Kerajaan Aceh Darussalam Pada Masa Kepemimpinan Raja-Raja Wanita
Kerajaan Aceh Darussalam Pada Masa Kepemimpinan Raja-Raja Wanita
RAJA-RAJA WANITA
Disusun Oleh:
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dalam
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa izin dan Keridhaan-Nya
kami tim penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa juga
sholawat berangkaikan salam sejahtera kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad saw beserta
para keluarga dan sahabat beliau yang telah berjuang membawa Islam dari zaman kejahiliyahan
hingga zaman terang-benderang akan ilmu pengetahuan seperti saat ini
Kami selaku tim penulis mengucapkan terimakasi kepada Bapak Abdul Azis,
S.Pd.,M.Pd. sebagai Dosen Pengampu mata kuliah “Sejarah Aceh Klasik” yang telah
mengarahkan serta membimbing tim penulis sehingga makalah yang berjudul “Kerajaan Aceh
Darussalam Pada Masa Raja-Raja Wanita”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Sejarah Aceh
Klasik. Kami selaku tim penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan pembaca.
Kami dari tim penulis menyadari banyak ketidaksempurnaan dalam makalah ini.Oleh karena
itu, tim penulis memohon maaf atas ketidaksempurnaan tersebut, dan menerima kritik serta
saran para pembaca agar pembuatan makalah selanjutnya dapat tim penulis sempurnakan.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kesultanan Aceh Darussalam adalah sebuah kerajaan Islam yang telah berdiri di Aceh
selama 407 tahun, dimulai pada tahun 1496 dengan Sultan Ali Mughyat Syah dan diakhiri
dengan Sultan Muhammad Daud Syah pada tahun 1903. Pada abad XVII Kesultanan Aceh
Darussalam merupakan salah satu Kerajaan Islam yang mengungkap di dunia tentang
perempuan menjadi boleh menjadi raja. Hal ini tentu saja menuai kontroversi dikalangan elit
politik. Namun fenomena ini,jika dilihat keadaan dunia terus membaik dalam berbagai bidang
, pengembangan diri dan pendidikan juga semakin membaik. Kenyataan hidup tersebut
memberikan motivasi wanita untuk berbeda dari wanita sebelumnya, walaupun terdapat
beberapa ulama dan masyarakat lain masih beranggapan bahwa perempuan tidak bisa menjadi
seorang pemimpin (Suud, 2015).
Akibat tidak adanya anak laki-laki Sultan Iskandar Thani , keadaan di Aceh Darussalam
menjadi semakin mencekam pasca meninggalnya Sultan Iskandar Thani, hal ini membuat
posisi wanita di Kesultanan Aceh Darussalam semakin tampak. Namun kekosongan putra
mahkota mengakibatkan politisi dan bangsawan memperebutkan posisi sultan di kerajaan.
Tepat pada abad XVII Kesultanan Aceh Darussalam merupakan Kerajaan Islam yang
memperbolehkan menjadi raja, hal ini juga mengakibatkan banyak kalangan yang pro kontra
dalam pengangkatan kesultanahan. Akibatnya, muncul polemik kuasaan tentang pengganti
yang pantas untuk menjadi sultan, antara kaum pro dan kontra (Baqi, 2020). Yang diakhiri
dengan memilih wanita menjadi pengganti Sultan, dialah Taj ‘Alam Syafiyyat al-Din (1641-
1675) sebagai sultanah di negeri Aceh, selanjutnya sultanah yang memimpin Kesultanan Aceh
1
2
Darussalam yaitu Sultanah Nur al-‘Alam Naqiyyat al-Din (1675-1678), Sultanah ‘Inayat Shah
Zakiyyat al-Din (1678-1688), dan Sultanah Kamalat al-Din (1688-1699) (Ilham and Merry,
2021). Walaupun pengangkatan Sultanah di Kesultanan Aceh Darussalam secara sah
dilakukan, akan tetapi masih menjadi kontroversi, karena banyak hal yang dikhawatirkan
ketika kepemimpinan kerajaan diambil alih oleh kaum hawa. Kekhawatiran tersebut tertuju
pada berbagai aspek, diantaranya adalah arah pola kepemimpinan dan pencapaian
kepemimpinan (Baqi, Aziz, and Windari, 2022).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dilakukan oleh (Baqi, 2020) yang berjudul
“Empat Sultanah Dalam Kerajaan Aceh Darussalam (1641-1699 M)”, dihasilkan informasi
bahwa setelah wafatnya Sultan Iskandar Tsani, Kerajaan Aceh Darussalam memutuskan bahwa
istri Iskandar Tsani dijadikan raja. Selama pengangkatan keempat sultanah, terjadi konflik
penolakan di antara kelompok yang kontra terhadap kepemimpinan perempuan, yang pada
akhirnya Syekh Nuruddin ar-Raniry menegaskan hukum mengenai dibolehkanya perempuan
untuk menjadi pemimpin dan para sultanah juga tidak bisa mengembalikan kejayaan Aceh
seperti pada masa Sultan Iskandar Muda yang unggul dari berbagai bidang seperti ekspansi
wilayah, militer dan pemerintahan. Namun dalam hal pengembangan kekayaan intelektual,
keempat Sultanah tersebut dapat dikatakan lebih unggul dari Sultan Aceh yang lain. Penelitian
serupa juga dilakukan oleh (Baqi, Aziz, and Windari, 2022) yang berjudul “Pola
Kepemimpinan Sultanah Aceh Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan 1641-1699 M”
diperoleh hasil para Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam sejatinya tidak bisa
mengembalikan kejayaan Aceh seperti pada masa Sultan Iskandar Muda yang unggul dari
berbagai bidang, akan tetapi dari Sultan yang lain, para sultanah lebih unggul dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Penelitian terkait Kerajaan Aceh Darussalam pada masa kepemimpinan raja-raja wanita
sudah banyak tim penulis temukan di penelitian orang lain, seperti yang dilakukan oleh (Baqi,
2020) yang mengkaji tentang bagaimana kondisi pemerintahan, proses pergantian
kepemimpinan dan posisi raja perempuan dalam Kerajaan Aceh Darussalam, dan penelitian
yang dilakukan oleh (Baqi, Aziz, and Windari, 2022) yang mengkaji tentang bagaimana prosesi
pengangkatan, dan bagaimana pola kepemimpinan yang diterapkan sehingga dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan di Kerajaan Aceh Darussalam.
Wilayah Kekuasaannya”. Sehingga, tim penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut terkait
bagaimana pola kepemimpinan para raja-raja wanita di Kerajaan Aceh Darussalam beserta
wilayah kekuasaannya.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian yang hendak
dicapai adalah sebagai berikut:
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah pendekatan kualitatif
dimana dalam pengamatan terhadap sumber yang kemudian disajikan dalam bentuk data akurat
dan pasti. Jenis penelitian sangat penting dalam sebuah penelitian karena berfungsi
mempermudah dan meningkatkan kualitas penelitian yang sedang dikaji. Menurut Moleong
(2017:6) penelitian kualitatif yang tujuannya untuk mengetahui sebuah kejadian ataupun
peristiwa yang dialami oleh subjek penelitian tertentu yang mencakup perilaku, sudut pandang,
tindakan, dan lain sebagainya secara holistik.. Penelitian kualitatif menurut Secara luasnya,
penelitian kualitatif ini lebih condong bersifat eksploratif, dimana membutuhkan penelurusan
lebih mendalam terhadap suatu objek pengamatan yang nantinya untuk hasil pengamatan dapat
disajikan dalam bentuk wawancara, obsevasi partisipatif, jurnal, catatan lapangan, makalah,
dan dokumen-dokumen terkait. Adapun dalam penelitian kualitatif yang digunakan dalam
makalah ini lebih tepatnya adalah library research dimana sebelumnya penulis melakukan
penelusuran dan mengumpulkan sumber-sumber yang berupa buku dan jurnal terkait untuk
menjadi landasan teori dalam permasalah yang terdapat dalam makalah yang dibahas.
Adapun literature yang di jadikan rujukan pada penyusunan makalah ini yaitu dalam
tulisan Ibnu Musthafa yang berjudul “Perempuan Islam Menjelang Tahun 2000” (1993)
dimana dijelaskan bahwa dimasa sebelum lahirnya para pemimpin wanita di Kerajaan Aceh
Darussalam mema.ng menjadi sebuah hal yang tabu jika seorang pemimpin adalah dari
golongan wanita. Dimasa itu lebih popular jika laki-laki saja yang bisa menjadi pemimpin
sementara kaum wanita hanya boleh dirumah saja mengabdi kepada suami. Namun pada
kenyataannya, sejak Kerajaan Aaceh Darussalam dipimpin oleh wanita seperti Ratu
Safiatuddin Syah dan tidak kalah cakap dalam mengurusi pemerintahan dan kekuasaannya,
bisa dikatakan mengimbangi para leluhurnya.
Kemudian rujukan lainnya terdapat dalam jurnal yang ditulis oleh Fitria M. Suud
“Perempuan Islam Dalam Kerajaan Aceh Darussalam (1641-1699)”dan dimana dijelaskan
4
5
bahwa dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang menjadi pusat dalam menyiarkan agama Islam
di Indonesia masa itu ternyata tidak terlepas dari peran wanita, hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya Sulthanah yang memimpin Aceh dimasa lalu dan sukses menjaga eksistensi Kerajaan
Aceh dengan kepemimpinannya. Sudah sejak lama emosional muncul dalam kehidupan dalam
suatu komunitas dimana wanita selalu dipandang lemah, namun Aceh menunjukkan kepada
dunia bahwa emansipasi terhadap wanita sudah diterapkan sejak dulu dengan adanya pemimpin
dari golongan wanita seperti Ratu Safiatuddin, Laksamana Malahayati, Ratu Nakiyatuddin,
Zakiyatuddin, dan Kamalat Syah.
Tahun 1516 adalah tahun pendirian kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah setelah mencapai penaklukkan wilayah bekas Samudra Pasai.
Selama masa peralihan sampai masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, perkembangan
kerajaan Aceh Darussalam berkembang secara signifikan baik itu dalam bidang militer,
ekonomi dan pendidikan. Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda pada tahun 1636 tonggak
kepemimpinan kerajaan beralih kepada menantu beliau yaitu Sultan Iskandar Tsani (Umar,
2006).
Selama masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani, timbul berbagai polemik dalam
pemerintahan. Terlihat dari munculnya kecacatan dalam bidang politik dan kurangnya abilty
dalam mengatur kerajaan. Hingga pada akirnya posisi kerajaan Aceh Darussalam teracam
dengan keberadaan kolonialisme dari Bangsa Eropa saat itu. Selain itu, masa kepemimpinna
Sultan Iskandar Tsani hanya berlangsung selama lima tahun. Pasca wafatnya Sultan Iskandar
Tsani, terjadinya kekosongan tampuk kepemimpinan. Hal ini menyebabkan harus menentukan
pemimpin selanjutnya dari kerajaan Aceh Darussalam. Syekh Nuruddin Ar-Raniry yang
merupakan seorang tokoh penting pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani
melaksanakan diskusi dengan tujuan menentukan sipa yang berhak untuk menjadi pemimpin
selanjutnya dari kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga hasil dari keputusan diskusi tersebut
diputuskan bahwa yang berhak menjadi menggantikan sultan sebelumnya adalah istri dari
Sultan Iskandar Tsani yaitu Ratu Safiatuddin (Irfanullah & Fuad, 2022).
Jika menilik kembali konsep penerus kerajaan Aceh Darussalam bahwa yang menjadi
pewaris kerajaan adalah seorang anak laki-laki dari putra sulung Sultan yang memimpin saat
6
itu. Jika putra mahkota yang menjadi pewaris masih di bawah umur maka didirikan sebuah
badan yang bertujuan mewakili kepemimpinan hingga putra mahkota mampu memimpin
kerajaan. Lazimnya yang badan tersebut akan dipimpin oleh ibu atau paman dari putra
mahkota. Apabila penerus selanjutnya tidak ada yang mewarisi maka perempuan berhak untuk
menjadi pemimpin dari kerajaan. Saat itu pasangan dari sultan Iskandar Tsani dan ratu
Safiatuddin tidak dianugrahkan keurunan maka penerus kerajaan selanjutnya diberikan kepada
permaisuri ratu Safituddin. Dengan demikian, ada empat orang sultanah yang memimpin
kerajaan Aceh Darussalam yang berlangsung selama 59 tahun yaitu Safiatuddin Syah (1641-
1675M), Nurul Alam Nakiyatuddin Syah (1675-1678M), Inayat Syah Zakiyatuddin Syah
(1678-1688M) dan ratu Kamalat Syah (1688-1699M) (Adan, 2013).
Sultanah Taj ’Alam Safiyyat al-Din atau dikenal juga dengan Sultanah Safiatuddin
merupakan Sultanah pertama kerajaan Aceh Darussalam. Sultanah Safiatuddin adalah anak
dari Sultan Iskandar Muda dengan Putri Sani juga permaisuri dari Sultan Iskandar Tsani.
Sultanah Safiatuddin lahir pada tahun 1612 dan dibekali nama Puteri Seri Alam binti Sultan
Iskandar Muda dan digelarkan dengan Sultanah Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah. Beliau
mangkat pada tanggal 23 Oktober 1675 dan berhasil memerintah kerajaan Aceh Darussalam
selama 34 tahun kepemimpinan (Baqi, 2020).
Semasa kecil Sultanah adalah seorang yang ulet dalam dunia pendidikan, hal ini
dibuktikan sebelum Sultanah Safiatuddin menjadi pemimpin kerajaan Aceh Darussalam
Sultanah selalu menghabiskan waktu untuk mempelajari berbagai bidang ilmu. Beliau juga
menyukai syair-syair kerajaan. Sultanah juga menguasi beberapa bahasa yaitu bahsa Urdu,
Arab, Persia dan Spanyol, selain itu beliau juga mahir ilmu fiqh, tasawuf, filsafat dan ilmu
kesastraan. Dengan kecintaan beliau terhadap ilmu pengetahuan menjadikan beliau menjadi
perempuan yang mempunyai pendirian, bijaksana dan intelektual (Lestari, 2021)
Timbul pro dan kontra terhadap pemerintahan Sultanah Safiatuddin dalam memimpin
kerajaan Aceh Darussalm karena memandang bahwa Sultanah adalah seorang perempuan. pro
dan kontra ini hadir dari dua golongan besar yang berpengaruh saat itu yaitu kelompok
Wujudiah dan kelompok elit yang lazimnya disebut dengan Orang Kaya. Dasar kaum
7
Kaum Wujudiah tidak habis cara untuk menggulingkan dan mengancam jatuhnya
kepemimpinan sultanah saat itu. Sehingga Syekh Nuruddin Ar-raniri sebagai mufti kerajaan
menyusun strategi untuk mengeluarkan sebuah arahan bahwa dalam Islam, seorang perempuan
mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dan berhak mengemban amanah
sebagai seorang pemimpin kecuali dalam hal syariat seperti menjadi pemimpin shalat. Dibantu
oleh Syekh Abdurrauf, Syekh Nuruddin terus menyampaikan fatwa ini kepada para masyarakat
dengan tujuan terjadinya perbaikan dari kekacauan yang terjadi dalam politik kerajaan saat itu
(Razali et al., 2021)
melibatkan para perempuan menjadi bagian legislatif. Diketahui bahwa pada masa Sultan
Iskandar Muda sudah ada prajurit perang wanita sebagai bagian dari pengawal keraton yang
dinamai dengan Keumala Cahaya dengan pemipinan ratu Safiatuddin sendiri. Pada masa Sultan
Iskandar Muda prajurit ini hanya beranggotakan para janda. Malahayati adalah panglima
pertama dari prajurit Keumala Cahaya. Namun setelah Sultanah Safiatuddin menjabat sebagai
pemimpin kerajaan kebijakan ini lebih disempurkan yaitu semua perempuan baik itu janda,
bersuami maupun gadis bisa menjadi bagian dari prajurit ini (Suud, 2015). Faktanya pada masa
itu sultanah Safiatuddin mengintruksikan Syekh Abdurrauf untuk menulis sebuah kitab yang
isi nya bahwa seorang perempuan diperbolehkan menjadi seorang hakim, kitab tersebut diberi
nama Mir’at alt- Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam (Rahmat, 2022).
b. Penyempurnaan Undang-Undang Meukuta Alam
Undang-undang Meukuta Alam adalah sebuah peraturan khusus kerajaan Aceh
Darussalm yang dibentuk pada masa Sultan Iskandar Muda. Undang-undang ini berisi tentang
cara mengelola negara, dasar negara, sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan dan
lembaga-lembaga negara (Antariksa, 2017). Pada masa Sultan Iskandar Muda Undang-Undang
Meukuta Alam hanya sebagai tindak lanjut dari undang-undang yang dibentuk oleh Sultan
Alaiddin Riayat Syah II Abdul Qahhar (1539-1571). Namun sering berjalannya waktu ketika
Sultanah Safiatuddin menjadi pemimipin kerajaan Aceh Darussalam Meukuta Alam
disempurnakan kembali menjadi dasar negara yang lebih komplek sesuai dengan kebutuhan
zaman saat itu (Baqi, 2020).
Undang-undang Meukuta Alam atau juga disebut Qanun Meukata Alam dengan rincian
singkat dari isi qanut tersebut adalah bentuk dan dasar negara merupakan Islam, pemangku
pemerintahan tertinggi adalah seorang Sultan dibantu oleh sekretaris negara yang digelari
dengan Rama Setia Kerukun Katibul Muluk. Dijabarkan pula bahwa, raja yang memerintah
diperbolehkan dari keluraga kerajaan. Lebih khususnya dijelaskan bahwa petinggi kedua dalam
pemerintahan adalah Qadhi Malikul Adil didampingi oleh empat orang yang membantunya
yaitu Mufti. Terdapat juga perdana menteri yang bertujuan membantu sultanah dalam
menjalankan roda pemerintahan yang disebut dengan wazir. Dalam qanun ini juga menjelaskan
bahwa tugas dari Qadhi Malikul Adil yaitu sebagai pemegang kekuasan hukum kerajaan,
kekuasaan adat dipegang dan dikelola oleh Sultan, sedangkan majelis hakim rakyat mempunyai
kuasa memegang qanun (Rahmat, 2022).
Aceh Darussalm keranah asia Tenggara. Pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin
merupakan masa kejayaan ilmu pengetahuan yang adadi kerajaan Aceh darussalam (Baqi,
2020).
Sagi. Federasi tiga segi ini dipimpin oleh panglima sagi. Panglima sagi ini berasal dari Sagi
Sagi XXII mukim, Sagi XXV mukim dan Sagi XXVI mukim. Pembentukan Federasi tiga
Sagi dibentuk pada masa Sultanah Naiatuddin pememimpin terdahulu belum ada yang
menerapkan kebijakan ini dalam dunia pemerintahan di kerajaan Aceh Darussalam.
Kebijakan ini merupakan sebuah kemajuaan dalam bidang pemerintahan di kesultanan Aceh
Darussalam sehingga adanya beberapa mukim yang dikelola oleh masing-masing sagi(Baqi
et al., 2022).
Tujuan pembentukan Tiga Sagi ini adalah untuk menghadapi kaum wujudiah yang
semakin ingin menjatuhkan Sultanah Nqiatuddin. Pengaruh ketiga panglima sagi dalam
pemerintahan kerajaan Aceh Darussalm sangat besar kedudukannya karena mereka bertugas
memberikan keputusan untuk mengangkat dan memberhentikan Sultanah, kewenangan ini
berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang juga telah disempurnakan pada masa sultanah
Naqiatuddin (Baqi, 2020).
Selama pemerintahan Sultanah Naqiatuddin golongan wujudiah tidak henti-hentinya
ingin menggulingkan pemerintahan Sultanah namun dengan adanya federasi tiga sagi
pemebrontakan mereka selalu terkalahkan. Pemberontakan kaum wujudiah terlihat dari
adanya sebuah gerakan bawah tanah yang menyebarkan faham bahwa seorang perempuan
tidak berhak menjadi seorang pemimpin sesuai dengan ajaran agama. Kaum wujudiah juga
sering melanggar hukum dan peraturan yang berlaku yang telah diterapkan di kerajaan.
Pemberontakan lainnya yang dilakukan oleh kaum wujudiah adalah membakar ibu kota
kerajaan ( Keraton Darud, Mesjid Raya Baiturrahman, pustaka-pustaka) kejadian ini terjadi
pada setelah satu tahun kepemimpinan sultanah (Ilham & Merry, 2021).
Kabar bumi hangusnya pusat kota kerajaan aceh darussalam terdengar hingga ke
Malaka dan peristiwa ini terdapat dalam tambo kerajaan pada tahun 1677. Akibat dari
peristiwa kebakaran ini akirnya melumpuhkan kekuatan pemerintahan dan menyebabkan
Sultanah sulit membangun kembali kerajaan Aceh Darussalam. Peristiwa ini dijadikan
moment emas bagi golongan ule balang untuk membangun kembali posisi mereka. Setelah
terjadinya peristiwa kebakaran yang membumi hanguskan kerajaan akirnya pemerintahan
sultanah semakin terpuruk. Hingga akirnya Sultanah Naqiatuddin mangkat pada tanggal 1
zulhijjah 1088 H (1678) tepat di hari ahad (minggu), hal ini menandakan berakhirnya
pemerintahan Sultanah yang sudah berjalan selama tiga tahun kepemimpinan (Baqi, 2020).
Disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan Sultanah banyak terjadi pelemik dalam
kerajaan yang disebabkan oleh internal dari kerajaan sendiri yaitu kaum wujudiah yang terus
memprovokasi masyarakat demi menggulingkan Sultanah.
12
Kemudian pada 3 oktober 1688, sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah wafat. Sultanah
Zaqiyatuddin ini sendiri sudah menduduki pemerintahan lebih kurang selama sepuluh tahun
dengan berbagai keadaan telah terjadi pada masa kepemiminannya sendiri. Pada masa Sultanah
Zaqiyatuddin memerintah ini sendiri, sudah banyak sekali mempertahankan sisa-sisa dari
kedaulatan Aceh. Selama memerintah, Sultanah Zaqiyatuddin telah banyak berjuang untuk
kebesaran Aceh. Sultanah Zaqiyatuddin mampu mempertahankan kedaulatan Aceh ketika pada
masa kedudukannya..
Pada masa sultanah ketiga ini, jabatan dari Qadhi Malikul Adil masih Abd Rauf
Singkili. Oleh karenanya pada periode sultanah Zaqiyatuddin tidak begitu di usik oleh
golongan Wujudiyah. Pada masa sultanah Zaqiyatuddin ini masih terdapat kebijakan dari
Sultanah Nurul Alam dimana mengokohkan kedudukan dari suktanah ini sendiri (Subkhana
Adzim Baqi et al., 2022).
bertindak terhadap akar permasalahan politik dari golongan tersebut serta tidak memberikan
peluang untuk menyalahgunakan pemerintahan (Jeumpa, 2016).
Ketika penguasaan tanah malaka oleh Belanda, Aceh mulai terancam kedaulatannya.
Melihat apa yang dilakukan Belanda tersebut, Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah bertindak
terhadap apa yang terjadi tersebut. Sultanah Zaqiyatuddin ini sendiri menunjukkan
kekuasaannya terhadap VOC dengan cara merebut wilayah Bayang kembali ke Kerajaan Aceh
Darussalam. Pada hal lain, di pulau Sumatera kekuatan dagang Belanda terus berkembang dan
semakin kuat. Hal tersebut membuat Sultanah Zaqiyatuddin terus berusaha untuk
menghancurkan perdagangan Belanda. Dimana Sultanah merangkul seluruh negara tetangga
untuk merancang perjanjian agar Belanda dapat diusir untuk kepentingan serta keselamatan
rakyatnyaKebijakan politik yang dijalankan pada masa Sultanah Zaqiyatuddin ini sendiri tetap
sama dan masih meneruskan kepemimpinan terdahulu sebelumnya yakni masa kepemimpinan
Sultanah Tajul Alam dan Sultanah Nurul Alam, dimana sangat tegas terhadap golongan yang
menentang akan kepemimpinannya. Sultanah Zaqiyatuddin ini sendiri terus memberantas
golongan golongan Wujudiyah dengan tegas dan keras. Selain dari itu, Sultanah Zaqiyatuddin
ini sendiri juga bertindak terhadap akar permasalahan politik dari golongan tersebut serta tidak
memberikan peluang untuk menyalahgunakan pemerintahan (Jeumpa, 2016).
menggunakan kekerasan dan dilakukan pertama kali. Namun, apabila mencuri yang
menggunakan kekerasan serta mengandung nilai pencurian yang besar maka hukuman baginya
itu adalah tangan kanannya dipotong. Apabila pencuri tersebut mecuri kembali, maka tangan
kirinya yang di potong atau dipotong kaki dan terkadang bisa dipotong sekaligus tangan juga
kakinya. Apabila masih mencuri juga, maka dengan tangan dan kaki yang sudah dipotong,
hukumannya yakni dibuang ke pulau Weh dengan tujuan yakni diasingkan seumur hidupnya
(Ilham & Merry, 2021).
Putri Kamalat Syah ini adalah orang yang ketiga dan memang diutus oleh Sultanah
Shafiatuddin sebagai mpemimpin kerajaan Aceh Darussalam. Beliau diangkat menjadi
pemimpin saat berpulangnya Sultanah Zaqiatuddin, lebih tepatnya sebelum pemakaman
Zaqiatuddin. Beuliau menjadi Sultanah dengan sebutan Sultanah Sri Ratu Kamalatuddin
Inayat Syah.
Kamalat Syah diturunkan dari tahta kepemimpinannya dikarenakan Mufti yakni kepala
di Makkah mengabarkan telah mengirim satu fatwa yang menyatakan bahwa kerajaan yang di
perintah oleh perempuan itu bertentangan dengan Islam. Oleh karennaya, Sultanah diturunkan
dan kemudian digantikan dengan Umar bin Qadhi al-Malik al-Adil Ibrahim yang dijadikan
sultan Badr al-Alam Syarig Hasyim Ba al-Alawi al-Husyni serta pendiri dinasti Arab jamal al-
Layn di Kesultanan Aceh.
Akhir dari kepemimpinan Sultanah Kamalat Syah ini juga menjadi akhir dari kekuasaan
para Sultanah-sultanah Aceh. Syekh Abd Rauf As-Singkili sendiri pun tidak dapat memberikan
jawaban rakyat dalam permasalahan kepemimpinan perempuan ini. Akhirnya mau tidak mau
diputuskan pada sidang para ulama di Haramayn, Sultanah Kamalat Syah kekuasaannya harus
diserahkan pada salah seorang sultan yang baru dan menjadi akhir masa kepemimpinan
Sultanah di kesultanan Aceh Darussalam (Ilham & Merry, 2021).
Dalam hal hubungan kedua belah pihak sangat baik dimana mendapatkan dari Inggris
yang cukup besar yakni dibukanya kantor dagang pada wilayah kerajaan Aceh Darussalam
(Subkhana Adzim Baqi et al., 2022). Kepada persatuan dagang tersebut, dibolehkan untuk
membangun perkantorannya di Aceh. Namun Sultanah juga terus berpikir akan keuntungan
yang besar dari perdagangan Inggris tersebut bagi rakyat. Beberapa peraturan juga di buat oleh
Sultanah dengan Persatuan Dagang Inggris ( English East India Company ) dimana dapat
menghasilkan keuntungan untuk Aceh, sehingga Inggris tidak banyak memperoleh laba serta
tidak mendapatkan kemajuan disana.
Namun, Yunus Jamil juga Ilyas berpendapat, fatwa yang dibawa dari Mufti besar
Mekkah yakni surat yang palsu dimana hanya di buat agar memberhentikan kepemimpinan
sultanah Keumalat Syah. Qadli Malikul Adil pada kenyataannya tidaklah ke Makkah serta
bekerjasama dengan Uleebalang, Syarif Ibrahim serta Syarif Hasyim yang juga tidak setuju
akan kepemimpinan perempuan. Pada Sidang pemakzulan Sultanah di laksanakan pada majelis
mahkamah rakyat pada sebelumnya lebih dahulu ditukar dengan para anggota yang antri akan
kepemimpinan perempuan. Seletah dilakukannya musyawarah, membuahkan kesepakatan
bahwasannya Sultanah Kemalat Syah diberhentikan (Adzim, 2020).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
16
17
Adzim, S. (2020). Empat Sultanah dalam Kerajaan Aceh Darussalam (1641-1699 M).
Bussiness Law Binus, 7(2), 33–48. http://repository.radenintan.ac.id/11375/1/PERPUS
PUSAT.pdf%0Ahttp://business-law.binus.ac.id/2015/10/08/pariwisata-
syariah/%0Ahttps://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-
results%0Ahttps://journal.uir.ac.id/index.php/kiat/article/view/8839
Antariksa, B. (2017). Kedudukan Qanun Aceh Ditinjau Dari Aspek Sejarah, Pengaturan,
Fungsi, Dan Materi Muatan Qanun. Jurnal Ilmiah Advokasi, 05(01), 17–33.
https://en.wikiquote.org/wiki/John_Dalberg-Acton,_1st_Baron_Acton
Baqi, S. A. (2020). Empat Sultanah dalam Kerajaan Aceh Darussalm. Bussiness Law Binus,
7(2), 33–48. http://repository.radenintan.ac.id/11375/1/PERPUS
PUSAT.pdf%0Ahttp://business-law.binus.ac.id/2015/10/08/pariwisata-
syariah/%0Ahttps://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-
results%0Ahttps://journal.uir.ac.id/index.php/kiat/article/view/8839
Ilham, Muhammad, and Yullia Merry. 2021. “Kebijakan Hukum Pada Pemerintahan Sultanah
Di Kesultanan Aceh Darussalam (1641-1699).” Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah
10(1): 1–13. Adan, H. Y. (2013). Islam dan sistem pemerintahan di Aceh masa Kerajaan
Aceh Darussalam.
Irfanullah, G., & Fuad, V. (2022). Jejak Moderasi Beragama di Kesultanan Aceh di bawah
Pemerintahan Sultanah Safiatuddin. Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan
Islam, 10(1). https://doi.org/10.24235/tamaddun.v10i1.10572
Jeumpa, N. (2016). PERAN PEREMPUAN ACEH PADA PENDIDIKAN DAN POLITIK:
Studi kasus di lingkungan Universitas Muhammadiyah Aceh. Jurnal Ilmiah Didaktika,
16(2), 153. https://doi.org/10.22373/jid.v16i2.592
Lestari, S. R. puji. (2021). Strategi Sultanah Safiatuddin Kesultanan Aceh Darussalam Tahun
1641-1675 M.
Rahmat, M. (2022). Jurnal Peurawi : Media Kajian Komunikasi Islam. 5(1), 1–20.
Razali, Maulana, Muhammad Mansur, Hanif Hanif, and Muhajir Al-Fairusy. 2021. “Konsep
Kepemimpinan Perempuan Dalam Pandangan Abdur Rauf As-Singkili.” Basha’Ir: Jurnal
Studi Al-Qur’an Dan Tafsir 1(2): 85–94.
Salma, A., dan Mudzanatun. 2019. "Analisis Gerakan Literasi Sekolah Terhadap Minat Baca
18
19
Subkhana Adzim Baqi, Muhammad Aziz, and Sri Windari. 2022. “Pola Kepemimpinan
Sultanah Aceh Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan 1641-1699 M.” Journal of
Islamic History 2(1): 48–62.
Suud, Fitriah M. 2015. “Perempuan Islam Dalam Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam (1641-
1699 M).” Serambi Tarbawi: Jurnal Studi Pemikiran, Riset dan Pengembangan
Pendidikan Islam 3(1): 23–42.