Sejarah Finish PDF
Sejarah Finish PDF
Disusun Oleh :
Muhammad Irwan Dwi Saputra
0
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, atas curahan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “ PERALIHAN FUNGSI BREGADA
KERATON SEJAK MASA KOLONIAL.” Ini tepat pada waktunya. Makalah ini ditulis
dalam rangka menyelesaikan tugas sejarah untuk mendapatkan nilai yang maksimal.
Makalah ini disusun dengan lengkap dan detail, sehingga orang yang masih
awam dapat memahami informasi mengenai sejarah bregada. Penulis juga
menyampaikan ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang sudah berkontribusi
dalam penyelesaian makalah ini.
Sebagai manusia biasa Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh
dari kata sempurna, karena keterbatasan kemampuan dari ilmu pengetahuan yang
dimiliki oleh penulis. Oleh karenanya atas kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
makalah ini, Penulis mohon maaf dan bersedia menerima kritikan yang membangun.
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... 1
ABSTRAK ..................................................................................................................... 4
BAB I ............................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 5
BAB II ............................................................................................................................ 9
2
BAB IV ........................................................................................................................ 15
BAB V ......................................................................................................................... 18
3
ABSTRAK
Setiap negara atau kerajaan pasti tidak terlepas dari sistem pertahanannya.
Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa memiliki pasukan yang biasa disebut Bregada
Keraton Ngayogyakarta yang telah beroperasi dari masa pemerintahan Pangeran
Mangkubumi atau yang dikenal dengan Sri Sultan Hamengkubuwono I sampai dengan
sekarang. Namun, setelah kedatangan bangsa Belanda prajurit Bregada ini mengalami
peralihan fungsi dari penjaga kedaulatan menjadi pengawal budaya upacara adat
Keraton Yogyakarta. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini berada di komplek Keraton Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Fokus dari penelitian ini adalah Bregada Keraton
Ngayogyakarta untuk meningkatkan citra pariwisata berbasis budaya.
Saat ini terdapat 10 bregada prajurit yang dibawah naungan Pengageng Tepas
Kaprajuritan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setiap bregada prajurit memiliki arti
dan makna sesuai dengan nama bregada prajurit itu sendiri. Mereka juga memiliki
struktur kepemimpinannya sendiri sebagaimana sebuah kelompok prajurit pada
umumnya. Hanya saja Bregada-bregada prajurit Keraton ini hanya tampil dalam acara
tertentu, dengan urutan dan formasi tertentu berdasarkan peran dan fungsi masing-
masing, sebagaimana yang ditampilkan dalam setiap barisan pada upacara Garebeg
setiap tahunnya. Dengan meleburnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam
NKRI, maka fungsi Bregada berubah menjadi fungsi budaya dan menunjukkan
eksistensi dari Kraton itu sendiri. Beralihnya fungsi Bregada menjadi fungsi budaya,
maka masyarakat diperbolehkan membentuk paguyuban Bregadanya sendiri. Selain
sebagai fungsi budaya, Paguyuban Bregada juga mencerminkan potensi yang ada di
wilayah tersebut. Dengan hal ini menjadikan Bregada sebagai daya tarik tersendiri bagi
wisatawan asing serta domestik.
4
BAB I
PENDAHULUAN
Keraton Yogyakarta atau yang kini lebih dikenal dengan nama Keraton
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan salah satu kerajaan yang masih
berdiri hingga saat ini. Keraton ini didirikan oleh Pangeran Mangkubumi atau yang
dikenal dengan Sri Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1755 sebagai Istana/Keraton
Yogyakarta yang baru berdiri akibat perpecahan Mataram Islam dengan adanya
Perjanjian Giyanti. Keraton ini adalah pecahan dari Keraton Surakarta Hadiningrat dari
Mataram Islam Surakarta (Kerajaan Surakarta). Sehingga dinasti Mataram diteruskan
oleh 2 Kerajaan yakni Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.
5
1.2. Rumusan Masalah
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai oleh penulis yaitu,
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana Bregada Keraton Yogyakarta untuk
meningkatkan citra pariwisata berbasis budaya.
2. Untuk mengetahui bagaimana Bregada Keraton Yogyakarta untuk
meningkatkan citra pariwisata berbasis budaya.
3. Untuk mengetahui sejarah dan tradisi Bregada Keraton Yogyakarta.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik bagi peneliti atau
orang lain, sehingga peneliti mengharapkan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi orang lain, penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan
ilmu tentang sejarah Bregodo Keraton Ngayogyakarta.
2. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu menjadi tugas yang berkualitas
sehingga mampu mencapai nilai yang terbaik pada mata pelajaran sejarah.
3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapakan mampu menjadi referensi
bagi penelitian selanjutnya dan dapat dikembangkan menjadi lebih sempurna.
6
1.5. Metodologi Penelitian
7
1.6. Jenis Data
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Pasukan/Prajurit
9
BAB III
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam
di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota
Gede (sebelah tenggara kota Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered,
Kartasura dan Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin
terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah
di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap
Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti
Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti
atau Palihan Nagari.
Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis
Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi
menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara
Ngayogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan
Hamengku Buwono I.
Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan
Yogyakarta dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada tanggal 15 Februari 1755.
Dalam pertemuan ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-
masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini
membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan
yang berbeda.
Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat,
bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah
Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram.
Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau
menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan
budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta.
10
Tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) adalah tanggal
bersejarah untuk Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal inilah proklamasi atau Hadeging
Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku
Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755.
Proses pembangunan berlangsung hingga hampir satu tahun. Selama proses
pembangunan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga tinggal di
Pesanggrahan Ambar Ketawang. Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan
para pengikutnya memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kemis
Pahing, 13 Sura 1682 TJ). Dalam penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai
dengan sengkalan memet: Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.
Seiring berjalannya waktu, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami pasang
surut. Utamanya terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial baik Belanda maupun
Inggris. Pada tanggal 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki
keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan
Hamengku Buwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan
kepada Pangeran Notokusumo (putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh
Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.Wilayah kekuasaan Kasultanan yang diberikan
kepada Paku Alam I meliputi sebagian kecil di dalam Ibukota Negara dan sebagian
besar di daerah Adikarto (Kulonprogo bagian selatan). Daerah ini bersifat otonom, dan
dapat diwariskan kepada keturunan Pangeran Notokusumo. Oleh karena itu, sejak 17
Maret 1813, Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.
Perubahan besar berikutnya terjadi setelah lahirnya Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945. Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera
mengucapkan selamat atas berdirinya republik baru tersebut kepada para proklamator
kemerdekaan. Dukungan terhadap republik semakin penuh manakala Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada
tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan
adalah bagian dari Negara Republik Indonesia. Menerima amanat tersebut maka
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno, menetapkan bahwa Sultan
Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam merupakan dwi tunggal yang memegang
kekuasaan atas DIY. Status keistimewaan tersebut semakin kuat setelah disahkannya
Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan.
11
3.2. Sejarah Bregodo
12
keraton. Sedangkan dari para bupati, Sultan masih bisa mendapatkan 2.126 prajurit lagi.
Dapat dikata, Sultan mampu menghimpun pasukan lebih dari 10.000 prajurit jika
dibutuhkan.
Kesatuan-kesatuan prajurit yang dimiliki keraton saat itu memiliki kekhasannya
masing-masing. Seperti misalnya Prajurit Suronoto, adalah pasukan yang terdiri dari
kelompok pejabat agama bersenjata. Begitu juga Prajurit Dhaeng, yang berasal dari
Sulawesi. Pasukan ini didatangkan ke Jawa dan menjadi bagian dari kekuatan Raden
Mas Said. Awalnya Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I) dan Raden Mas Said bersekutu. Tapi terjadi perselisihan yang
berujung pada perceraian Raden Mas Said dengan istrinya, Ratu Bendara, yang
merupakan putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said kemudian
memulangkan mantan istrinya itu dengan pengawalan prajurit pilihan yang tidak lain
adalah Prajurit Dhaeng. Sesampainya di Keraton Yogyakarta, rombongan ini disambut
dengan sangat baik oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Atas keramahan itu, Prajurit
Dhaeng memutuskan tidak pulang dan malah mengabdi setia kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono I.
Ada juga Prajurit Langenkusumo. Kadang disebut juga sebagai prajurit estri
(perempuan). Prajurit Langenkusumo terdiri dari prajurit perempuan yang berasal dari
anak perempuan pejabat tinggi atau keluarga lapisan atas di pedesaan. Kemampuan
Prajurit Langenkusumo pernah mengundang decak kagum Daendels pada
kunjungannya di tahun 1809. Selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, ia
disuguhi pertunjukan berupa perang-perangan yang dilakukan empat puluh anggota
Prajurit Langenkusumo di alun-alun selatan. Prajurit-prajurit perempuan tersebut
mampu menunggang kuda dengan begitu tangkas dan mampu menembakkan salvo
dengan sangat baik.
13
sebilah keris yang diselipkan dalam sabuk, dan satu buah keris lagi yang digantungkan
pada sabuk.
Gubernur VOC Nicolaas Hartingh pernah mendeskripsikan pakaian yang
dikenakan Pangeran Mangkubumi saat pertemuan pribadi mereka di Pedagangan,
Grobogan, saat mereka menegosiasikan tuntutan Pangeran Mangkubumi atas bumi
Mataram. Pangeran Mangkubumi menggunakan pakaian putih dan kain, memakai dua
keris, tutup kepala ulama yang dibalut dengan ikat kepala linen halus berjahit benang
emas. Para pengiring Pangeran Mangkubumi juga mengenakan pakaian yang mirip.
Deskripsi mengenai pakaian yang dikenakan Pangeran Mangkubumi dalam berperang
menunjukkan bahwa pakaian keprajuritan pada awal Kasultanan Yogyakarta telah
dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Namun menilik beberapa lukisan tentang prajurit
Jawa pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, tidak dapat dikatakan bahwa corak
Islam ada dalam tiap seragam prajurit.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IV (1816-1823), desain Eropa mulai
dipakai pada pakaian prajurit keraton. Hal ini bersamaan dengan diterimanya pengaruh-
pengaruh Eropa pada beberapa hal, termasuk pemberian pangkat Mayor Jenderal tituler
pada Sultan yang berkuasa. Mulai masa inilah pakaian prajurit keraton berkembang
menjadi yang dikenal sekarang. Saat ini kita melihat unsur-unsur Eropa tersebut
diselipkan secara bijak dalam bentuk kaos kaki, sepatu, maupun topi.
Desain dari pakaian prajurit keraton tidak sekadar mengejar keindahan semata.
Mulai warna hingga motif kain memiliki muatan filosofisnya sendiri. Dalam dunia
simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu dalam dunia
dibagi ke dalam empat bagian yang tersebar seusai arah mata angin, dan satu lagi bagian
di tengah sebagai pusatnya. Begitu juga dengan empat macam nafsu manusia,
yaitu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah. Keempat nafsu ini kemudian
diwujudkan dalam empat macam warna, yaitu warna hitam, merah, kuning, dan putih.
14
BAB IV
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan data serta hasil penelitian mengenai
permasalahan pada Bab I, yaitu Bregada Keraton Yogyakarta berganti fungsi dari
penjaga kedaulatan hingga pengawal budaya dan Bregada Keraton Yogyakarta untuk
meningkatkan citra pariwisata berbasis budaya. Bab ini juga melaporkan keseluruhan
hasil penelitian dari lapangan termasuk wawancara, analisis, dan dokumentasi.
Wawancara mendalam dengan partisipan berdasarkan dengan bebrapa pertanyaan
sesuai dengan proporsi dan masalah yang diteliti. Dalam bab ini peneliti mencoba
menggambarkan beberapa model sesuai dengan hasil pengamatan, wawancara dan
temuan di lapangan.
Mengawali sebuah penelitian tentang peralihan fungsi bregada ini, peneliti
memulainya dengan mengunjungi Kawasan Wisata Keraton, lalu setelah itu peneliti
tertarik untuk meneliti lebih mendalam yang terfokus pada Prajurit yang dimiliki oleh
Keraton. Peneliti melihat prajurit bregada sekarang sudah tidak sepenuhnya berfungsi
sebagai kekuatan militer Keraton melainkan bergeser sebagai penjaga keamanan
keluarga sultan dan kelengkapan upacara saja. Lalu peneliti diarahkan untuk
mewawancarai kesalahsatu Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Beliau adalah Mangku
Sutriyo Purnomo yang merupakan informan kunci pertama. Selama wawancara penulis
menanyakan perihal apa sebenarnya Bregada itu. Dari hasil wawancara dengan Bapak
Mangku Sutriyo Purnomo selaku Abdi Dalem Keraton mengatakan bahwa :
15
“Karena prajurit Kraton diubah. Saat itu diubah dari perang menjadi
untuk upacara. Maka sampai sekarang seperti itu, karena dulu
Belanda sangat khawatir terutama setelah Ngayogyakarta
bergabung dengan Republik Indonesia. Ini juga mengapa prajurit
memiliki pakaian yang menarik, bukan lagi untuk perang tapi
upacara.”( 24 September 2023)
Fungsi prajurit kraton saat ini berbeda dengan zaman dahulu yang digunakan
untuk mendukung peperangan melawan penjajah. Pada periode 1945 hingga 1970
melalui Sri Sultan Hamengku Buwono IX, fungsi prajurit kraton mulai diubah dari
perang menjadi upacara budaya. Selain itu pakaian prajurit juga turut diubah menjadi
lebih berwarna seperti saat ini. Korps musik juga menjadi bagian tak terpisahkan
dari Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta. Sebagai prajurit pengawal upacara, musik
prajurit keraton memiliki daya tarik tersendiri. Musik prajurit menjadi atraksi budaya
sekaligus kekayaan musik lokal yang memberi warna pada budaya Jawa. Musik yang
dimainkan memiliki akar jauh ke belakang, ke masa di mana Bregada Prajurit Keraton
Yogyakarta masih merupakan kekuatan keamanan.
4.2. Pembahasan
16
Sementara itu, regu-regu dalam setiap bregada dipimpin oleh seorang bintara
berpangkat sersan. Keseluruhan perwira dalam semua bregada dipimpin oleh
seorang Pandhega, kecuali Bregada Wirabraja dan Bregada Mantrijero yang langsung
di bawah Kommandhan. Prajurit Keraton Yogyakarta dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok. Prajurit yang dimiliki Kepatihan, yaitu Bregada Bugis. Prajurit yang
dimiliki Kadipaten Anom (putera mahkota), yaitu Bregada Surakarsa. Dan sisanya
dimiliki oleh keraton.
Keraton memiliki total sebelas pasukan Bregada dan satu diantaranya adalah
Bregada Jager yang tidak memiliki seragamnya sendiri. Seperti yang dinyatakan Bapak
Mangku Sutriyo Purnomo dalam wawancara dengan peneliti, yaitu :
“Dari sepuluh Bregada pasukan itu, ada satu bregada yang tidak
memiliki uniform namanya Bregada Jager. Jager itu tinggal dan
bermarkas di kampung Jageran dahulunya. Kenapa bregada jager
itu tidak memiliki uniform karena mereka ini adalah bregada
intelejen seperti selayaknya BIN di Indonesia. Mereka kebanyakan
seperti masyarakat pada umumnya hanya berpakaian biasa atau
bahkan telanjang dada.” ( 24 September 2023)
17
BAB V
5.1. Kesimpulan
5.2 Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
Savitri, P. I. (2022, Maret 06). Mengenal empat komponen sistem pertahanan dan
keamanan Nusantara. Retrieved from ANTARA Kantor Berita Indonesia:
https://www.antaranews.com/berita/2742317/mengenal-empat-komponen-
sistem-pertahanan-dan-keamanan-
nusantara#:~:text=Pasal%2030%20Undang%2DUndang%20Dasar,kekuatan%
20utama%2C%20kemudian%20rakyar%20sebagai
Afify, R. A. (2023). Komunikasi Kepemimpinan untuk Mewujudkan Kohesivitas
Organisasi Remaja Masjid Baitul Hakim di Perum Rto Kenongo Asri, Bantukl.
Mercu Buana, 13-25.
Kawasan Keraton. (n.d.). Retrieved from Dinas Kebudayaan Kota Jogja:
https://kebudayaan.jogjakota.go.id/page/index/kawasan-kraton
19