Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan dalam arti seluas-luasnya selalu memerlukan saling

berhubungan atau saling berinteraksi antara anggota masyarakat yang satu dan

anggota masyarakat yang lainnya. Dalam berhubungan tersebut diperlukan suatu

alat komunikasi, yaitu bahasa. Dengan bahasa, seseorang dapat menyampaikan

pikiran dan pendapat kepada orang lain. Karena besarnya peranan bahasa bagi

manusia, tidaklah mengeharankan banyak ahli yang menjadikan bahasa sebagai

objek kajian ilmiah.

Menurut Halliday dan Ruqaiya Hasan (1994: 6-7), studi bahasa adalah

studi manusia melalui teks verbal yang diproduksi dalam konteks budaya guyub

tuturnya. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna memiliki jiwa dan

raga, mempunyai ruang hidup kementalan, memiliki dimensi hidup kerohanian

dalam kesatuan hidup yang utuh, baik lingkup individu maupun kolektiva dalam

komunitas bahasa, masyarakat, dan kebudayaan tertentu. Hubungan dialektikal

antara manusia dan bahasa, pikiran, dan kebudayaan inilah yang menjadi objek

kajian linguistik kebudayaan.

Dalam kaitan ini, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana berpikir,

tetapi juga sebagai hasil, bagian, dan kondisi kebudayaan (Laksana, 2009: 11).

Bahasa sebagai hasil kebudayaan artinya bahasa yang dituturkan oleh suatu

masyarakat adalah cerminan keseluruhan budaya masyarakat itu. Bahasa sebagai

bagian kebudayaan berarti bahasa merupakan salah satu penanda kebudayaan di


2

samping peralatan, lembaga, adat, dan kepercayaan. Sebagai kondisi kebudayaan,

bararti kebudayaan dipelajari melalui bahasa.

Sehubungan dengan hal itu, bahasa Bali sebagai salah satu bahasa di

Indonesia merupakan bahasa daerah yang masih hidup, berkembang, dibina, dan

didukung oleh masyarakat penuturnya, yaitu sebagian besar masyarakat Bali.

Bahasa Bali merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar

masyarakat Bali. Bahasa Bali digunakan sebagai alat komunikasi, baik di dalam

keluarga maupun antarsesama masyarakat Bali juga merupakan sarana

pengungkap kebudayaan Bali dalam arti luas. Oleh karena itu, mempelajari

bahasa Bali secara langsung juga berarti mempelajari kebudayaan Bali.

Masyarakat Bali sebagai penutur bahasa Bali mempunyai banyak wacana

kebudayaan. Wacana kebudayaan itu merupakan hasil penggunaan bahasa yang

mencerminkan bahasa sebagai sumber daya yang memiliki bentuk, fungsi, dan

makna tersendiri, dapat berupa teks media, pepatah dan peribahasa, cerita rakyat,

larangan, dan lain-lain. Fenomena kebahasaan tersebut merupakan fokus kajian

dalam Linguistik Kebudayaan.

Ungkapan Larangan sebagai salah satu wacana kebudayaan masyarakat

Bali dikenal dan digunakan oleh masyarakat Bali. Artinya, ungkapan larangan

sebagai wacana kebudayaan ada di seluruh wilayah Bali dan diketahui oleh

masyarakatnya termasuk Kabupaten Tabanan. Akan tetapi, bentuk dan jumlahnya

berbeda-beda antara satu daerah dan daerah yang lainnya.

Sebagai salah satu kabupaten di Bali, Tabanan sering disebut sebagai

lumbung berasnya Bali. Hal ini disebabkan oleh Kabupaten Tabanan sampai saat
3

ini masih merupakan penghasil beras terbesar di daerah Bali (Bali dalam Angka,

2010). Hal itu menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Tabanan mayoritas

berprofesi sebagai petani dan hidup di daerah pedesaan. Para petani yang hidup di

daerah pedesaan walaupun telah dipengaruhi oleh perkembangan zaman, masih

tetap memegang tradisi yang diturunkan oleh nenek moyangnya. Dengan dasar

itulah, penelitian ini menggunakan masyarakat petani sebagai sumber data.

Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan ada yang

disampaikan secara lisan dan ada pula disampaikan secara tertulis. Ungkapan

larangan yang disampaikan secara lisan sampai saat ini masih hidup di masyarakat

petani Tabanan dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya,

sedangkan uangkapan larangan tertulis ditemukan pemakaiannya dalam naskah

tertulis seperti Awig-Awig Desa Pekraman, Awig-Awig Subak, dan Awig-Awig

Subak Abian.

Masyarakat petani Tabanan menggunakan ungkapan larangan untuk

menyampaikan maksud-maksud tertentu yang ingin dicapai dalam berkomunikasi.

Sebagai contoh, berikut disajikan contoh ungkapan larangan. Konteks

pemakaiannya adalah sebagai berikut.

1-1 Pn: Kija De?


ke mana de
’Ke mana De?’
Pt: Ngalih tiing anggon keranjang
mencari bambu untuk keranjang
’Mencari bambu untuk keranjang’.
Pn: Jani Redite De. Sing dadi nektek tiing,
sekarang hari minggu de tidak boleh menebang bambu
mati nyen tiinge.
mati nanti bambunya.
’Sekarang hari Minggu De. Tidak boleh menebang bambu, nanti mati
bambunya’.
4

Pt: Eh saja. Yen keto mani gen ngalih tiing.


oh benar kalau begitu besok saja mencari bambu
’Oh benar. Kalau begitu besok saja mencari bambu’.

1-2 Tan kawenang ngangonang wewalungan luwire: kebo, banteng, kuda,


tidak diizinkan menggembalakan ternak seperti: kerbau, sapi, kuda,
kambing, bawi lan sapenunggalan punika ka tegal pabian krama tiosan.
kambing, babi dan sejenisnya itu ke ladang kebun warga lain.
’Tidak diizinkan menggembalakan ternak, seperti kerbau, sapi, kuda,
kambing, babi, dan sejenisnya ke kebun orang lain’

Dalam contoh tuturan 1-1 di atas terdapat ungkapan larangan, yaitu Jani

Redite De. Sing dadi nektek tiing, mati nyen tiinge ’tidak boleh menebang bambu

pada hari Minggu’. Konteks tuturannya terjadi di sebuah desa di Tabanan.

Ungkapan larangan ini merupakan contoh ungkapan larangan lisan. Penutur (Pn)

bertemu dengan seseorang yang bernama Made (De) yang selanjutnya disebut

Petutur (Pt). Penutur menanyai tujuan kepergian petutur, yang kemudian dijawab

bermaksud mencari bambu oleh petutur. Ternyata hari itu adalah hari Minggu

yang menurut kepercayaan masyarakat petani di Tabanan tidak boleh menebang

bambu. Untuk tujuan itu, kemudian digunakan tuturan: Jani Redite De. Sing dadi

nektek tiing, mati nyen tiinge.

Secara keseluruhan tuturan Jani Redite De. Sing dadi nektek tiing, mati

nyen tiinge mengisyaratkan makna ‘tidak boleh menebang bambu pada hari

Minggu, karena bambu menjadi mati atau rusak’. Dengan kata lain, dalam tuturan

itu terkandung ungkapan larangan yang ditandai dengan bentuk frasa ingkar, yaitu

sing dadi ’tidak boleh’.

Apabila dicermati, makna yang diisyaratkan oleh tuturan Jani Redite De.

Sing dadi nektek tiing, mati nyen tiinge, yaitu ‘tidak boleh menebang bambu pada
5

hari Minggu, karena menyebabkan bambu mati atau rusak’ terkesan tidak logis.

Artinya, klausa //sing dadi nektek tiing (di Redite)// dan klausa //mati nyen

tiinge// memiliki hubungan yang tidak logis. Tidak ada korelasi logis antara

pernyataan menebang bambu pada hari Minggu dan bambu bisa mati. Hal ini

disebabkan penutur mempunyai maksud tertentu secara tersirat di balik

tuturannya. Penutur menggunakan bentuk linguistik berupa majas metafora untuk

memerintah petutur agar tidak sembarangan menebang bambu, apalagi

menebangnya pada hari Minggu, karena hari Minggu adalah hari baik untuk

menanam tanaman yang beruas termasuk bambu. Sebaiknya, bambu ditebang

selain hari Minggu (Ardhana, 2005: 112). Di samping itu, ungkapan larangan di

atas juga mengisyaratkan makna agar tidak sembarangan menebang bambu demi

menjaga kelestarian lingkungan. Jadi, secara tersirat ungkapan larangan tersebut

menyatakan makna pelestarian lingkungan.

Dalam contoh 1-2 juga terdapat ungkapan larangan, tetapi berbeda dengan

ungkapan larangan pada contoh 1-1. Ungkapan larangan pada contoh 1-2 adalah

ungkapan larangan tertulis yang ditemukan pemakaiannya dalam Awig-Awig

Subak Abian Panca Karya Tani Dusun Batuaji Kawan, Desa Sembung Gede.

Kecamatan Kerambitan, Tabanan, Sarga V, Palet 4, Pawos 26, butir 1. Dalam

contoh 1-2 ungkapan larangan ditandai dengan frasa tan kawenang yang berarti

’tidak diizinkan’ sehingga contoh 1-2 mengandung makna ’tidak diizinkan

menggembalakan ternak, seperti kerbau, sapi, kuda, kambing, babi, dan sejenisnya

ke kebun orang lain’. Ungkapan larangan ini berfungsi sebagai peraturan yang

ditujukan kepada anggota Subak Abian Panca Karya Tani agar tidak sembarangan
6

menggembalakan ternak di kebun orang lain. Di samping makna tersurat,

ungkapan larangan pada contoh (1-2) juga menyatakan makna tersirat. Makna

yang dimaksud adalah menjaga ketertiban dan kebersihan lingkungan.

Ketertiban maksudnya ternak tidak dibiarkan bebas berkeliaran dan tidak

menggembalakan ternak di sembarangan kebun orang lain. Apabila ternak

dipelihara dalam kandang, ketertiban akan tercipta dan lingkungan menjadi bersih

karena ternak tidak mebuang kotorannya sembarangan

Uraian di atas mengisyaratkan bahwa di balik ungkapan larangan yang

digunakan oleh masyarakat petani Tabanan terdapat fenomena kebahasaan

(linguistik) yang menarik untuk dikaji. Tidak saja dari segi bentuk, fungsi, dan

maknanya, tetapi juga dinamika pemakaiannya. Berdasarkan fenomena itulah,

masalah ini diangkat dalam penelitian yang berjudul ”Ungkapan Larangan pada

Masyarakat Petani Tabanan: Kajian Linguistik Kebudayaan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dalam penelitian ini dikaji beberapa

pokok permasalahan sebagai berikut.

(1) Bagaimanakah klasifikasi dan bentuk ungkapan larangan pada masyarakat

petani Tabanan?

(2) Apakah fungsi dan makna ungkapan larangan pada masyarakat petani

Tabanan?
7

(3) Bagaimanakah dinamika pemakaian ungkapan larangan pada masyarakat

petani Tabanan berdasarkan kelompok usia dan faktor apa yang

memengaruhi dinamika tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena

kebahasaan berupa ungkapan larangan yang ada pada kebudayaan masyarakat

petani Tabanan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui penerapan Teori

Linguistik Kebudayaan, Teori Linguistik Struktural, Teori Fungsi Bahasa, dan

Teori Semiotik Sosial. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat

mengklasifikasikan ungkapan larangan berdasarkan konteks pemakaian atau latar

pemakaiannya. Misalnya, ungkapan larangan yang digunakan pada lingkungan

keluarga, lingkungan masyarakat umum, atau lingkungan kelompok pertanian

(petani sawah, petani ladang, peternak, dan petani nelayan).

1.3.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan khusus penelitian ini adalah

untuk menganalisis dan mendeskripsikan hal-hal berikut.

(1) Klasifikasi dan bentuk ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan.

(2) Fungsi dan makna ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan.
8

(3) Dinamika pemakaian ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan

berdasarkan kelompok usia dan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika

itu.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memenuhi manfaat teoretis dan manfaat praktis.

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam usaha

mengembangkan Ilmu Linguistik secara umum dan Linguistk Kebudayaan secara

khusus. Hal ini disebabkan ungkapan larangan merupakan sumber daya budaya

dan tuturan sebagai praktik budaya yang merupakan kajian Linguistik

Kebudayaan. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan memperkaya

khazanah keilmuan di bidang Linguistik Kebudayaan sehingga dapat menjadi

inspirasi untuk pengkajian masalah-masalah Linguistik Kebudayaan lainnya.

Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam

menginventarisasi ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan dalam

rangka melestarikan kebudayaan Bali pada umumnya. Di samping itu, hasil

penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah bahan ajar pelajaran

muatan lokal, dalam hal ini adalah bahasa Bali. Dengan demikian, salah satu

khazanah kebudayaan Bali tidak punah dan dapat diturunkan kepada generasi

penerus sekaligus melestarikan bahasa Bali.


9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi klasifikasi ungkapan larangan,

bentuk ungkapan larangan, fungsi ungkapan larangan, makna ungkapan larangan,

dan dinamika pemakaian ungkapan larangan berdasarkan kelompok usia saat ini.

Klasifikasi ungkapan larangan ditinjau berdasarkan beberapa sudut pandang, yaitu

(1) eksistensi ungkapan larangan di masyarakat, (2) urutan unsur-unsur

pembentuk ungkapan larangan, (3) lingkup pemakaiannya meliputi ungkapan

larangan yang digunakan pada lingkungan keluarga dan lingkungan luar keluarga

atau masyarakat umum, dan (4) berdasarkan topiknya, meliputi ungkapan

larangan bidang pertanian dan umum.

Berdasarkan klasifikasi ungkapan larangan tersebut, dalam penelitian ini

juga dibahas dinamika pemakaian ungkapan larangan itu berdasarkan kelompok

usia. Dinamika pemakaian ungkapan larangan maksudnya adalah gerak atau

perkembangan pemakaian ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan

dari generasi ke generasi. Dengan demikian, sekaligus diketahui faktor-faktor

yang mempengaruhi dinamika pemakaian tersebut.

Bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bentuk satuan bahasa

yang digunakan untuk menyampaikan ungkapan larangan tersebut. Misalnya,

bentuk bahasa berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Fungsi ungkapan larangan

berkaitan dengan pemakaian ungkapan larangan itu di kalangan masyarakat petani

Tabanan. Untuk melihat fungsi ini digunakan Teori Fungsi Bahasa yang

dikemukakan oleh Leech (1977). Makna ungkapan larangan yang dimaksud di

sini adalah makna berdasarkan Teori Semiotik Sosial yang menyatakan bahwa
10

ungkapan larangan pada prinsipnya adalah pemakaian bahasa memiliki makna

tersurat dan tersirat.

Lingkup penelitian tersebut dituangkan ke dalam tujuh bab. Bab I

merupakan bagian pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan umum dan tujuan khusus penelitian, manfaat penelitian, dan

ruang lingkup penelitian. Bab II terdiri dari kajian pustaka, konsep, dan landasan

teori. Bab III menjelaskan metodologi yang meliputi pendekatan penelitian, lokasi

penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik

penyediaan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik

penyajian hasil analisis.

Bab selanjutnya adalah Bab IV, Bab V, Bab VI, dan Bab VII. Dalam Bab

IV diuraikan klasifikasi, pemarkah, dan bentuk ungkapan larangan. Bab V

meliputi uraian fungsi dan makna ungkapan larangan. Bab VI menguraikan

dinamika pemakaian ungkapan larangan berdasarkan usia serta faktor-faktor yang

memengaruhi dinamika itu. Bab terakhir adalah Bab VII yang berisi uraian

simpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai