Anda di halaman 1dari 30

`REFERAT

PERFORASI GASTER

Dokter Pembimbing :

dr. Hengky Ham, Sp.B

Disusun oleh :

Nita Sari Wijaya 0710173

Oktaviana Niken 0710182

Oktavianus H. E. 0710205

Nyssa Jualim 0710021

Santi Mariana P. 0410098

SMF BEDAH

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2011

1
BAB I

PENDAHULUAN

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang


kompleks dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi
dari usus ke dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara
potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini
dikenal dengan istilah peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu
peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung ke dalam
rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna
merupakan suatu kasus kegawatan bedah.

Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma
tumpul perut sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu
perforasi pada ulkus peptikum merupakn penyebab yang tersering. Perforasi ulkus
duodenum insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster.
Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung.
Sekitar 10-15 % penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi
perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acuta mempunyai angka
kematian sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang
berperan terhadap angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut
adalah kondisi medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut.

Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit


seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis,
sindroma arteri mesenterika superior,dan trauma.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Lambung

1. Anatomi

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas


tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung
bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal
lambung adalah 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus,
korpus, dan antrumpilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat
cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura
mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan
yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan
masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus
kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama
daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke
dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya
aliran balik isi usus ke dalam lambung.

Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami
stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus
peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis
pilorus atau piloro spasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami
hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan

3
makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan
tersebut dan tidak mencerna serta menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat
diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang menyebabkan
relaksasi serabut otot.

Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritonium viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus
memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritonium yang keluar
dari satu organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum
minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis)
menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura
mayor, peritonium terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi
usus halus dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah
tempat yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat
penyulit pankreatitis akut.

Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas
tiga lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar,

4
lapisan sirkular di tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot
yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang
diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil,
mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan
mendorongnya ke arah duodenum.

Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan


lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa
bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf,
pembuluh darah, dan saluran limfe.

Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal


disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya disternsi lambung sewaktu diisi
makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan
menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di
dekat orifisium kardia dan menyekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik
terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik
memiliki tiga tipe sel utama. Sel-sel zimogenik (chief cell) menyekresikan
pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel
parietal menyekresikan asam hidroklorida (HCL) dan faktor intrinsik. Faktor
intrisik diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan
faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Sel-sel mukus
(leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus. Hormon
gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin
merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan
pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah enzim dan
berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium dan klorida.

Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai


saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari
abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mencabangkan ramus gastrika,
pilorika, hepatika, dan seliaka. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus
major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri

5
yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan
di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut aferen simpatis menghambat
motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan
submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan
mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.

Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan
limpa) terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang
mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan major.
Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan
arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus
posterior duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi
arteri ini dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan
duodenum, serta yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran
gastrointestinal, berjalan ke hati melalui vena porta.

6
2. Fisiologi Lambung

Fungsi lambung:

1) Fungsi motorik

 Fungsi menampung : Menyimpan makanan sampai makanan


tersebut sedikit demi sedikit dicerna dan bergerak pada saluran cerna.
Menyesuaikan peningkatan volume tanpa menambah tekanan dengan
relaksasi reseptif otot polos; diperantarai oleh nervus vagus dan
dirangsang oleh gastrin

 Fungsi mencampur : Memecahkan makanan menjadi partikel-


partikel kecil dan mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi

7
otot yang mengelilingi lambung. Konstraksi peristaltik diatur oleh suatu
irama listrik dasar.

 Fungsi pengosongan lambung : Diatur oleh pembukaan sfingter


pilorus yang dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas
osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat-obatan, dan olahraga.
Pengosongan lambung diatur oleh faktor saraf dan hormonal, seperti
kolesistokinin.

2) Fungsi pencernaan dan sekresi

a) Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini; pencernaan


karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil
peranannya. Pepsin berfungsi memecah putih telur menjadi asam amino
(albumin dan pepton). Asam garam (HCL) berfungsi mengasamkan
makanan, sebagai antiseptik dan desinfektan, dan membuat suasana asam
pada pepsinogen sehinhha menjadi pepsin.

b) Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan,


peregangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsangan vagus.

c) Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus


halus bagian distal.

d) Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi lambung serta


berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut.

e) Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, tampaknya


berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin.

Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik, dan
intestinal. Fase sefalik sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk lambung,
yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan, atau mengecap makanan. Fase ini
diperantarai seluruhnya oleh saraf vagus dan dihilangkan dengan vagotomi. Sinyal

8
neurogenik yang menyebabkan fase sefalik berasal dari korteks serebri atau pusat
nafsu makan. Impuls eferen kemudian dihantarkan melalui saraf vagus ke
lambung. Hal ini mengakibatkan kelenjar gastrik terangsang untuk menyekresi
HCL, pepsinogen, dan menambah mukus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10%
dari sekresi lambung normal yang berhubungan dengan makanan.

Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi


antrum juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari resptor-
reseptor pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula melalui
aferen vagus dan kembali ke lambung melalui eferen vagus; impuls ini
merangsang pelepasan hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang
kelenjar-kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian dibawa oleh
aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang sekresi. Pelepasan
gastrin juga dirangsang oleh PH alkali, garam empedu di antrum, dan terutama
oleh protein makanan dan alkohol. Membran sel parietal di fundus dan korpus
lambung mengandung reseptor untuk gastrin, histamin, dan asetilkolin, yang
merangsang sekresi asam. Setelah makan, gastrin dapat bereaksi pada sel parietal
secara langsung untuk sekresi asam dan juga dapat merangsang pelepasan
histamin dari mukosa untuk sekresi asam.

Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari duapertiga sekresi lambung


total setelah makan, sehingga merupakan bagian terbesar dari total sekresi
lambung harian yang berjumlah sekitar 2000 ml. Fase gastrik dapat terpengaruh
oleh reseksi bedah pada antrum pilorus, sebab disinilah pembentukan gastrin.

Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum.


Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein
yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan
gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-menerus
menyekresikan sejumlah kecil cairan lambung. Meskipun demikian, peranan usus
kecil sebagai penghambat sekresi lambung jauh lebih besar.

Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik, diperantarai oleh


pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi dan

9
pengosongan lambung. Adanya asam (PH kurang dari 2,5), lemak, dan hasil-hasil
pemecahan protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin,
kolesitokinin, dan peptida penghambat gastrik (Gastric-inhibiting peptide, GIP),
semuanya memiliki efek inhibisi terhadap sekresi lambung.

Pada periode interdigestif (antara dua waktu pencernaan) sewaktu tidak ada
pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung dalam kecepatan
lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut pengeluaran asam basal
(basal acid output, BAO) dan dapat diukur dengan pemeriksaan sekresi cairan
lambung selama puasa 12 jam. Sekresi lambung normal selama periode ini
terutama terdiri dari mukus dan hanya sedikit pepsin dan asam. Tetapi,
rangsangan emosional kuat dapat meningkatkan BAO melalui saraf parasimpatis
(vagus) dan diduga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus
peptikum.

B. PERFORASI GASTER

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.


Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum
kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn,
kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering
adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di
rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).
Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut
sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada
ulkus peptikum merupakan penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum
insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir 1/3
dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15%
penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas.
Pada pasien yang lebih tua appendicitis acut mempunyai angka kematian
sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang berperan
terhadap angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi
medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut.

10
C. Etiologi

 Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh:
trauma tertusuk pisau)

 Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering ditemukan


pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.

 Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, antalgin,dan natrium


diclofenac) serta golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya
deksametason dan prednisone. Sering ditemukan pada orang dewasa.

 Kondisi yang mempredisposisi: ulkus peptikum, appendicitis akut,


divertikulosis akut, dan divertikulum Meckel yang terinflamasi.

 Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab umum
perforasi usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan dengan hasil
akhir yang buruk.

 Luka usus yang berhubungan dengan endoscopic : luka dapat terjadi oleh
ERCP dan colonoscopy.

 Fungsi usus sebagai suatu komplikasi laparoscopic: faktor yang mungkin


mempredisposisikan pasien ini adalah obesitas, kehamilan, inflamasi usus
akut dan kronik dan obstruksi usus.

 Infeksi bakteri: infeksi bakteri (demam typoid) mempunyai komplikasi


menjadi perforasi usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi pada
pasien ini sering tidak terduga terjadi pada saat kondisi pasien mulai
membaik.

 Penyakit inflamasi usus: perforasi usus dapat muncul pada paien dengan
colitis ulceratif akut, dan perforasi ileum terminal dapat muncul pada
pasien dengan Crohn’s disease.

11
 Perforasi sekunder dari iskemik usus (colitis iskemik) dapat timbul.

 Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau


limphoma

 Radioterapi dari keganasan serviks dan keganasan intra abdominal lainnya


dapat berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi usus dan
perforasi usus.

 Benda asing (misalnya tusuk gigi atau jarum pentul) dapat menyebabkan
perforasi oesophagus, gaster, atau usus kecil dengan infeksi intra
abdomen, peritonitis, dan sepsis.

D. Patofisologi
E. Banyak faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya ulkus
peptikum. Walau telah diyakini bahwa ulkus gaster dan duodenum
disebabkan oleh infeksi H. pylori dan penggunaan NSAID, jalur akhir
dari pembentukan ulkus ialah perlukaan karena asam yang dihasilkan
terhadap barier mukosa gastroduodenum. 5
F. Eliminasi infeksi H. pylori atau penggunaan NSAID penting untuk
penyembuhan ulkus yang optimal dan mungkin bahkan lebih penting
untuk mencegah ulkus berulang dan/atau komplikasi yang
ditimbulkannya. Beberapa penyakit lain yang dipercaya menimbulkan
ulkus peptikum antara lain sindroma Zollinger Ellison (gastrinoma),
hiperfungsi sel G antrum dan/atau hiperplasia, mastositosis sistemik,
trauma, luka bakar, dan stress psikologis berat. Faktor penyebab lain
termasuk obat-obatan (NSAID, aspirin, dan kokain), merokok, alkohol
dan stres psikologis.
G.

12
H. A. Infeksi Helicobacter pylori
I. Dipercaya bahwa 90% ulkus duodenum dan 75% ulkus peptikum
berhubungan dengan infeksi H. pylori. Ketika organisme ini dimusnahkan
sebagai bagian dari perawatan ulkus peptikum, rekurensi ulkus peptikum
sangat langka. Morfologi H. pylori ialah batang spiral gram negatif
dengan 4 – 6 flagel dan bersarang pada epitel lambung atau dibawah
lapisan mukosa yang merupakan tempat yang aman untuk berlindung dari
asam dan antibiotik. Bentuknya dan flagel membantu pergerakan H.
pylori melalui lapisan mukosa dan menghasilkan beraneka enzim yang
membantunya untuk beradaptasi terhadap suasana yg hostile. Yang
terpenting, ialah bahwa H. pylori memproduksi urease yang mampu
memecah urea menjadi amonia dan bikarbonat yang mana menghasilkan
suatu suasana yang alkali dalam suasana gaster yang asam, yang
memfasilitasi diagnosis dari kuman ini dengan pemeriksaan laboratorium.
Organisme ini bersifat mikroaerofilik dan temperatur optimal untuk
isolasinya berkisar 35oC hingga 37oC, dengan perkembangbiakan setelah
2 hingga 5 hari. Yang lebih menarik lagi, H. pylori hanya dapat hidup
pada epitel gaster karena epitel gaster mengekspresikan suatu reseptor
spesifik secara in vivo yang dapat dikenali oleh organisme tersebut.4
J.
K. Berikut ialah tiga mekanisme untuk perlukaan GI yang diinduksi oleh H.
pylori:
L. 1. Produksi toksik yang menyebabkan kerusakan lokal pada jaringan
M. 2. Induksi respons imun mukosa lokal.
N. 3. Peningkatan gastrin dengan peningkatan resultan dalam sekresi asam
O.
P. Beberapa dari mediator toksik yang diproduksi secara lokal termasuk
produk dari aktivitas urease (contohnya amonia), sitotoksin, musinase
yang mendegradasi mukus dan glikoprotein, fosfolipase yang mencederai
sel epitel dan sel mukus, dan platelet activating factor yang dapat
mengakibatkan luka pada mukosa dan trombosis pada mikrosirkulasi.
Respon imun mukosa terhadap H. pylori juga mungkin berkontribusi

13
terhadap perlukaan GI. H. pylori diketahui dapat menyebabkan reaksi
inflamasi lokal pada mukosa gaster dan memproduksi faktor kemotaktik
yang menarik neutrofil dan monosit. Monosit teraktivasi dan neutrofil
secara bergiliran memproduksi sitokin proinflamasi dan metabolit oksigen
radikal.
Q. Pada pasien dengan infeksi H. pylori, gastrin awal dan yang terstimulasi
meningkat secara signifikan, mungkin merupakan proses sekunder
terhadap reduksi pada sel D antrum yang diakibatkan infeksi H. pylori.
Bagaimanapun, asosiasi terhadap sekresi asam oleh H. pylori tidak terjadi
secara langsung.
R. Ulkus peptikum juga secara kuat berkaitan dengan gastritis antral. Pada
kebanyakan kasus, infeksi dipastikan bermula dari antrum dan
menyebabkan inflamasi antral.
S.
T. B. Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs
U. Konsumsi NSAID ialah penyebab tersering dari ulkus peptikum setelah
infeksi H. pylori. Konsumsi NSAID tidak hanya menyebabkan perlukaan
pada lambung dan duodenum, tapi juga berkaitan dengan proses kronis.
Lesi gastroduodenal akut biasanya terjadi dalam 1 – 2 minggu konsumsi
NSAID dari hiperemi mukosa saja hingga erosi mukosa superfisial.
Sebaliknya perlukaan kronis terjadi biasanya setelah 1 bulan dan mungkin
terlihat di gaster sebagai erosi atau ulserasi di antrum atau duodenum.
Sebagai perbandingan terhadap ulkus H. pylori, yang sering ditemukan di
duodenum, ulkus NSAID biasanya ditemukan di gaster. Ulkus H pylori
juga hampir selalu diasosiasikan dengan gastritis kronis aktif, dimana
riwayat gastritis jarang ditemukan pada ulkus NSAID. Selain itu, bila
penggunaan NSAID dihentikan, biasanya ulkus tidak berulang, sedangkan
pada ulkus H. pylori, ada 50 – 80 % rekurensi dalam 1 tahun, kecuali
kuman tersebut dimusnahkan.5,6
V.
W. C. Sekresi Asam

14
X. Pada pasien dengan masalah saluran cerna atas, terjadi perubahan dalam
sekresi asam lambung. Kecepatan sekresi asam lambung normalnya 1 – 8
mmol/jam dan respon terhadap pentagastrin berkisar 6 – 40 mmol/jam. Di
penyakit seperti anemia pernisiosa, atrofi gaster, dan keganasan gaster,
baik kecepatan sekresi basal dan pentagastrin menurun. Sebaliknya,
kecepatan sekresi asam lambung meningkat pada pasien dengan ulkus
duodenum dan gastrinoma. Untuk ulkus gaster tipe I dan IV yang tidak
berhubungan dengan sekresi asam yang banyak, asam bekerja sebagai
kofaktor yang penting, memperparah kerusakan ulkus dan menurunkan
kemampuan gaster untuk sembuh sendiri. Pada pasien dengan ulkus
gaster tipe II atau tipe III, hipersekresi asam lambung lebih sering terjadi.
Ulkus juga dapat disebabkan oleh kelainan non-asam lambung seperti
penyakit Crohn, sifilis, infeksi Candida maupun keganasan.5
Y.
Z. 3.4. Patofisiologi Ulkus Gaster
AA. Ulkus gaster dapat terjadi dimana saja di gaster, namun biasanya
terjadi pada kurvatura minor dekat insisura. Sekitar 60% ulkus terjadi
pada lokasi ini dan diklasifikasikan sebagai ulkus gaster tipe I. Ulkus ini
secara umum tidak berhubungan dengan sekresi asam lambung yang
berlebihan dan dapat terjadi bahkan dengan jumlah asam lambung yang
normal atau sedikit. Sebagian besar ulkus gaster terjadi pada 1,5 cm dari
zona transisional histologis antara mukosa fundus dan antrum dan tidak
berhubungan dengan abnormalitas duodenum, pilorus atau prepilorus.
Sebaliknya ulkus gaster tipe II (15%) terdapat di korpus gaster bersamaan
dengan ulkus duodenum. Tipe ulkus ini biasanya berhubungan dengan
sekresi asam yang berlebihan. Ulkus gaster tipe III adalah ulkus prepilorik
dengan prevalensi 20 % dari seluruh lesi. Ulkus ini juga bersifat seperti
ulkus duodenum dan juga berhubungan dengan hipersekresi dari asam
lambung. Ulkus gaster tipe IV sering terjadi pada kurvatura minor dekat
gastroesophageal junction. Insiden dari ulkus gaster tipe IV kurang dari
10% dan tidak berhubungan dengan sekresi asam. Beberapa ulkus dapat

15
berada pada kurvatura mayor dari gaster, namun dengan insidensi kurang
dari 5%.
BB.
CC. Gambar 6 : Tipe Ulkus Gaster
DD.

EE. Ulkus gaster jarang terjadi sebelum usia 40 tahun, dan puncak
insidensi berada antara usia 55 dan 65 tahun. Ulkus gaster lebih sering
terjadi pada kelas sosioekonomi rendah, dan sedikit lebih prevalen pada
populasi non-kaukasoid. Patogenesis ulkus gaster jinak tetap masih belum
diketahui secara pasti. Beberapa kondisi dapat menjadi predisposisi untuk
terjadinya ulkus gaster, yaitu usia lebih dari 40 tahun, jenis kelamin
(wanita : pria (2:1)), konsumsi dari obat yang merusak barier lambung
seperti aspirin maupun NSAID, abnormalitas pada sekresi asam dan
pepsin, stasis gaster saat pengosongan lambung, ulkus duodenum yang

16
sudah ada, gastritis, dan infeksi H. pylori. Beberapa kondisi klinis dapat
menjadi predisposisi terhadap ulserasi gaster, termasuk konsumsi alkohol
yang lama, merokok, terapi kortikosteroid jangka panjang, infeksi, terapi
intraarterial.5
FF.
GG. 3.5. Patofisiologi dan Stadium Perforasi Gaster
HH. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
terjadinya peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak
kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak,
terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang peritoneum
oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Cairan lambung
dan duodenum akan mengalir ke kelok parakolika kanan menimbulkan
nyeri diseluruh perut.6
II. Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase
peritonitis kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum di bagian bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa
pengenceran zat asam yang merangsang itu, akan mengurangi keluhan
untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Bila telah
terjadi peritonitis bakteria, suhu badan penderita akan meningkat dan
terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita tampak letargik.

JJ. Gejala klinik


KK. Manifestasi ulkus gaster muncul dalam bentuk nyeri, perdarahan
dan obstruksi serta perforasi. Pembedahan dibutuhkan pada 8% hingga
20% dari pasien-pasien dengan komplikasi ulkus gaster. Sekitar 90%
pasien dengan ulkus peptikum mengeluhkan nyeri abdomen. Nyeri yang
khas dirasakan ialah nyeri yang tidak menjalar, rasa seperti terbakar dan
terlokalisasi pada epigastrium. Mekanisme nyeri ini masih belum jelas.
Nyeri sering dirasakan saat makan dan jarang membuat pasien terbangun
sewaktu tidur.6,7

17
LL. Perdarahan terjadi sekitar 35 – 40 % pada seluruh ulserasi gaster.
Biasanya pasien yang mengalami perdarahan yang signifikan dari ulkus
gaster ialah pasien lanjut usia dan sulit untuk berhenti berdarah.
Perdarahan sering terjadi pada ulkus gaster tipe II dan III, dan pasien
dengan ulkus gaster tipe IV.
MM. Komplikasi tersering dari ulkus gaster ialah perforasi. Kebanyakan
perforasi terjadi sepanjang aspek anterior dari kurvatura minor. Secara
umum, pasien lansia lebih sering mengalami perforasi, dan ulkus
berukuran besar diasosiasikan dengan angka kesakitan dan kematian yang
lebih tinggi.
NN. Obstruksi outlet gaster dapat terjadi pada pasien dengan ulkus
gaster tipe II atau III. Obstruksi jinak dengan obstruksi sekunder karena
karsinoma antrum harus dibedakan. Riwayat ulkus peptikum dan
penggunaan NSAID, memperkuat kemungkinan ulkus peptikum. Gejala
lain yang dapat terjadi antara lain mual, muntah, berat badan turun, buang
air besar hitam, dan anemia.
OO. Ulkus peptikum yang mengalami perforasi biasanya bermanifestasi
sebagai suatu akut abdomen. Pasien dapat mengalami nyeri abdomen
yang luar biasa. Awalnya peritonitis kimia terjadi dari keluarnya sekresi
gaster ke rongga abdomen, kemudian dalam beberapa jam terjadi pula
peritonitis bakterial. Sekuestrasi cairan ke rongga ketiga dari peritoneum
yang mengalami inflamasi dapat terjadi dan resusitasi cairan menjadi
sangat penting.
PP.Pasien dengan perforasi gaster muncul dan keadaan umum yang sakit
berat, dan pemeriksaan abdomen menunjukkan adanya tanda rangsang
peritoneal. Biasanya ditandai dengan defans muskulare dan rebound
tenderness yang dicetuskan dengan penekanan yang lembut pada
abdomen. Pekak hati bisa hilang akibat adanya udara bebas di bawah
diafragma. Peristalsis usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus.
QQ. Rangsangan peritoneum menimbulkan rasa nyeri pada setiap
gerakan yang menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum.

18
Nyeri subjektif dirasakan saat bergerak, bernafas, menggerakkan badan,
batuk dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti
pada palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas dan tes obturator.
RR. Pemeriksaan X-Ray thoraks menunjukkan udara bebas pada lebih
dari 80% pasien. Ketika diagnosis telah ditegakkan dapat diberikan
analgesia dan antibiotik, resusitasi dengan cairan isotonik, dan dibawa ke
ruang operasi. Terkadang, perforasi telah disegel secara spontan begitu
terjadi, dan pembedahan dapat dihindari. Terapi nonoperatif hanya tepat
apabila ada bukti objektif bahwa kebocoran telah disegel (dengan
pemeriksaan kontras) dan dengan tidak ditemukannya tanda klinis
peritonitis.5

Diagnosis

Pada pasien dengan perforasi gaster, keadaan umum yang terlihat ialah
kesakitan dan gelisah. Hal yang harus segera dilakukan ialah memeriksa jalan
nafas dan tanda-tanda vital. Pernafasan pasien dangkal dan cepat karena restriksi
pergerakan diafragma, sedangkan jalan nafas biasanya bukan menjadi masalah
pada perforasi gaster. Kadang-kadang takikardia ringan juga dapat terjadi, tetapi
hanya pada fase awal perforasi. Hipotensi seharusnya tidak terjadi, dan bila
terjadi, hendaknya diagnosis banding seperti rupturnya aneurisma aorta
abdominalis, pankreatitis akuta yang berat, dan gangguan pada pembuluh darah
mesenterika harus diwaspadai. Pemeriksaan awal biasanya juga memperlihatkan
tanda-tanda akut abdomen atau peritonitis dengan rigiditas abdomen dengan
tekstur seperti “papan kayu”, nyeri tekan dan nyeri lepas, serta bising usus yang
menurun atau menghilang. Pasien biasanya berusaha untuk meminimalisir
pergerakan dan sering ditemukan dalam posisi meringkuk.
Begitu pemeriksaan awal telah selesai dilakukan, resusitasi cairan
intravena dan pemasangan NGT untuk dekompresi dan mencegah aspirasi harus
segera dilakukan (kurang dari 1 – 2 menit). Kemudian, secondary survey yang
termasuk anamnesa lengkap dan pemeriksaan fisik lengkap harus segera
dilakukan. Nyeri yang dirasa pasien biasanya bersifat tiba-tiba, sangat nyeri, dan
bersifat konstan. Penjalaran nyeri ke regio skapular biasa terjadi dengan

19
pengumpulan isi gaster di subphrenik kanan. Riwayat ulkus peptikum hendaknya
ditanyakan, walaupun tidak semua pasien perforasi gaster datang dengan riwayat
ulkus berulang.
Dalam beberapa kondisi tertentu, tanda-tanda akut abdomen dapat bersifat
samar atau bahkan tidak ada, kondisi-kondisi tersebut antara lain:
1. Pasien yang sangat tua atau sangat muda
2. Pasien yang menerima dosis steroid yang sangat tinggi
3. Pasien-pasien paraplegi, yang mungkin nyeri yang dirasakan hanya pada
ujung skapula.
4. Pasien koma, dimana kecurigaan perforasi gaster dapat berdasar pada
terjadinya sepsis
5. Pasien yang sedang pemulihan dari operasi di regio abdomen.
Dasar diagnosis pasien dengan perforasi gaster ialah dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik. Pasien mungkin mengalami leukositosis dengan pergeseran
hitung jenis ke kiri dan urinalisis yang normal. Foto BNO tiga posisi dan foto
thorax juga hendaknya dilakukan. Adanya udara bebas intraperitoneal terlihat
pada sekitar 75% pasien.
Ketika ada kecurigaan perforasi, tetapi tidak terlihat udara bebas pada
peritoneum, pemeriksaan Gastrografin swallow mungkin berguna. Endoskopi
harus dihindari. Diagnosis banding lain antara lain pankreatitis akut, kolesistitis
akut, appendisitis akut, dan bahkan myocardial infark. Bila serum amilase
meningkat pada perforasi ulkus peptikum terjadi, biasanya peningkatan tersebut
tidak melebihi 3 kali dari angka normal. Sedangkan leukositosis pada pankreatitis
akut biasanya lebih tinggi. USG abdomen berguna dalam menyingkirkan
kolesistitis akut sedangkan EKG dan serum enzim (CKMB, Troponin) dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis infark jantung.
Ketika diputuskan bahwa operasi akan dilakukan, obat-obatan analgesik
dan antibiotik spektrum luas untuk profilaksis dapat segera diberikan.5,6,7

20
SS. Pemeriksaan Penunjang

Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan


adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika
urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto
Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk
menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan
dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode
yang disebutkan sebelumnya.

1. Radiologi
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung
dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau
pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal.
Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus
besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak
mengandung udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara
bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi.

Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting,
karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis
memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih prosedur
diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi
pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen
karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam
status kegawatdaruratan abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman,
dengan menggunakan teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara
sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia menggunakan teknik foto
abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri.

Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi


dapat dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat
penting. Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum

21
pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat
mencapai titik tertinggi di abdomen. Banyak peneliti menunjukkan
kehadiran udara bebas dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas
tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus lateral kiri.
Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan
tertutup oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan
pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien
menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah
subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat terlihat gambaran oval
kecil atau linear. Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat tampak
di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam bentuk
seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma pada posisi
berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas di atas
kumpulan cairan di bagian tengah abdomen.

2. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut
abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan
berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena
terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk
mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik kandung
kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara
bebas.

3. CTscan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti
gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh
karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.
Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat
membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai

22
area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk parenkim paru
adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat CT scan dilakukan
dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di
depan bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara bergerak jika
pasien setelah itu mengambil posisi decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih
baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa omentalis dan
retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu
diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya.
Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak
terlihat pada scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras
nonionik untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah
dengan menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum
scanning. Cara kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat larut
secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu
untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen barium tidak
dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan
pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum. Beberapa penulis
menyatakan bahwa CT scan dapat memberi ketepatan sampai 95%.

TT. Penatalaksanaan

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan


umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan
pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan
tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin
digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan
anaerob.

Tujuan dari terapi bedah adalah :


1) Koreksi masalah anatomi yang mendasari
2) Koreksi penyebab peritonitis
3) Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat

23
menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah,
makanan, sekresi lambung).

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan saja


setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya, tetapi
tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia lanjut dan
terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan, tambahan tindakan
vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah kekambuhan.

Perforasi gaster pada periode neonatal


Meskipun perforasi gaster jarang terjadi, penyakit ini lebih sering terjadi pada
anak daripada dewasa, dan biasanya terjadi di ICU neonatal. Tiga mekanisme
telah diajukan untuk perforasi gaster pada neonatal: traumatik, iskemi dan
spontan. Etiologi spesifik dapat sulit ditentukan karena bayi biasanya sakit dan
patologi aktual menyediakan hanya sedikit petunjuk. Kebanyakan perforasi gaster
adalah akibat trauma iatrogenik.
Cedera paling umum adalah akibat pemasangan pipa orogastrik atau nasogastrik
yang terlalu bertenaga. Perforasi biasanya di sepanjang kurvatura mayor dan
tampak sebagai luka tusuk atau laserasi pendek. Perforasi gaster traumatik dapat
muncul sebagai akibat distensi gaster yang hebat selama ventilasi tekanan positif
selama resusitasi bag-mask atau ventilasi mekanik untuk gagal napas.

Mekanisme perforasi iskemik sulit diterangkan karena kasus ini dihubungkan


dengan kondisi stress fisiologis berat seperti prematuritas hebat, sepsis, dan
asfiksia neonatal. Perforasi gastrik iskemik telah dilaporkan dalam hubungan
dengan enterokolitis nekrotikans. Karena stress ulcer gaster telah dilaporkan pada
berbagai bayi yang sakit kritis, telah diajukan bahwa perforasi gaster sebagai
akibat dari nekrosis transmural.

Perforasi gaster spontan pernah dilaporkan terjadi pada bayi yang sehat, biasanya
dalam minggu pertama kehidupan terutama antara hari ke 2 sampai ke 7. Istilah
spontan menyatakan penyebab yang bukan akibat enterokolitis nekrotikan atau
iskemia, trauma dari intubasi gastrik, obstruksi intestinal atau insuflasi aksidental
selama bantuan ventilasi. Meskipun stress perinatal dan prematuritas tidak umum

24
dihubungkan, tidak ada faktor predisposisi yang dapat diidentifikasi pada
setidaknya20% kasus.

Satu hipotesis adalah bahwa perforasi spontan berkaitan dengan defek kongenital
dinding muskuler gaster. Namun penemuan patologis yang sama belum pernah
dilaporkan. Perforasi gastroduodenal telah dihubungkan dengan terapi steroid
postnatal untuk mencegah atau terapi BPD. Kebanyakan bayi diberi makan secara
normal sampai saat terjadi perforasi. Gambaran patologis dan klinis konsisten
dengan overdistensi mekanik daripada iskemia sebagai penyebab perforasi. Tanda
dan gejala perforasi gaster biasanya mereka dengan gejala akut abdomen disertai
sepsis dan gagal napas. Pemeriksaan abdominal adanya distensi abdominal yang
signifikan. Vomitus adalah gejala yang tidak konsisten. Konfirmasi radiografi
akan pneumoperitoneum masif adalah sugestif dan studi kontras untuk
mengkonfirmasi diagnosis tidak diindikasikan. Tanda-tanda syok hipovolemik
dan sepsis melengkapi gambaran klinik. Perforasi pada bayi baru lahir merupakan
kegawatdaruratan bedah. Karena ukuran yang besar dan tempat perforasi yang
proksimal, bayi-bayi ini dapat mendapat pneumoperitoneum dengan progresifitas
cepat yang dihubungkan dengan bahaya kardiopulmoner.
Sebelum intervensi bedah, selama evaluasi dan resusitasi bayi, dekompresi jarum
abdomen dengan kateter intravena besar mungkin diperlukan. Pipa nasogastrik
sebaiknya dipasang ketika resusitasi cepat dikerjakan. Pada bayi dengan berat
lahir yang sangat rendah yang mengalami perforasi terisolasi, drainse peritoneal
saja dapat tercukupi. Udara bebas persisten atau asidosis berkelanjutan dan bukti
peritonitis mengamanatkan eksplorasi bedah. Perbaikan bedah kebanyakan
perforasi terdiri dari debrideman dan penutupan dua lapis gaster. Suatu
gastrostomi mungkin menjamin. Reseksi lambung signifikan sebaiknya dihindari.
kerusakan sering melibatkan dinding posterior lambung sepanjang kurvatura
mayor membuat pembagian omentum gastrokolik dan eksplorasi dinding lambung
posterior diperlukan bahkan jika gangguan ditemukan juga di dinding anterior.
Area multipel dari cedera harus dikecualikan. Terapi suportif yang baik post
operatif bersama dengan penggunaan antibiotik spektrum luas secara intravena
diperlukan.

25
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi angka ketahanan hidup
tampaknya adalah interval antara onset gejala dan dimulainya terapi definitif, luas
kontaminasi peritonel, derajat prematuritas dan keparahan konsekuensi asfiksia.
Berkaitan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan sepsis dan gagal
napas sering ditemukan pada bayi prematur, angka mortalitas perforasi gaster
menjadi tinggi, berkisar antara 45% sampai 58%.

UU.Komplikasi

Komplikasi pada perforasi gaster, sebagai berikut:

1) Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada
gaster
2) Kegagalan luka operasi
Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka
operasi) dapat terjadi segera atau lambat.

Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi :


 Malnutrisi
 Sepsis
 Uremia
 Diabetes mellitus
 Terapi kortikosteroid
 Obesitas
 Batuk yang berat
 Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)
3) Abses abdominal terlokalisasi
4) Kegagalan multiorgan dan syok septic :
a) Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan

26
manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia
gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada
septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.

b) Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut :


 Hilangnya tonus vasomotor
 Peningkatan permeabilitas kapiler
 Depresi myokardial
 Pemakaian leukosit dan trombosit
 Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin dan
prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
 Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler

c) Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk dari


gram-positif, mungkin karena hubungan dengan endotoksemia.
5) Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH
6) Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan dengan
kegagalan sistem multipel organ dan mungkin berhubungan dengan defek
proteksi oleh mukosa gaster
7) Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi postoperatif
8) Delirium post-operatif. Faktor berikut dapat menyebabkan predisposisi
delirium postoperatif:
a) Usia lanjut

b) Ketergantungan obat

c) Demensia
d) Abnormalitan metabolik
e) Infeksi
f) Riwayat delirium sebelumnya
g) Hipoksia
h) Hipotensi Intraoperatif/postoperative

27
VV.Prognosis

Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat


dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis,
tindakan, dan pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka prognosisnya
menjadi dubia ad malam.
Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Faktor-faktor
berikut akan meningkatkan resiko kematian :
1) Usia lanjut
2) Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya
3) Malnutrisi
4) Timbulnya komplikasi

BAB III

KESIMPULAN

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek


dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke
dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk
terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut ( keadaan ini dikenal dengan
istilah peritonitis).

28
Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit
seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis,
sindroma arteri mesenterika superior, trauma.

Penatalaksanan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah


hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan
perforasi dengan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi
konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis
keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik,
aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 :


Lambung dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC :
Jakarta, 2004. Hal. 541-59.
2. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,
Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas
Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000

29
3. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis proses-
proses penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006

4. http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/g/gastric_ruptu
re Gharehbaghy, Manizheh M., Rafeey, Mandana., Acute Gastric
Perforation in Neonatal Period, available from www.medicaljournal-
ias.org/14_2/Gharehbaghy.pdf

5. Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early


radiological diagnostics of gastrointestinal perforation

30

Anda mungkin juga menyukai