
lagi.
e) Stroke Trombotik
f) Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar,
terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya
gumpalan darah yang cepat dan bisa juga diakibatkan oleh
tingginya kadar LDL (Low Density Lipoprotein). Pada
pembuluh darah yang kecil trombotik terjadi karena aliran
darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang.
g) Stroke Emboli
Terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan
lemak yang lepas yang menyebabkan terjadinya penyumbatan
pembuluh darah sehingga darah tidak dapat mengalirkan
oksigen dan nutrisi ke otak.

g. Gejala Khusus Pada Pasien Stroke


1) Kehilangan Motorik
Pada penderita stroke dapat terjadi kehilangan kontrol volunter
terhadap gerakan motorik, yaitu hemiplegia (kelumpuhan sebagian
ekstremitas), hemiparase (kelemahan sebagian ekstremitas) dan
menurunnya tonus otot abnormal. Setelah serangan stroke, tonus
otot yang normal menghilang, hemiparese yang disebabkan oleh
stroke akut menyebabkan kekakuan, kelumpuhan, kekuatan otot
melemah dan akibatnya mengurangi rentang gerak sendi dan fungsi
ekstremitas atas dan bawah dan mengganggu aktivitas hidup
sehari-hari Activity Daily Living (ADL) seperti makan, berpakaian,
mencuci dan lainnya. Hemiparese merupakan salah satu penyebab
pasien stroke mengalami kecacatan. Derajat kecacatan yang
dialami oleh pasien stroke tergantung dari beratnya hemiparese
yang dialami pasien. 30-60% dari pasien yang mengalami
hemiparese, akan mengalami kehilanan penuh pada fungsi tangan
dalam waktu 6 bulan pasca stroke (Stoykov & Corcos, 2009).
2) Kehilangan Komunikasi
a) Disartria, yaitu kesulitan berbicara yang ditunjukkan dengan
bicara yang sulit dimengerti disebabkan oleh paralisis otot yang
bertanggungjawab untuk menghasilkan bicara.
b) Disfasia atau afasia, yaitu gangguan akibat kerusakan otak pada
bagian-bagian otak yang berfungsi memahami bahasa lisan
dantulisan mengeluarkan isi pikiran, bagian otak yang
mengintegrasi fungsi memahami bahasa dan mengeluarkan
bahasa yang sudahdimengerti. Dari parameter modalitas bahasa
gangguan afasia terdiridari afasia broca, afasia wernicke, afasia
global, afasia konduksi, afasia transkortik motorik, afasia
transkortikal sensorik dan afasia transkortikal campuran.

3) Gangguan Persepsi
a) Homonismus hemianopsia adalah kehilangan setengah lapang
pandang dimana sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi
tubuh yang paralisis.
b) Amorfisintesis adalah keadaan dimana cenderung berpaling
dari sisi tubuh yang sakit dan mengabaikannya.
c) Gangguan hubungan visual spasia adalah gangguan yang
mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area
spasial.
d) Kehilangan sensori, antara lain tidak mampu merasakan posisi
dan gerakan bagian tubuh (kehilangan proporioseptik) sulit
menginterpretasikan stimulus visual, taktil,auditorius.

h. Komplikasi
1) Berhubungan dengan Immobilisasi
Penderita stroke yang mengalami kelemahan ataupun kelumpuhan
motorik dan didukung dengan tirah baring lama bila tidak
diberikan perawatan yang efektif dapat terjadi kerusakan integritas
kulit, infeksi pernafasan, nyeri yang berhubungan dengan daerah
yang tertekan, konstipasi dan tromboplebithis.
2) Berhubungan dengan mobilisasi adalah terjadinya nyeri pada
daerah punggung dan dislokasi sendi.
3) Berhubungan dengan kerusakan otak dapat menyebebkan
terjadinya kejang dan nyeri kepala hebat serta terjadinya
hidrosefalus (ASEAN Neurologic Association, 2016)
Penggunaan akronim FAST dapat di terapkan untuk membantu
mengenali gejala awal dari stroke, yaitu:
1) F yaitu Face (wajah)
Wajah bisa mengalami kelumpuhan sebelah dan dapat kita amati
pada saat pasien tersenyum, maka sudut bibirnya hanya bisa
mengangkat sebelah atau mata terlihat terkulai.
2) A yaitu Arms (lengan)
Stroke juga dapat di ketahui bila seseorang tidak bisa mengangkat
salah satu dari ekstremitas (lengan atau tungkai), baik itu hanya
satu sisi tubuh atau keduanya, sesorang akan mengalami
kelemahan ekstremitas tetapi masih bisa merasakan atau merespon
terhadap rangsangan yang di berikan (parase) atau juga sama sekali
tidak merasakan sensasi rangsangan (plegi) selain itu gejala yang
timbul adalah kesemutan.
3) S yaitu Speech
Bicara/cadel/pelo/disartria ataupun tidak bisa berbicara sama sekali
meski masih dalam keadaan sadar (afasia).
4) T yaitu Time (waktu)
Setiap detik sangatlah berharga. Time is Brain yaitu semakin cepat
diketahui gejala stroke makin cepat pertolongan yang diberikan,
makin optimal perbaikan yang di dapat. Periode waktu atau golden
period hanya 4,5 jam dari gejala onset dan menurun dengan cepat
selama 4,5 jam berikutnya, apabila penanganan tertunda untuk
setiap menitnya kurang lebih 2 juta sel saraf mati (Lisiswanti &
Putra, 2016)

i. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Medis (Farmakologi)
a) Trombolitik
b) Anti platelet
c) Antikoagulan
d) Antagonis Serotonin dan Antagonis calcium
e) Anti convulsion
f) Pencegahan terjadinya peningkatan tekanan intracranial dengan
pemberian manitol, furosemid, steroid dan intubasi (AHA,
2015)

2) Penatalaksaan Non Farmakologi


a) Posisi kepala dan badan 20-30 derajat, posisi lateral dekubitus
bila disertai muntah. Boleh mobilisasi bertahap bila
hemodinamik stabil.
b) Bebaskan jalan nafas dan usahakan pasang ventilasi adekuat
bila perlu berikan oksigen 1-2 liter / menit bila ada hasil gas
darah.
c) Kontrol tekanan darah dan suhu tubuh, dipertahankan normal.
d) Nutrisi peroral bila setelah tes fungsi menelan baik dan bila
terjadi gannguan menelan dan terjadi penurunan kesadaran
dianjurkan memakai NGT.
e) Mobilisasi dan Rehabilitasi dini jika tidak ada kontra indikasi
seperti Range Of Motion dan fisiotherapi lainnya sesuai
kebutuhan pasien (Goldstein dkk, 2015)

j. Stroke Berulang
Perjalanan penyakit stroke beragam, penderita tersebut dapat pulih
sempurna, ada pula yang sembuh dengan cacat ringan, sedang sampai
berat. Pada kasus berat dapat terjadi kematian, pada kasus yang dapat
bertahan hidup beberapa kemungkinan terjadi stroke berulang,
dementia dan depresi. Stroke merupakan penyakit yang paling
banyak menyebabkan cacat pada usia di atas 45 tahun (Siswanto,
2005).
Secara klinik gambaran perjalanan stroke ada beberapa macam,
pertama defisit neurologiknya terjadi sangat akut dan maksimal saat
munculnya serangan, gambaran demikian sering terjadi pada stroke
karena emboli, kedua yang dikenal dengan stroke in evolution atau
progressing stroke adalah bilamana defisit neurologiknya memburuk
secara bertahap yang umumnya dalam ukuran menit sampai jam
sampai defisit neurologik yang maksimal tercapai (complet stroke),
bentuk ini biasanya disebabkan karena perkembangan proses
trombosis arterial yang memburuk atau suatu emboli yang rekuren.
Stroke berulang juga didefinisikan sebagai kejadian serebrovaskuler
baru yang mempunyai satu diantara kriteria berikut:
1) Defisit neurologik yang berbeda dengan stroke pertama.
2) Kejadian yang meliputi daerah anatomi atau daerah pembuluh
darah yang berbeda dengan stroke pertama.
3) Kejadian ini mempunyai sub tipe stroke yang berbeda dengan
stroke pertama.
Kriteria ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa sebab yang
teratur dari kemunduran klinik setelah stroke pertama (seperti
hipoksia, hipertensi, hiperglikemia, infeksi) atau gejala yang lebih
buruk karena kemajuan serangan stroke tidak salah diklasifikasikan
sebagai kejadian serebrovaskuler berulang.
Stroke berulang dengan makin banyak faktor resiko yang dipunyai,
maka tinggi kemungkinan mendapatkan stroke berulang. Faktor
resiko stroke yang dipunyai tersebut, seperti riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, kelainan jantung, dislipidemia, dan lain-lain harus
ditanggulangi dengan baik, penderita harus berhenti merokok dan
harus rajin berolah raga yang disesuaikan dengan keadaannya. Pasien
dengan gejala klinik atau faktor resiko perilaku lebih dari satu
mempunyai peningkatan resiko terjadinya stroke berulang dan
penanganan yang tepat dari faktor resiko tersebut sangat penting
untuk pencegahan stroke. Pada kelompok resiko tinggi setelah
terjadinya serangan stroke seharusnya menjadi target penanganan
secara terus menerus untuk mencegah terjadinya stroke berulang
(Makmur dkk, 2002 dalam Siswanto, 2005).
Menurut Junaidi (2011), kekambuhan stroke atau terjadinya stroke
berulang dipengaruhi oleh tiga hal penting, yaitu:
1) Penanggulangan faktor resiko yang ada dikaitkan dengan
kepatuhan penderita dalam mengontrol atau mengendalikan
faktor resiko yang telah ada, seperti menjaga kestabilan tekanan
darah. Seseorang yang tekanan darah yang tidak dikontrol
dengan baik akan meningkatkan resiko terjadinya stroke
berulang.
2) Pemberian obat-obatan khusus yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya stroke kedua atau stroke berulang, seperti penggunaan
aspirin yang terbukti mengurangi terjadinya kejadian stroke
berulang hingga 25%.
3) Genetik, yaitu seseorang yang mempunyai gen untuk terjadinya
stroke berulang.

k. Faktor Resiko Kejadian Stroke Berulang


Stroke tidak mempunyai penyebab tunggal, melainkan banyak
penyebab yang dapat menyebabkan seseorang mengalami stroke
(multifactorial cause). Berbagai faktor yang terdapat pada seseorang
bisa merupakan penyebab terjadinya stroke pada suatu ketika, hal
tersebut mengakibatkan seseorang yang sudah pernah mengalami
stroke kemungkinan dapat terjadi serangan kedua (stroke berulang)
apabila faktor-faktor stroke masih tetap ada dan tidak dilakukan
pengelolaan. Pengelolaan pada pasca stroke agar tidak menjadi
stroke berulang tidaklah mudah, hal ini disebabkan karena berbagai
faktor diantaranya faktor intrinsik (penderitanya yang menyangkut
usaha dalam memodifikasi pola hidup serta faktor ekstrinsik yang
meliputi lingkungan dan upaya dokter dalam membantu
mengendalikan faktor resiko (Tugasworo,2002 dalam Siswanto,
2005).
Berbagai faktor yang berperan di dalam terjadinya stroke telah
diketahui dan memberikan dasar bagi program pencegahan yang
efektif. Saat ini telah diketahui berbagai faktor yang dapat
menyebabkan seseorang lebih rentan terhadap stroke yang disebut
faktor resiko terhadap stroke (Tugasworo, 2002 dalam Siswanto
2005). Faktor-faktor resiko stroke menurut Pinzon & Asanti (2010)
dan Wardhana (2011) dapat dibagi menjadi faktor stroke yang tidak
dapat diubah dan faktor stroke yang dapat diubah:
1) Faktor resiko yang tidak dapat diubah
Faktor resiko stroke yang tidak dapat diubah merupakan faktor
resiko alami yang dimiliki oleh setiap orang meliputi: umur,
jenis kelamin, suku/ras, dan keturunan/riwayat keluarga. Faktor
resiko ini berperan dalam terjadinya suatu penyakit seperti halnya
stroke, dimana faktor resiko alami ini mempunyai karakteristik
sendiri untuk tiap penyakit (Data Riset Kesehatan Indonesia
2018).
a) Umur
Bertambahnya umur merupakan faktor resiko yang
terpenting untuk terjadinya serangan stroke, dimana umur
merupakan faktor resiko yang paling penting bagi semua
jenis stroke. Insiden stroke meningkat secara eksponensial
dengan bertambahnya umur.
Resiko yang dimiliki oleh seseorang untuk menderita stroke
bertambah dua kali lipat setelah usia 55 tahun, selain itu stroke
lebih sering terjadi pada umur lebih tua karena stroke
merupakan penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran pada
pembuluh darah. Pembuluh darah pada orang yang lebih tua
cenderung mengalami perubahan secara degeneratif dan mulai
terlihat dari proses aterosklerosis (Goldstein et al,2011).
b) Jenis Kelamin
Terdapat perbedaan insidens stroke pada pria dan wanita,
insidens stroke pada pria lebih tinggi walaupun pria memiliki
resiko lebih tinggi untuk terkena stroke namun penderita
wanita lebih banyak yang meninggal, hal ini karena penderita
stroke berjenis kelamin perempuan memiliki resiko kematian
2,68 kali lebih besar dari pada penderita pria. Amran (2012)
menunjukan bahwa separuh penderita stroke meninggal
terjadi pada perempuan. Perempuan pada umumnya
menderita stroke pada usia lanjut selain itu adanya keadaan
khusus pada perempuan diduga sebagai pemicu yaitu
kehamilan, melahirkan dan menopause yang berhubungan
dengan fluktuasi hormonal. Sedangkan pada penelitian
Framingham, stroke iskemik akan meningkat dengan
pertambahan usia dan hampir 30 % lebih sering terjadi pada
pria daripada wanita (Poerwadi, 2000 dalam Siswanto, 2005).
Data Riset Kesehatan Indonesia (2018) menunjukan bahwa
laki-laki mempunyai resiko sedikit lebih tinggi terjadinya
stroke berulang dibandingkan dengan wanita.
c) Suku/Ras
Orang asia memiliki kecenderungan terkena stroke lebih besar
dari orang eropa, hal ini ada kaitannya dengan lingkungan
hidup, pola makan dan sosial ekonomi. Makanan asia lebih
banyak mengandung minyak dari pada makanan orang
eropa. Menurut data kesehatan di amerika serikat, penduduk
yang berasal dari keturunan afrika-amerika beresiko terkena
serangan stroke 2 kali lebih besar dari penduduk keturunan
eropa. Keadaan ini makin meningkatkan hampir 4 kali lipat
pada umur sekitar 50 tahun, namun pada usia sekitar 65 tahun
penduduk amerika yang terkena stroke sama dengan
keturunan afrika- amerika (Wardhana, 2011).
d) Keturunan/Keluarga
Bilamana kedua orang tua pernah mengalami stroke maka
kemungkinan keturunannya terkena stroke semakin besar.
Riwayat keluarga adanya serangan stroke atau penyakit
pembuluh darah iskemik, sering pula didapat terjadi pada
penderita stroke yang muda. Berbagai faktor penyebab
termasuk prediposisi genetik aterosklerosis dapat
menerangkan hal ini. Sedangkan anurisma intracranial
sakular, malformasi pembuluh darah, dan angiopati amiloid
sering familial dan ini merupakan penyebab stroke
nonaterosklerotik (Poerwadi, 2000 dalam Siswanto, 2005).
2) Faktor resiko yang dapat diubah
Faktor resiko stroke berulang dapat diubah sama dengan faktor
stroke secara umum antara lain: hipertensi, diabetes mellitus,
kelainan jantung, kebiasaan merokok, konsumsi minuman
beralkohol, aktifitas fisik/olahraga, kepatuhan kontrol, obesitas,
dan kepatuhan diit (Husni & Laksmawati, 2001. Lumantobing,
2002. Smeltzer & Bare, 2002. Black & Hawks, 2009. Wahyu,
2009. Pinzon & Asanti, 2010. Junaidi, 2011).
a) Hipertensi
Hipertensi berperanan dalam proses aterosklerosis melalui
efek penekanan pada sel endotel atau lapisan dalam
dinding arteri yang berakibat pembentukan plak pembuluh
darah semakin cepat seseorang dikatakan hipertensi bila
tekanan darahnya 140/90 mmHg (Junaidi, 2011).
b) Diabetes Mellitus
Individu dengan diabetes memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk mengalami stroke dibandingkan dengan individu tanpa
diabetes diabetes mellitus merupakan penyakit yang sering
dijumpai bersamasama penyakit serebrovaskuler, yang
merupakan faktor resiko kedua terjadinya stroke.
c) Kelainan Jantung
Penderita dengan kelainan jantung beresiko tinggi terhadap
terjadinya stroke bila dibandingkan dengan yang tidak
mempunyai kelainan jantung. Penyakit jantung hipertensi
dengan hipertrofil ventrikel kiri yang terlihat pada EKG,
sangat terkait dengan kenaikan resiko baik stroke iskemik
maupun pendarahan.
d) Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena stroke dua sampai
empat kali. Hal ini berlaku untuk semua jenis rokok (sigaret,
pipa atau cerutu) dan untuk semua tipe stroke, terutama
perdarahan subarachnoid karena terbentuknya aneurisma dan
stroke iskemik. Merokok memberikan konstribusi
terbentuknya plak pada arteri.
e) Aktifitas fisik (olahraga)
Aktifitas dipengaruhi dari kegiatan yang dilakukan baik
didalam ruangan maupun di luar ruangan, seseorang kurang
aktif secara fisik (yang olahraganya kurang dari tiga kali atau
kurang per minggu 30 menit) memiliki hampir 50% resiko
terkena stroke dibanding mereka yang aktif.
f) Kepatuhan kontrol
Penderita stroke harus sering memeriksakan dirinya kedokter
atau rumah sakit. Pasien yang patuh dalam menggunakan
terapi pencegahan sekunder terbukti dapat menurunkankan
resiko terjadinya stroke berulang dalam jurnal dengan judul
risk factor management forstroke prevention oleh Shyam
Prabhakaran dan I Y. Chong tahun 2014.
g) Obesitas
Obesitas dapat meningkatkan kejadian stroke terutama bila
disertai dengan dislipedemia dan hipertensi melalui proses
aterosklerosis. Obesitas juga dapat menyebabkan terjadinya
stroke lewat efek snoring atau mendengkur dan tiba-tiba henti
napas karena terhentinya suplai oksigen secara mendadak di
otak. Obesitas juga membuat seseorang cenderung mempunyai
tekanan darah tinggi, meningkatkan resiko terjadinya diabetes
juga meningkatkan produk sampingan metabolisme yang
berlebihan yaitu oksidan atau radikal bebas (Junaidi, 2011).
h) Minum Alkohol
Minum alkohol secara teratur lebih dari 30 gram per hari (pria)
atau 15 gram per hari (wanita), mabuk-mabukan (minum lebih
dari 75% gram dalam 24 jam) dan alkoholisme dapat
meningkatkan tekanan darah sehingga dapat meningkatkan
resiko stroke. Minum alkohol dalam jumlah sedikit pun dapat
meningkatkan tekanan darah, oleh karena itu harus dihindari
untuk seorang yang memiliki riwayat hipertensi karena dapat
menimbulkan komplikasi berat (Wahyu, 2009).
i) Diit
Penatalaksanaan diit yang baik pada pasien stroke dapat
mengurangi resiko terjadinya stroke berulang, menurut Lewis,
dkk (2007), diet dengan tinggi lemak dan kurangnya buah dan
sayur dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke.

2. Konsep kepatuhan minum obat


a. Pengertian Kepatuhan
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kepatuhan berasal dari kata patuh
yaitu suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan disiplin.
Kepatuhan dapat diartikan sebagai ketaatan mealkukan sesuatu yang
dianjurkan atau ditetapkan. Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan
cara pengobatan dan perilaku yang disarankan dokter atau oleh orang lain
(Santoso, 2015). Sementra itu, WHO (2003) mendefinisikan kepatuhan
sebagai seberapa baik perilaku seseorang dalam mengonsumsi obat, mengikuti
diet atau mengubah gaya hidup sesuai dengan tatalaksana terapi (dalam
Norman, 2012).

Home (2006 dalam Lailatushifah 2012) mendefiniskan adherence sebagai


perilaku menkonsumsi obat yang merupakan kesepakatan antara pasien dan
pemberi resep. Kepatuhan dalam mengonsumsi obat lebih dirujuk kepada
istilah adherence yang dimaknai sebagai perilaku untuk menaati saran-saran
atau prosedur dari dokter tentang penggunaan obat, yang sebelumnya
didahului proses konsultasi antra pasien (dan atau keluarga pasien sebagai
oaring kunci dlam kehidupan pasien) dengan dokter sebagai penyedia jasa
medis.

Menurut Berman et al (2016) kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya:


konsumsi obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai
anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak
mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi rencana. Menurut
Sarafino and Smith (2015) mendefinisikan kepatuhan atau ketaatan
(compliance atau adherence) sebagai: tingkat pasien melaksanakan cara
pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain.

b. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Menurut Niven (2002) (dalam Violita, 2015) derajat atau tingkat
ketidakpatuhan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
kompleksitas prosedur pengobatan, derajat perubahan gaya hidup yang
dibutuhkan, lamanya waktu yang diperlukan untuk mematuhi nasihat tersebut,
apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan, apakah pengobatan
tersebut nerpotensi menyelamatkan hidup serta tingkat keparahan penyakit
yang dirasakan.
Lawrence Green dalam Notoadmodjo (2010) memaparkan bahwa faktor-faktor
yang berhubungan dengan kepatuhan dapat dibagi menjadi tiga yaitu faktor
predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi
meliputi, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, status pekerjaan, lama
menderita dan tingkat pengetahuan. Adapun faktor pendukung meliputi,
keterjangkauan akses ke pelayanan kesehatan dan keikutsertaan asuransi
kesehatan. Sedangkan faktor pendorong meliputi dukungan keluarga dan peran
pelayanan kesehatan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan,
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien. Secara
umum faktor yang berkaitan dengan tingkat kepatuhan pada pasien diabetes
melitus adalah (Jilao, 2017):
1) Usia
2) Pendidikan
3) Status sosial dan ekonomi
4) Regimen terapi
5) Pengetahuan pasien tentang penyakit
6) Pengetahuan pasien tentang obat
7) Interaksi pasien dengan tenaga Kesehatan

Menurut Faktul (2015), keputuhan dipengaruhi oleh faktor diantaranya, yaitu:


1) Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia meningkatkan
kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan
penyempurnaan kehidupan manusia dengan jalan membina dan
mengembangkan potensi kepribadiannya, yang berupa rohani (cipta,
rasa, karsa) dan jasmani.
2) Akomodasi Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri
kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang
mandiri harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.
3) Modifikasi faktor lingkungan dan sosial. Membangun dukungan sosial
dari keluarga dan teman–teman sangat penting, kelompok pendukung
dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap program
pengobatan.
4) Perubahan model terapi. Program pengobatan dapat dibuat sesederhana
mungkin dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
5) Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien. Suatu hal
yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah
memperoleh informasi diagnosa.

c. Cara Mengukur Kepatuhan


Menurut Sacket, dkk (1985) (Norman, 2012) dalam mengukur kepatuhan
berobat dapat diketahui melalui tujuh cara yaitu keputusan dokter yang
didasarkan pada hasil pemeriksaan, pengematan terhadap jadwal pengobatan,
penilaian pada tujuan pengobatan, perhitungan jumlah tablet/pil pada akhir
pengobatan, pengukuran kadar obat dalam darah dan urin, wawancara pada
pasien dan pengisian formulir khusus.
Diantara semua metode yang telah dipaparkan, metode pengukuran tidak
langsung melalui kuesioner merupakan metode yang diniai cukup sederhana,
murah dan mudah dalam pelaksanaannya. Salah satu kuesioner yang dibuat
oleh Morisky yaitu Morisky Medication Adhernce Scale (MMAS) adalah
kuesioner yang telah tervalidasi untuk melihat kepatuhan pengobatan jangka
panjang pada penyakit kronik. Adhernce Scale (MMAS) pertama kali
diaplikasikan untuk mengetahui compliance pada pasien hipertensi pada pre
dan post interview. Morisky et al. mempublikasikan versi terbaru pada tahun
2008 yaitu MMAS-8 dengan reliabilitas yang lebih tinggi yaitu 0,83 serta
sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi pula. Morisky secara khusus
membuat skala untuk mengukur kepatuhan dalam mengonsumsi obat yang
dinamakan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS), dengan delapan
item yang berisi pernyataan-pernyataan yang menunjukkan frekuensi kelupaan
dalam minum obat, kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan
dokter, kemampuan untuk mengendalikan dirinya untuk tetap minum obat
(Morisky & Muntner, 2009) (dalam Jilao, 2017)

d. Cara Meningkatkan Kepatuhan


Sejumlah strategi telah dikembangkan untuk mengurangi ketidakpatuhan
minum obat. Berikut adalah lima titik rencana yang telah diusulkan oleh
DiNicola dan Dimatteo (1984) (dalam Violita, 2015).
1) Untuk menumbuhkan kepatuhan syaratnya adalah mengembangkan
tujuan kepatuhan tersebut. Seseorang akan dengan senang hati
mengemukakan tujuannya mengikuti anjuran minum obat jika ia
memmiliki keyakinan dan sikap positif terhadap program
pengobatan.
2) Perilaku sehat yang baru perlu dipertahankan. Sikap pengontrolan
diri membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi diri
dan penghargaan terhadap perilaku baru tersebut.
3) Faktor kognitif diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan. Penderita
perlu mengembangkan perasaan mampu, bias mengntrol diri dan
percaya kepada diri sendiri agar tidak menimbulkan pernyataan
negative dari dalam dirinya yang dapat merusak program
pengobatannya
4) Dukungan sosial, baik dalam bentuk dukungan emosional dari
anggota keluarga, teman, waktu dan uang merupakan faktor penting
dalam kepatuhan terhadap program medis. Keluarga dan teman dapat
membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit,
menghilangkan godaan pada ketidaktaatan serta menjadi kelompok
pendukung untuk mencapai kepatuhan.
5) Dukungan dari professional kesehatan merupakan faktor lain yang
mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan tersebut
mempengaruhi perilaku penderita dengan cara menyampaikan
antusia mereka terhadap suatu tindakan tertentu di penderita dan
terus-menerus memberikan penghargaan kepada penderita yang
mampu beradaptasi dengan program pengobatan.

3. Penelitian terkait
a. Penelitian yang dilakukan oleh Putra (2016) yang berjudul Hubungan
antara Tingkat Kepatuhan Minum Obat Antiplatelet Aspirin dengan
Kejadian Stroke Iskemik Berulang di RS Bethesda Yogyakarta.
Penelitian analitik dengan metode kasus kontrol. Penelitian menggunakan
sampel sebanyak 112 data yang diambil dari data primer pasien.
Kelompok kasus sebanyak 56 pasien stroke berulang dan kelompok
kontrol sebanyak 56 pasien stroke tidak berulang dengan 7 menanyakan
riwayat stroke dan kepatuhan minum obat aspirin tahun 2016 kebelakang.
Analisis terhadap 112 subyek yang memenuhi kriteria penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan sedang
dan rendah minum obat anti-platelet Aspirin dengan kejadian stroke
iskemik berulang dengan p >0,05 (OR : 28,52, 95%CI: 12,657- 88,762, p:
< 0,001) Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat
kepatuhan minum obat anti-platelet aspirin dengan kejadian stroke
iskemik berulang di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Fadmi (2017) Hubungan Komunikasi
Interpersonal Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Konsumsi Obat
Stroke di Ruang Poli Syaraf RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin. Desain penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross
sectional. Populasi adalah seluruh pasien pasca stroke sebanyak 250
orang dan 8 sampel berjumlah 72 orang dengan teknik porpusive
sampling. Analisa data melalui uji Spearman Rank dengan menggunakan
tingkat kepercayaan 95%. Hasil penelitian didapatkan komunikasi
interpersonal petugas kesehatan sebagian besar dengan kategori baik
berjumlah 53 orang (73,6%) dan pasien pasca stroke patuh berjumlah 43
orang (59,7%). Ada hubungan antara komunikasi interpersonal petugas
kesehatan dengan kepatuhan konsumsi obat pasien pasca stroke (p =
0,000 < α 0,05).
c. Penelitian yang dilakukan oleh Nindita rachmania (2019) hubungan
karakterisitk pasien dengan kepatuhan minum obat dan kualitas hidup
pasien rawat jalan stroke iskemik di RSUD Banyumas. Desain penelitian
adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Responden
sebanyak 44 pasien stroke iskemik yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Kepatuhan minum obat diukur menggunakan kuesioner MARS
5, dan didapatkan skor 22,5. Nilai tersebut diartikan sebagai pasien stroke
iskemik di RSUD Banyumas tergolong dalam kategori sering patuh.
d. Penelitian yang dilakukan oleh Zaidah (2019) yang berjudul hubungan
kepatuhan minum obat hipertensi dengan kejadian stroke di RSUD Al
Ihsan Jawa barat. Penelitian menggunakan metode analitik observasional
dengan desain studi kasus kontrol. Responden sebanyak 92 terdiri dari 46
responden pasien stroke dengan penyakit hipertensi dan 46 responden
pasien non stroke dengan penyakit hipertensi. Hasil penilitian
menunjukkan bahwa lebih dari setengah (58.7%) pasien stroke di RSUD
Al Ihsan dikategorikan memiliki tingkat kepatuhan minum obat yang
rendah. Hasil analisa chi square tidak terdapat hubungan bermakna antara
kepatuhan minum obat hipertensi dengan kejadian stroke (p=0.6).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara kepatuhan minum obat hipertensi dengan kejadian
stroke di RSUD Al Ihsan.
e. Penelitian yang dilakukan oleh Christiandari (2021) yang berjudul
hubungan medication related burned dengan kepatuhan terapi pada
pasien stroke di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Desain penelitian
observasional dengan pendekatan cross sectional. Responden sebanyak
44 pasien stroke iskemik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Responden sebanyak 49 pasien stroke yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Pengambilan data tingkat kepatuhan Medication
Adherence Rating Scale (MARS) dan beban pengobatan menggunakan
kuesioner Living With Medicine Questionaire (LMQ). Hasil penelitisn
menunjukkan kuesioner tingkat kepatuhan didapatkan 29 responden
(59,18%) berada ditingkat kepatuhan sedang dan 20 responden (40,81%)
berada ditingkat patuh tinggi. Sedangkan kuesioner LMQ didapatkan 8
responden (16,32%) mengalami beban rendah dan 41 responden
(83,67%) mengalami beban sedang. Berdasarkan nilai koefisiensi
korelasi VAS dengan MARS menunjukkan korelasi negative (CP=-
0,186 dan p=0,201), berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara
beban pengobatan dengan kepatuhan pasien.

B. Kerangka Teori

STROKE

STROKE HEMORHAGIK STROKE NON HEMORHAGIK


Penatalaksanaan farmakologi Penatalaksanaan Non Farmakologi
1. Trombolitik 1. Posisi Kepala dan badan
2. Anti Platelet, Antikoagulan, Antagonis serotonin, Antagonis 20-30 derajat
calcium, Antikonvulsion 2. Bebaskan Jalan Nafas
3. Pencegahan peningkatan tekanan intracranial dan pemasangan ( Ventilasi dan oksigenisasi
intubasi sesuai indikasi. adekuat)
3. Katererisasi
Faktor-faktor resiko stroke berulang 4. Pertahankan Vital sign
normal
1. Faktor yang tidak bisa diubah 5. Asupan Nutrisi adekuat
6. Mobilisasi dan Rehabilitasi
 Umur
dini
 Jenis kelamin Kepatuhan minum obat Range Of Motion jika tidak
 Keturunan / keluarga ada kontra indikasi

2. Factor yang bisa diubah


 HT PATUH TIDAK PATUH
 DM
 Kepatuhan minum obat
STROKE BERULANG
Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Nursalam(2011), (Carey, at al, 2018), Morisky & Muntner, 2009)
(dalam Jilao, 2017), Kamidah (2015)

Anda mungkin juga menyukai