Anda di halaman 1dari 23

Manajemen diri (self management) merupakan istilah yang sangat populer saat ini.

Banyak seminar,
training, maupun tulisan yang mengupas subyek ini karena memang diperlukan bagi mereka yang
berada di lingkungan profesional maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Pada dasarnya manajemen diri merupakan pengendalian diri terhadap pikiran, ucapan, dan
perbuatan yang dilakukan, sehingga mendorong pada penghindaran diri terhadap hal-hal yang tidak
baik dan peningkatan perbuatan yang baik dan benar.

Manajemen diri juga menuju pada konsistensi dan keselarasan pikiran, ucapan dan perbuatan
sehingga apa yang dipikirkan sama dan sejalan dengan apa yang diucapkan dan diperbuat. Integritas
seperti inilah yang diharapkan akan timbul dalam diri para praktisi manajemen diri.

Sebelum bisa memiliki pikiran-ucapan-perbuatan baik, terlebih dahulu seseorang harus memiliki
pemahaman dan pengertian yang benar.

Jadi urutan yang benar adalah :

Pemahaman/pengertian benar ==> pikiran benar ==> ucapan benar ==>perbuatan benar.

Akan tetapi walaupun punya pemahaman terhadap kebaikan dan ketidakbaikan, belum tentu pikiran
seseorang mampu diarahkan terus-menerus terhadap kebaikan. Dan walaupun seandainya pikiran
seseorang sudah didominasi oleh kebaikan, belum menjamin bahwa ucapannya selalu sejalan dengan
pikiran baik ini. Demikian pula tidak ada garansi bahwa perbuatannya secara fisik merefleksikan
sepenuhnya pikiran yang baik ini.

Sebagai contoh, apapun latar belakang, umur, jenis kelamin, pendidikan, suku dan lain sebagainya,
umumnya kita setuju bahwa olah raga dengan frekuensi dan dosis yang tepat, dapat menjaga
kebugaran, daya tahan dan kesehatan seseorang. Pemahaman ini menuntun pada pikiran yang baik
bahwa olah raga penting bagi kesehatan.

Pemahaman dan pikiran tentang kebaikan olah raga ini lebih mudah sejalan dengan ucapan. Sewaktu
menasihati orang lain, dengan mudah kita menjelaskan pentingnya berolah raga secara teratur. Akan
tetapi sewaktu harus praktek langsung, banyak di antara kita akan memunculkan berbagai alasan untuk
mendukung dan memberikan pembenaran mengapa diri kita sendiri jarang atau bahkan tidak sama
sekali berolah raga. Mulai dari alasan sibuk bekerja, waktunya belum tepat, tidak ada sarana, dan lain-
lain.

Ini menjelaskan mengapa banyak orang yang tidak atau belum sukses padahal begitu banyak kiat, taktik,
strategi, dan metode sukses diajarkan melalui buku, kaset, seminar dan lain-lain. Banyak di antara kita
hafal di 'luar kepala' dan mampu dengan cepat menyebutkan persyaratan untuk bisa sukses, mulai dari
berdisiplin tinggi, tepat waktu, punya integritas, jujur, fokus pada apa yang sedang dikerjakan, kerja
sama team, bertanggung jawab, bekerja keras, tidak mudah putus asa, dan lain sebagainya.
Begitulah, banyak dari kita hanya bermain pada tataran pemahaman dan pikiran, atau paling jauh
sampai level ucapan saja. Begitu harus diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari secara disiplin, kita
memberikan banyak maaf kepada diri sendiri untuk menunda atau tidak melakukan berbagai kiat, taktik,
strategi dan metode sukses tersebut.

Akhirnya sukses terlihat hanya menjadi hak orang lain dan bukan hak kita. Padahal kita sendirilah yang
menentukan sukses tidaknya diri kita masing-masing karena setiap orang punya hak untuk sukses,
seperti yang dikatakan oleh Bapak Andrie Wongso bahwa " Success is My Right " (sukses adalah hak
saya).

Sebenarnya tanpa perlu menjalankan semua persyaratan sukses, masih terbuka lebar kesempatan
meraih berbagai keberhasilan dalam hidup kita. Seringkali cukup dengan menjalankan secara disiplin
dan konsisten beberapa poin saja di antaranya, maka kita akan menjadi insan-insan yang berbeda dan
lebih baik dari mereka-mereka yang hanya berwacana di tataran pikiran dan ucapannya saja (OmDo =
Omong Doang, NATO = No Action Talk Only, "Tong Kosong Nyaring Bunyinya").

Dari contoh-contoh di atas dapat diringkas sebagai berikut :

Pemahaman/pengertian benar ==> pikiran benar ==> ucapan benar ==> perbuatan salah.

Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah :

Pemahaman/pengertian benar ==> pikiran benar ==> ucapan salah ==> perbuatan salah.

Tidak tertutup kemungkinan juga :

Pemahaman/pengertian benar ==> pikiran salah ==> ucapan salah ==> perbuatan salah.

Dan yang pasti terjadi jika pemahaman/pengertian seseorang tidak benar adalah :

Pemahaman/pengertian salah ==> pikiran salah ==> ucapan salah ==> perbuatan salah.

John C. Maxwell mengatakan bahwa pikiran berlanjut ke ucapan terus ke perbuatan. Jika rangkaian ini
terus dilakukan dapat membentuk kebiasaan yang menghasilkan karakter seseorang dan akhirnya
menentukan destiny (= nasib)-nya.

Marilah kita mulai menyelaraskan antara pikiran benar, ucapan benar dan perbuatan benar untuk
membentuk kebiasaan benar dalam membangun karakter yang benar pula sehingga pada akhirnya
kita bisa menuai 'hasil' yang baik dan benar pula dalam semua aspek kehidupan kita.
Manajemen Diri
Posted by: fikriana on: Juni 20, 2007

 In: Manajemen
 Comment!

Setiap orang mempunyai tujuan hidup. Tujuan hidup setiap orang berbeda-beda.
Karena mereka memiliki pemikiran yang berbeda, dan juga keinginan yang berbeda dalam
kehidupannya. Ada yang sangat berambisi, biasa saja, dan ada pula yang hanya menjalani
apa yang sudah tuhan takdirkan.

Tidak mudah menjalani tujuan hidup yang sudah kita rencanakan, karena terkadang
rencana yang sudah kita ingin jalankan terbentur oleh kenyataan yang ada. Karena kita
tidak mempunyai kuasa apapapun untuk dapat menentukan apakah tujuan yang sudah kita
tentukan itu dapat berjalan dengan baik. Karena ada Tuhan yang menentukan dan
mempunyai kuasa atas segala hal yang ada di dunia ini. Jika DIA sudah menentukan tidak
apakah kita dapat merubahnya. Oleh sebab itu kita hanya dapat berdoa agar tujuan yang
sudah kita rancang dapat berjalan sesuai rencana.

Perencanaan tujuan hidup yang baik tidak mudah. Karena kita harus mampu
konsisten dengan apa yang sudah kita rencanakan. Dan kita sudah memikirkan baik dan
buruknya terlebih dahulu.Merencanakan tujuan hidup yang baik dengan cara manajemen
diri. Pengertian Manajemen Menurut James A.F. Stoner : Manajemen adalah suatu
proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya
dari anggota organisasi serta penggunaan sumua sumber daya yang ada pada
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengertian Manajemen Menurut Mary Parker Follet : Manajemen adalah suatu seni, karena
untuk melakukan suatu pekerjaan melalui orang lain dibutuhkan keterampilan khusus.

Manajemen diri adalah orang yang mampu untuk mengurus dirinya sendiri.
Sedangkan kemampuan untuk mengurus diri sendiri itu dilihat dari kemampuan untuk
mengurus wilayah diri yang paling bermasalah. Dan yang paling biasa bermasalah dalam
diri itu adalah hati. Oleh karena itu kita harus bisa memanaj hati.

Menata hati dan potensi yang ada di dalam diri diperlukan kecerdasan. Saat ini
seseorang berkarya tidak cukup dengan kecerdasan rasional yaitu seseorang yang bekerja
dengan rumus dan logika kerja saja, atau dengan kecerdasan emosional (Goleman, 1996)
agar merasa gembira, dapat bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja,
bertanggungjawab dan life skill lainnya. Dan satu hal lain yaitu kecerdasan spiritual agar
seseorang merasa bermakna, berbakti dan mengabdi secara tulus, luhur dan tanpa pamrih
yang menjajahnya (Zohar, 2002).

Jika diantara ketiganya kita satukan untuk dapat manata atau mamanaj diri,
tidaklah mungkin semua yang sudah kita rencanakan dapat berjalan sesuai dengan
harapan. Karena dari ketiga kecerdasan tersebut saling mendukung dalam menata diri.

Kesuksesan dapat dilihat dari kesuksesan seseorang dalam memanaj dirinya


sendiri. Karena setelah dapat memenaj diri sendiri pasti orang itu akan dapat memimpin
MANAJEMEN DIRI:UPAYA MEMBANGUN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) MASISIR
Filed under: Arsif PPMI CAIRO — supraptoe @ 3:31 pm

Oleh: Udo Yamin Efendi Majdi

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS. Ar-Ra’ad [13]:11).

Iftitâh
Bismillâh. Sejak 2004, seperti air hujan, mahasiswa baru (MABA) dari Indonesia datang
membanjiri lembah Sungai Nil. Jumlahnya mencapai 1054. Tahun berikutnya pun demikian.
Peningkatan drastis pada dua tahun (2004-2005) itu, satu sisi membahagiakan, karena jumlah
kader ummat dan bangsa yang akan mengeluarkan Indonesia dari krisis multidimensi semakin
banyak. Namun di sisi lain menyedihkan, setelah natijah imtihân turun, banyak yang rasib.
Muncullah sebuah kesimpulan, bahwa secara kuantitas Masisir besar, namun secara kualitas
kecil. Ini pula yang membuat Departemen Agama (Depag) RI, tahun ini (2006), mengeluarkan
kebijakan untuk menyeleksi, lewat testing di perguruan tinggi Islam di beberapa propinsi,
terhadap semua CAMABA, baiknya jalur Depag maupun “Terjun Bebas” dan mensyaratkan
adanya “uang bekal” (living cost) sebesar US$. 2500,- (25 juta rupiah).
Terlepas dari polemik dan pro-kontra Masisir terhadap kebijakan Dapag yang dianggap
“sepihak” dan “sangat mendadak” tersebut, yang jelas peningkatan jumlah MABA perlu kita
respon dengan proaktif dan bijaksana. Sebab, persoalannya, tidak hanya masalah akademis saja,
tapi masalah patologi sosial —penyakit masyarakat (baca: Masisir)— yang muncul akibat
“penumpukan” emigran; ketidakseimbangan antara kedatangan MABA dengan kepulangan
mahasiswa lama.
Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, saya ingin mengajak diskusi Anda dan para MABA yang
dianggap sebagai “persoalan” (problem) agar berubah menjadi solusi dari masalah (problem
solver). Ada empat pembahasan yang akan kita diskusikan di sini, (1) fenomena kehidupan
Masisir sebagai upaya identifikasi sekaligus mencari akar masalah Masisir; (2) Manajemen Diri
sebagai tawaran solusi dari persoalan Masisir; (3) Tujuh Prinsip dan Kiat Praktis Manajemen
Diri sebagai bentuk konkrit dari Manajemen Diri itu; dan terakhir, (4) Manajemen Waktu
sebagai pelengkap untuk menjelaskan salah satu prinsip dari 7 prinsip yang saya rumuskan.

Fenomena Kehidupan Masisir


Ada sebuah fenomena kehidupan Masisir, yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir di berbagai
kalangan, yaitu “pembusukan karakter”. Maksudnya adalah menggunakan kebanyakan waktu —
minjam istilah Stephen R. Covey— “untuk hal-hal yang tidak mendesak dan tidak penting”, serta
tidak ada hubungannya dengan Mahasiswa/i Indonesia Mesir (selanjutnya dibaca: Masisir)
sebagai civitas akademica.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu kita sepakati bersama, bahwa Masisir yang kita maksud
adalah Masisir berperan sebagai civitas akademika, bukan peran-peran yang lainnya. Mengapa
demikian? Sebab,di lapangan, ada yang mendaftarkan diri di lembaga pendidikan di Mesir —
baik Al-Azhar maupun yang lainnya— dengan tujuan untuk mendapatkan iqâmah (visa). Betul,
status mereka adalah mahasiswa-mahasiswi, tapi peran mereka tidak hanya demikian. Ada yang
berperan sebagai suami bagi isterinya yang sedang kuliah. Selama di Mesir, ia hanya menunggu
tamat isterinya yang sedang kuliah di Mesir dan mencari nafkah untuk keluarganya. Sebaliknya,
ada yang berperan sebagai isteri. Ia hanya mendampingi suaminya menyelesaikan studi.
Mereka tidak kuliah. Mereka hanya mengikuti imtihân (ujian) agar nama mereka tidak tercoret
dari lembaga pendidikan itu. Ada juga yang sama sekali tidak mengikuti ujian, karena orang
yang ia tunggu tidak sampai tiga tahun. Artinya, kalau pun ia tidak ikut imtihân, maka ia tidak
akan mafshûl (dropt out). Di luar peran itu, masih banyak peran lainnya, misalnya karena ia
menjadi TKI atau TKW, ingin talaqqi dengan seorang syaikh, dan seterusnya. Jadi, Masisir —
dalam tulisan ini— adalah para mahasiswa-mahasiswi yang tinggal di Mesir dengan tujuan untuk
menyelesai jenjang pendidikan kesarjanaan (strata 1 sampai strata 3) pada lembaga pendidikan
—Al-Azhar atau yang lainnya— di Mesir. Dengan definisi ini meskipun mereka memiliki peran
lain —sebagai suami, isteri, aktivis, businessman, dan lain-lain— kalau tujuan utama mereka
memperoleh gelar kesarjanaan, inilah yang kita sebut Masisir sebagai civitas akademika.
Sebagai civitas akademika, seharusnya yang terbangun di Masisir adalah budaya ilmiah. Ini
dapat terukur dari tiga hal, yaitu (1) budaya membaca —menela’ah; mengkaji; meneliti— karya-
karya ilmiah; (2) budaya menulis karya tulis ilmiah, baik itu buku, jurnal, majalah, buletin,
maupun media tulisan ilmiah lainnya; (3) budaya diskusi; dan (4) pola pikir, mental, serta
perbuatan berdasarkan ilmu. Namun, realitasnya adalah budaya membaca sangat rendah, budaya
menulis sangat lemah; dan budaya diskusi sangat susah. Indikator dari keempat hal tersebut
dapat dilihat dari: (1) Masisir yang aktif di kelompok kajian (Studi Club) atau Senat Fakultatif,
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang aktif di organisasi atau komunitas lainnya; (2) yang
sering muncul dalam acara-acara Masisir sebagai pembicara dan dalam media massa Masisir
sebagai penulis hanya berputar kepada beberapa orang saja; (3) setiap ada lomba Karya Tulis
Ilmiah, pesertanya sangat sedikit; (4) buku; jurnal; dan karya ilmiah Masisir masih sangat minim;
dan (5) dalam intraksi sosial dan menghadapi persoalan belum mencerminkan sebagai ilmuan.
Lantas, jika waktu Masisir tidak banyak terkuras untuk membangun budaya ilmiah, maka
terpakai untuk apa? Wallahu ‘alam. Menurut pengamatan saya, waktu mereka banyak terbuang
—meminjam perkataan Stephen R. Covey— untuk hal-hal yang tidak mendesak dan tidak
penting. Misalnya, bergadang malam suntuk ketika musim panas; tidur seharian di musim
dingin; membaca Kho Ping Kho berseri-seri; menonton TV atau film “Korea” belasan episode,
bahkan film forno; main beragam “game” atau Play Station (PS) tak mengenal waktu, bahkan
ada perlombaannya; main gaple sampai Shubuh; chatting, searching, e-mail-email, atau “main
internet” tak ada tujuan yang jelas, bahkan ada yang sering meninggalkan sholat lima waktu, dan
seterusnya. Inilah contoh pembusukan karakter secara individu —bisa dilakukan sendirian,
dalam istilah Al-Quran, perbuatan munkar (al-munkar).
Ada lagi pembusukan karakter secara sosial —tidak bisa dilakukan sendirian, minimal harus ada
dua orang, dalam Al-Quran disebut perbuatan keji (al-fahsya’). Tanpa menafikan betapa
banyaknya Masisir yang baik dan komitmen menjaga ‘iffah (kehormatan diri), namun tidak bisa
kita pungkiri juga, dari sekian banyak Masisir itu, meskipun hampir 100% kuliah di Al-Azhar —
yang nota benenya mempelajari Islam— mereka melakukan kehidupan yang tidak Islami.
Misalnya, khalwah (berdua-duaan di tempat sepi) dan ikhtilâth (percampuran tanpa uzur syar’i,
pacaran jama’i dan pegang-pegang tangan). Sebagian memahami pacaran itu suatu kemestian
sebelum nikah, bahkan mencampuradukan dengan al-haq, istilah mereka “pacaran Islami”.
Akhirnya, kebablasan. Mereka sering jalan berduaan, nangkring di sûq sayyarât, ngobrol di
telpon berjam-jam, SMS-an dan chatting tak kenal waktu, berduaan dalam saqoh, bahkan rihlah
berduaan ke objek wisata Mesir. Kondisi inilah yang melahirkan Tim Pemerhati Intraksi Masir
(TPIM) yang mengundang pro-kontra Masisir.
Bukan satu atau dua kali, saya menemukan faktanya. Betapa sering Masisir yang mengadu,
karena miris melihat temannya sudah tidak lagi mengindahkan norma-norma Islam dalam
berintraksi dengan lawan jenis. Bahkan, saya masih ingat, di bulan suci Ramadlan tahun lalu,
tepatnya hari Ahad, 9 Oktober 2005, tiba-tiba, telpon di rumah saya berdering. Saya dekatkan
gagang telpon ke telinga. Di ujung sana, terdengar suara akhwat: “Betul ini rumah Udo Yamin?
Boleh aku bicara dengannya?” Saya membetulkan bahwa saya adalah Udo Yamin. Akhwat itu
ingin minta nasehat saya, tapi ia tidak mau memperkenalkan siapa dirinya. Ia mengajukan empat
pertanyaan: (1). Bagaimana pandangan Udo terhadap akhwat yang suka main ke rumah laki-laki
sendirian? (2). Apa yang Udo lakukan, bila Udo serumah dengan laki-laki yang didatangi akhwat
itu? (3) Bagaimana supaya adik-adik kelasnya yang serumah tidak mengikuti kebiasaan jelek
akhwat itu? (4) Bagaimana solusi dari semua itu? Saya, tidak akan memaparkan jawaban saya di
sini, sebab bukan tempatnya. Yang jelas, saat saya menjawab empat pertanyaan itu, saya dengar
akhwat itu menangis. Hati saya ikut tercabik-cabik. “Oooi, napa Masisir kok jadi gini???” batin
saya berteriak. Kisah nyata ini saya ceritakan, sekali lagi, untuk menguatkan bahwa apa yang
saya sampaikan kepada Anda berdasarkan data dan fakta. Bukan fiktif, apalagi fitnah.
Na’ûdzubillâh min dzâlik!

Manajemen Diri adalah Solusi


Tentu saja, bagi Anda sebagai mahasiswa baru (MABA), mungkin fenomena atau realitas di atas,
membuat Anda terkejut dan kecewa. Hanya saja, jangan berlarut-larut dalam rasa kecewa itu;
mulailah hidup bermakna! Sebab, seburuk apapun situasi dan kondisi di luar sana, apabila Anda
respon secara proaktif, maka akan memberikan manfa’at. Bahkan, dengan fenomena di atas,
seharusnya membangkitkan nurani Anda untuk merubahnya. Akan tetapi, sebelum merubah
Masisir, sebuah keniscayaan Anda —termasuk saya, harus terlebih dahulu merubah diri. Suatu
hal yang mustahil Masisir akan berubah, apabila “anfûs” Masisir tidak berubah. Allah Swt pun
tidak akan merubahnya. Sebaliknya, manakala kita mulai dari diri kita sendiri (baca lagi firman
Alllah diawal tulisan ini), maka Allah Swt. akan membantu kita. Untuk merubah diri itu, kita
butuh alat yang kita sebut dengan “manajemen diri”.
Apa itu manajemen diri? Secara sederhana, manajemen —merujuk Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Balai Pustaka, 2001)— memiliki dua arti, yaitu; (1) penggunaan sumber daya secara
efektif untuk mencapai sasaran; dan (2) pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannnya
perusahaan dan organisasi. Dalam kajian kita saat ini, arti pertama yang relevan dan perlu kita
eksplorasi lebih lanjut.
Selanjutnya, apa arti “diri” atau “saya”? Apakah yang kita sebut “diri” itu adalah akumulatif dari
pikiran kita, seperti yang dikatakan David J. Schwarz bahwa “Kita adalah apa yang kita pikirkan
tentang diri kita”, atau jargon yang diucapkan oleh Rene Descartes, “Saya berpikir, maka saya
ada”? Apakah diri itu adalah apa yang kita rasakan, seperti yang dinyatakan Andre Gide, “Saya
merasa, maka saya ada”? Apakah diri itu adalah perbuatan; tindakan; kebiasaan kita, seperti
ucapan Albert Camus, “Saya memberontak, maka itulah saya”, atau pernyataan Aristoteles,
“Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang.” Atau, ungkapan Nurcholis Madjid, “Aku
berbuat, maka aku ada”? Apakah diri itu gabungan dari pikiran dan perasaan kita, sebagaimana
dalam konsep “ego” Muhammad Iqbal, bahwa ego (diri) adalah suatu kesatuan perasaan-
perasaan —mental— kehidupan personal dan merupakan bagian dari sistim pemikiran. Dan,
apakah diri itu adalah gabungan dari semua itu? Wallâhu a’lâmu.
Kata “diri” (anfûs) —jamak dari nafsun— dalam Al-Quran banyak maknanya, diantaranya: rûh
(nyawa), dhamîr (hati nurani), jinsun (jenis), dan syahshiyah (pribadi) atau “totalitas manusia”
dimana terpadu jiwa-raga manusia. Nah, makna yang terakhirlah yang kita maksud dengan “diri”
itu. Yang kita sebut diri, pribadi, individu, adalah totalitas manusia sebagai perpaduan dari jasad
dan ruhani, fisik yang bisa kita lihat dan sesuatu yang tak terlihat yang menggerakan fisik (hati;
pikiran; jiwa). Diri adalah totalitas dari pemikiran, keinginan, dan gerakan kita dalam ruang dan
waktu. Dengan kata lain, perpaduan antara intelektual, emosional, spiritual, dan fisik.
Berangkat dari makna dua kata —“manajemen” dan “diri”— di atas, maka manajemen diri —
yang saya maksud— adalah sebuah proses merubah “totalitas diri” —intelektual, emosional,
spiritual, dan fisik— kita agar apa yang kita inginkan (sasaran) tercapai.
Tujuh Prinsip dan Kiat Praktis Manajemen Diri
Dalam kitab At-Tafsîr al-Munîr fî al-’Aqîdah wa as-Syarî’ah wa al-Manhaj (Darul Fikri, 1998),
Al-Ustadz Dr. Wahbah az-Zuhaily meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas: “Al Fatihah adalah inti
dari Al Quran. Dan basmalah —bismillâhirrahmânirrahîm— adalah inti dari surat Al-Fatihah!”
Tentu saja kesimpulan sahabat nabi yang mendapat gelar dari Khalid Muhammad Khalid —
penulis Rijâlu Haula Rasûl (Darul Muqatham, 1994)— sebagai “Kiai Umat” adalah benar.
Apalagi, sejak kecil beliau sering bersama rasulullah Saw. dan beberapakali beliau menepuk-
nepuk punggungnya sambil berdo’a: “Ya Allah, berikanlah ilmu agama yang mendalam dan
ajarakan kepadanya ta’wil (Al-Quran)!”
Dari dua belas nama surat Al-Fatihah —Fâtihah Al-Kitâb, Ummu Al-Kitâb, Ummu Al-Quran,
Al-Qurân Al-‘Adhîm, As-Sab’u Al-Matsâni, Ash-Shalâh, Ar-Ruqiyah, Al-Asâs, Asy-Syifa’, Al-
Kâfiyah, Al-Wâfiyah, dan Al-Hamdu— yang disepakati oleh ulama, ada tiga nama yang
menguatkan kesimpulan Ibnu Abbas tersebut, yaitu Fâtihah Al-Kitâb, Ummu Al-Kitâb dan
Ummu Al-Quran. Iyya, Al-Fatihah memang sebagai pembuka dan induk dari Al-Quran.
Dengan demikian, jika surat Al-Fatihah inti Al-Quran dan Al-Quran adalah sebagai prinsip hidup
kita, maka sudah barang tentu dalam surat Al-Fatihah ada prinsip hidup, termasuk prinsip-prinsip
untuk manajemen diri. Tinggallah kemauan kita, apakah mau mencari prinsip itu atau tidak?
Bukankah dalam ‘ulûmi al-Qurân (ilmu-ilmu Al-Quran), kita telah mempelajari tentang manthûq
(arti tersurat) dan mafhûm (arti tersirat)? Lantas, apa arti tersirat dalam surat Al-Fatihah?
Setiap hari kita minimal membaca surat Al-Fatihah sebanyak 17 kali sehari-semalam dalam
sholat. Tapi, pernahkah kita memikirkan makna —baik tersurat maupun tersirat— yang
terkandung di dalamnya? Oke, mari kita renungkan bersama makna yang tersimpan dalam surat
Al-Fatihah dan kita kaitkan dengan pembahasan kita saat ini.
Prinsip 1: Awali Dengan Basmalah
“Sesungguhnya (hasil) setiap amal perbuatan”, sabda nabi Muhammad Saw. yang diwartakan
oleh Imam Bukhari, “tergantung dengan niat.” Begitu pula dengan buah yang akan kita petik dari
menajemen diri, itu sangat tergantung pada benih yang kita tabur. Dan benih itu bernama niat.
Nah, apakah niat kita ketika hendak melaksanakan manajemen diri? Apakah hanya sebatas ingin
meraih pujian dari ortu, adik-kakak, teman, atau dari yang lainnya? Apakah karena merasa iri
dengan prestasi dan apa yang orang lain raih? Apakah hanya sekedar ingin mendapatkan
pekerjaan? Apakah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt. dan untuk mencari ridla-Nya?
Ayat pertama —Bismillâhirrahmânirrahîm (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang)— dari surat Al-Fatihah ini, mengajarkan kepada kita, apapun yang kita lakukan
harus kita niatkan atas nama Allah; karena-Nya; dan untuk-Nya semata. Semakin ikhlas niat kita,
maka semakin bermakna aktivitas kita. Sebaliknya, semakin jauh kita dari-Nya, maka apa yang
kita lakukan akan kehilangan makna. Di sinilah, perbedaan antara manajemen diri Islami dengan
konsep manajemen diri Barat. Manajemen diri Islami berpusat kepada Allah Swt. (Allah-sentris),
sedang konsep manajemen diri lain berpusat kepada manusia (antroposentris).
Langkah praktis dari prinsip 1 ini adalah: Carilah waktu dan tempat yang kondusif untuk
melakukan “Majlis Iman” seperti yang sering dilakukan oleh sahabat nabi —Ibnu Rawahah—,
yaitu merenungi diri sejenak. Atau, minjam istilah Kang Hernowo; dalam bukunya Self
Digesting (MLC, 2004)— melaksanakan Komunikasi-Internal Diri, yaitu menyingkirkan seluruh
wujud di luar diri dan kemudian, secara aktif, bertanya tentang keberadaan diri.
Nah, yang kita tanyakan kepada batin kita kali ini adalah niat kita: Apa tujuan saya melakukan
manajemen diri? Dengarkan semua jawaban yang muncul dalam hati nurani. Lalu, tutup dengan
sebuah pertanyaan: “Apakah saya melakukan hal ini karena Allah?” Bila nurani Anda
mengatakan “YA” dan tidak ada keraguan sama sekali, maka mulailah melangkah dan ucapkan
“Bismillâhirrahmanirrahîm”. Sebaliknya, jika jawabannya: “TIDAK”, atau masih ada keraguan,
maka ulang perenungan ini dari awal, hingga mendengarkan nuranimu berkata: “YA!”.
Prinsip 2: Terimalah Diri Apa Adanya
Salah satu ciri utama muslim adalah beriman sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya. Maka
dalam melihat diri harus dengan kaca mata iman. “Iman itu”, sabda nabi Muhammad Saw.,
“setengahnya berada pada syukur dan separonya lagi ada pada sabar”. Kita harus bersyukur
terhadap nikmat dari Allah, yaitu berupa apa saja yang sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Sebaliknya, kita harus bersabar atas setiap musibah yang menimpa kita, yaitu apa saja yang tidak
sesuai dengan yang kita inginkan.
Selanjutnya, kita harus mampu membedakan, mana yang bisa kita ubah, dan mana yang tidak
bisa kita ubah dalam diri kita. Contoh yang kita bisa ubah adalah pikiran, perasaan, kebiasaan
kita, dan seterusnya. Yang tidak bisa kita ubah adalah hari lahir kita, ortu kita, semua
pengalaman hidup kita, dan seterusnya. Maka ubahlah terhadap hal-hal yang bisa kita ubah!
Sebaliknya, terimalah apa adanya yang tidak bisa kita ubah.
Misalnya, ada yang tidak mengakui ortunya orang kampung. Di hadapan teman-temannya, ia
mengaku anak ningrat dan ortunya sudah lama meninggal, padahal kedua orang tuanya masih
ada di kampung bertarung dengan lumpur di sawah. Itu bukan langkah ke arah kemajuan, tapi ia
sedang memotong cabang pohon tempatnya berpijak; lambat laun tapi pasti, ia akan jatuh oleh
kebohongan itu.
Atau, ada yang tidak menerima kenyataan pengalaman hidup yang pahit. Hari demi hari, ia
terbelenggu dengan masa lalu. Segala upaya ia lakukan agar melupakan pengalaman itu. Padahal
masa lalu tidak mungkin bisa kita ubah. Bahkan, tidak bisa kita lupakan. Yang bisa kita lakukan
adalah berdamai atau menerima masa lalu itu apa adanya. Yang kita ubah, bukan masa lalu itu,
tapi pikiran, perasaan, dan sikap kita terhadap masa lalu itu. Alias respon kita.
Seburuk apapun yang kita miliki —ortu, adik-kakak, rumah, kampung halaman, daerah, negara,
dst— terimalah apa adanya. Sekelabu apapun masa lalu, biarkanlah ia berlalu dan jangan merasa
terbelenggu. Kesempatan menghirup udara detik ini adalah nikmat yang terbesar untuk kita
syukuri. Artinya, Allah masih memberi kesempatan kepada kita untuk mengubah apa yang bisa
kita ubah dan menerima apa yang tidak bisa kita ubah. Gunakan detik ini dan detik berikutnya
untuk merubah diri. Paling tidak, ucapkan dengan tulus: “Al-hamdulillâhi rabbi al-‘âlamîn!”
(Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam) atas semua nikmat dari Allah —otak, telinga,
mata, kaki, tangan, jantung, dan seluruh anggota tubuh lainnya— yang masih berfungsi sampai
detik ini.
Intinya, dengan kaca mata iman, semuanya menjadi kebaikan; bila kita mampu meraih sesuatu
sesuai dengan keinginan, maka kita akan bersyukur. Sebalik, jika mendapatkan sesuatu yang
tidak kita inginkan, maka kita akan sabar. Sehat, syukur. Sakit, sabar. Bagi orang beriman, tidak
ada bedanya antara sehat dan sakit, keduanya tetap mendatangkan rasa bahagia. Wajar jika nabi
bersabda: “Sungguh sangat mengagumkan orang yang beriman. Segala urusannya adalah baik
baginya. Dan itu terjadi, kecuali hanya pada orang yang beriman. Jika ia mendapatkan nikmat, ia
bersyukur. Maka itu merupakan kebaikan bagi dirinya. Apabila ditimpa musibah, ia bersabar.
Maka itu merupakan kebaikan bagi dirinya.” (Muslim & Ahmad)
Langkah praktis prinsip 2 ini adalah: Lakukan lagi Majlis Iman Ibnu Rawahah: Merenunglah
sejenak! Gunakan “kesadaran diri” (yaqdzah/self awarness) untuk melihat apa yang telah
(pengalaman hidup) dan apa yang sedang terjadi (kondisi hidup) pada dirimu. Lalu, aktifkan
“suara nurani” (bashîrah/conscience) dalam dirimu. Pelajari dan catatlah, mana yang bisa Anda
ubah, dan mana yang tidak bisa Anda ubah! Dari data dirimu itu, “gunakanlah” (use it) apa yang
Anda bisa ubah sebagai bahan pelajaran untuk merubah diri atau melejitkan potensi diri.
Bersyukurlah! Sedangkan yang tidak bisa Anda ubah, maka abaikanlah (lose it)! Dan
bersabarlah!
Prinsip 3: Berikanlah Yang Terbaik
“Tidak pernah akan rugi orang yang beristikharah,” petuah nabi Muhammad Saw. yang
dituturkan oleh Imam Malik, “dan tidaklah menyesal orang yang bermusyawarah.” Istikharah
adalah mendiskusikan persoalan kepada Allah Swt. Sedangkan musyawarah mendiskusikan
masalah kepada manusia. Keduanya bertujuan ingin mencari solusi terbaik dari apa yang kita
hadapi.
Namun sayang, terkadang kita begitu menginginkan Allah Swt. dan manusia memberikan yang
terbaik untuk kita, sedangkan kita sendiri enggan memberikan yang terbaik untuk-Nya dan
mereka. Maka sebelum memohon petunjuk kepada Allah Swt. dan minta pendapat kepada
manusia, berikanlah yang terbaik untuk Allah Swt. dan manusia dengan cara menyambungkan
tali kasih sayang kepada-Nya (hablum minallâh) dan kepada manusia (hablum minannâs).
Sebaik apapun yang kita berikan —waktu, tenaga, pikiran, harta, dan seterus— untuk mengabdi
kepada Allah Swt. sebagai bukti menyambungkan kasih sayang kepada-Nya, maka semua itu
tidak pernah mampu membalas apa kasih sayang-Nya kepada kita. Wajar, jika Allah Swt.,
mengulangi kalimat: “Arrahmânirrahim”. Dan sebanyak apapun rahmat yang kita terima di dunia
ini, maka hanya seper-sekian dari satu persen (1%) nikmat-Nya.
“Allah menciptakan rahmat menjadi seratus bagian,” ujar Imam Bukhari menyampaikan hadis
dari nabi, “kemudian menetapkan 99 bagian di sisi-Nya dan menyempurnakan satu bagian inilah
semua makhluk saling mengasihi, hingga seekor kuda mengangkat kaki dari anaknya karena
khawatir menginjaknya.” Dalam riwayat Imam Muslim, hadis itu ada lanjutannya, yaitu “maka
bila datang hari kiamat Allah menyempurnakan rahmat-Nya (99 rahmat di sisi-Nya) menjadi
seratus rahmat dengan tambahan rahmat ini (rahmat dunia).”
Dan sebaik dan sebanyak apa pun yang kita berikan kepada manusia, itu tak mampu
menggerakan manusia untuk membalas kebaikan kita, tanpa bantuan Allah Swt.. Allahlah yang
membukakan hati manusia untuk membalas atas kebaikan kita (baca: QS. Al-Anfâl [8]: 63).
Kuncinya, sekali lagi, minta bantuan kepada Allah Swt..
Bila hubungan kita dengan Allah sudah harmonis, maka insyâ Allâh, kita akan mudah
berhubungan dengan manusia. Sebaliknya, bila hubungan kita dengan Allah, terputus, maka kita
akan sulit harmonis dengan manusia, bahkan dengan diri kita sendiri kita tidak harmonis. Lantas,
bagaimana kita mmelakukan manajemen diri, jika diri kita berantakan?
Langkah praktis prinsip 3 ini adalah: Pertama, bila selama ini kita lalai melaksanakan kewajiban
kepada Allah, terutama sholat lima waktu, maka cepatlah taubat. Setelah sholat wajib itu kita
perbaiki, maka lakukan sholat istikharah, yaitu sholat dua raka’at untuk meminta sesuatu kepada
Allah, terutama sesuatu yang membingungkan kita. Bertanyalah dan pintalah kepada Allah, cara
me-manajemen diri. Insya Allah, dengan cara-Nya, Allah akan menjawab pertanyaan dan
permintaan kita; Kedua, setelah kita minta fatwa dari hati nurani dan Allah, maka berdiskusilah
kepada orang yang paling Anda percayai dan ahli dalam persoalan yang Anda hadapi. Ceritakan
keinginanmu untuk merubah diri dan mintalah pendapatnya. Dan buatlah rencana untuk menjalin
hubungan lebih erat kepada Allah dan manusia.
Prinsip 4: Lihatlah Impian
“Barang siapa menjadikan akhirat sebagai impiannya,” pesan rasulullah Saw. dalam kesempatan
lain, “Allah akan menjadikan kekayaan dan rasa cukup dalam hatinya, mengumpulkan yang
tercerai-berai darinya dan dunia mendatanginya dalam keadaan hina. Dan barang siapa
menjadikan dunia sebagai impiannya, maka Allah akan menjadikan kefakiran di hadapannya,
mencerai-beraikan urusannya dan dunia tidak datang kepadanya kecuali yang telah disempitkan
kepadanya.”
“Hai Harits,” sapa nabi Muhammad Saw. kepada Harits bin Malik r.a., “gimana keadaanmu pagi
ini?” Harits menjawab: “Pagi ini, saya dalam keadaan beriman, ya rasulallah!” Rasulullah Saw.
kembali bertanya: “Setiap perkataan itu ada hakikatnya. Nah, apa buktinya imanmu itu?” Dengan
mantap Harits menanggapi: “Diriku menjauhi dunia. Malamnya aku bergadang (qiyamullail),
sedangkan siangnya, aku shaum. Dan aku seolah-olah telah melihat ‘Arsy Tuhanku dengan
begitu jelas. Aku juga, seakan-akan telah melihat para ahli surga yang saling datang berkunjung,
sedangkan ahli neraka meliuk-liuk kelaparan!” Mendengar curhat Harits bin Malik r.a, rasulullah
Saw. baru yakin seraya bersabda: “Hai Harits, sekarang saya baru percaya. Maka,
pertahankanlah!” Kemudian rasulullah memberitahukan bahwa Harits telah sampai kepada yang
menjadi tujuan hidupnya, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat ahli surga, maka
coba perhatikan Harits!” (HR. Thabrani)
“Mâliki yaumi ad-dîn” (Yang menguasai hari pembalasan). Ini adalah prinsip lebih dahsyat dari
prinsip “Mulai dengan Akhir dalam Pikiran” —Merujuk Pada Tujuan Akhir— milik Stephen R.
Covey. Allah Swt. mengajak kita untuk membayangkan “yaumi ad-dîn” (hari pembalasan).
Semakin jelas hari pembalasan itu dalam hati dan pikiran kita, maka hidup kita akan semakin
baik.
Dalam Al-Quran dan hadis, Allah dan rasul-Nya, menjelaskan semua kejadian pada hari
pembalasan ini. Bagi yang mendapatkan buku catatan dengan tangan kanan, berat timbangan
kebaikannya banyak, bisa melewati “shirâth al-mustaqîm”, dan seterusnya, maka akan bertemu
dengan Allah dalam surga. Sebaliknya, bagi yang mendapatkan buku catatan dengan kanan kiri,
timbangan kejelekannya berat, tidak bisa melewati “shirâth al-mustaqîm”, dan seterusnya, maka
akan bersama syetan dalam neraka. Perhitungan pada hari itu, semuanya adil, sebab Allah Maha
Melihat, Mengetahui, dan Mendengar semua yang kita lakukan, apalagi semua saksi akan
dihadirkan, mulai dari malaikat, rasul, manusia, benda-benda, bahkan seluruh anggota tubuh kita.
Sedangkan Stephen R. Covey —dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People—
mengajak kita membayangkan upacara pemakaman. Di sana ada empat kelompok manusia yang
akan memberikan sambutan; (1) keluarga dekat —anak, kakak, adik, sepupu, bibi, paman,
keponakan, kakek, dan nenek; (2) perwakilan teman; (3) dari tempat kerja; dan (4) dari gereja
atau ormas. Lalu, ia suruh kita membayangkan, apa yang kita inginkan dalam sambutan keempat
perwakilan itu?
Setelah saya coba visualisasi pemakaman tersebut, yang saya rasakan adalah, pertama;
membangun diri kita untuk riya’, sebab berpusat kepada manusia (antroposentris); dan kedua;
sambutan (penilaian) dari perwakilan empat komponen itu tidak pernah akan objektif, sebab
mereka tidak setiap detik menyertai kita. Jauh berbeda dengan cara Al-Quran dan hadis
mengajak kita membayangkan hari akhirat, bahwa kaki, tangan, telinga, mata, kulit kita akan
bicara jadi saksi atas semua perbuatan kita di hadapan Allah Swt. (baca: QS. Yasin [36]: 65 atau
Fushshilat [41]: 20-21). Visualisasi berpusat kepada Allah ini lebih menyentuh hati dan
menggerakan jiwa untuk berbuat baik.
Nah, jika kita mampu membayangkan semua kejadian di akhirat nanti, lalu mengapa kita tidak
mampu membayangkan impian hidup kita beberapa tahun yang akan datang? Ingat, salah satu
ciri orang sukses adalah dapat melihat sesuatu sebelum segala sesuatu itu terjadi. Seperti Harits
bin Malik di atas.
Langkah praktis prinsip 4 ini adalah: Gunakan imajinasi (fikrah/imagination) untuk
memvisualisasikan (menggambarkan dalam pikiran) saat di alam akhirat; alam kubur; detik-detik
menjelang kematian; dan beberapa tahun yang akan datang (5, 10, 35 tahun).
Saat memvisualisasikan akhirat, bertanyalah kepada dirimu: “Apakah saya termasuk orang bisa
menatap wajah Allah atau tidak? Apakah saya ahli surga atau neraka? Apakah saya selamat
melintasi shirâth al-mustaqîm atau terjatuh? Apakah buku amalan saya hasil catatan malaikat
Raqib dan Atid lebih banyak memuat kisah iman dan amal shaleh atau kekafiran dan
kemaksiatan? Apakah “rekaman perbuatan” saya yang dilakukan oleh Allah, diri sendiri, rasul-
Nya, orang beriman, manusia, dan benda-benda yang kita miliki banyak merekam kebaikan atau
keburukan? Apakah tatkala matahari beberapa senti di atas kepala kita, kita termasuk orang yang
mendapat naungan cahaya dari Allah atau bukan? Apakah ketika air keringat meluap sebatas
lutut; dada; hidung; bahkan sampai menenggalamkan kepala, kita termasuk yang mendapat
pertolongan Allah atau bukan? Ketika manusia berbondong-bondong meminta syafa’at kepada
nabi, apakah kita termasuk orang yang menerimanya atau justru ditolak nabi karena kita tidak
pernah mengikuti cara hidupnya? Dan seterusnya.
Ketika memvisualisasikan diri dalam alam kubur: “Apakah saya bisa menjawab pertanyaan
malaikat Munkar dan Nakir? Apakah di alam kubur saya termasuk orang yang mendapat nikmat
atau tersiksa? Apakah amal perbuatan saya akan menjelma jadi penghibur atau penyiksa?
Apakah kuburan saya termasuk dilapangkan oleh Allah Swt. atau tidak? Apakah di alam kubur
saya diperlihatkan keindahan surga atau justru kepedihan neraka? Dan seterusnya.
Tatkala memvisualisasikan detik-detik menjelang kematian: “Apa yang telah aku lakukan untuk
diri sendiri, ibu-bapak, adik-kakak, pasangan hidup, anak, nenek-kakek, bibi-paman, teman, dan
seluruh manusia? Apakah menjelang kematian saya berada di tengah-tengah orang saya cintai
atau bukan? Apakah ketika mati saya dalam keadaan dekat dengan Allah atau tidak? Apakah saat
nyawa dicabut, saya mengucapkan dua kalimat syahadat atau tidak? Ketika saya meninggal,
apakah saya meninggalkan anak sholeh yang memandikan, mengapani, menyolatkan, dan
menguburkan saya atau tidak? Setelah saya meninggal, apakah saya menjadi buah tutur yang
baik atau bukan?
Sewaktu memvisualisasikan beberapa tahun yang akan datang, misalnya 25 tahun —bayangkan
berdasarkan peran: “Sebagai hamba Allah: Apakah ketika itu pemikiran, perasaan, dan tidakkan
saya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak? Apakah saya termasuk orang istiqamah
dengan tuntutan iman atau tidak? Apakah ibadah saya ikhlas dan sesuai dengan contoh nabi?
Apakah akhlak saya Islami atau bukan? Sebagai pribadi: “Apakah saya telah mengoptimalkan
potensi diri saya atau belum? Apakah saya berbahagia atau tidak? Apakah diri berkembang atau
tidak? Sebagai anak: “Apakah saya termasuk berbakti atau tidak? Apa yang telah saya berikan
untuk kedua ortu saya? Apakah saya sering mendo’akan ortu atau tidak? Sebagai ortu: “Berapa
anakkah yang saya miliki? Apakah saya telah menjadi ortu yang baik atau bukan? Apa yang
telah saya berikan terhadap anak saya? Sebagai pekerja: “Apakah saya memiliki pekerjaan tetap
atau tidak? Apa jenis pekerjanan saya? Di mana saya bekerja? Berapa gaji saya? Sebagai anggota
masyarakat: “Apakah kontribusi saya terhadap masyarakat? Apakah masyarakat menyukai saya
atau tidak? Begitu seterusnya.
Prinsip 5: Temukan Potensi dan Peluang Diri
“Mukmin yang kuat,” sabda nabi Muhammad Saw., “lebih baik dan lebih Allah cintai dari pada
mukmin yang lemah. Walaupun keduanya tetap memiliki kebaikan —potensi. Seriuslah terhadap
sesuatu yang bermanfa’at bagimu dan minta bantuan kepada Allah, serta jangan bersikap lemah.
Jika ada sesuatu yang menimpamu, jangan bilang: “Andaikan saya melakukan ini, pasti deh akan
begini. Andaikan saya melakukan itu, pasti deh akan begitu!” tetapi katakan: “Inilah taqdir
Allah, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi!”, sebab kata “berandai-andai” —kalau begini, kalau
begitu— akan membuka tindakan syetan.” (HR. Muslim)
Suatu hari, seorang pengemis datang kepada Nabi Muhammad Saw.. Ia minta sedekah, tapi tidak
Nabi beri. Padahal kita tidak meragukan kedermawan Nabi. Lantas, mengapa beliau tidak
memberi pengemis itu sesuatu? Baik kita lanjutkan kisah ini.
“Apa yang Anda miliki?” tanya Nabi. Pengemis itu menjawab: “Saya hanya punyai selembar
permadani dan sebuah nampan.” Beliau berkata lagi, “Bawa kedua barang itu ke sini!” Lantas,
Nabi menawarkan barang itu kepada para sahabatnya. “Siapa yang mau membeli barang ini?”
tanya Nabi. Salah seorang sahabat mengajukan harga, “Saya berani beli lima dirham!” Maka
tanya beliau lagi, “Siapa yang berani membayar lebih?” Lalu, sahabat yang lain memberikan
harga lebih. Nabi pun mengedarkan pandang dan bertanya lagi, “Siapa yang berani membayar
lebih?” Akhirnya, barang itu dilelang seharga 15 Dirham. Hasil lelang ini, Nabi perintahkan,
setengahnya untuk keperluan rumah tangga pengemis, separuhnya lagi untuk beli kampak,
seraya berpesan, “Pergilah ke hutan dan carilah kayu bakar, dan jangan perlihatkan dirimu selam
tujuh hari sebelum kamu berhasil!”
Dari kisah itu, ada enam strategi Nabi dalam membantu orang supaya hidup mandiri, antara lain,
(1). Mempelajari posisi dan mendudukan masalah sesuai dengan porsinya; (2). Mengundang para
sahabatnya dan menganjurkan untuk bergotong royong meringankan beban saudaranya dengan
jalan membeli barangnya; (3) menyisihkan separoh hasil lelang untuk keperluan keluarganya; (4)
memerintahkan agar menginvestasikan sisa uang untuk membeli alat yang dapat digunakan
untuk mencari nafkah; (5) melalui cara investasi modal, produksi dapat digalakkan dan
pembangunan dapat ditingkatkan. Semua ini adalah sarana yang tepat untuk memecahkan
problem ekonomi; (6). Mengawasi pelaksanaan anjuran atau perintah tersebut, apakah sudah
berjalan sesuai dengan yang dimaksud.
Saya tidak akan membicarakan 6 hal itu. Tapi kita perhatikan pertanyaan beliau: “Apa yang
Anda miliki?” Ini sebuah pertanyaan yang menuntut kita untuk hidup mandiri (independensi) —
dan ini inti dari manajemen diri— seperti yang dikatakan oleh Stephen R. Covey. Dan
menurutku, kunci utama untuk melakukan kemandirian itu adalah dengan menggantungkan diri
sepenuhnya hanya kepada Allah Swt. semata; tidak kepada makhluk-Nya.
Sebab, bila kita masih menggantungkan diri kepada makhluk-Nya, kita tidak pernah mandiri,
hingga pada tingkat tertentu rasa ketergantungan kita terhadap makhluk-Nya —manusia—, maka
diri kita akan terjatuh dalam perilaku menghambakan diri kepada selain-Nya. Bila sudah
demikian, maka kemandirian itu hilang, akhirnya berubah menjadi keterjajahan. Jiwa yang
terjajah, tidak pernah akan mengalami perkembangan.
Maka ungkapan kita dalam surat Al-Fatihah ayat 5 —“Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în”
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan)—
merupakan sebuah afirmasi (penguatan) terhadap diri agar kita hidup mandiri.
Pengakuan untuk menyembah dan minta tolong, sebuah isyarat bahwa betapa lemahnya kita di
hadapan Allah Swt.. Semakin kita merasa lemah di hadapan-Nya, rasa ketergantung terhadap-
Nya juga akan semakin besar. Kita pun semakin banyak beribadah kepada-Nya. Ibadah itu akan
mengembangkan seluruh potensi diri kita. Buahnya adalah kekuatan diri. Saat itu pula, akan
muncul rasa kuat di hadapan manusia. Dua perasaan itu bersatu dalam diri kita: satu sisi merasa
lemah di hadapan Allah, dan di sisi lain, merasa kuat di hadapan manusia. Inilah salah satu ciri
manajemen diri Islami, yaitu kemampuan kita untuk menggabungkan dua hal yang berbeda
dalam diri kita secara bersamaan dan keduanya membuahkan kebaikan.
Manajemen diri itu kita arahkan untuk menjadi rahmatan lil âlamîn. Makna rahmatan lil ‘alamin
adalah ketika kita mampu memberikan manfa’at kepada manusia dan inilah manusia yang paling
Allah cintai: “Sejatinya, seluruh makhluk adalah satu keluarga Allah. Orang paling dicintai oleh
Allah adalah orang yang paling banyak memberikan manfa’at terhadap keluarga-Nya.” (HR.
Abu Ya’la)
Maka bila makna surat Al-Fatihah ayat 5 kita hayati betul, maka akan muncul sifat tawadhu’
(QS. Al-Furqan [25]: 63). Orang tawadhu adalah orang yang melihat dirinya secara objektif; apa
adanya tanpa imbuhan. Mereka tidak menutupi kelebihan dan kekurangan dirinya. Orang yang
suka menutupi kelebihannya, ini tanda ia kurang percaya diri dan rendah diri, akhirnya mereka
akan jadi manusia putus asa. Sebaliknya, orang yang suka menutupi kelebihannya, ini tanda ia
terlalu percaya diri, akhirnya ia akan sombong. Jadi, orang yang tawadhu adalah orang yang
mensyukuri kelebihannya dengan cara memberikan apa yang ia miliki untuk membantu orang
lain dan orang tawadhu adalah orang yang bersabar atas kekurangan dirinya dengan cara belajar
dari siapa saja yang memiliki apa yang ia butuhkan.
Langkah praktis prinsip 5 ini adalah: Anda pernah mempelajari konsep problem solving SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, dan Treatment)? Nah, luangkan waktumu untuk mengajukan
pertanyaan nabi itu kepada dirimu sendiri: “Apa yang kamu miliki?” Arahkan pertanyaan ini ke
“dalam” dirimu. Perhatikan, kelebihan (strength) dan kekurangan (weakness) yang kamu miliki.
Lalu, arahkan pertanyaan nabi ke sesuatu “di luar” dirimu —keluarga, sekolah, lingkungan, dst.
Perhatikan, kesempatan (opportunity) dan rintangan (treatment). Sambil bertanya, ambillah
pulpen dan kertas. Tulis empat kolom besar di kertas itu. Pada bagian atas kolom itu, masukan
empat kata itu. Tulislah jawabanmu dalam empat kolom sesuai dengan katagori: kekuatan,
kekurangan, kesempatan, dan peluang. Simpan hasilnya, nanti akan Anda butuhkan sebagai
bahan melaksanakan langkah praktis prinsip selanjutnya.
Prinsip 6: Rumuskan Cara Meraih Impian
“Iman itu bukan sekedar angan-angan kosong, bukan buah bibir,” tutur nabi Muhammad Saw.,
“tapi tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan tindakan.” Hadis yang diceritakan oleh Dailami
ini, menegaskan kepada kita, sebuah impian harus ada tindakan nyata untuk meraihnya.
Iman itu keyakinan. Keyakinan akan bertemu dengan Allah, inilah impian, misalnya. Bila kita
yakin akan bertemu dengan Allah di surga dan sudah tergambar di benak kita di dunia ini, maka
tercapai atau tidaknya, apa yang kita lihat lewat kekuatan majinasi ini, tergantung dengan usaha.
Sekadar yakin tanpa tindakan, itulah yang disebut nabi dengan angan-angan kosong atau
khayalan. Sedangkan keyakinan disertai tindakan, inilah yang disebut C.R. Snyder —ahli
psikologi dari Universitas of Kansas— harapan. Menurutnya, harapan adalah “yakin bahwa
kamu mempunyai kemauan maupun cara untuk mencapai sasaran kamu, apapun sasaran kamu
itu.”
Nah, sebagus dan sebesar apapun impian kita, bila kita tidak mampu menerjemahkannya dalam
bentuk sasaran atau target, maka kecil kemungkinan akan tercapai. Diantara kita, banyak yang
memimpikan masuk surga, tapi dalam kehidupan sehari-hari tidak sungguh-sungguh menempuh
jalan menuju surga. Atau, mengimpikan jadi orang sukses, tapi cara menjadi orang sukses itu
tidak kita lakoni.
Biasanya, manakala ada kesenjangan antara impian dengan tindakan, maka akan melahirkan
tidak percaya diri, kemalasan, keputus-asaan, kehilangan arah hidup (disorientasi), dan akhirnya,
keterpecahan pribadi (split personality). Sebaliknya, sekecil apapun tindakan yang kita target dan
itu dapat kita raih, akan mendatangkan rasa percaya diri, semangat, harapan, hidup bermakna,
dan integritas.
Dalam bertindak, kita memerlukan juknis (petunjuk teknis) atau juklak (petunjuk pelaksana).
Petunjuk, dalam bahasa Al-Qurannya adalah “hidâyah”. Di sinilah surat Al-Fatihah ayat 6:
“Ihdinash shirâth al-mustaqîm” (Tunjukilah kami jalan yang lurus), menemukan maknanya. Ya,
untuk meraih impian surga, kita butuh petunjuk “jalan lurus” atau Islam.
Dalam Al-Quran, kata “shirath” (jalan) —murâdif (sinonim) dari kata “sabîl” (jalan)— selalu
dalam bentuk mufrad (tunggal) dan selalu berkaitan dengan al-haqq (kebenaran). Sedangkan
jalan menuju al-bâthil (kesesatan) memakai kata jama’ (plural), yaitu kata “as-subul” (sebagai
contoh, baca: QS. Al-An’am [6]: 153). Ini menunjukan jalan kebenaran itu hanya satu, yaitu
Islam, sedangkan jalan kesesatan itu sangat banyak dan tidak terhitung. Maka sangat keliru,
orang yang menyakini pluralisme agama: semua agama benar dan jalan menuju surga.
Islam diturunkan oleh Allah di muka bumi ini untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam
menjalani hidup ini. Ajaran Islam begitu canggih dalam menjelaskan cara untuk meraih impian
surga. Pertama, Islam mengajarkan kita untuk membuat misi pribadi berupa dua kalimat
syahadat. Lalu, disusul dengan sasaran target —baik yang wajib maupun sunnah— yang berskala
waktu seumur hidup (haji), tahunan (shaum dan zakat fitrah), bulanan (shaum ayyâm al-bidh:
puasa 13, 14, dan 15 bulan hijriyah), mingguan (sholat Jum’at; shaum Senin-Kamis), harian
(sholat lima waktu), pagi dan sore, bahkan skala detik (dzikir).
Nah, bila kita mampu menjalankan ajaran Islam itu dengan baik, maka akan semakin bagus kita
melaksanakan manajemen diri; kita lebih mudah lagi dalam mengelola hidup dan merencanakan
masa depan. Karena semua ajaran Islam mengajak kita untuk hidup disiplin. Misalnya,
kemampuan kita untuk sholat lima waktu tepat waktu dan di masjid, ini akan membangun
berbagai karakter baik dalam diri kita, seperti hidup bersih, komitmen, integritas, disiplin, dan
seterusnya. Begitu juga dengan ajaran Islam lainnya, selalu mendidik kita untuk meraih
kesuksesan pribadi dan publik seperti yang dikemukakan oleh Stephen R. Covey.
Langkah praktis prinsip 6 ini adalah: Gabungkan hasil langkah praktis prinsip 5 dan 6 dalam
bentuk naskah hidup yang tertulis di atas kertas. Dari semua yang telah Anda visualisasikan pada
prinsip 5 simpulkan dalam satu kalimat yang pendek, jelas, dan menggugah. Inilah yang disebut
visi. Selanjutnya, terjemahkan visi ini dalam tujuan hidupmu secara global, atau sering kita sebut
dengan misi. Ya, Anda buat pernyataan misi pribadi. Lalu, terjemahkan visi dan misi itu dalam
bentuk target hidup, baik secara pribadi maupun sosial. Dari sana, buatlah blue print hidup yang
menggambarkan keinginanmu dalam kurun waktu tertentu.
Prinsip 7: Belajarlah dari Pengalaman
“Bukanlah orang cerdas kecuali pernah tergelincir, bukan pula orang yang bijak kecuali
berpengalaman” pesan nabi Muhammad Saw. kepada kita lewat Imam Tirmidzi. Ini sebuah
isyarat bahwa nabi sepakat dengan metode belajar trial and error —berani mencoba meskipun
nanti bisa jadi salah— dalam menjalani hidup ini.
Lebih lengkap lagi, kita dengarkan cerita Thalhah bin Abdullah. “Aku bersama rasulullah Saw.,”
ujar Thalhah mulai bercerita, “melewati sekelompok orang yang berada dipucuk pohon-pohon
kurma. Rasulullah Saw. bertanya, “Apa yang sedang mereka perbuat?” Jawab para sahabat,
“Mereka sedang mengawinkan pohon kurma. Mereka masukkan yang jantan ke dalam betina
agar berbuah.” Lalu nabi bersabda, “Aku rasa, hal itu tidak akan berhasil.” Thalhah berkata,
“Lalu mereka diberitahu tentang hal itu dan mereka akhirnya meninggalkannya.” Kemudian
rasulullah Saw. diberitahu tentang hal itu dan beliau bersabda: “Jika hal itu bermanfa’at bagi
mereka, maka lakukanlah. Karena sesungguhnya aku hanya memperkirakan saja. Maka jangan
kalian menyiksaku dengan sebuah dugaan. Akan tetapi jika aku menginformasikan sesuatu dari
Allah, maka ambillah. Karena sesungguhnya aku tidak akan pernah berdusta tentang urusan
dunia kalian”. Dan dalam riyawat Imam Muslim, setelah itu nabi bersabda: “Kalian lebih
mengetahui urusan dunia kalian!”
Jadi, kita boleh mencoba sesuatu, meskipun kita tidak tahu, apakah itu akan berhasil atau gagal.
Karena gagal setelah mencoba, jauh lebih baik daripada gagal untuk mencoba. Karena dari
kegagalan itu kita akan memiliki pengalaman. Konon, ketika Thomas Alfa Edison 1000 kali
gagal dalam percobaannya, ia berkata: “Saya tidak gagal, tapi saya telah menemukan 1000 cara
yang salah!”
Dari prinsip 1 sampai 6 lebih terfokus pada diri sendiri. Sekarang keluarlah, lihat apa yang
terjadi pada orang lain. Dalam ayat terakhir surat Al-Fatihah, kita membaca: “Shirâthalladzîna
an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhûbi ‘alaihim wa ladhdhâllîn” (yaitu jalan orang-orang yang
telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat).
Nah, dalam ayat 7 surat Al-Fatihah ini, Allah menceritakan tentang jalan orang mendapatkan
ni’mat Allah, yaitu jalan para nabi, ash-shiddiqîn, asy-syuhadâ, dan ash-shâlihîn (baca: (QS. Ani-
Nisa [4]: 69). Inilah jalan keimanan. Lalu, Allah menceritakan jalan orang yang mendapat murka
Allah Swt. dan tersesat. Berdasarkan keterangan Ibnu Katsir, rasulullah Saw. menegaskan bahwa
yang dimaksud dengan “al-maghdûbi” (yang dimurkai Allah) adalah orang Yahudi, sebab
mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengamalkannya. Dan “adhadhâllîn” (Yang
Tersesat) adalah orang Nashrani (Kristen) karena mengamalkan sesuatu tanpa mengetahui
kebenarannya. Jadi, jalan kebenaran; Islam hanya satu, begitu juga jalan iman itu tunggal,
sedangkan jalan kafir itu sangat banyak.
Untuk kesuksesan akhirat, kita harus mempelajari mana jalan keimanan yang akan membawa
kita menuju surga, sebaliknya mana jalan kekafiran yang akan menjerumuskan kita ke jurang
neraka. Kita harus menempuh jalan keimanan dan menjauhi jalan kekafiran. Dalam hal
keimanan, mau tidak mau kita harus belajar dari pengalaman orang yang beriman. Karena, Allah
telah berlepas tangan dari orang kafir dan memberikan “ar-rahim”-Nya hanya kepada orang
beriman saja.
Adapun untuk kesuksesan duniawi, kita mempelajari pengalaman siapa saja —terutama untuk
diri sendiri, meskipun dari orang kafir. Karena sifat “ar-rahmân” Allah Swt., tidak membedakan
antara orang beriman dan orang kafir, orang beriman tapi malas akan bodoh; orang kafir rajin
belajar akan cerdas. Orang beriman menanam cabe, tidak akan manis. Orang kafir menanam
cabe, tidak akan pahit. Rasanya akan sama, yaitu pedes. Di sini, hukum kausalitas tetap berlaku.
Bila orang kafir banyak mencoba, setelah sekian kali gagal, maka mereka akan menemukan cara
sukses. Nah, cara sukses yang ditemukan oleh orang kafir ini adalah hikmah yang hilang dari
orang yang beriman. Maka Imam Tirmidzi meriwayatkan sabda nabi: “Hikmah itu adalah barang
yang hilang milik orang yang beriman. Dimana saja ia menemukannya, maka ambillah.”
Langkah praktis prinsip 7 ini adalah: (1). Pelajari setiap pengalaman pribadi, baik itu kesuksesan
maupun kegagalan. Lakukan dengan pola pengalaman berstruktur (structured experiences) —
dengan daur (perputaran)— lima hal ini: melakukan—mengungkapkan—mengolah/menganalisa
—menyimpulkan—menerapkan kembali/eksprimen. Gunakan “Jurnal pribadi” atau “Diary”
(Catatan Harian) untuk mencatat seluruh pengalaman itu; (2). Pelajari pengalaman hidup orang
yang sukses dan orang gagal, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi! Sebelum
mempelajari yang lain, yang pertama dan utama adalah pelajari tarîkh Nabi Muhammad Saw.
Sebab, beliau adalah profil orang yang sukses melaksanakan ajaran Al-Quran termasuk tentang
kecerdasan. Beliau orang yang sukses di dunia dan di akhirat. Setelah Anda benar-benar
memahami seluruh kehidupan nabi Muhammad Saw. baru pelajari kisah-kisah yang ada dalam
Al-Quran, baik itu kisah para nabi dan rasul maupun kisah para musuh Allah Swt. Setelah itu,
pelajari para tokoh-tokoh dunia baik zaman dulu maupun zaman kini. Buatlah sinopsis biografi
tokoh yang sedang Anda pelajari, misal umur sekian ia lahir; umur sekian meraih prestasi ini;
dan seterusnya. Pelajari sebab-sebab kesuksesan dan kegagalan mereka, baik itu berhubungan
dengan diri mereka sendiri, keluarga, masyarakat, negara, maupun situasi zaman.
Itulah 7 prinsip melejitkan manajemen diri yang saya tawarkan. Sengaja, dalam menguraikan
prinsip itu, saya lebih banyak mengutip hadis. Bagi saya “role model” —contoh, panutan, atau
idola— dalam melaksanakan manajemen diri yang paling berhasil adalah Nabi Muhammad
Saw.. Wallahu a’lâmu bish shawâb.
Manajemen Waktu
Baik, masih ada satu lagi hal penting untuk kita diskusikan di sini, yaitu Manajemen Waktu.
Sebab, hubungan antara keduanya sangat erat, terutama dengan prinsip keenam —Rumuskan
Cara Meraih Impian. Dalam buku “First Think First” (Dahulukan Yang Utama), Stephen R.
Covey menjelaskan dengan sangat menarik tentang “tiga generasi manajemen waktu”.
Menurutnya, generasi pertama, adalah generasi berdasarkan reminder (sarana yang akan
mengingatkan kita bagaimana kita harus memanfa’atkan waktu kita). Generasi ini menganjurkan
kita untuk “Ikut Arus”, tetapi sambil berusaha memperhatikan hal-hal yang harus kita beri waktu
untuk kita kerjakan —membaca muqarar, menghadiri acara atau rapat, mencuci, membersihkan
rumah. Generasi ini ditandai dengan catatan-catatan singkat atau checklist (daftar kegiatan).
Daftar ini kita bawa kemana-mana agar kita tidak lupa. Di malam hari kita coret daftar kegiatan
yang telah kita lakukan, dan menuliskannya kembali keesok harinya yang belum kita capai.
Generasi kedua, adalah manajemen waktu yang berdasarkan diri pada “perencanaan dan
persiapan”. Ini ditandai dengan penanggalan dan buku agenda atau catatan mengenai janji
pertemuan atau kegiatan yang akan kita lakukan. Generasi ini adalah generasi efisiensi,
tanggungjawab pribadi, pencapaian dalam kerangka tujuan yang telah ditetapkan, merencanakan
ke depan, dan penjadwalan kegiatan-kegiatan maupun peristiwa-peristiwa yang akan datang.
Kita buat janji, menuliskan komitmen kita, menentukan deadline, dan mencatat seluruh kegiatan
kita, baik itu dalam buku, maupun komputer atau network.
Dan, generasi ketiga, adalah generasi “perencanaan, pemrioritas, dan kontrol atau pengendalian”.
Waktu kita banyak kita manfa’atkan untuk memperjelas nilai-nilai dan prioritas-prioritas kita,
dengan pertanyaan ini: “Apa yang kumaui?” Kita membuat master plans —tujuan jangka
panjang, menengah, dan pendek, untuk meraih nilai-nilai tersebut. Kita memberikan prioritas
pada kegiatan kita secara harian. Generasi ini ditandai dengan bervariasi sarana perencanaan dan
pengorganisasian —baik elektronik maupun kertas— dengan formulir terperinci bagi
perencanaan harian.
Nah, menurut saya, baik pengalaman menjadi peserta pelatihan manajemen waktu dan
melaksanakannya maupun “pengamat” terhadap manajemen waktu yang digunakan Masisir,
ternyata berputar pada tiga generasi tersebut. Dalam batasan tertentu, tiga generasi itu memang
meningkatkan efektivitas dalam hidup kita —misalnya, efisiensi, perencanaan, skala prioritas,
memperjelas nilai dan penetapan tujuan— namun, pada dasarnya masih bercokol kesenjangan
antara “apa yang sungguh sangat penting” bagi kita dan “cara kita memanfa’atkan waktu” Lebih
parahnya lagi, kesenjangan antara “hasil” dengan “apa yang kita rasakan”.
Maka tidak sedikit, Masisir yang “cepat” menamatkan studi sebagai salah satu buah manajemen
waktu, namun ketika gelar Lc. telah mereka raih justru muncul “rasa cemas” tidak siap
menghadapi masyarakat, “rasa tertekan” karena mendapat predikat sarjana tapi “merasa” —
bahkan memang kenyataan— ilmu sangat minim, “bingung” untuk kemana, dan seterusnya.
Bagaimana solusinya? Perlu generasi keempat —generasi yang merengkah semua kekuatan tiga
generasi itu, sekaligus menyingkirkan kelemahan-kelemahan— adalah jawabannya. Dengan kata
lain, kita beranjak dari manajemen waktu menuju kepemimpinan hidup (life leadership).
Generasi ini didasarkan pada paradigma “ke-pentingan-an” —dahulukan yang utama. Berkaitan
dengan paradigma ini, maka cara kita memanfa’atkan waktu berada dalam salah satu dari
keempat cara —empat kuadran— berikut ini:
Kwadran I mewakili hal-hal yang “mendesak” (urgent) dan “penting” (importance). Dalam
kwadran ini, kita menangani tuan rumah menagih sewa rumah dengan marah-marah, mengejar
deadline makalah atau tulisan, kuliah istitsna-i, memperbaiki kompor rusak, atau krisis-krisis
yang lain. Di sinilah kita mengatur, memproduksi, memanfa’atkan pengalaman dan kemampuan
penilaian kita untuk menjawab berbagai kebutuhan dan tantangan. Kalau kita mengabaikannya,
kita akan terkubur hidup-hidup. Tetapi, kita perlu menyadari bahwa banyak kegiatan penting
menjadi “mendesak” karena “penundaan” atau karena kita tidak cukup melakukan “antisipasi”
—penanggulangan— dan perencanaan.
Kaudran II mencakup kegiatan yang “penting tetapi tidak mendesak”. Ini kwadran kualitas. Di
sinilah kita melakukan perancanaan jangka panjang, mengantisipasi dan menanggulangi
masalah-masalah, memberikan kekuasaan atau wewenang (mendelegasikan) kepada orang lain,
memperluas cakrawala pikir kita, dan meningkatkan keahlian kita melalui bacaan dan
pengembangan “karir” terus-menerus, merancang bagaimana kita hendak membantu teman kita
dalam kesulitan, mempersiapkan diri untuk rapat atau presentasi penting, dan menjalin hubungan
dengan cara mendengarkan orang lain secara jujur dan penuh perhatian. Intinya, meningkatkan
kemampuan kita untuk berbuat.
Pengabaian kwadran itu akan memperluas dan menambah hal-hal pada kwadran I, sehingga
menciptakan stress, “kabakaran jenggot”, dan menciptakan krisis yang lebih mendalam bagi
orang yang terkuras tenaga dan perhatiannya di sana. Perencanaan, persiaan, dan upaya
penanggulangan menghindarkan banyak hal sehingga tidak menjadi sesuatu yang mendesak.
Kwadran II tidak menguasai kita; kitalah yang menguasainya. Inilah kwadran Kepemimpinan
Pribadi.
Kwadran III hampir meruapakan bayang-bayang dari kwadran I, dan mencakup “hal-hal yang
mendesak, tetapi tidak penting”. Ini merupakan kwadran tipuan. Bunyi “mendesak” itu
menciptakan ilusi seakan-akan itu penting. Tetapi kenyataannya, kalau pun itu penting, hanya
penting bagi orang lain. Menerima telpon, rapat, dan kunjungan masuk dalam katagori ini. Kita
memenuhi prioritas dan harapan orang lain, dan itu mengira bahwa sungguh di Kwadran I.
Kwadran IV dikhususkan bagi kegiatan-kegiatan yang “tidak mendesak” dan “tidak penting”. Ini
Kwadran Pemborosan. Memang, kita sesungguhnya sama sekali tidak perlu berada di situ. Tetapi
kita tidak begitu babak belur karena terus terjerembab dalam Kwadran I dan III, sehingga sering
“melarikan diri” ke Kwadran IV untuk bertahan hidup. Hal-hal macam apakah yang terdapat
dalam Kwadran IV ini? Hal-hal yang di situ tidak harus merupakan hal yang bersifat rekreatif,
karena rekreasi dalam arti yang sesungguhnya dari re-kreasi —dari bahasa Latin: re-cratio
(harfiah: penciptaan kembali)— merupakan kegiatan Kwdran II yang amat berharga. Tetapi
membaca serilal Kho Ping Ho yang membuat kita semacam “kecanduan”, kebiasaan nonton film,
atau ngobrol semalam suntuk dan tidur seharian, pantas disebut “pemborosan waktu”. Kwadran
IV ini bukan merupakan sarana pertahanan hidup yang sesungguhnya. Sebaliknya, kwadran ini
adalah pembusukan. Dari sinilah saya memunculkan istilah “pembusukan karakter” Masisir.
Ikhtitâm
Sebagai pamungkas, pertama, saya ingin menegaskan kembali bahwa manajemen diri adalah
sebuah keniscayaan bagi kita yang ingin merubah diri sendiri dan merubah Masisir ke arah lebih
baik. Sebagai insan akademis muslim, sudah seharusnya kita tidak “melahap” atau “membeo”
begitu saja konsep manajemen diri yang berkembang —terutama dari Barat—, akan tetapi
bagaimana kita “menyinari” manajemen diri yang ada dengan “cahaya” Islam. Dengan kata lain,
manajamen diri yang saya maksud tak lain adalah sebuah upaya membangun karakter Islami
dalam diri kita dengan mengambil hal-hal yang baik dari manajemen diri kontemporer.
Kedua, “pembusukan karakter” ini adalah persoalan kita bersama (we-ness) , bukan masalah
orang lain (the other). Oleh sebab itu, butuh kerja kolektif (‘amal jama’i) untuk
menyelesaikannya, agar Masisir menjadi creative minority —saya sedikit agak berbeda dengan
Toynbee dalam mendefinsikan kata ini, menurut saya creative minority adalah “thaifatun
liyatafaqquhû fiddîn” (Qs.at-Taubah[9]:122) meskipun jumlah mereka sedikit (Qs.al-
Baqarah[2]:249) tapi mereka adalah pribadi-pribadi yang terbaik untuk memperbaiki manusia.
(Qs.Ali Imran[3]:110)— yang akan membangun masyarakat madani (civil society) di Indonesia.
Bila tidak, maka tunggulah, akan tercipta para “Generasi Buih”. Orang menyangka “air”
(berilmu), ternyata hanya “buih” (tidak berilmu, sehingga mudah terbawa arus dan tidak
memiliki manfa’at atau menjadi sampah masyarakat). Jadi, sudah saatnya, kita “mendesain”
dinamika Masisir sebagai proses merubah logam menjadi sesuatu yang berharga dan istimewa.
Wallâhu a’lâmu bish shawâb.
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut
ukurannya,maka arus itu membawa buih yang mengembang.Dan dari apa (logam) yang mereka
lebur dalam api untuk membuat perhiasaan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus
itu.Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih,
akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia tetap di bumi.Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. (QS.
Ar-Ra’ad [13]:17)

Cairo, 11 November 2006

Daftar Pustaka
1. Asy-Syarifain, Khadim Al-Haramain, Al-Quran wa Tarjamah Ma’âniyah ilâ al-Lughatu al-
Andunisia (Al-Quran dan Terjemahnya), (Madinatu al-Munawwarah: Majammak Malik Fahd li
Thiba’ah al-Mushaf asy-Syarîf, 1971)
2. Ridla, Dr. Akrim, Idâratu adz-Dzât: Dalîlu asy-Syabâbu ilâ an-Najahi, (Cairo: Dâr at-Tawzi’
wa an-Nasyr al-Islâmi, 2000)
3. Fathy, Muhammad, Al-Waqtu Huwa al-Hayah, (Cairo: Dâr at-Tawzi’ wa an-Nasyr al-Islâmi,
2000)
4. Al-Qoradhowy, Dr. Yusuf, Al-Waqtu fî Hayati al-Muslim, (Cairo: Maktabah Wahbah, 2004)
5. Covey, Stephen R., The 7 Habits of Highly Effective People (7 Kebiasaan Manusia Yang
Sangat Efektif), (Jakarta: Binarupa Aksara, 1997)
6. ______________, First Things First (Dahulukan Yang Utama), (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1999)
7. Daud Ibrahim, Marwah, Ph.D, Mengelola Hidup & Merencanakan Masa Depan, (Jakarta:
MHMMD, 2004)
8. Az-Zuhaily, Dr. Wahbah, At-Tafsîr al-Munîr fî al-’Aqîdah wa as-Syarî’ah wa al-Manhaj
(Libanon: Darul Fikri, 1998)
9. Khalid Muhammad Khalid, Rijâlu Haula Rasûl (Cairo: Darul Muqatham, 1994)
10. Hernowo, Self Digesting (Bandung: MLC, 2004)

Taken from maj. Ummi)


MANAJEMEN PENGEMBANGAN DIRI

Ust.Setiawan Budi Utomo

Prestasi merupakan refleksi jiwa. Jiwa yang dinamis akan merefleksikan semangat pengembangan diri
secara total dan berkesinambungan. Jiwa yang dinamis pula yang pada akhirnya akan melahirkan etos
kerja dan budaya pengembangan diri yang baik.

Pengembangan diri manusia bersifat dinamis, berubah dari hari ke hari. Dinamisnya pengembangan
diri telah diisyaratkan Allah SWT dalam surat al-Hasyr ayat 18, Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat), bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. Dalam riwayat sebuah hadits juga dinyatakan, barangsiapa yang harinya sama dengan
kemarin, ia terlena, jika harinya lebih buruk dari kemarin, ia merugi, yang beruntung hanyalah orang
yang harinya lebih baik dari kemarin

Pentingnya pengembangan diri


Setiap momentum pergantian tahun dalam perjalanan hidup kita, selalu kita iringi dengan melakukan
muhasabah. Hal ini dilakukan bukan sekedar untuk mengenang masa lalu, namun sebagai persiapan
untuk menghadapi masa depan. Dengan melakukan muhasabah, kita dapat mengetahui kekuatan dan
kelemahan, peluang maupun tantangan yang kita miliki.

Bulan Ramadhan yang baru lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Jepang. Saat itu, saya
menyaksikan fenomena peradaban modern Asia melalui interaksi dengan masyarakat Jepang yang
dinamis, makmur secara materi, dan memiliki teknologi maju sehingga mampu menjadi keajaiban Asia
. Meskipun di sisi lain, kehidupan mereka sebenarnya timpang dan menjadi ironi bila diukur dari
parameter ukhrawi.

Negara Jepang, dengan caranya sendiri mampu mengantarkan masyarakatnya menjadi masyarakat
dengan peradaban modern. Rahasia pencapaian kemajuan mereka adalah Keizen. Kaizen adalah konsep
yang diperkenalkan oleh Masaaki Imai, seorang pakar produktivitas perusahaan Jepang. Imai yang
sejak tahun 1950-an mempelajari produktivitas industri Amerika kemudian menulis buku Kaizen, The
Key to Japan s Competitive Success (1986) yang berisi rahasia keberhasilan perusahaan dan industri
Jepang.

Strategi Kaizen merupakan konsep tunggal manajemen Jepang yang menjadi kunci sukses dalam
persaingan. Kaizen berarti penyempurnaan secara kontinyu dan melakukan pengembangan secara
total dengan melibatkan semua unsur dan potensi yang ada. Kaizen berorientasi pada proses dan
usaha yang optimal, berbeda dengan manajemen Barat yang lebih berorientasi pada hasil.

Esensi konsep Keizen dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bentuk upaya untuk
selalu mengembangkan dan menyempurnakan kemampuan, prestasi dan produktivitas spiritual,
intelektual, fisik maupun material secara kaffah alias total.

Upaya pengembangan diri


Pengembangan diri sebenarnya merupakan proses pembaruan. Proses ini disebut oleh Stephen R.
Covey dalam The 7 habits of Highly Effective People (1993) sebagai konsep asah gergaji. Pembaruan
yang dilakukan, menurut Covey mesti meliputi empat dimensi yaitu: pembaruan fisik, spiritual, mental
dan sosial/emosional.

Pembaruan fisik dapat dilakukan dengan melalui olahraga, asupan nutrisi, dan upaya pengelolaan
stres. Pembaruan spiritual dapat diraih melalui penjelasan tentang nilai dan komitmen, melakukan
studi atau kajian dan berkontemplasi atau berdzikir. Dimensi mental dapat diperbarui melalui
kegiatan membaca, melakukan visualisasi, membuat perencanaan dan menulis. Adapun dimensi
sosial/emosional diasah melalui pemberian pelayanan, bersikap empati, melakukan sinergi dan
menumbuhkan rasa aman dalam diri. Dalam proses pengembangan diri diperlukan keseimbangan
(tawazun) dan sinergi (tanasuq) untuk mencapai hasil optimal sebagaimana yang diharapkan.

Pengembangan diri tidak muncul begitu saja. Untuk meraihnya, diperlukan latihan dengan pola seperti
spiral. Pola ini melatih kita untuk bergerak ke atas sepanjang spiral secara terus-menerus. Pola spiral
ini memaksa kita untuk melalui tiga tahap kegiatan yakni belajar, berkomitmen, dan berbuat. Latihan
ini harus terus-menerus berjalan secara berulang-ulang sampai kualitas dan produktivitas diri kita
menjadi semakin tinggi.

Apa yang perlu dikembangkan?


Dalam melakukan pengembangan diri, kita memerlukan tolok ukur yang nyata dan aplikatif untuk
mengetahui kemajuan dan perkembangan yang telah kita capai . Konsep Sharpening Our Concept and
Tools (SHOOT) yang dikembangkan oleh Lembaga Manajenen Terapan Trustco berikut ini dapat kita
jadikan sebagai contoh daftar aktivitas pengembangan diri.

1. Memperluas pengetahuan mengenai fakta situasional. Jangan bersikap tak acuh dengan lingkungan
sekitar;
2. Menjalin hubungan dengan orang lain;
3. Mengelola waktu secara efektif;
4. Menjaga keaktualan pengetahuan agar tidak tertinggal dan relevan. Jangan malas mencari
pengetahuan baru;
5. Berlatih untuk mengumpulkan fakta dan membuat asumsi;
6.Membuat jurnal pribadi dengan menggunakan catatan harian agar jadwal kita menjadi teratur.;

Menentukan batas-batas kekuasaan dan otoritas yang kita miliki


1. Jelas agar kita dapat leluasa berkembang;
2.Mendengarkan dengan seksama;
3.Melakukan pengambilan keputusan dengan baik;
4. Membiasakan membuat teknik perencanaan (planning) yang baik.

Melakukan secara mandiri


Proses pengembangan diri yang kita lakukan tidak akan berjalan lancar apabila kita mengandalkan
dukungan dari luar. Diperlukan sebuah etos tarbiah dzatiyah (self education) yang berasal dari dalam
diri kita sendiri. Pembelajaran yang harus dilakukan secara mandiri ini setidaknya mencakup tiga hal,
yaitu: kemampuan membuat kurikulum atau agenda pribadi (self curriculum), kemampuan menjadi
pembelajar yang cepat (speed learner), dan belajar secara mandiri (self learning).
Melakukan proses pengembangan diri memang tidak bebas hambatan, bahkan seringkali penuh
kendala. Albert Ellis, psikolog dan penulis terkenal dalam bukunya Feeling Better, Getting Better,
Staying Better (2001) memperkenalkan konsep terapi Rational Emotive Behavior Theraphy (REBT) .
Konsep ini diperkenalkan oleh Ellis untuk membantu mengatasi hambatan dalam pengembangan diri.
Beberapa hal yang disampaikannya berikut ini dapat menjadi bahan renungan kita:

Bicara adalah perkara mudah. Namun, hanya bicara yang diikuti oleh tindakan yang dapat membuat
segalanya menjadi lebih baik.

· Anda tidak akan dapat mencapai kemajuan apabila selalu mengerjakan sesuatu dengan
cara yang sama. Oleh karena, mengubah cara harus sering dilakukan meskipun dapat membuat anda
merasa kurang nyaman.

· Anda harus berusaha menghentikan kebiasaan yang tidak baik dengan sungguh-sungguh.

· Semakin lama anda tenggelam dalam perilaku yang merugikan diri sendiri, semakin lama
anda harus berjuang untuk menghentikannya.

· Menghindari tindakan yang anda kuatirkan akan gagal hanya dapat mengurangi
kecemasan anda sementara. Dalam jangka panjang, penghindaran ini justru dapat berakibat buruk.
Oleh karena itu lebih baik menghadapinya, ketimbang mengindar.

· Makin sering anda berfikir bahwa anda tidak berguna dan tidak berharga setelah
mengalami kegagalan, semakin sulit anda mencapai keberhasilan.

· Kalau anda ingin menemukan kedamaian dan kegembiraan di dunia dan Insya Allah di
surga nanti, atau ingin menjadi lebih baik, anda harus memaksa diri untuk melakukannya.

Sikap diri seperti di atas perlu dibangun karena menentukan gaya manajemen pengembangan diri
anda. John Maxwell dalam The Winning Attitude; Your Key to Personal Success (1993) menyimpulkan
bahwa sikap hidup menentukan tindakan, pola hubungan dengan orang lain, perlakuan yang kita terima
dari orang lain, keberhasilan dan kegagalan, menentukan hasil akhir, cara pandang yang positif dan
optimis. Ia juga menyatakan, sikap anda sekarang adalah hasil dari sikap-sikap anda selama ini.

Oleh karena itu sangat tepat jika kita selalu berpegang pada pesan Nabi saw dalam hadits
riwayat al-Bukhari, segala aktivitas ditentukan oleh niat dan seseorang akan menuai hasil
aktivitasnya sesuai dengan niatnya. Niat itulah sebenarnya yang merupakan benih dari sikap diri
sehingga perlu dijaga kesucian dan kekuatannya. Dengan demikian, niat dapat memberikan energi
positif dalam pengembangan diri. Nabi juga bersabda bahwa sangatlah beruntung seseorang yang
senatiasa menyibukkan diri dengan kekurangannya, ketimbang mengorek kekuarangan orang lain. (QS.
Ali Imran: 110-194)
Wallahu A lam Wa Billahit Taufiq Wal Hidayah
MANAJEMENDIRI
Setiap orang mempunyai tujuan hidup. Tujuan hidup setiap orang berbeda-beda. Karena mereka
memiliki pemikiran yang berbeda, dan juga keinginan yang berbeda dalam kehidupannya. Ada
yang sangat berambisi, biasa saja, dan ada pula yang hanya menjalani apa yang sudah tuhan
takdirkan.
Tidak mudah menjalani tujuan hidup yang sudah kita rencanakan, karena terkadang rencana
yang sudah kita ingin jalankan terbentur oleh kenyataan yang ada. Karena kita tidak mempunyai
kuasa apapapun untuk dapat menentukan apakah tujuan yang sudah kita tentukan itu dapat
berjalan dengan baik. Karena ada Tuhan yang menentukan dan mempunyai kuasa atas segala
hal yang ada di dunia ini. Jika DIA sudah menentukan tidak apakah kita dapat merubahnya.
Oleh sebab itu kita hanya dapat berdoa agar tujuan yang sudah kita rancang dapat berjalan
sesuai rencana.
Perencanaan tujuan hidup yang baik tidak mudah. Karena kita harus mampu konsisten dengan
apa yang sudah kita rencanakan. Dan kita sudah memikirkan baik dan buruknya terlebih
dahulu.Merencanakan tujuan hidup yang baik dengan cara manajemen diri. Pengertian
Manajemen Menurut James A.F. Stoner : Manajemen adalah suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta
penggunaan sumua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian Manajemen Menurut Mary Parker Follet :
Manajemen adalah suatu seni, karena untuk melakukan suatu pekerjaan melalui orang lain
dibutuhkan keterampilan khusus.
Manajemen diri adalah orang yang mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Sedangkan
kemampuan untuk mengurus diri sendiri itu dilihat dari kemampuan untuk mengurus wilayah
diri yang paling bermasalah. Dan yang paling biasa bermasalah dalam diri itu adalah hati.
Oleh karena itu kita harus bisa memanaj hati.
Menata hati dan potensi yang ada di dalam diri diperlukan kecerdasan. Saat ini seseorang
berkarya tidak cukup dengan kecerdasan rasional yaitu seseorang yang bekerja dengan rumus
dan logika kerja saja, atau dengan kecerdasan emosional (Goleman, 1996) agar merasa
gembira, dapat bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja, bertanggungjawab dan
life skill lainnya. Dan satu hal lain yaitu kecerdasan spiritual agar seseorang merasa bermakna,
berbakti dan mengabdi secara tulus, luhur dan tanpa pamrih yang menjajahnya (Zohar, 2002).
Jika diantara ketiganya kita satukan untuk dapat manata atau mamanaj diri, tidaklah mungkin
semua yang sudah kita rencanakan dapat berjalan sesuai dengan harapan. Karena dari ketiga
kecerdasan tersebut saling mendukung dalam menata diri.
Kesuksesan dapat dilihat dari kesuksesan seseorang dalam memanaj dirinya sendiri. Karena
setelah dapat memenaj diri sendiri pasti orang itu akan dapat memimpin

Anda mungkin juga menyukai