Anda di halaman 1dari 23

Waktu baku yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja

normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja
terbaik. Harap diperhatikan dalam pengertian waktu baku ini, yaitu kata-kata
wajar, normal, dan terbaik. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa waktu
baku yang dicari bukanlah waktu penyelesaian yang diselesaikan secara tidak
wajar seperti terlampau cepat atau terlampau lambat, bukan yang diselesaikan
oleh seorang pekerja yang istimewa dan terampil atau lamban dan pemalas, dan
bukan pula yang mengerjakannya dalam sisten kerja yang belum baik
(Sutalaksana, 2018).

Menurut Danang dan Wahyudi (2011:110) waktu batu atau waktu standar
adalah waktu yang diperlukan seorang pekerja terlatih untuk menyelesaikan suatu
tugas tertentu, bekerja pada tingkat kecepatan yang berlanjut, serta menggunakan
metode, mesin, peralatan material dan pengaturan tempat kerja tertentu.

Menurut Stevenson (2014:379) waktu standar (standard time) atau waktu baku
merupakan jumlah waktu yang harus di ambil oleh pekerja yang memenuhi
syarat untuk menyelesaikan sebuah tugas spesifik, bekerja pada tingkat yang
berkelanjutan, menggunakan metode, alat dan perlengkapan, bahan baku dan
pengaturan tempat kerja yang sudah ada.

Secara umum, waktu baku dapat didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan
oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan. Di sini sudah meliputi kelonggaran waktu yang
diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pekerjaan yang harus
diselesaikan tersebut. Dengan demikian maka waktu baku yang dihasilkan dalam
aktivitas pengukuran kerja ini akan dapat digunakan sebagai alat untuk membuat
rencana penjadwalan kerja yang menyatakan berapa lama suatu kegiatan itu
harus berlangsung dan berapa output yang akan dihasilkan serta berapa pula
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.

2.1 Pengukuran Waktu

Pengukuran waktu adalah pengukuran yang dilakukan pada suatu aktifitas


atau kegiatan seorang operator atau tenaga kerja dalam menyelesaikan
pekerjaannya. Pengukuran waktu merupakan usaha untuk mengetahui berapa
lama waktu yang dibutuhkan operator untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Teknik pengukuran waktu kerja dibagi ke dalam dua bagian :
1. Pengukuran secara langsung, yaitu pengukuran yang dilakukan secara
langsung ditempat dimana pekerjaan yang bersangkutan dijalankan.
Pengukuran secara langsung ini dapat dengan menggunakan jam henti
(Stopwach) atau dengan menggunakan sampling kerja.
2. Pengukuran waktu kerja secara tidak langsung, yaitu melakukan
perhitungan waktu tampa harus ada di tempat pekerjaan, yaitu dengan
membaca tabel-tabel yang menggambarkan elemen-elemen gerakan, termasuk
di dalamnya data waktu baku dan data gerakan (Sutalaksana, 2006).

Dengan salah satu dari cara ini, waktu penyelesaian suatu pekerjaan yang
dijalankan dengan suatu sistem kerja tertentu dapat ditentukan, sehingga jika
pengukuran dilakukan terhadap beberapa alternatif sistem kerja yang terbaik
diantaranya dilihat dari segi waktu dapat dicari, yaitu sistem yang membutuhkan
waktu penyelesaian tersingkat.
Pengukuran waktu ditujukan untuk mendapatkan waktu baku penyelesaian
suatu pekerjaan, yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja
normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam suatu sistem
kerja terbaik (Sutalaksana, 2006).
2.2 Pengertian Metode Jam Henti

Pengukuran waktu kerja jam henti adalah aktifitas yang mengawali dan
menjadi landasan untuk kegiatan kegiatan pengukuran kerja yang lain.
Pengukuran waktu kerja dengan menggunakan jam henti (Stopwach)
diperkenalkan pertama sekali oleh Frederick W. Tailor pada abad 19. Metode ini
baik diaplikasikan untuk pekerjaan yang singkat dan berulang-ulang (repetitive).
Dari hasil pengukuran ini maka akan diperoleh waktu baku untuk menyelesaikan
suatu siklus pekerjaan, yang mana waktu ini akan dipergunakan sebagai standar
penyelesaian bagi semua pekerja yang akan menyelesaikan suatu pekerjaan yang
sama dengan pekerjaan yang telah diteliti tarsebut (Sutalaksana, 2006).

Pengukuran waktu kerja dengan menggunakan jam henti menggunakan jam


henti (stopwach) sebagai alat utamanya. Metode ini paling sering digunakan
karena kesederhanaan aturan-aturan pengukuran yang di pakai. Pengukuran waktu
kerja dengan jam henti ini merupakan cara pengukuran yang objektif karena
disini waktu ditetapkan berdasarkan fakta yang terjadi dan tidak cuma sekedar
diestimasi secara subjektif. Aktifitas pengukuran ini pada umumnya diaplikasikan
pada industri manufakture yang memiliki karakteristik kerja yang berulang-ulang,
terspesifikasi, dan menghasilkan barang yang relatif sama.

Adapun prosedur pengukuran waktu dengan jam henti adalah sebagai berikut
(Sutalaksana, 2006):
1. Melakukan langkah-langkah sebelum melakukan pengukuran
a. Menetapkan tujuan pengukuran.
Tujuan melakukan kegiatan harus ditetapkan terlebih dahulu. Dalam
pengukuran waktu hal yang penting yang harus diketahui dan ditetapkan
adalah peruntukan penggunaan hasil pengukuran, tingkat ketelitian, dan
tingkat keyakinan yang diinginkan dari hasil pengukuran tersebut.
b. Melakukan penelitian pendahuluan.
Tujuan yang ingin dicapai dari pengukuran waktu adalah memperoleh
waktu yang pantas untuk diberikan kepada pekerja dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan. Pengukuran waktu sebaiknya dilakukan apabila kondisi
kerja dari pekerjaan yang diukur sudah baik. Jika belum maka kondisi yang
ada sebaiknya diperbaiki terlebih dahulu.

c. Melakukan pemilihan operator.


Operator yang akan melakukan pekerjaan bukanlah orang yang begitu saja
diambil dari tempat kerja. Pekerja itu harus memenuhi beberapa
persyaratan tertentu agar pangukuran dapat berjalan dengan baik dan
dapat diandalkan hasilnya. Syarat- syarat tersebut adalah berkemampuan
normal dan dapat diajak bekerja sama. Disamping itu operator yang dipilih
adalah pekerja yang pada saat pengukuran dilakukan mau bekerja secara
wajar.

d. Memilih operator.
Walaupun operator yang baik telah didapat, terkadang pelatihan masih
diperlukan bagi operator. Perlu diingat bahwa yang dicari adalah waktu
penyelesaian pekerjaan yang didapat dari suatu penyelesaian wajar dan
bukan penyelesaian dari orang yang bekerja kaku dengan berbagai
kesalahan.

e. Mengurai pekerjaan atas elemen pekerjaan.


Disini pekerjaan dipecah menjadi elemen pekerjaan yang merupakan
gerakan bagian dari pekerjaan yang bersangkutan. Elemen-elemen inilah
yang akan diukur waktunya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
pengamatan.
2. Menentukan jumlah sampel atau jumlah siklus pekerjaan untuk
pengamatan. Jumlah sampel perlu ditentukan dalam pengukuran waktu
dengan jam henti ini.

3. Mengukur waktu yang dibutuhkan (waktu actual) dengan menggunakan


stopwach, dan menentukan laju kinerja pekerja (Rating Factor).
a. Waktu aktual atau waktu siklus didapat dari hasil pengukuran dengan
menggunakan stopwach. Waktu aktual memiliki satuan jam/unit,
menit/unit atau detik/unit.
b. Faktor penyesuaian diistilahkan sebagai Rating factor (RF), adalah suatu
proses penyesuaian yang dilakukan terhadap kinerja operator dilihat
pada kecepatan atau tempo operator tersebut bekerja selama masa
pengamatan berlangsung. Besarnya Rating Factor (RF) ini akan
bergantung pada kecepatan atau tempo kerja seorang operator yang
terampil selama berlangsungnya pengamatan. Operator yang bekerja
dengan kecepatan normal (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat),
Memliki RF =1 atau 100%. Operator yang bekerja sangat cepat memiliki
RF> 1 atau RF> 100%.

4. Menetapkan faktor kelonggaran berdasarkan hasil pengamatan. Waktu normal


untuk suatu elemen operasi adalah menunjukan bahwa seorang operator yang
berkwalifikasi baik akan bekerja menyelesaikan pekerjaan pada kecepatan
atau tempo kerja yang normal. Walaupun demikian pada prakteknya, tidaklah
bisa diharapkan operataor tersebut akan mampu bekerja secara terus menerus
tampa adanya interupsi sama sekali. Dalam menyelesaikan suatu pekerjaan,
tenaga kerja juga diberikan waktu kelonggaran diantaranya kelonggaran untuk
kebutuhan pribadi (personal allowance), sekedar menghilangkan rasa
kelelahan atau ketidaknyamanan (fatique allowance) dan keterlambatan-
keterlambatan (Delay allowance). Dengan demikian waktu longgar bersama
waktu normal akan menentukan waktu baku.

5. Melakukan Perhitungan waktu baku. Waktu baku sering disebut sebagai


waktu standart (standart time) yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh
seorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang
dijalankan dalam sistem kerja terbaik, yang disesuaikan dengan
penyesuaian-penyesuaian misalnya rating factor, penundaan (delay) atau
gangguan (interupsi).

2.3 Uji Kenormalan Data

Uji kenormalan data merupakan proses pengujian data terhadap data yang kita
peroleh dalam proses penelitian apakah data yang kita dapat berdistribusi normal
atau tidak. Uji kenormalan data dilakukan dengan bantuan software mini tab yaitu
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Konsep dasar dari uji normalitas
Kolmogorov-Smirnov adalah dengan membandingkan distribusi yang akan di uji
normalitasnya dengan distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data
yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Approximate P-Values dan
diasumsikan normal. Penerapan pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah jika
signifikan dibawah 0,05 artinya data yang di uji memiliki perbedaan signifikan
dengan data normal baku, artinya data tersebut tidak normal. Sebaliknya, apabila
signifikan diatas 0,05 dan tidak terdapat signifikan terhadap data normal maka
data tersebut dinyatakan normal.
2.4 Uji Kecukupan Data

Uji kecukupan data ini dilakukan untuk mengetahui apakah data yang telah
diambil dalam pengamatan kali ini sudah cukup atau belum. Jika setelah
dilakukannya perhitungan secara statistik ternyata data yang diperoleh belum
mencukupi, maka harus dilakukan penambahan data kembali. Langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam melaksanakan perhitungan uji kecukupan data adalah
sebagai berikut:
1. Mencari nilai rata-rata dari data yang kita dapatkan dengan rumus:

X=
∑ xi
n
2. Menguji kecukupan data dengan menghitung berapa besar N 1 (dimana pada
penelitian ini tingkat keyakinan yang digunakan sebesar 95% dan tingkat
ketelitian sebesar 5%) menggunakan rumus berikut:

[ ]
2

N=
1 √
k /s N ( ∑ xi ) −( ∑ xi )
2 2

∑ xi
Untuk mengetahui apakah data yang kita dapatkan sudah mencukupi atau
belum, dapat diketahui dengan cara membandingkan nilai N1 dengan N
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika N1<N : Data dinyatakan sudah cukup
b. Jika N1>N : Data yang dinyatakan belum cukup sehingga harus ditambah
lagi

Keterangan:
N1= Jumlah data yang seharusnya
N= Jumlah pengukuran yang telah dilakukan
Xi= Waktu penyelesaian yang diukur pada pengamatan ke i
K= Tingkat keyakinan, besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang
diperoleh memenuhi syarat (95%=2, 99%=3
S= Tingkat ketelitian (5%)

2.5 Uji Keseragaman Data


Uji keseragaman data dilakukan untuk melihat atau mengetahui seluruh data
sudah seragam dan berada dalam batas kontrol. Dalam melakukan study waktu
harus melakukan uji keseragaman data. Tes keseragaman data bisa dilaksanakan
dengan cara visual (common sense) atau mengaplikasikan dengan peta kontrol
(control chart).

1. Tes keseragaman data secara visual (common sense)


Tes keseragaman ini dilakukan secara sederhana, mudah dan cepat. Disini
pengamat hanya sekedar melihat data yang terkumpul dan
mengidentifikasi data yang besar dan yang terlalu kecil atau jauh
menyimpang dari nilai rata-ratanya. Data yang terlalu besar dan yang
terlalu kecil ini harus dibuang dan tidak digunakan dalam perhitungan
selanjutnya.
2. Peta kontrol (control chart).
Diperoleh dari hasil pengamatan. Pengaplikasian peta kontrol dilakukan
dengan cara menentukan Batas Kendali atas dan Batas Kendali Bawah
(Sutalaksana, 2006).

Adapun prosedur dalam pengujian keseragaman data adalah sebagai berikut:

a. Menentukan jumlah hasil data keseluruhan yang kita peroleh dari


pengumpulan data lapangan
Menari nilai X dengan rumus:

X=
∑ xi
n
b. Menghitung standar deviasi dari waktu sebenarnya dengan rumus:

σx=
√∑ (xi−x) 2

N−1
c. Mencari batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB) dengan
cara sebagai berikut:
BKA=X + 3 σ
BKB=X +3 σ
Memindahkan data-data yang telah diperoleh kedalam bentuk grafik dengan
batas-batas kontrol yang telah ditetapkan. Apabila data-data yang diperoleh
tersebut terdapat data yang berada dibawah batas kontrol, maka data tersebut
harus dihilangkan dan dilakukan perhitungan kembali. Karena ada data yang
berada diluar batas kontrol menyebabkan data tidak seragam.

2.6 Faktor Penyesuaian


Menurut (Sutalaksana, 2006) ada beberapa metode yang digunakan untuk
menentukan rating factor (faktor penyesuaian):
1. Cara Presentase
Cara presentase adalah merupakan cara sederhana sekali dan sangat mudah
dilakukan. Akan tetapi hasil yang dadapatkan dengan cara ini sangat kasar
sekali dan tidak cocok untuk produksi yang sangat memerlukan ketelitian.
2. Cara Shumard
Cara ini mamberikan patokan patokan penilaian malalui kelas kelas berformat
kerja. Masing masing kelas mempunyai nilai sendiri sendiri. Disini pengukur
diberi patokan untuk menilai performansi kerja operator menurut kelas-kelas
superfast, fast, fast+, fast-, excelent dan seterusnya.
3. Cara Westing House
Westing factor adalah penentuan rating factor yang dikembangkan pada
sebuah westinghouse yang dipublikasikan pada tahun 1927. Cara
Westinghouse mengarahkan penilaian pada empat faktor yang menentukan
kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja yaitu skiil, effort, condition dan
consistency.
Tabel Faktor Penyesuaian Beredararkan Metode Westing House

Keterampilan atau skil didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengikuti


cara kerja yang ditetapkan. Latihan dapat meningkatkan keterampilan, tetapi
hanya sampai ketingkat tertentu saja tingkat yang merupakan kemampuan
maksimal yang dapat diberikan pekerja yang bersangkutan. Keterampilan
juga dapat menurun bila terlalu lama tidak menangani pekerjaan tersebut.
Atau karena sebab lain separti kesehatan yang terganggu rasa fatique,
pengaruh lingkungan sosial dan sebagainya.
Untuk keperluan penyesuaian, keterampilan dibagi menjadi enam kelas
dengan ciri ciri sebagai berikut:

a. Super skiil:
1. Secara bawaan cocok sekali dengan pekerjaannya.
2. Bekerja dengan sempurna.
3. Tampak seperti telah terlatih dengan sangat baik.
4. Gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sangat sulit untuk
diikuti.
5. Kadang kadang terkesan tidak berbeda dengan gerakan mesin.
6. Perpindahan dari suatu elemen pekerjaan ke eleman lainnya tidak
terlampau terlihat karena lancarnya.
7. Tidak terkesan adanya gerakan gerakan berfikir dan merencanakan apa
yang dikerjakan (sudah sangat otomatis).
8. Secara umum pekerja tersebut dapat dikatakan pekerja yang sangat baik.

b. Excellend skiil:
1. Percaya pada diri sendiri.
2. Tampak cocok dengan pekerjaannya.
3. Terlihat telah terlatih baik.
4. Bekerjanya teliti dengan tidak banyak melakukan pengukuran atau
memeriksa lagi.
5. Gerakan gerakan kerjanya beserta urutan nya dijalankan tampa
kesalahan.
6. Menggunakan peralatan dengan baik.
7. Bekerjanya cepat tampa mengorbankan mutu.
8. Bekerjanya cepat tapi halus.
9. Bekerjanya berirama dan terkoordinasi.

c. Good skiil:
1. Kualitas hasil baik.
2. Bekerjanya tampak lebih baikdari kebanyakan pekerja pada
umumnya.
3. Dapat memberikan petunjuk pada pekerja lain yang keterampilannya
lebih rendah.
4. Tampak jelas sebagai tenaga kerja yang cakap.
5. Tidak memerlukan banyak pengawasan.
6. Tiada ada keraguraguan.
7. Bekerjanya stabil.
8. Gerakan gerakannya terkoordinasi dengan baik.
9. Gerakan-gerakannya cepat.

d. Avarage skiil:
1. Tampak adanya kepercayaan pada diri sendiri.
2. Gerakannya cepat.
3. Terlihat adanya pekerjan pekerjaan perencanaan.
4. Tampak sebagai tenaga kerja yang cakap.
5. Gerakannya cukup menunjukan tidak ada keragu raguan.
6. Mengkoordinasi tangan dengan pikiran dengan cukup baik.
7. Tampak cukup terlatihdan mengetahui seluk beluk pekerjaannya.
8. Bekerja cukup teliti.
9. Secara keseluruhan sangat memuaskan.

e. Fair skiil:
1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik.
2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya.
3. Terlihat adanya perencanan perencanaan sebelum melakukan gerakan
gerakan.
4. Tidak mempunyai kepercayaan diri yang cukup.
5. Tampaknya seperti tidak cocok dengan pekerjaannya tapi telah
dipekerjaan dibagian itu sejak lama.
6. Mengetahui apa apa yang dilakukan dan harus dilakukan tapi tampak
tidak terlalu yakin.
7. Sebahagian waktunya terbuang karena kesalahan kesalahan sendiri.
8. Jika tidak bekerja dengan sungguh sungguh outputnya akan sangat
rendah.
9. Biasanya tidak ragu-ragu dalam menjalankan gerakan-gerakan.

f. Poor Skiil:
1. Tidak bisa mengkoordinasikan tangan dan pikiran.
2. Gerakan-gerakannya kaku.
3. Kelihatan ketidak yakinannya pada urutan-urutan gerakan.
4. Seperti yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan.
5. Tidak terlihat adanya kecocokan dengan pekerjaanya.
6. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan kerja.
7. Sering melakukan kesalahan.

g. Excessive effort:
1. Kecepatan sangat berlebihan.
2. Usahanya sangat bersungguh-sungguh tetapi sangat membahayakan
kesehatan.
3. Kecepatan yang ditimbulkan tidak dapat dipertahankan sepanjang hari
kerja.
h. Excellen effort:
1. Jelas terlihat kecepatannya sangat tinggi.
2. Gerakan lebih ekonomis dari operator biasa.
3. Penuh perhatian pada pekerjaan.
4. Banyak memberi saran.
5. Memberi saran- saran petunjuk dengan senang.
6. Percaya pada kebaikan maksud pengukuran waktu.
7. Tidak bertahan lebih dari beberapa hari.
8. Bangga atas kelebihannya.
9. Gerakan yang salah jarang sekali.
10. Bekerjanya sangat sistematis.

i. Good effort:
1. Bekerja berirama.
2. Saat menganggur sangat sedikit, bahkan kadang kadang tidak ada.
3. Penuh perhatian pada pekerjaan.
4. Senang pada pekerjaan.
5. Kecepatannya baik dan dapat dipertahankan sepanjang hari.
6. Percaya pada kebaikan pengukuran waktu.
7. Menerima saran-saran dan petunjuk dengan senang.
8. Dapat memberikan saran-saran untuk perbaikan kerja, tempat kerja diatur
dengan baik.

j. Avarage effort:
1. Bekerja dengan stabil.
2. Menerima saran-saran tetapi tidak melakukannya.
3. Set up dilaksanakan dengan baik.

k. Fair effort:
1. Saran perbaikan diterima dengan kesal.
2. Kadang-kadang perhatian tidak ditujukan pada pekerjaan.
3. Kurang sungguh-sungguh.

l. Poor Effort:
1. Banyak buang buang waktu.
2. Tidak memperhatikan adanya minat bekerja.
3. Tidak mau menerima saran-saran.
4. Tampak malas dan lamban bekerja.

Kondisi kerja atau kondisi pada cara westing house adalah kondisi fisik
lingkungannya seperti pencahayaan, suhu dan kebisingan ruangan. Tiga faktor
lainnya ketrampilan, usaha dan konsistensi. Faktor kondisi sering disebut
sebagai faktor managemen.
Faktor yang lain yang harus diperhatikan adalah konsistensi. Faktor ini perlu
diperhatikan karena pada setiap pengukuran waktu angka - angka yang
dicatat tidak pernah semuanya sama. Waktu penyelesaian yang ditunjukan
pekerja selalu berobah-robah dari satu siklus ke siklus lainnya. Kondisi dibagi
menjadi enam kelas yaitu perfec, excellend, good, average, fair dan poor.
Perfec adalah yang dapat bekerja dengan waktu penyelesaian yang tetap dari
saat ke saat. Konsistensi yang poor terjadi bila waktu penyelesaiannya
berselisih jauh dari rata-rata secara acak. Konsistensi rata-rata atau average
adalah bila selisih antara waktu penyelesaian dengan rata-ratanya tidak besar
walaupun ada satu dua yang letaknya jauh (Sutalaksana, 2006).

4. Cara Objektif.
Ada dua faktor yang mempengaruhi /menentukan wajar atau tidaknya
seseorang dalam bekerja:
a. Kecepatan kerja.
b. Tingkat kesulitan kerja.
2.7 Faktor Kelonggaran

Kelonggaran diberikan untuk tiga hal (Sutalaksana, 2006) yaitu kelonggaran


untuk kebutuhan pribadi, kelonggaran untuk menghilangkan sara fatique, dan
hambatan hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Kelonggaran ini merupakan
hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja, dan selama pengukuran tidak
diamati, diukur, dicatat ataupun dihitung, karenanya seusai pengukuran dan
setelah mendapatkan waktu normal, kelonggaran perlu ditambahkan untuk
memperoleh waktu baku.

1. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi.


Yang termasuk kedalam kebutuhan pribadi adalah hal-hal seperti minum,
kekamar kecil, bercakap-cakap dengan teman sekedar menghilangkan
ketegangan atau kejemuan kerja. Kebutuhan ini mutlak dibutuhkan oleh
pekerja karena merupakan tuntutan psikologis yang wajar. Apabila dilarang
pekerja tidak dapat bekerja dengan baik bahkan hampir dapat dipastikan
produktifitas menurun.

2. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa lelah (Fatique)


Rasa fatique tercermin dari menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun
kwalitas. Karena salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran
adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan mencatat saat
dimana hasil produksi menurun. Tetapi kesulitan menentukan saat saat
dimana menurunnya hasil produksi disebabkan oleh timbulnya rasa Fatique
karena masih banyak kemungkinan lain yang dapat menyebabkannya. Jika
sara fatiuque datang pekerja menurun kemampuan melakukan pekerjaan.

3. Kelonggaran untuk hambatan-hambatan yang tidak terhindarkan.


Dalam melaksanakan pekerjaan ada hambatan-hambatan yang tidak dapat
dihindari. Namun demikian harus diusahakan serendah mungkin. Oleh
sebab itu hambatan akan tetap ada dan karenanya harus diperhitungkan dalam
perhitungan waktu baku. Yang termasuk dalam hambatan yang tidak dapat
dihindari adalah : Meminta petunjuk pada pengawas, memperbaiki kemacetan
singkat, mengasah peralatan potong, mengambil peralatan khusus, dari
gudang, hambatan-hambatan kerena kesalahan pemakaian alat, bahan,
ataupun mesin mati karena listrik mati.

Tabel Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor Yang Berpengaruh


2.8 Perhitungan Waktu Baku
1. Waktu Siklus
Waktu siklus diperoleh dengan merata-ratakan jumlah waktu yang didapatkan
untuk setiap operasi, jumlah waktu keseluruhan sebesar satuan detik dibagi
dengan jumlah pengamatan untuk setiap operasi. Waktu siklus merupakan
data waktu sesungguhnya yang terukur oleh peneliti yang diawali dan diakhiri
oleh suatu elemen operasi atau gerakan yang mungkin muncul pada saat
pekerjaan yang dilakukan, dimana waktu ini dipengaruhi oleh tingkat
penguasaan kerja seorang operator yang akan meningkat seiring dengan
berjalanya waktu.
Rumus perhitungan waktu siklus:

Ws=
∑ X1
N
Keterangan:
∑X1 = Jumlah nilai data
N = Jumlah pengamatan

2. Waktu Normal
Waktu normal adalah waktu yang diperlukan oleh seorang operator untuk
menghasilkan suatu produk dalam keadaan normal dengan memperhitungkan
penyesuaian yang sebaiknya diberikan karena sering sekali seorang operator
bekerja tidak wajar dan agar waktu yang didapat waktu baku yang
diharapakan. Waktu normal sangat berhubungan dengan penyesuaiannya yang
dihasilkan dimana bila P>1 maka operator bekerja diatas normal (terlalu cepat
atau dengan kata lain WN>Ws), bila P>1 maka operator bekerja dibawah
keadaan normal (lambat dengan wajar / stabil Wn>Ws) pemberian factor
penyesuaian ini dikarenakan pengukur berpebdapat bahwa operator bekerja
dengan kecepatan tidak wajar sehingga diperlukan waktu penyesuaian untuk
menghasilkan waktu siklus yang wajar, factor penyesuaian ini dilakukan
untuk mengarahkan atau penilaian pengukur terhadap kerja operator dalam
keadaan normal. Dari waktu normal yang diharapkan dengan faktor
penyesuaian yang berbeda-beda dimana dalam hal ini factor penyesuaian
berbeda hanya pada konsitensi waktu yang didapatkan karena keterampilan
pada umumnya, untuk usaha relative sama dimana hal ini di dorong oleh
adanya pengawasan yang ketat dan tujuan untuk mencapai target, sedangkan
kondisi kerja adalah sama karena operator berada dalam lingkungan dalam
kondisi kerja yang sama.
Rumus perhitungan waktu normal:
Wn = Ws ( 1 + rating factors )

3. Waktu Baku
Waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja
normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam system
kerja terbaik. Waktu baku bisa dihitung apabila pengukuran-pengukuran
terhadap suatu pekerjaan telah selesai, yaitu semua data yang didapat
memiliki keseragaman data yang dikendaki, dan jumlahnya telah mencukupi.
Pengaruh pemberian kelonggaran terhadap waktu yaitu jika kelonggaran tidak
diberikan maka waktu pembuatan semakin kecil tetapi kemungkinan
menghasilkan jumlah produk secara optimal tidak menjamin dikarenakan
operasi tidak mendapatkan kelonggaran waktu sehingga untuk
mengoptimalkan hasil rakitan serta untuk peningkatan produktivitas perlu
diberikan kelonggaran kepada proses kerja operator dari operator itu sendiri.
Rumus perhitungan waktu baku:
Wb = Wn ( 1 + l )
Keterangan:
l=allowance atau kelonggaran
2.9 Proses Pembuatan Tas
Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pembuatan tas, baik oleh
sebuah pabrik tas maupun personal. Tahapan-tahapan tersebut harus dilakukan
dengan baik dan benar agar tas yang dihasilkan pun memiliki kualitas yang
tinggi.

Dalam proses pembuatan tas harus memperhatikan beberapa hal karena tas
memiliki jenis dan model yang beragam namun memiliki proses pembuatan
yang tidak jauh berbeda. Berikut akan dijelaskan tahapan secara umum
bagaimana proses pembuatan tas:

1. Pola
Pada tahap awal pembuatan tas tentu yang pertama kali disiapkan adalah
alat dan bahan. Tentukan bahan yang ingin digunakan dalam membuat tas,
apakah bahan dari kain atau dari kulit. Hal ini bisa disesuaikan dengan
anggaran dan permintaan konsumen. Selanjutnya adalah menentukan pola
pas tas yang akan dibuat. Jika tas yang akan dibuat memiliki gambar atau
tulisan maka biasanya gambar atau tulisan tersebut dibuat terlebih dahulu
polanya. Tentunya hal ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama dari
pada tas polos. Memang untuk menghasilkan tas yang bagus membutuhkan
proses yang panjang.

2. Pemotongan
Tahapan proses produksi tas yang selanjutnya adalah pemotongan / cutting.
Proses pemotongan akan semakin sulit jika bentuk dan pola tas semakin
rumit. Pemotongan ini dilakukan supaya nantinya bahan yang digunakan
mudah untuk dijahit. Proses pemotongan untuk skala pabrik tas biasanya
menggunakan alat cutting yang lebih canggih. Pemotongan harus dilakukan
dengan hati-hati karena akan berpengaruh kepada bentuk tas yang
dihasilkan nantinya. Tentunya proses pemotongan ini dilakukan oleh SDM
yang sudah berpengalaman.

3. Menjahit
Biasanya ada beberapa bagian yang harus dijahit, yaitu bagian body tas /
badan tas (bagian luar tas), lapis tas / furing (bagian dalam tas), zipper
(resleting), dan handle tas. Proses menjahit akan semakin sulit jika bentuk
dan pola tas semakin rumit. Untuk menghasilkan tas yang rapi dibutuhkan
ketelitian dan tentunya kesabaran lebih. Namun untuk produksi tas yang
dilakukan di pabrik-pabrik besar biasanya menggunakan mesin-mesin jahit
yang canggih sehingga pembuatan dapat dilakukan dengan cepat.

4. Perakitan
Perakitan merupakan suatu proses penyusunan dan penyatuan beberapa
bagian komponen menjadi suatu bentuk. Perakitan dimulai bila obyek sudah
siap untuk dipasang dan berakhir bila obyek tersebut telah bergabung secara
sempurna. Perakitan juga dapat diartikan penggabungan antara bagian yang
satu terhadap bagian yang lain atau pasangannya. Obyek yang dirakit pada
bagian ini adalah body tas dan lapis tas, dimana body tas dan lapis tas
dirakit serapih dan sesempurna mungkin agar tas yang dihasilkan memilki
bentuk yang sempurna. Tentunya proses perakitan ini dilakukan oleh SDM
yang sudah berpengalaman. Setelah proses perakitan selesai tas tersebut
masih perlu dijahit dan ini merupakan proses akhir sebelum finishing.

5. Finishing
Setelah semua proses pembuatan tas selesai, sebenarnya pada tahap ini tas
sudah setengah jadi dan sudah memenuhi fungsinya untuk membawa
barang-barang. Namun masih harus dilakukan proses pembuangan benang
dan lem dari sisa-sisa proses. Setelah proses tersebut selesai tas masih
belum memenuhi syarat dari segi estetika, karena belum diberi aksesoris
dan pelengkap lainnya. Aksesoris pelengkap yang ditambahkan di tas juga
akan berbeda disetiap produknya, selain untuk mempercantik tampilan tas
juga guna untuk meningkatkan harga jual agar lebih tinggi.

6. Quality Control
Quality control merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses
produksi. Quality control adalah proses pengecekan suatu produk untuk
memastikan dan menjaga kualitas produknya. Proses quality control sendiri
dapat dilakukan sebelum, selama, dan biasanya sesudah proses produksi
selesai. Proses pengecekan ini dilakukan sesuai standar yang ada. Proses
tersebut dapat dilakukan secara manual maupun menggunakan teknologi. Di
dalam proses quality control, setiap produk yang tidak sesuai dengan
standar tidak akan lolos untuk dijual ke pasaran. Produk-produk yang tidak
lolos tersebut biasanya akan diperbaiki dahulu hingga memenuhi standar.

Anda mungkin juga menyukai