Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERALIHAN FUNGSI BREGADA KERATON SEJAK MASA KOLONIAL

Disusun Oleh :
Muhammad Irwan Dwi Saputra

SMA NEGERI 8 YOGYAKARTA


2023

0
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, atas curahan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis
mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “ PERALIHAN FUNGSI BREGADA
KERATON SEJAK MASA KOLONIAL.” Ini tepat pada waktunya. Makalah ini ditulis
dalam rangka menyelesaikan tugas sejarah untuk mendapatkan nilai yang maksimal.

Makalah ini disusun dengan lengkap dan detail, sehingga orang yang masih
awam dapat memahami informasi mengenai sejarah bregada. Penulis juga
menyampaikan ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang sudah berkontribusi
dalam penyelesaian makalah ini.

Sebagai manusia biasa Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh
dari kata sempurna, karena keterbatasan kemampuan dari ilmu pengetahuan yang
dimiliki oleh penulis. Oleh karenanya atas kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
makalah ini, Penulis mohon maaf dan bersedia menerima kritikan yang membangun.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... 1

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 2

ABSTRAK ..................................................................................................................... 4

BAB I ............................................................................................................................. 5

PENDAHULUAN ......................................................................................................... 5

1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 5

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 6

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................. 6

1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 6

1.5. Metodologi Penelitian ......................................................................................... 7


1.5.1 Paradigma Penelitian ..................................................................................... 7
1.5.2 Metode Penelitian .......................................................................................... 7
1.5.3 Waktu Penelitian ............................................................................................ 7

1.6. Jenis Data ............................................................................................................ 8

BAB II ............................................................................................................................ 9

KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................................... 9

2.1. Kajian Teoritis ..................................................................................................... 9


2.1.1 Pasukan/Prajurit ............................................................................................. 9
2.1.2 Sistem Pertahanan Negara ............................................................................. 9

BAB III ........................................................................................................................ 10

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN............................................................................ 10

3.1. Sejarah Kraton ................................................................................................... 10

3.2. Sejarah Bregodo ................................................................................................ 12

3.3. Pakaian Prajurit Bregada ................................................................................... 13

2
BAB IV ........................................................................................................................ 15

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................................... 15

4.1. Temuan Data dan Hasil Penelitian..................................................................... 15

4.2. Pembahasan ....................................................................................................... 16

BAB V ......................................................................................................................... 18

KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................................... 18

5.1. Kesimpulan ........................................................................................................ 18

5.2 Saran ................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 19

3
ABSTRAK

Setiap negara atau kerajaan pasti tidak terlepas dari sistem pertahanannya.
Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa memiliki pasukan yang biasa disebut Bregada
Keraton Ngayogyakarta yang telah beroperasi dari masa pemerintahan Pangeran
Mangkubumi atau yang dikenal dengan Sri Sultan Hamengkubuwono I sampai dengan
sekarang. Namun, setelah kedatangan bangsa Belanda prajurit Bregada ini mengalami
peralihan fungsi dari penjaga kedaulatan menjadi pengawal budaya upacara adat
Keraton Yogyakarta. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini berada di komplek Keraton Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Fokus dari penelitian ini adalah Bregada Keraton
Ngayogyakarta untuk meningkatkan citra pariwisata berbasis budaya.

Saat ini terdapat 10 bregada prajurit yang dibawah naungan Pengageng Tepas
Kaprajuritan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setiap bregada prajurit memiliki arti
dan makna sesuai dengan nama bregada prajurit itu sendiri. Mereka juga memiliki
struktur kepemimpinannya sendiri sebagaimana sebuah kelompok prajurit pada
umumnya. Hanya saja Bregada-bregada prajurit Keraton ini hanya tampil dalam acara
tertentu, dengan urutan dan formasi tertentu berdasarkan peran dan fungsi masing-
masing, sebagaimana yang ditampilkan dalam setiap barisan pada upacara Garebeg
setiap tahunnya. Dengan meleburnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam
NKRI, maka fungsi Bregada berubah menjadi fungsi budaya dan menunjukkan
eksistensi dari Kraton itu sendiri. Beralihnya fungsi Bregada menjadi fungsi budaya,
maka masyarakat diperbolehkan membentuk paguyuban Bregadanya sendiri. Selain
sebagai fungsi budaya, Paguyuban Bregada juga mencerminkan potensi yang ada di
wilayah tersebut. Dengan hal ini menjadikan Bregada sebagai daya tarik tersendiri bagi
wisatawan asing serta domestik.

Kata kunci : Keraton Yogyakarta, Sejarah Bregada, Peralihan Fungsi, Potensi

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keraton Yogyakarta atau yang kini lebih dikenal dengan nama Keraton
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan salah satu kerajaan yang masih
berdiri hingga saat ini. Keraton ini didirikan oleh Pangeran Mangkubumi atau yang
dikenal dengan Sri Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1755 sebagai Istana/Keraton
Yogyakarta yang baru berdiri akibat perpecahan Mataram Islam dengan adanya
Perjanjian Giyanti. Keraton ini adalah pecahan dari Keraton Surakarta Hadiningrat dari
Mataram Islam Surakarta (Kerajaan Surakarta). Sehingga dinasti Mataram diteruskan
oleh 2 Kerajaan yakni Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.

Walaupun Kesultanan Yogyakarta secara resmi telah menjadi bagian Republik


Indonesia pada tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai
tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi
kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di
Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan
berbagai koleksi milik kesultanan.

Keraton sebagai kerajaan pasti tidak terlepas dari sistem pertahanannya.


Keraton Yogyakarta memiliki sekolompok prajurit yang biasa disebut dengan bregodo.
Korps Prajurit Keraton Yogyakarta pada masa kolonial Belanda secara fungsinya
sebagai alat pertahanan dan keamanan wilayah Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang terbagi atas beberapa kesatuan (Bregada/brigade). Mereka
merupakan kesatuan pasukan tentara yang dipakai sebagai angkatan perang, namun
pada saat ini mempunyai fungsi yang berbeda sebagai kekuatan budaya, bahkan sebagai
aset pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam upacara adat Garébég.

5
1.2. Rumusan Masalah

Penulis Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dijabarkan diatas,


penulisan berusaha menjawab permasalahannya sebagai berikut.
1. Bagaimana Bregada Keraton Yogyakarta berganti fungsi dari penjaga
kedaulatan hingga pengawal budaya.
2. Bagaimana Bregada Keraton Yogyakarta untuk meningkatkan citra pariwisata
berbasis budaya.

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai oleh penulis yaitu,
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana Bregada Keraton Yogyakarta untuk
meningkatkan citra pariwisata berbasis budaya.
2. Untuk mengetahui bagaimana Bregada Keraton Yogyakarta untuk
meningkatkan citra pariwisata berbasis budaya.
3. Untuk mengetahui sejarah dan tradisi Bregada Keraton Yogyakarta.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik bagi peneliti atau
orang lain, sehingga peneliti mengharapkan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi orang lain, penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan
ilmu tentang sejarah Bregodo Keraton Ngayogyakarta.
2. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu menjadi tugas yang berkualitas
sehingga mampu mencapai nilai yang terbaik pada mata pelajaran sejarah.
3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapakan mampu menjadi referensi
bagi penelitian selanjutnya dan dapat dikembangkan menjadi lebih sempurna.

6
1.5. Metodologi Penelitian

1.5.1 Paradigma Penelitian

Dari Lexy J. Moeleong, paradigma adalah pola atau model perihal


bagaimana sesuatu distruktur (bagian serta hubungannya) atau bagaimana
bagian-bagian berfungsi. Sedangkan berdasaran Prof. Kasiram, paradigma
adalah pola pikir atau cara pandang (aliran/mazhab) mengenai keseluruhan
proses, format dan hasil penelitian.
Pada penelitian ini, peneliti menerapkan paradigma penelitian kualitatif
yang berdasarkan Moleong adalah paradigma kontruktivisme. Paradigma
penelitian kualitatif umumnya dikaitkan menggunakan penelitian kualitatif
yang sifatnya deskriptif analitis, komparatif, serta data yang diperoleh bisa
melalui akibat pengamatan dan analisis dokumen.

1.5.2 Metode Penelitian

Jenis penilitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode


deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif adalah
teknik penelitian yang menghasilkan data deskriptif dalam bentuk tulisan atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Lexy J Moleong, 2000).
Penelitan deskriptif adalah penelitian yang digunakan untuk menyelidiki
kondisi di mana suatu peristiwa terjadi atau apa yang dikaitkan dengan sutau
objek atau variabel.
Metode ini karena peneliti dapat melihat aktivitas para bregada di
Kawasan Wisata Keraton dan dapat berinteraksi langsung dengan salah satu
tokoh masyarakat yang mengerti tentang sejarah bregada. Dan dengan cara ini
peneliti dapat memahami bagaimana bregada dapat beralih fungsi sesuai dengan
rumusan masalah yang telah disebutkan.

1.5.3 Waktu Penelitian

Periode penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dari tanggal 14


September 2023 sampai dengan tanggal 8 Oktober 2023, yang merupakan
periode yang ditentukan oleh penulis. Diharap penulis menggali lebih dalam
masalah yang akan dieksplorasi nanti.

7
1.6. Jenis Data

Pengertian teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat diunakan


dalam penelitian untuk mengumpulkan data, cara-cara tersebut menunjukkan sesuatu
yang abstrak dan tidak dapat diwujudkan dengan benda-benda yang tampak, tetapi
kegunaanya dapat ditunjukkan. Untuk memperoleh yang dibutuhkan dari penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data primer dan sekunder sebagai berikut :
A. Data Primer
Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi
lapangan secara langsung. Sumber data primer adalah data yang diberikan
langsung oleh peneliti tanpa pihak lain yang tidak terkait dengan fokus
penelitian. Pada penlitian ini sumber data primer diperoleh dari wawancara
pemandu wisata Kawasan Keraton Yogyakarta dan Abdi dalem Keraton
Yogyakarta.
B. Data sekunder
Peneliti tambahan menggunakan metode. Yang dijelaskan di atas
menangkap data tingkat kedua. Data dari berbagai sumber menjadi fokus
pengumpulan data kedua, menggunakan berbagai sumber online, seperti
dokumen dan buku. Sumber data sekunder juga berguna untuk menggabungkan
data peneliti dengan data tambahan. Pada penelitian ini sumber data sekunder
diperoleh dari Jurnal-jurnal online, Buku yang berhubungan dengan judul, dan
artikel internet.

8
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teoritis

2.1.1 Pasukan/Prajurit

Pasukan adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama


melakukan kegiatan kerjasama dengan tujuan yang sama, biasanya dipimpin
atau dikomandoi oleh satu orang yang sama dan setiap pasukan harus mengikuti
perintah yang dikatakan sang pemimpin.

2.1.2 Sistem Pertahanan Negara

Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat


semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya
nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan
diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan
kedaulatan negara.
Indonesia sebagai negara republik memiliki sistem pertahanannya
sendiri dan dibagi menjadi empat komponen utama. Direktur Pertahanan dan
Keamanan Kementrian PPN/Bappenas RI Bogat Widyatmoko mengatakan
bahwa empat komponen utama dari arsitektur sistem pemerintahan dan
keamanan negara telah berdasarkan kepada kajian ancaman pertahanan dan
gangguan keamanan yang mungkin terjadi di negara Indonesia.
Komponen pertama adalah intelijen. Komponen ini berfungsi untuk
mendeteksi ancaman dan tantangan secara dini, yang kemudian memberi
peringatan awal kepada pihak-pihak terkait guna melalukan pencegahan,
penangkalan, dan penanggulangan. Komponen kedua adalah pertahanan.
Komponen ini bertugas untuk menegakkan doktrin sishankamrata sekaligus
melancarkan strategi pertahanan negara. Komponen ketiga adalah komponen
keamanan. Berbeda dengan komponen pertahanan yang lebih memiliki orientasi
dalam melindungi kedaulatan Indonesia dari serangan militer, komponen
keamanan lebih berorientasi pada situasi keamanan domestik. Komponen
terakhir adalah komponen siber. Komponen ini berfungsi untuk menjaga
kerahasiaan data, menegakkan integritas dalam pengelolaan data.

9
BAB III
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

3.1. Sejarah Kraton

Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-16 terdapat sebuah kerajaan Islam
di Jawa bagian tengah-selatan bernama Mataram. Kerajaan ini berpusat di daerah Kota
Gede (sebelah tenggara kota Yogyakarta saat ini), kemudian pindah ke Kerta, Plered,
Kartasura dan Surakarta. Lambat laun, kewibawaan dan kedaulatan Mataram semakin
terganggu akibat intervensi Kumpeni Belanda. Akibatnya timbul gerakan anti penjajah
di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi yang mengobarkan perlawanan terhadap
Kumpeni beserta beberapa tokoh lokal yang dapat dipengaruhi oleh Belanda seperti
Patih Pringgalaya. Untuk mengakhiri perselisihan tersebut dicapai Perjanjian Giyanti
atau Palihan Nagari.
Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 (Kemis
Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ) menyatakan bahwa Kerajaan Mataram dibagi
menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Surakarta dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III, sementara
Ngayogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan
Hamengku Buwono I.
Perjanjian Giyanti ini kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan
Yogyakarta dengan Sunan Surakarta di Lebak, Jatisari pada tanggal 15 Februari 1755.
Dalam pertemuan ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-
masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini
membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan
yang berbeda.
Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat,
bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah
Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram.
Sementara itu, Sunan Pakubuwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau
menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan
budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta.

10
Tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ) adalah tanggal
bersejarah untuk Kasultanan Yogyakarta. Pada tanggal inilah proklamasi atau Hadeging
Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dikumandangkan. Selanjutnya, Sultan Hamengku
Buwono I memulai pembangunan Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755.
Proses pembangunan berlangsung hingga hampir satu tahun. Selama proses
pembangunan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga tinggal di
Pesanggrahan Ambar Ketawang. Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan
para pengikutnya memasuki Keraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kemis
Pahing, 13 Sura 1682 TJ). Dalam penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai
dengan sengkalan memet: Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.
Seiring berjalannya waktu, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami pasang
surut. Utamanya terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial baik Belanda maupun
Inggris. Pada tanggal 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki
keraton, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta. Penggantinya, Sri Sultan
Hamengku Buwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan
kepada Pangeran Notokusumo (putera Hamengku Buwono I) yang diangkat oleh
Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.Wilayah kekuasaan Kasultanan yang diberikan
kepada Paku Alam I meliputi sebagian kecil di dalam Ibukota Negara dan sebagian
besar di daerah Adikarto (Kulonprogo bagian selatan). Daerah ini bersifat otonom, dan
dapat diwariskan kepada keturunan Pangeran Notokusumo. Oleh karena itu, sejak 17
Maret 1813, Adipati Paku Alam I mendeklarasikan berdirinya Kadipaten Pakualaman.
Perubahan besar berikutnya terjadi setelah lahirnya Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945. Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera
mengucapkan selamat atas berdirinya republik baru tersebut kepada para proklamator
kemerdekaan. Dukungan terhadap republik semakin penuh manakala Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan amanat pada
tanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa wilayahnya yang bersifat kerajaan
adalah bagian dari Negara Republik Indonesia. Menerima amanat tersebut maka
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno, menetapkan bahwa Sultan
Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam merupakan dwi tunggal yang memegang
kekuasaan atas DIY. Status keistimewaan tersebut semakin kuat setelah disahkannya
Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan.

11
3.2. Sejarah Bregodo

Keberadaan Prajurit Keraton Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari perang


antara Pangeran Mangkubumi melawan VOC (1746-1755). Dalam perang yang disebut
juga sebagai "Perang Mangkubumen" ini, Pangeran Mangkubumi dibantu oleh banyak
pihak, termasuk kerabat dari lingkungan keraton. Di antaranya ada Raden Rangga
Prawirasentika, Pangeran Hadiwijaya, Pangeran Singasari, Pangeran Hangabehi, dan
Raden Mas Said. Beberapa kerabat tersebut memiliki pasukan sendiri yang tentu saja
turut serta dalam perang yang dijalankan oleh pemimpin mereka.
Perang Mangkubumen berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Giyanti.
Perjanjian Giyanti menandai pula lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Dengan
terbentuknya kerajaan baru, maka sudah menjadi kewajaran apabila dibentuk pula
perangkat untuk menjalankannya. Abdi Dalem sebagai aparatur sipil, dan prajurit
sebagai aparatur militer. Kesatuan-kesatuan prajurit yang berperang dalam Perang
Mangkubumen itulah yang kemudian menjadi cikal bakal Prajurit Keraton Yogyakarta.
Tidak mengherankan apabila kemudian kekuatan militer Keraton Yogyakarta
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I tergolong sangat kuat. Sebagai gambaran,
pada tahun 1781, Sri Sultan Hamengku Buwono I mampu memenuhi permintaan
bantuan dari Belanda yang sedang berperang melawan Inggris. Sri Sultan Hamengku
Buwono I mengirim 1132 prajurit ke Batavia. Jumlah itu terdiri dari 1000 prajurit biasa,
100 pasukan milik Putra Mahkota, dan 32 perwira yang terdiri dari para pangeran.
Kekuatan militer Keraton Yogyakarta berkembang lagi pada masa Sri Sultan
Hamengku Buwono II. Sri Sultan Hamengku Buwono II sangat membenci Belanda
yang ia nilai terus merongrong kewibawaan dan kekuasaannya. Karena itu ia terus
memperkuat kekuatan pertahanan sebagai persiapan jika harus berperang.
Keempat sudut benteng dibangun lebih menonjol dan diperlengkapi dengan
bastion (menara pantau) sehingga tampak seperti yang kita kenal saat ini. Meriam-
meriam baru di cor di Gresik, sedang perlengkapannya dikerjakan di pabrik senjata
kerajaan di Kota Gedhe.
Pada 1808, Sri Sultan Hamengku Buwono II memiliki sekitar 1.765 prajurit,
976 di antaranya menyandang senapan. Semuanya merupakan pengawal pribadi Sultan
yang digaji dalam bentuk tanah dan tinggal sangat dekat dengan keraton. Selain
pasukan istimewa tersebut, Sultan dapat juga mengerahkan pasukan para pejabat yang
disebut sebagai prajurit arahan. Ada sebanyak 7.246 prajurit milik para pangeran

12
keraton. Sedangkan dari para bupati, Sultan masih bisa mendapatkan 2.126 prajurit lagi.
Dapat dikata, Sultan mampu menghimpun pasukan lebih dari 10.000 prajurit jika
dibutuhkan.
Kesatuan-kesatuan prajurit yang dimiliki keraton saat itu memiliki kekhasannya
masing-masing. Seperti misalnya Prajurit Suronoto, adalah pasukan yang terdiri dari
kelompok pejabat agama bersenjata. Begitu juga Prajurit Dhaeng, yang berasal dari
Sulawesi. Pasukan ini didatangkan ke Jawa dan menjadi bagian dari kekuatan Raden
Mas Said. Awalnya Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I) dan Raden Mas Said bersekutu. Tapi terjadi perselisihan yang
berujung pada perceraian Raden Mas Said dengan istrinya, Ratu Bendara, yang
merupakan putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said kemudian
memulangkan mantan istrinya itu dengan pengawalan prajurit pilihan yang tidak lain
adalah Prajurit Dhaeng. Sesampainya di Keraton Yogyakarta, rombongan ini disambut
dengan sangat baik oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Atas keramahan itu, Prajurit
Dhaeng memutuskan tidak pulang dan malah mengabdi setia kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono I.
Ada juga Prajurit Langenkusumo. Kadang disebut juga sebagai prajurit estri
(perempuan). Prajurit Langenkusumo terdiri dari prajurit perempuan yang berasal dari
anak perempuan pejabat tinggi atau keluarga lapisan atas di pedesaan. Kemampuan
Prajurit Langenkusumo pernah mengundang decak kagum Daendels pada
kunjungannya di tahun 1809. Selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, ia
disuguhi pertunjukan berupa perang-perangan yang dilakukan empat puluh anggota
Prajurit Langenkusumo di alun-alun selatan. Prajurit-prajurit perempuan tersebut
mampu menunggang kuda dengan begitu tangkas dan mampu menembakkan salvo
dengan sangat baik.

3.3. Pakaian Prajurit Bregada

Pakaian keprajuritan telah dikenal dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta


sejak Pangeran Mangkubumimasih berperang melawan pemerintah VOC (Kompeni
Belanda). Pakaian keprajuritan ini kemudian berubah dari waktu ke waktu hingga yang
kita kenal saat ini. Pakaian perang Pangeran Mangkubumi berupa semacam seragam,
celana dan bebed (kain yang menutup badan bagian bawah dan kaki),
baju sikepan (baju luar yang dipakai saat membawa senjata), udheng atau ikat kepala,

13
sebilah keris yang diselipkan dalam sabuk, dan satu buah keris lagi yang digantungkan
pada sabuk.
Gubernur VOC Nicolaas Hartingh pernah mendeskripsikan pakaian yang
dikenakan Pangeran Mangkubumi saat pertemuan pribadi mereka di Pedagangan,
Grobogan, saat mereka menegosiasikan tuntutan Pangeran Mangkubumi atas bumi
Mataram. Pangeran Mangkubumi menggunakan pakaian putih dan kain, memakai dua
keris, tutup kepala ulama yang dibalut dengan ikat kepala linen halus berjahit benang
emas. Para pengiring Pangeran Mangkubumi juga mengenakan pakaian yang mirip.
Deskripsi mengenai pakaian yang dikenakan Pangeran Mangkubumi dalam berperang
menunjukkan bahwa pakaian keprajuritan pada awal Kasultanan Yogyakarta telah
dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Namun menilik beberapa lukisan tentang prajurit
Jawa pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, tidak dapat dikatakan bahwa corak
Islam ada dalam tiap seragam prajurit.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IV (1816-1823), desain Eropa mulai
dipakai pada pakaian prajurit keraton. Hal ini bersamaan dengan diterimanya pengaruh-
pengaruh Eropa pada beberapa hal, termasuk pemberian pangkat Mayor Jenderal tituler
pada Sultan yang berkuasa. Mulai masa inilah pakaian prajurit keraton berkembang
menjadi yang dikenal sekarang. Saat ini kita melihat unsur-unsur Eropa tersebut
diselipkan secara bijak dalam bentuk kaos kaki, sepatu, maupun topi.
Desain dari pakaian prajurit keraton tidak sekadar mengejar keindahan semata.
Mulai warna hingga motif kain memiliki muatan filosofisnya sendiri. Dalam dunia
simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu dalam dunia
dibagi ke dalam empat bagian yang tersebar seusai arah mata angin, dan satu lagi bagian
di tengah sebagai pusatnya. Begitu juga dengan empat macam nafsu manusia,
yaitu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah. Keempat nafsu ini kemudian
diwujudkan dalam empat macam warna, yaitu warna hitam, merah, kuning, dan putih.

14
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Temuan Data dan Hasil Penelitian

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan data serta hasil penelitian mengenai
permasalahan pada Bab I, yaitu Bregada Keraton Yogyakarta berganti fungsi dari
penjaga kedaulatan hingga pengawal budaya dan Bregada Keraton Yogyakarta untuk
meningkatkan citra pariwisata berbasis budaya. Bab ini juga melaporkan keseluruhan
hasil penelitian dari lapangan termasuk wawancara, analisis, dan dokumentasi.
Wawancara mendalam dengan partisipan berdasarkan dengan bebrapa pertanyaan
sesuai dengan proporsi dan masalah yang diteliti. Dalam bab ini peneliti mencoba
menggambarkan beberapa model sesuai dengan hasil pengamatan, wawancara dan
temuan di lapangan.
Mengawali sebuah penelitian tentang peralihan fungsi bregada ini, peneliti
memulainya dengan mengunjungi Kawasan Wisata Keraton, lalu setelah itu peneliti
tertarik untuk meneliti lebih mendalam yang terfokus pada Prajurit yang dimiliki oleh
Keraton. Peneliti melihat prajurit bregada sekarang sudah tidak sepenuhnya berfungsi
sebagai kekuatan militer Keraton melainkan bergeser sebagai penjaga keamanan
keluarga sultan dan kelengkapan upacara saja. Lalu peneliti diarahkan untuk
mewawancarai kesalahsatu Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Beliau adalah Mangku
Sutriyo Purnomo yang merupakan informan kunci pertama. Selama wawancara penulis
menanyakan perihal apa sebenarnya Bregada itu. Dari hasil wawancara dengan Bapak
Mangku Sutriyo Purnomo selaku Abdi Dalem Keraton mengatakan bahwa :

“Bregada itu satuan pasukan yang berada di dalam Keraton


Ngayogykarta. Bregada itu adalah sekelompok orang yang bertugas
menjadi pengaman dan pengawal baik secara kewilayahan maupun
mengawal ngarsa dalem.”( 24 September 2023)

Penulis untuk menggali informasi lebih dalam mengajukan pertanyaan


mengenai permasalahan yang ada di Bab I yaitu bagaimana Bregada Keaton Yogyakarta
dapat beralih fungsi menjadi pengawal upacara adat. Dari hasil wawancara dengan
Bapak Mangku Sutriyo Purnomo selaku Abdi Dalem Keraton mengatakan bahwa :

15
“Karena prajurit Kraton diubah. Saat itu diubah dari perang menjadi
untuk upacara. Maka sampai sekarang seperti itu, karena dulu
Belanda sangat khawatir terutama setelah Ngayogyakarta
bergabung dengan Republik Indonesia. Ini juga mengapa prajurit
memiliki pakaian yang menarik, bukan lagi untuk perang tapi
upacara.”( 24 September 2023)

Fungsi prajurit kraton saat ini berbeda dengan zaman dahulu yang digunakan
untuk mendukung peperangan melawan penjajah. Pada periode 1945 hingga 1970
melalui Sri Sultan Hamengku Buwono IX, fungsi prajurit kraton mulai diubah dari
perang menjadi upacara budaya. Selain itu pakaian prajurit juga turut diubah menjadi
lebih berwarna seperti saat ini. Korps musik juga menjadi bagian tak terpisahkan
dari Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta. Sebagai prajurit pengawal upacara, musik
prajurit keraton memiliki daya tarik tersendiri. Musik prajurit menjadi atraksi budaya
sekaligus kekayaan musik lokal yang memberi warna pada budaya Jawa. Musik yang
dimainkan memiliki akar jauh ke belakang, ke masa di mana Bregada Prajurit Keraton
Yogyakarta masih merupakan kekuatan keamanan.

4.2. Pembahasan

Saat ini, keraton memiliki sebelas kelompok pasukan yang disebut


sebagai bregada. Jumlah seluruh prajurit cukup kecil, sekitar 600 orang. Jumlah
anggota tiap pasukan berbeda-beda. Bregada Nyutramisalnya, hanya terdiri dari 64
orang saja. Pimpinan tertinggi dari keseluruhan bregada prajurit keraton adalah
seorang Manggalayudha atau Kommandhan/Kumendham. Sebutan lengkapnya
adalah Kommandhan Wadana Hageng Prajurit. Manggalayudha bertugas mengawasi
dan bertanggung jawab penuh atas keseluruhan pasukan. Ia dibantu oleh
seorang Pandhega (Kapten Parentah), dengan sebutan lengkapnya Bupati Enem
Wadana Prajurit, yang bertugas menyiapkan pasukan. Setiap pasukan
atau bregada dipimpin oleh perwira berpangkat Kapten. Kecuali bregada
Bugis dan Surakarsa yang dipimpin oleh seorang Wedana. Pandhega didampingi oleh
perwira yang disebut Panji (Lurah). Perwira ini bertugas mengatur dan memerintah
keseluruhan prajurit dalam bregada. Setiap Panji didampingi oleh seorang Wakil Panji.

16
Sementara itu, regu-regu dalam setiap bregada dipimpin oleh seorang bintara
berpangkat sersan. Keseluruhan perwira dalam semua bregada dipimpin oleh
seorang Pandhega, kecuali Bregada Wirabraja dan Bregada Mantrijero yang langsung
di bawah Kommandhan. Prajurit Keraton Yogyakarta dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok. Prajurit yang dimiliki Kepatihan, yaitu Bregada Bugis. Prajurit yang
dimiliki Kadipaten Anom (putera mahkota), yaitu Bregada Surakarsa. Dan sisanya
dimiliki oleh keraton.
Keraton memiliki total sebelas pasukan Bregada dan satu diantaranya adalah
Bregada Jager yang tidak memiliki seragamnya sendiri. Seperti yang dinyatakan Bapak
Mangku Sutriyo Purnomo dalam wawancara dengan peneliti, yaitu :

“Dari sepuluh Bregada pasukan itu, ada satu bregada yang tidak
memiliki uniform namanya Bregada Jager. Jager itu tinggal dan
bermarkas di kampung Jageran dahulunya. Kenapa bregada jager
itu tidak memiliki uniform karena mereka ini adalah bregada
intelejen seperti selayaknya BIN di Indonesia. Mereka kebanyakan
seperti masyarakat pada umumnya hanya berpakaian biasa atau
bahkan telanjang dada.” ( 24 September 2023)

Bregada juga dibagi berdasarkan kekhususannya sendiri-sendiri. Jika Jager tadi


adalah sebagai Bregada Intelejen milik Keraton, maka Keraton juga memiliki pasukan
khususnya sendiri yaitu Bregada Wirabraja yang sebagai satuan pemukulnya Kraton
Ngayogyakarta. Lalu juga ada sebagai pengawal sultan dan keluarganya yaitu Bregada
Nyutra. Selain sebagai pengawal Ngarsa Dalem, Bregada Nyutra juga sebagai
kelompok penari di Keraton Ngayogyakarta. Masih terdapat delapan Bregada lainnya
yaitu Bregada Bugis, Bregada Surakrasa, Bregada Dhaeng, Bregada Patangpuluh,
Bregada Jagakarya, Bregada Prawiratama, Bregada Ketanggung, dan Bregada
Mantrijero yang memiliki seragam dan maknanya sendiri.

17
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Dalam sejarahnya Bregada Keraton beralih fungsi ketika kekalahan Keraton


pada peristiwa Geger Sepehi. Kekalahan Keraton Yogyakarta mengakibatkan
Sri Sultan Hamengku Buwono II turun dari tahta. Posisi Sri Sultan Hamengku
Buwono II kemudian digantikan oleh Putra Mahkota yang kemudian bergelar
Sri Sultan Hamengku Buwono III. Akibat kekalahan ini, Sultan yang baru
terpaksa menandatangi perjanjian yang disodorkan oleh pemerintah kolonial.
Perjanjian tersebut antara lain melarang keraton untuk memiliki pasukan
militer apapun kecuali yang diizinkan oleh pemerintah kolonial. Prajurit
Keraton tidak lebih hanya berfungsi sebagai pengawal Sultan dan penjaga
keraton.
2. Keberadaan prajurit ini tidak lagi memiliki fungsi pertahanan. Semata hanya
untuk kegiatan budaya. Dari masa ke masa, keberadaan Prajurit Keraton
mengikuti dinamika zaman. Prajurit yang awalnya berfungsi sebagai penjaga
kedaulatan berangsur-angsur telah berganti fungsi menjadi pengawal
kebudayaan. Dari bergantinya fungsi ini, Bregada dapat menjadi daya tarik
wisatawan ketika terdapat suatu upacara khusus yang membutuhkan
pengawalan Bregada. Bregada dengan menggunakan seragamnya masing-
masing yang memiliki ciri khas dan gendhing atau iringan musik tersendiri,
tentunya dapat menjadi potensi untuk meningkatkan citra pariwisata berbasis
budaya di Yogyakarta.

5.2 Saran

Kepada komunitas Bregada Keraton supaya dapat lebih menarik perhatian


wisatawan dan meningkatkan keamanan, sebaiknya Bregada tidak hanya ditampilkan
atau diperlihatkan pada saat upacara-upacara besar saja. Akan tetapi dapat dilakukan
inovasi lain, seperti penyebaran perwakilan Bregada di sepanjang ruas utama Jalan
Malioboro sebagai prajurit yang berpatroli untuk menjaga keamanan di sekitar kawasan
tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA

Savitri, P. I. (2022, Maret 06). Mengenal empat komponen sistem pertahanan dan
keamanan Nusantara. Retrieved from ANTARA Kantor Berita Indonesia:
https://www.antaranews.com/berita/2742317/mengenal-empat-komponen-
sistem-pertahanan-dan-keamanan-
nusantara#:~:text=Pasal%2030%20Undang%2DUndang%20Dasar,kekuatan%
20utama%2C%20kemudian%20rakyar%20sebagai
Afify, R. A. (2023). Komunikasi Kepemimpinan untuk Mewujudkan Kohesivitas
Organisasi Remaja Masjid Baitul Hakim di Perum Rto Kenongo Asri, Bantukl.
Mercu Buana, 13-25.
Kawasan Keraton. (n.d.). Retrieved from Dinas Kebudayaan Kota Jogja:
https://kebudayaan.jogjakota.go.id/page/index/kawasan-kraton

Yogyakarta, A. K. (n.d.). Dari Penjaga Kedaulatan Hingga Pengawal Budaya.


Retrieved from Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat:
https://www.kratonjogja.id/prajurit-kraton/3-dari-penjaga-kedaulatan-hingga-
pengawal-budaya/
Yogyakarta, A. K. (n.d.). Pakaian Keprajuritan Kasultanan Yogyakarta. Retrieved from
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat: https://www.kratonjogja.id/prajurit-
kraton/4-pakaian-keprajuritan-kasultanan-yogyakarta/
Sunaryo, T. B. (2023). PERGESERAN FUNGSI BREGADA PRAJURIT KERATON
SURAKARTA SEBAGAI REPRESENTASI KOMODIFIKASI BUDAYA
DEMI PARIWISATA. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 51-55.
Sunartono. (2023, Maret 05). Sejarah Peralihan Fungsi Prajurit Kraton Jogja, dari
Perang Menjadi Upacara Budaya. Retrieved from Harian Jogja:
https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2023/03/05/510/1128236/sejarah-
peralihan-fungsi-prajurit-kraton-jogja-dari-perang-menjadi-upacara-budaya

19

Anda mungkin juga menyukai