Anda di halaman 1dari 2

Si Cantik Gajah Putih, Menyihir Cakrawala

Oleh: Laila Hidayati

“Makassar kota perjuangan,” ucap perempuan paruh baya yang berdiri tepat di depanku.
Sudah sekitar 4 jam lalu, mulutnya masih komat-kamit, ditambah kening mengkerut dan
keringat bercucuran di wajah perempuan paruh baya itu. Sejenak aku terkesima, dengan apa
yang ia sampaikan. Sebagai salah seorang mahasiswa perantau, ada kesan tersendiri,
bagaimana seharusnya aku memulai hidup jauh dari kampung halaman. Kenyataan yang
disampaikan kak Mala (ya, aku memanggilnya kak Mala). Sangatlah jauh dari khayalan-
khayalan mahasiswa imut (mahasiswa baru) seumuranku. Pasalnya, makna kata perjuangan
yang ia paparkan, disuguhi dengan peristiwa yang ia kiaskan saat bercerita, “jika anda-Anda
sekalian melihat indahnya masjid 99 kubah, dan jika kalian berbondong-bondong sholat
disana, aku sebaliknya, jangankan menginjakkan kaki, melihatnya saja aku tak sudi, aku tak
ingin bersujud di atas tanah yang bertumpah kan darah saudara-saudaraku.” Tegasnya dengan
rahang sedikit mengeras.

Aku bergidik ngeri mendengar cerita kak Maya, sang aktivis agraria. Tak bisa ku pungkiri,
beberapa waktu lalu, aku bersama teman-teman melihat yang menjadi icon di kota ini,
keindahan sunset CPI, ronah jingga kala matahari terbenam itu menghangatkan dan memukau
berbagai pasang mata yang melihatnya. Namun, fakta yang aku dapatkan jauh berbeda
dengan ucapan kak Maya, aku tak bisa mengelak sebab meliau memaparkan data dan
penolakan pembangun pada saat itu.

“Sudahlah, itu adalah takdir yang tertulis” kalimat ini terngiang di kepalaku, namun tak
sesempit itu bukan? Tuhan mengabarkan ikhtiar manusia, untuk mencegah ego-ego yang
merugikan manuisa lainnya. Jauh aku melihat, bagaimana dibalik pembangunan megah tetapi
dibaliknya ada rumah ibadah, tempat manusia-manuisa bersujud.

Lalu, dimana keadilan-keadilan yang digambarkan Tuhan melaui kitabnya itu? Lantas
benarkah rumah-Nya lebih utama dibandingkan rumah hambanya? Pikiranku penuh dengan
pertanyaan-pertanyaan, ditambah sumpah serapah manusia-manusia yang mengikuti
perbincangan tadi, “tak ada keadilan bagi rakyat miskin!” ucap laki-laki muda di sela-sela
diskusi siang tadi.

Beberapa bulan berjalan, aku banyak menjumpai tempat dan manusia-manusia unik, namun
satu hal yang membuatku tersadar benarlah kalimat kak Maya itu, “Makssar adalah kota
perjuangan” perjuangan melawan tirani penindasan, di kota ini aku melihat kesenjangan
sosial, di kota ini pula aku melihat berbagai macam warna perjuangan.

Di berbagai masjid aku sujud, selama di perantauan rumah-Nya aku anggap seperti rumahku
sendiri. Ditempat inilah aku mencurahkan berbagai masalah maupun menangkan pikiranku
kala hiruk pikuk perkotaan mulai mengganggu suasana hatiku.

Masih ingat? Bagaimana cerita kak Maya bagaimana ia tak mau sujud, dan bagaimana aku
seolah-olah menghakimi Tuhan melontarkan pertanyaan keadilan, seolah-olah akulah yang
paling berhak menghakimi segalanya.

Sesalku, kala itu. Aku gagal memaknai cerita itu. Bahwa keadilan dalam konsep Tuhan tidak
menggeser nilai kemanusiaan. Tugas kitalah untuk memperbaiki keadaan itu. Proyek gajah
putih itu misalnya, menyihir cakrawala berpikir, keindahannya menyihir mata. Kala para
oligarki merampas hak rakyat, maka disaat itu pula manusia tak tunduk untuk
memperjuangkan kembali hak-haknya.

Anda mungkin juga menyukai