Anda di halaman 1dari 69

ATRAKSI ALAM DI KAWASAN HUTAN, POTENSI DAN PENILAIANNYA,

SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN REKREASI/WISATA ALAM


HUTAN YANG TERSISTEM
Tujuan dari pembicaraan kali ini adalah untuk lebih
mengeksplor atau melengkapi uraian tentang faktor-faktor fisik
dari suatu region yang telah disinggung oleh Gunn (1979), yang
berpotensi mendukung pembangunan pariwisata. Sebagai
upaya melengkapi tulisan Gunn, berikut ini diuraikan tentang
jenis/bentuk atraksi (wisata) alam di kawasan hutan, potensi
atraksi yang terkandung dalam lanskap hutan, kriteria atau
konsep dasar penilaian potensi estetika atau kualitas visual
lanskap, penilaian potensi kualitas visual lanskap, dan penilaian
potensi lanskap/atraksi alam untuk pembangunan pariwisata
alam hutan yang tersistem.
ATRAKSI WISATA/ODTW ALAM

Dari berbagai referensi yang menyebutkan tentang pengertian atraksi


(wisata) alam atau ODTW alam, maka (kelompok) jenis/bentuk atraksi
alam di suatu kawasan hutan dapat berupa sebagian atau seluruh item
sebagai berikut (Utami, 2020):
1. Obyek atau elemen sumberdaya alamnya sendiri, baik yang dapat
dilihat, diraba, ataupun tidak (flora, fauna, air, bentuk lahan,
iklim/cuaca, dan lainnya – lihat item-iem daya tarik wisata alam
menurut Fennell pada slide di belakang).
2. Kegiatan wisata alam yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagai
sarana untuk melakukan wisata rekreatif, yang ditawarkan kepada
wisata4an; misalnya: hiking, camping, dll.
3. Kegiatan wisata alam yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagai
sarana untuk melakukan wisata petualangan; misal: hiking, mountain
climbing, caving, rafting, dll.
4. Event tertentu (olah raga, seni, dan ritual budaya) yang memanfaatkan
sumberdaya alam sebagai sarana dan atau back-ground untuk
melakukan kegiatan tertentu, yang ditawarkan kepada wisatawan;
misalnya: lomba selancar internasional, upacara labuhan, pentas
kesenian jathilan).
5. Program (interpretasi dan pendidikan lingkungan), yang ditawarkan
kepada wisatawan; misalnya: program birdwatching dengan
pemandu (baik guided by interpreter ataupun self-guided, di mana
pengunjung tidak didampingi oleh petugas pemandu, tetapi dengan
dipandu oleh peta jalur interpretasi yang dibawa oleh pengunjung
sendiri).
Terkait dengan jenis atraksi yang berbentuk obyek (nomor 1), Fandeli
(1995) merinci lebih lanjut tentang hal ini; yaitu bahwa jenis-jenis
atraksi alam meliputi:
1. Pegunungan
2. Dataran tinggi/plateau
3. Padang luas
4. Sungai
5. Air terjun
6. Danau
7. Pemandangan (panorama)
8. Laut
9. Pantai
10. Pulau
11. Mata air panas
12. Fenomena alam yang menarik
13. Binatang
14. Tumbuhan
15. Ngarai/lembah
16. Kawah
17. Gua
18. Tanjung
19. Cagar alam
Karena obyek, utamanya yang terangkai dalam suatu
hamparan lanskap hutan, keberadaannya menjadi dasar bagi
terbentuknya 4 jenis (kelompok) atraksi yang lain, maka
pembicaraan akan lebih banyak terfokus pada obyek,
khususnya lanskap hutan.
Potensi Obyek Ekowisata
Ekosistem Hutan

HUTAN CEMARA,
HUTAN HUJAN TROPIS

HUTAN BAMBU
PADANG RUMPUT
Potensi Obyek Ekowisata Flora dan
Fauna

Kera Abu-abu Macan Tutul

Mentigi

Anggrek Kantong Semar


Ayam Hutan
Bunga Abadi
Potensi Obyek Ekowisata Air Terjun
Potensi Obyek Ekowisata Panorama Alam

Panorama alam dari G. Penanjakan

Puncak mahameru Matahari Terbit


(3.676 m.dpl.)
POTENSI PRODUK EKOWISATA BERKUDA, BERSEPEDA, POTENSI PRODUK EKOWISATA BIRDWATCHING,
DAN POTENSI PRODUK EKOWISATA NTERPRETASI POHON UNIK
POTENSI PRODUK EKOWISATA BERBASIS PERAIRAN
(DIVING DAN CANOEING)
Bedul Trianggulasi
• Salah satu lokasi wisata bahari dengan • Wisata keluarga (pantai pasir putih)
didukung potensi hutan mangrove • Sunset, pesanggrahan, atraksi satwa
• Sebagai lokasi breeding dan nesting area • Pendidikan : formasi hutan pantai (nyamplung,
jenis-jenis burung air. bogem dan pandan laut)
Pancur Plengkung
• Camping ground • Surfing , potensi ombak : 6-7 feet, panjang
• Sunset 1-2 km , 6-7 lapis, 3 besar terbaik dunia
• 4 PPA (PT. PIW, PT. WPA, PT. WWAH, PT. KW)
Sadengan Ngagelan
• Padang penggembalaan buatan (80 Ha) • Tempat penetasan telur penyu semi alami
• Atraksi satwa yang sering dijumpai: • Salah satu lokasi pendaratan dan bertelur 4
banteng (monitoring tiap hari: jantan, betina jenis penyu (penyu lekang/abu-abu, penyu
dan anak), rusa, babi hutan, merak, burung sisik, penyu hijau, dan penyu belimbing)
raptor
POTENSI ATRAKSI ALAM PADA LANSKAP HUTAN
Potensi atraksi alam pada lanskap hutan secara lebih rinci dapat
dituliskan sebagai berikut:
- Keunikan ekosistemnya;
- Adanya sumberdaya flora dan fauna yang telah terancam
kepunahan;
- Keanekaragaman jenis baik flora maupun fauna;
- Panorama atau ciri geofisik yang memiliki nilai estetik;
- Adanya fungsi hidro-orologi kawasan untuk pengaturan air,
erosi dan kesuburan tanah;
- Adanya atribut lanskap seperti bentuk lahan, pola vegetasi,
karakteristik air, dan fitur budaya, yang mempengaruhi sense
dari pengalaman estetika selain pandangan, yaitu suara, bau,
rasa, dan sentuhan;
- Peluang munculnya berbagai keindahan/keunikan lanskap
karena efek dari jarak dan posisi pengamat, bentuk dan
batasan spasial dari (bentuk topografi) lanskap, sinar
matahari, dan sekuens (dalam kasus kategori wisata touring
dengan kendaraan bermotor) (lihat gambar-gambar
terlampir);
- Peluang munculnya berbagai keindahan/keunikan karena
keberadaan sejumlah komposisi lanskap, seperti lanskap
panorama, lanskap fitur, lanskap focal, lanskap kanopi,
lanskap detail, dan lanskap ephemeral (lihat gambar-
gambar terlampir);
- Peluang untuk melakukan kegiatan rekreasi (sightseeing,
berenang, piknik, berperahu, berkemah, berjalan di alam,
hiking);
- Peluang untuk melakukan kegiatan berpetualang (rafting,
mountain-climbing, caving, gliding, sandboarding);
- Peluang untuk melakukan kegiatan konservasi dan
pendidikan lingkungan.
KRITERIA PENILAIAN POTENSI KUALITAS VISUAL LANSKAP
Seseorang mengunjungi suatu kawasan ODTW umumnya
karena ingin menikmati keindahan dan keunikan dari kawasan
yang bersangkutan; meskipun pada praktiknya bisa juga
karena adanya tujuan lain (ingat kategori tujuan/maksud
utama pengunjung dalam melakukan perjalanan wisata).
Keindahan yang dimaksud di sini terkait erat dengan kualitas
visual lanskap, meskipun indera selain penglihatan juga ikut
mewarnai munculnya kesan indah dan unik. Cukup banyak
contoh paduan kriteria yang digunakan sebagai acuan untuk
penilaian potensi keindahan atau kualitas visual lanskap, dua
contoh diantaranya diajukan oleh USDA (1995) dan oleh Ode
et al. (2008) dalam Surová et al. (2013).
Dinyatakan dalam USDA (1995), bahwa
kemenarikan/keindahan lanskap bisa dinilai berdasarkan 10
kriteria atau konsep dasar penilaian; yakni variasi (1),
kegamblangan (vividness) (2), misteri (3), keutuhan (4),
koherensi (5), harmoni (6), kesatuan (7), keunikan (8), pola (9),
dan keseimbangan (10).
Sementara Ode et al. (2008) dalam Surová et al. (2013)
menyatakan bahwa keindahan atau kualitas visual lanskap dapat
dinilai dengan melibatkan 9 kriteria dasar penilaian, dengan
rincian dan penjelasan masing-masing sebagai berikut:
1. Kompleksitas; yang dalam kasus hutan berrkaitan dengan
diversitas dan kekayaan dari elemen atau pola hutan.
Indikator dari kompleksitas mencakup banyaknya atribut
hutan yang berbeda-beda, keunikan spasialnya, dan
variabilitas di seluruh lanskap hutan yang bersangkutan.
2. Koherensi; terutama terfokus pada keberadaan air dan
susunan spasial dari vegetasi. Koherensi juga mencakup
warna dan tekstur pada wilayah lanskap.
3. Kepengurusan; berhubungan dengan tipe dan derajat dari
manajemen aktif, dan dampaknya pada karakteristik estetis
dari suatu tegakan hutan.
Indikator utama yang disebutkan dalam literatur mencakup
tipe aktivitas manajemen dan tahap suksesi yang tengah
berlangsung pada tegakan hutan. Dalam konteks ini kondisi
tajuk merupakan faktor penting – dedaunan yang penuh dari
holm oak (sebagai contoh kasus yang diajukan oleh Surová et
al., 2013) tidak mempunyai transparansi tajuk yang nyata
ketika diobservasi pada foto udara. Transparansi tajuk yang
tinggi dianggap mempunyai dampak visual negatif,
mencerminkan pruning intensif atau kehilangan dedaunan
karena gangguan.
4. Skala visual; utamanya menggambarkan derajat keterbukaan
lanskap, yang indikatornya mencakup persentase dari lahan
yang terbuka, ukuran dan bentuk viewshed (lumbung
pemandangan), dan kerapatan dari obyek-obyek yang
merintangi (pemandangan).
5. Kealamiahan; mencakup persentase dari vegetasi alami,
bentuk fisik vegetasi, tahap suksesi yang tengah berlangsung,
persentase dari air, serta indeks fractal dan fragmentasi.
6. Gangguan; berhubungan dengan kekurangan koherensi.
Indikator gangguan meliputi atribut-atribut hutan yang
biasanya berasosiasi dengan tipe-tipe gangguan yang dikenal,
maupun tanda-tanda visual gangguan yang jelas. Untuk
mengaplikasikan indikator-indikator ini, penting untuk
mengenali elemen atau karakteristik hutan yang mana yang
dianggap sebagai gangguan dalam suatu tempat yang spesifik.
7. Kesejarahan; berhubungan dengan derajat kekayaan sejarah
yang ada dalam suatu hutan. Holm oak montado adalah suatu
sistem tata guna lahan tradisional yang telah berlangsung
selama berabad-abad, dan karenanya mempunyai sejarah
yang signifikan.
8. Imageability; merupakan hasil dari koordinasi keseluruhan
lanskap atau elemen-elemen spasialnya; yakni bahwa ini
merupakan keunikan keseluruhan dari lanskap, seperti bahwa
lanskap dapat dibedakan dari lanskap yang lain, dan
memorable bagi pengamat. Sebagian besar indikator
yang berhubungan dengan elemen-elemen yang
spektakuler, unik, dan ikonik tidak dapat diestimasi
dengan menggunakan foto-foto udara atau data
penutupan lahan – indikator-indikator tersebut
memerlukan observasi langsung –walaupun
merupakan hal yang mungkin untuk menentukan
beberapa indikator, seperti kerapatan titik-titik
pandang potensial.
9. Ephemera; mencerminkan perubahan-perubahan
lanskap yang berkaitan dengan musim atau cuaca.
Ephemera dapat diukur melalui persentase dari area
dengan hutan yang mengalami perubahan musiman
(misal hutan daun lebar), dan persentase dari air
dengan perubahan musiman.
PENILAIAN POTENSI KUALITAS VISUAL LANSKAP
Penilaian potensi kualitas visual lanskap seperti juga pada
potensi atraksi alam pada umumnya bisa dilakukan dengan
menggunakan pendekatan suplai, yang dilakukan para
pakar/peneliti, bisa juga dengan menggunakan pendekatan
permintaan, yang umumnya dilakukan oleh pengunjung
potensial.
Penilaian potensi lanskap dengan pendekatan suplai umumnya
dilakukan melalui kerja lapangan, analisis foto udara, materi lain
(catatan, laporan, peta-peta, dll).
Diilhami oleh uraian tentang kriteria penilaian potensi kualitas
visual lanskap pada slide sebelumnya, maka dapat diikhtisarkan
bahwa tahapan penilaian potensi kualitas visual dari suatu
lanskap dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Penentuan kriteria penilaian
2. Penentuan indikator bagi tiap kriteria
3. Pembuatan rentang skor bagi tiap indikator
4. Mencari data bagi tiap indikator, baik melalui
pencarian data primer di lapangan maupun data
sekunder di sumber-sumber data
5. Menganalisis data, sehingga dapat dihasilkan
site-site dengan potensi kualitas visual lanskap
tertinggi; baik terindikasi dari nilai rata-rata
indiator/kriteria yang tertinggi ataupun dari
output peta overlay dengan warna yang tergelap
6. Rekomendasi atas site yang potensial untuk
dikembangkan menjadi atraksi (wisata) alam
PENILAIAN POTENSI LANSKAP/ATRAKSI ALAM HUTAN
UNTUK PEMBANGUNAN
PARIWISATA ALAM HUTAN YANG TERSISTEM

Namun demikian, hasil dari penilaian potensi lanskap yang hanya


mengandalkan obyek/atribut lanskap hutan sebagai atraksi alam belumlah
mencukupi, kalau belum disertai oleh hasil penilaian atas kesesuaian
lokasi site yang antara lain ditentukan oleh kondisi sejumlah parameter
lingkungan lokal seperti iklim mikro, topografi, tanah, air, dan vegetasi,
dan kondisi lingkungan umum (Douglass, 1978), yang diperlukan bagi
pembangunan dan kelangsungan kegiatan rekreasi/wisata alam hutan.
(Tabel 6 s.d. 9 di belakang menunjukkan variasi tingkat kesesuaian sifat
fisik tanah untuk pengembangan potensi rekreasi/wisata alam di dalam
kawasan hutan).
Dengan demikian, dari hasil penilaian potensi lanskap/atraksi alam dan
tingkat kesesuaian parameter lingkungan lokal, akan dapat ditunjukkan
lokasi-lokasi site mana saja yang dapat dibangun untuk kompleks atraksi
(kelima jenis/bentuk atraksi alam seperti tersebut di awal), fasilitas
pengunjung, dan aksesibilitas lokal di dalam kawasan (lanskap) hutan yang
bersangkutan.
Perlu untuk diingat, bahwa atraksi alam akan tetap
menjadi potensi atraksi alam kalau tidak pernah
dikunjungi wisatawan, akibat ketiadaan fasilitas
pengunjung, aksesibilitas, dan variasi atraksi alam lainnya.
Sampai di sini menjadi semakin jelas hubungan antara
model sistem pariwisata secara umum yang dapat
diturunkan pada model sistem pariwisata di region yang
berhutan, dan akhirnya dapat diturunkan pada model
sistem pariwisata di dalam kawasan (lanskap) hutan.
Bila ditarik ke belakang, jelaslah bahwa dalam
pembangunan pariwisata alam hutan, juga dikenai
konsep atraksi dan produk wisata (yang mencakup triple
A: atraksi, aksesibilitas, dan amenitas atau fasilitas
pengunjung). Selain itu, dalam pariwisata alam hutan juga
tidak lepas dari konsep suplai dan destinasi.
Keberadaan konsep atau unsur atraksi, produk,
suplai, dan destinasi tidak dapat dilepaskan dari
pembangunan pariwisata alam hutan karena 2
alasan utama, yakni adanya sistem pariwisata
yang memayungi (1), dan adanya kepentingan
penyusunan neraca satelit pariwisata nasional
dalam pembangunan pariwisata, di mana
pariwisata alam hutan termasuk di dalamnya
dan sama-sama melibatkan keempat unsur
tersebut di dalamnya.
(Gambar-gambar di bawah merupakan lampiran
untuk melengkapi/menjelaskan tulisan di atas).
JARAK PENGAMAT

Catatan:
300’ = 0-91,44 m
½ mile = 804,5 m
4 mile = 6.436 m
URAIAN TENTANG JARAK PENGAMAT (ZONA JARAK)
PADA GAMBAR-GAMBAR DI ATAS

Latar Depan Langsung (0-300 feet atau 0-91,44 m)


Pada zona jarak ini orang dapat membedakan atau melihat dengan
jelas:
• Daun-daun secara individual
• Bunga-bunga secara individual
• Ranting-ranting secara individual
• Tekstur kulit batang
• Satwa-satwa kecil (tupai tanah dan burung-burung penyanyi)
Kemudian, orang juga dapat memperhatikan:
• Gerakan daun dan rumput pada angin sepoi-sepoi
Selain itu, orang juga dapat menerima pesan sensorik lainya:
• Suara satwa kecil, suara burung, bisikan angin melalui daun dan
rumput, dan bau yang tajam ataupun bau yang enak
Pada zona jarak ini tekstur tersusun atas daun individual, tandan
jarum, pola kulit batang, dan pola ranting.
Dalam konteks ini detail merupakan hal yang penting.

Latar Depan (300 feet-1/2 mil atau 91,44 m-804,5 m)


Pada zona jarak ini orang dapat melihat dengan jelas:
• Dahan kecil dari tandan daun
• Batang pohon dan cabang besar
• Semak-semak secara individual
• Rumpun bunga liar
• Satwa ukuran sedang (tupai dan kelinci)
• Burung ukuran sedang sampai besar (elang, angsa, dan bebek)
Kemudian, orang juga dapat membedakan dengan jelas:
• Gerakan dahan pohon dan puncak pohon pada angin sedang
Orang dapat pula menerima pesan sensorik seperti:
• Suara satwa ukuran sedang
• Kicauan burung
• Siulan angin yang bertiup sedang melalui cabang-cabang
• Bau dari hutan
Dalam konteks ini tekstur sebagian besar tersusun atas dahan, cabang
besar, dan bagian-bagian yang terlihat dari batang. Dalam hal ini
bentuk individual merupakan hal yang dominan.

Latar Tengah (1/2 mil-4mil atau 804,5 m-6.436 m)


Latar tengah merupakan zona jarak utama pada mana lanskap hutan
nasional terlihat, kecuali untuk region-region dengan lahan datar atau
dengan vegetasi yang tinggi, rapat.
Pada jarak ini orang dapat melihat dengan jelas:
• Bentuk-bentuk pohon individual
• Batu-batu besar (yang terkikis oleh arus air)
• Padang bunga
• Pembukaan-pembukaan kecil dari hutan
• Singkapan batuan (kecil)
Selanjutnya, pada zona jarak ini:
▪ Bentuk-bentuk pohon secara khas tampak menonjol dalam
situasi bayangan hitam (silhouetted)
▪ Bentuk, tekstur, dan warna tetap dominan, dan pola
menjadi hal yang penting
▪ Tekstur sering tersusun atas bentuk-bentuk pohon yang
berulang
▪ Pada topografi yang lebih curam, suatu perspektif lanskap
latar tengah sama dengan perspektif lanskap dari udara
▪ Karena pengamat mampu melihat aktivitas manusia dari
perspektif ini dalam konteks dengan lanskap secara
keseluruhan, suatu lanskap latar tengah yang mempunyai
topografi curam sering menjadi hal yang kritis dari semua
zona jarak bagi manajemen pemandangan.
Latar Belakang (4 mil-horizon atau 6.436 m-horison)
Pada zona jarak ini orang dapat melihat dengan jelas:
• Belukar/hutan kecil atau tegakan pohon
• Pembukaan yang besar dalam hutan
• Singkapan batuan yang besar
Pada zona ini tekstur telah hilang dan warna telah
memudar, tetapi pola besar dari vegetasi atau
batuan masih dapat dilihat dengan jelas, dan garis
bentuk lahan (punggung bukit/pegunungan) dan
garis horizon merupakan karakteristik visual yang
dominan. Sebagai hasilnya, lanskap telah
disederhanakan. Peran dari latar belakang dalam
memberikan kualitas skenik terutama terletak
dalam kapasitasnya sebagai suatu latar belakang
yang dilembutkan secara kontras, suatu
pemandangan jauh yang menyenangkan, atau suatu
titik focal yang sangat indah.
PENGENALAN SUMBERDAYA SKENIS (Pemandangan Indah dari Lanskap) (Burton, 1968)
Faktor-Faktor dari Analisis dan Observasi Skenis:
- Jarak (khusus zona jarak untuk kepentingan kuliah ini mengacu pada USDA,
1995)
- Posisi pengamat
- Bentuk (Form)
- Batasan spasial
- Cahaya
- Sekuens

Tipe Komposisi:
- Lanskap panorama
- Lanskap fitur
- Lanskap enclosed
- Lanskap focal
- Lanskap kanopi
- Lanskap detail
- Lanskap ephemeral
POSISI PENGAMAT:
1. Pengamat inferior
2. Pengamat normal
3. Pengamat superior
BENTUK (FORM)
BATASAN SPASIAL
CAHAYA
Warna, Jarak, Arah
TIPE-TIPE KOMPOSISI
ENCLOSED LANDSCAPE
FOCAL LANDSCAPE
CANOPIED LANDSCAPE

Anda mungkin juga menyukai