Anda di halaman 1dari 14

1.

DILEMA MIGRASI DAN URBANISASI

1.1. URBANISASI: KECENDERUNGAN DAN PROYEKSI

Pada gambar diatas memperlihatkan urbanisasi versus GNP perkapita; negara negara
berpendapatan paling tinggi, seperti Denmark, juga termasuk diantara negara yang penduduknya
paling banyak tinggal dikota atau paling urban, sementara negara negara paling miskin, seperti
Rwanda, adalah negara yang sebagian besar penduduknya tidak tinggal dikota pada saat yang
sama, ketika banyak negara menjadi lebih urban (urbanized) seiring dengan kemajuan
pembangunannya, dewasa ini negara negara termiskin jauh lebih urban dari pada negara negara
maju dulu pada saat tingkat pembangunannya setara, sebagaimana diukur dengan pendapatan
perkapita; dan negara negara paling miskin mengalami urbanisasi pada tingkat yang lebih cepat.

Pada gambar diatas menunjukkan urbanisasi sepanjang waktu dan berbagai tingkat
pendapatan selama seperempat abad, yaitu dari tahun1970 hingga 1995. Gamar ini menyajikan
pendapatan perkapita rill ( dalam dolar AS pada tahun konstan 1987), tetapi belum disesuaikan
dengan paritas daya beli. Setiap segmen garis menggambarkan trajektori dari suatu negara,
dimulai dari titik hitam yang menggambarkan pendapatan tahun 1970 dan tingkat urbanisasi bagi
negara tertentu, dan berakhir pada ujing segmen garis (kotak bekah ketupat) yang mencerminkan
pendapatan tahun 1995 dan tinggakat urbanisasi dari negara yang sama. Gambar tersebut juga di
interpretasikan sebagai sesuatu yang menunjukkan bahwa urbanisasi terjadi dimana saja, di
negara berpendapatan tinggi maupun rendah, terlepas apakah pertumbuhannya positif atau
negatif. Ringkasnya urbanisasi dapat terjadi dimana saja diseluruh dunia, meskipun pada laju
yang berbeda.

Tabel 8-1 menunjukkan data-data mengenai pertambahan penduduk perkotaan di


kawasan utama dunia antara tahun 1950-1995 dan proyeksi untuk tahun 2025. Dengan
pengecualian beberapa kota tertentu , secara umum tingkat pertumbuhan penduduk kota berkisar
antara kurang dari 1% per tahun (yaitu, didua kota terbesar dunia, New York dan Tokyo) sampai
lebih dari 6% per tahun, seperti yang terjadi pada banyak kota di kawasan Afrika seperti Nairobi,
Lagos, dan Accra.Sedangkan di Asia dan Amerika Latin, banyak kota besar yang mengalami
pertumbuhan penduduk antara 4% sampai 5% per tahun.
Dalam Tabel 8.2 telah tersaji data-data kependudukan dari lima belas kota terbesar di
dunia tahun 1995 yang dilengkapi dengan angka angka proyeksi dari perserikatan bangsa bangsa
untuk tahun 2015. Pada tahun 1995 hanya 4 dari ke 15 kota tersebut yang ada di negara negara
maju. Kota sisanya berlokasi di negara negara sedang berkembang dan secara total memiliki
jumlah penduduk sebesar 141 juta jiwa.

Seiring dengan terus meluasnya urbanisasi dan bias urban (urban bias) dalam strategi
pembangunan, tumbuh subur pula kantung-kantung pemukiman kumuh (slum) dan kampung-
kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar (shantytoum). Akan semakin banyak
pemukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia. Pemukiman-pemukiman serba
jorok dan jauh dari standar kesehatan maupun kenyamanan hidup seperti Favella di kota Rio
Jenerio, Pueblos Jovenes di Lima dan Bustees di Kulkuta yang jumlahnya terus meningkat
menjadi dua kali lipat setiap lima hingga sepuluh tahun. Sekarang ini, dari seluruh penduduk
perkotaan diberbagai negara-negara Dunia Ketiga bahkan lebih dari 60 persen (lihat Tabel 8-3).
Meskipun pertumbuhan penduduk dan migrasi dari desa ke kota yang terus meningkat merupakan
penyebab utama semakin banyaknya pemukiman-pemukiman kumuh diperkotaan namun
sebagian juga disebabkan oleh pihak pemerintah di masing-masing negara paling miskin.
Keprihatinan pemerintahan negara-negara paling miskin terhadap jumlah dan proyeksi
pertumbuhan penduduk daerah perkotan, yang bahkan sudah di ambang bahaya, diungkapkan
pada laporan PBB mengenai kebijakan-kebijakan kependudukan di berbagai negara pada tahun
1988. Rasa prihatin dan cemas terhadap petumbuhan penduduk perkotaan yang terlalu cepat di
negara-negara berkembang mengungkapkan pokok masalah yang paling penting untuk di bahas,
yaitu seberapa jauh pemerintah suatu negara dapat merumuskan kebijakan pembangunan yang
memiliki dampak pasti terhadap pertumbuhan kota. Strategi pembangunan ortodoks yang
dijalankan paada beberapa dekade yang lalu, yang lebih mengutamakn modernisasi industry,
kecanggihan teknologi, dan pertumbuhan metropolis, jelas telah menciptakan ketimpangan
geografis dalam penyebrankesempatan atau peluang-peluang ekonomi, sekaligus menjadi
penyebab utama perpindahan secara besar-besaran penduduk desa ke kota-kota yang terus-
menerus,
2. PERANAN KOTA
Secara umum, sebuah kota terbentuk karena dapat memberikan keunggulan dari segi biaya
kepada produsen dan konsumen, melaluiapa yang dikenal sebagai ekonomi aglomerasi
(agglomeration economies). Seperti disebutkan oleh Walter Isard, seorang pionir ekonom regional,
ekonomi aglomerasi muncul dalam dua bentuk. Pertama, ekonomi urbanisasi (urbanization
economies), yaitu dampak-dampak yang berkaitan dengan pertumbuhan kawasan gografis yang
terpusat secara umum. Kedua, ekonomi lokalisasi (localization economies), yaitu dampak-dampak
yang ditimbulkan oleh sektor-sektor khusus dalam perekonomian, seperti sektor keuangan atau
perakitan kendaraan, setelah sektor-sektor itu berkembang dalam suatu daerah. Ketika biaya
transportasi menjadi signifikan, maka pengguna output industri akan mendapatkan keuntungan bila
memilih lokasi yang lebih dekat ke pasar untuk dapat menghemat biaya. Selain itu, perusahaan yang
bergerak dalam industri yang sama atau industry terkait juga dapat meraih keuntungan karena
memilih lokasi di kota yang sama, sehingga mereka dapat menarik sejumlah besar pekerja yang
memiliki keterampilan khusus yang diperlukan dalam sektor tersebut, atau karena infrastruktur yang
terspesialisasi. Pekerja dengan keterampilan khusus yang sesuai dengan industritersebut akan lebih
memilih untuk bertempat tinggal di lokasi yang sama, sehingga mereka dapat dengan mudah mencari
pekerjaan baru atau memiliki posisi yang lebih menguntungkan dalam memilih peluang-peluang yang
tersedia.
2.1. DISTRIK INDUSTRI
Di mana tepatnya lokasi distrik industri tidaklah menjadi masalah, karena bisa saja di
masa lampau. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, banyak perusahaan komputer yang sejenis
sudah lebih dulu beroperasi di sana. Contoh lainnya adalah para pemasok sepatu yang memilih
Sinos Valley di Brasil dan Guadalajara di Meksiko, karena kebanyakan perusahaan sepatu
berlokasi di daerah tersebut. Beberapa manfaat dapat diambil dari pemilihan lokasi ini-yang
disebut oleh Khalid Nadvi sebagai "efisiensi kolektif yang pasif"; tetapi manfaat lainnya dapat
diperoleh dengan tindakan kolektif, seperti pengembangan fasilitas pelatihan atau lobi kepada
pemerintah untuk mendapatkan infrastruktur yang dibutuhkan sebgai sebuah industri dan bukan
sebagai sebuah perusahaan tunggal (“efesiensi kolektif yang aktif)”.
Sekali lagi,tidak semua keuntungan efisiensi kolektif dari keberadaan distrik-distrik industri
didapatkan melalui lokasi yang pasif. Sebagian yang lain dibuat secara aktif melalui investasi
bersama dan berbagai aktivitas promosi dari banyak perusahaan dalam distrik tersebut. Faktor
yang menentukan dinamisme dari sebuah distrik adalah kemampuan perusahaan-perusahaan di
dalamnya untuk menemukan mekanisme dalam melakukan tindakan-tindakan kolektif tersebut.
Sementara pemerintah dapat menyediakan sokongan finansial dan berbagai layanan penting
lainnya dalam memfasilitasi pengembangan klaster,modal sosial (social capital) juga merupakan
hal yang penting, terutama kepercayaan terhadap kelompok dan sejarah bersama dari tindakan
kolektif yang sukses, yang tentunya membutuhkan waktu untuk berkembang. Pemerintah dapat
membantu proses ini dengan menyatukan pihak-pihak terkait untuk bekerja sama dalam mencapai
tujuan-tujuan yang kecil, sebelum berusaha mencapai tujuan yang lebih besar, tetapi modal sosial
biasanya tumbuh secara organik dalam komunitas ekonomi dan jelas tidak mungkin ditumbuhkan
secara paksa. Bahkan dengan tindakan kolektif untuk memicu keuntungan pasif dari ekonomi
aglomerasi, klaster tradisional mungkin tidak akan dapat bertahan dalam bentuknya semula agar
dapat memasuki tahapan industrilialisasi yang lebih maju.

2.2. SKALA PERKOTAAN YANG EFISIEN


Dua teori seputar ukuran kota yang dikenal secara umum adalah model hirarki kota atau
teori tempat sentral (urban hierarchy model atau sentral place theory), dan model tanah
terdiferensiasi (differentiated plane model). Pada model yang pertama, menurut August Losch
dan Walter Christellar berbagai pabrik industri yang berbeda-beda memiliki radius karakteristik
yang di hasilkan oleh beberapa faktor yaitu : skala ekonomi yang dipakai, biaya tranportasi yang
rendah dan besarnya radius daerah. Sedangkan dalam model kedua dikemukakan oleh Weber,
Isard dan Moses menyatakan keterbatasan rute transportasi yang menghubungkan berbagai
industri dalam sebuah perekonomian memiliki peranan yang sangat penting. Model ini
meramalkan pemusatan sebuah kota saat rute transportasi yang ada terbatas, atau yang disebut
dengan internal nodes.

3. MASALAH YANG DITIMBULKAN KOTA RAKSASA


Pendekatan tanah terdiferensiasi menekankan pada terus berlangsungnya kejadian-kejadian
sejarah. Pada kasus ini pendekatan tersebut membantu menjelaskan di mana lokasi kota yang terlalu
besar dapat ditemukan pada negara berkembang dan menyarankan kebijakan desentralisasi pada
perkotaan yang dapat diterapkan untuk membantu penyelesaian masalah. Kadangkala, sebuah kota
inti tumbuh menjadi terlalu besar sehingga industri yang berlokasi di kota tersebut beroperasi dengan
biaya yang tidak lagi minimum. Di negara maju perkotaan inti lainnya seringkali berkembang dalam
daerah metropolitan yang luas yang menjadikan keseluruhan daerah tersebut dapat terus mendapat
keuntungan dari ekonomi aglomerasi dan sekaligus menurunkan sejumlah biaya atau kota-kota baru
dapat saja tumbuh pada daerah-daerah yang benar-benar berada di negara tersebut. Di negara-negara
berkembang pemerintah kurang terlibat dalam membagi aktivitas perekonomian ke ukuran yang lebih
memungkinkan untuk diatur dengan baik, atau walaupun mereka terlibat keterlibatan ini seringkali
tidak efektif. Sebagai contoh pemerintah mungkin bermaksud menyebarkan industri tanpa
mempertimbangkan sifat-sifat ekonomi aglomerasi, memberikan insentif bagi industri untuk
melakukan persebaran tetapi tanpa memperhatikan untuk mengelompokkan semua industri yang
relevan sebagaimana yang terjadi di kawasan industri Pakistan. Sebuah perbandingan yang lebih rinci
dari Amerika Utara dan Selatan akan membantu memperjelas. Kota yang paling besar di Amerika
Serikat yaitu kota metropolitan New York yang memiliki populasi 6% dari total populasi nasional.
Soronto daerah metropolitan terbesar di Kanada memiliki 4,3 juta penduduk yang merupakan 14
persen dari populasi keseluruhan secara nasional. Meksiko city menampung lebih dari seperlima
populasi nasional Meksiko, montevideo berpenduduk 2/5 populasi Uruguay masing-masing dipenuhi
penduduk yang berjumlah 35% dari populasi Argentina dan Chili sementara itu Brazil lebih
terdesentralisasi walaupun Sao Paulo ditempati lebih dari 11% dari populasi nasional.

3.1. BIAS TERHADAP IBUKOTA


Salah satu pandangan menyimpang yang seringkali menyebabkan permasalahan yang
cukup pelik dapat disebut bias terhadap ibukota atau first city bias. Artinya adalah kota terbesar
dari negara tersebut atau ibukota menerima investasi publik yang sangat besar dan mendorong
investasi swasta yang tidak proporsional dibandingkan dengan kota kedua atau kota-kota lainnya
yang lebih kecil dalam negara tersebut. Sebagai hasilnya, ibukota memiliki jumlah penduduk
yang sangat besar dan tingkat aktivitas perekonomian yang tidak efisien dan tidak proporsional.

3.2. PENYEBAB TIMBULNYA KOTA RAKSASA


Timbulnya kota besar kemungkinan berasal dari kombinasi sistem transportasi hub-and-
spoke dan penempatan ibukota secara politik di kota yang paling besar sehingga menggabungkan
dampak dari model hierarki kota dan dampak dari model tanah. Hal ini lalu didukung oleh budaya
politik dari pencarian sewa dan kegagalan pasar modal yang membuat pembentukan pusat-pusat
kota yang baru menjadi tugas yang tidak dapat dilakukan oleh pasar tersebut. Salah satu
pemikiran yang diajukan oleh Paul krugman menekankan bahwa dengan kondisi industri
substitusi impor dengan tingkat proteksi yang tinggi akan memicu perdagangan perdagangan
internasional yang menurun dan populasi dan aktivitas perekonomian memiliki kecenderungan
untuk berpusat di satu kota saja, sebagian besar dengan alasan untuk menghindari biaya
transportasi. Sehingga, perusahaan akan memilih untuk menjalankan operasi di kota yang
menjadi tempat hidup sebagian besar konsumennya yang kemudian menarik lebih banyak lagi
penduduk untuk datang ke daerah tersebut untuk mencari pekerjaan dan mungkin mendapatkan
harga yang lebih rendah(dimungkinkan karena hanya ada lebih sedikit biaya transportasi yang
harus ditanggung oleh pembeli) pemusatan ini pada gilirannya akan menarik lebih banyak lagi
perusahaan dan konsumen dalam sebuah lingkaran sebab akibat yang. Selain itu faktor ekonomi
politik pada akhirnya memiliki kontribusi yang penting dalam melahirkan ibukota raksasa atau
(capital city giantism). Adalah lebih menggantungkan bagi perusahaan untuk memilih lokasi di
mana mereka mendapatkan akses yang lebih muda terhadap aparat pemerintahan, misalnya untuk
mendapatkan pengistimewaan secara politis dari pihak yang berkuasa yang dapat digunakan
untuk mendapatkan harga khusus atau adanya suap hanya untuk dapat beroperasi. Masalah
ibukota raksasa ini juga dapat dilihat sebagai sebuah bentuk jebakan keterbelakangan yang dapat
saja dihindari secara keseluruhan melalui pemberlakuan kebijakan demokratis bersama dengan
keseimbangan iklim kompetisi untuk menggandakan ekspor maupun memenuhi konsumsi
dosmetik domestik. Jadi secara keseluruhan hal-hal yang menyebabkan timbulnya perkotaan
raksasa yaitu produksi untuk pasar domestik yang sarat dengan proteksi dan biaya transportasi
yang tinggi; sangat sedikitnya kota-kota yang lebih kecil yang memadai untuk menjadi lokasi
alternatif bagi perusahaan yang mencerminkan pola infrastruktur; lokasi ibukota di kota terbesar;
dan logika politis dari kediktatoran yang tidak stabil bersifat saling melengkapi dan membantu
menjelaskan beberapa keunggulan demokrasi dengan kebijakan ekonomi yang lebih seimbang
termasuk investasi yang lebih terencana di bidang infrastruktur.

4. SEKTOR INFORMAL DI PERKOTAAN


Keberadaan sektor informal yang umumnya tidak terorganisasi dan tertata secara khusus
melalui peraturan itu, resminya baru dikenal pada tahun 1970-an sesudah diadakannya serangkaian
observasi di beberapa negara berkembang yang jumlahnya besar tenaga kerja perkotaannya tidak
memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal. Di kota-kota itu, para tenaga kerja
pendatang baru yang sangat banyak tersebut harus menciptakan suatu lapangan kerja sendiri atau
bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga kecil-kecilan seperti itu sangat banyak
jenisnya dengan meningkatkan laju pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan di negara-negara
berkembang dan sehubungan dengan semakin terbatasnya daya saraf sektor formal terhadap total
angkatan kerja yang ada maka diperlukan langkah-langkah yang lebih serius dalam menangani
penerapan sektor informal dan meningkatkan fungsinya sebagai suatu kutub darurat terhadap masalah
ledakan angkatan kerja.sektor informal terus memainkan peran yang penting di negara berkembang
meskipun selama bertahun-tahun diabaikan atau justru dimusuhi titik di banyak negara berkembang
sekitar setengah dari penduduk perkotaan bekerja di sektor informal. Sektor informal pada umumnya
ditandai oleh beberapa karakteristik unik seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi
barang dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga
banyak menggunakan tenaga kerja atau padat karya, dan teknologi yang dipakai relatif sederhana.
Sektor ini cenderung beroperasi seperti halnya perusahaan memonopoli persaingannya dalam
menghadapi penurunan pemasukan, kelebihan kapasitas, dan mengendalikan persaingan laba yang
menurun terhadap rata-rata harga penawaran tenaga kerja potensial yang baru. Para pekerja yang
menciptakan sendiri lapangan kerjanya di sektor informal biasanya tidak memiliki pendidikan formal.
Pada umumnya, mereka tidak mempunyai keterampilan khusus dan sangat kekurangan modal kerja.
Oleh sebab itu, produktivitas dan pendapatan Mereka cenderung lebih rendah daripada kegiatan-
kegiatan bisnis yang ada di sektor formal. Selain itu, mereka yang berada di sektor informal tersebut
juga tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan fasilitas-fasilitas kesejahteraan seperti yang
dinikmati rekan-rekan mereka yang di sektor formal misalnya tunjangan keselamatan kerja dan dana
pensiun. umumnya mereka yang berada di sektor informal adalah pendatang baru dari daerah
pedesaan atau kota kecil yang gagal memperoleh tempat di sektor formal.

4.1. KEBIJAKAN UNTUK SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN


Ada beberapa argumen yang turut menggarisbawahi pentingnya promosi sektor informal.
Pertama, bukti yang ada menunjukkan bahwa sektor informal mampu menciptakan suplus, di
tengah-tengah lingkungan yang kurang bersahabat sekalipun menghalangi akses untuk
mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan yang bisa ditawarkan kepada sektor formal
seperti tersedianya fasilitas kredit, valuta asing, dan konsesi pajak. Jadi surplus yang dihasilkan
terbukti menjadi pendorong amat positif bagi pertumbuhan ekonomi perkotaan. Kedua sebagai
akibat dari rendahnya intensitas permodalan, sektor informal hanya memerlukan atau menyerap
sebagian kecil modal dari jumlah modal yang diperlukan oleh sektor formal untuk
memperkerjakan sejumlah tenaga kerja yang sama titik ini merupakan salah satu cara
penghematan yang cukup besar bagi negara-negara berkembang yang sering menghadapi
kesulitan atau kekurangan modal. Ketiga sektor informal juga mampu memberikan latihan kerja
dan magang dengan biaya yang sangat murah apabila, dibandingkan dengan biaya yang dituntut
oleh lembaga-lembaga dalam sektor formal, sehingga sektor informal dapat memainkan peran
yang penting dalam rangka formasi atau pembentukan dan pembinaan sumber daya manusia.
Keempat sektor informal menciptakan permintaan atas tenaga kerja semi terlatih dan kurang ahli
yang jumlahnya secara absolut maupun relatif terus meningkat dan tidak mungkin terserap oleh
sektor formal yang hanya mau menerima tenaga kerja terampil. Kelima sektor informal lebih
banyak dan lebih mudah menerapkan teknologi tepat guna serta memanfaatkan segenap sumber
daya lokal sehingga memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien. Keenam sektor
informal memainkan peran yang sangat penting dalam proses daur ulang limbah atau sampah di
sektor ini, segala macam barang yang sudah dibuang dapat dimanfaatkan kembali melalui dari
kaleng-kaleng bekas, kertas sisa, puntung rokok, dan sebagainya. Meskipun demikian promosi
sektor informal juga mengandung beberapa macam masalah atau kelemahan salah satu
diantaranya adalah tertumpu pada hubungan yang begitu erat antara migrasi desa kota dan
penyerapan tenaga kerja oleh sektor tersebut.

4.2. KAUM WANITA DALAM SEKTOR INFORMAL


Dari sejumlah kawasan di dunia ini, wanita banyak terlibat dalam arus migrasi desa kota.
Mayoritas penduduk di banyak perkotaan terdiri dari kaum wanita. Meskipun secara historis
perpindahan kaum wanita selalu dalam rangka mengiringi sang suami namun belakangan ini
semakin banyak wanita yang merantau sendiri ke kota-kota. Karena anggota-anggota keluarga
yang dikepalai oleh wanita biasanya hanya bisa bekerja di sektor informal dengan tingkat
produktivitas yang lebih rendah dan koma di lain pihak, harus menanggung beban ketergantungan
yang tinggi ( jumlah adik, anak, keponakan dan sebagainya yang harus ia tanggung nafkahnya
sehari-hari).
Meskipun sejumlah program penyediaan kredit khusus bagi kaum wanita terbukti sangat
berhasil, sampai sekarang sumber-sumber kredit yang tersedia bagi mereka masih sangat sedikit.
Hampir seluruh kredit yang ada disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi atau instansi di sektor
formal. Akibatnya, kaum wanita begitu sulit mendapatkan kredit meskipun dalam jumlah yang
sangat kecil. Sejauh ini, program-program yang dijalankan oleh pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan kelompok penduduk termiskin justru mengabaikan keluarga-keluarga yang paling
membutuhkannya sebagian besar kredit dari pemerintah tercurah ke sektor formal yang umumnya
didominasi oleh kaum pria dan alokasi sumber daya terpenting hanya dilakukan oleh lembaga
dari sektor formal. Legalisasi dan promosi ekonomis atau berbagai kegiatan di sektor informal di
mana sebagian besar kaum wanita di perkotaan bekerja, akan meningkatkan fleksibilitas finansial
kaum wanita dan sekaligus memacu tingkat produktivitas unit-unit usaha mikro yang mereka
kelola. Namun, agar mereka benar-benar dapat memanfaatkan kesempatan tersebut pemerintah
juga harus mengendurkan aneka peraturan yang membatasi hak kepemilikan oleh wanita yang
mengalami kendala dalam melakukan transaksi ekonomi serta berbagai macam kendala yang
selama ini sangat menyulitkan kaum wanita untuk mengikuti program-program pendidikan dan
pelatihan.

5. PENGANGGURAN DI PERKOTAAN
Salah satu konsekuensi pokok atas melonjaknya arus urbanisasi adalah meledaknya
jumlah pencari kerja baik di sektor modern atau formal maupun di sektor informal dalam
perekonomian perkotaan. Di banyak negara berkembang tingkat penawaran tenaga kerja tersebut
jauh melebihi tingkat permintaan yang ada sehingga mengakibatkan tingginya angka
pengangguran dan semi pengangguran di daerah perkotaan.
Jangkauan masalah pengangguran yang sebenarnya jauh lebih serius daripada yang
ditunjukkan oleh data-data yang ada sayangnya informasi yang dapat dipercaya mengenai tingkat
pengangguran di Afrika dan di beberapa kota paling padat di Asia yang kemungkinannya sangat
tinggi tidak tersedia. Kita memfokuskan pada kelompok penduduk berusia 15 sampai 24 tahun
atau yang mayoritas saat ini merupakan migran maka tingkat pengangguran ini akan melebihi
50% atau misalnya sebagaimana yang terjadi di Kolombia Ethiopia Indonesia Meksiko Aljazair
dan Panama selama dekade 1990-an. Karena migrasi desa kota merupakan faktor penyebab utama
atas tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan dan lonjakan pengangguran maka kita perlu
membahas topik tersebut secara mendalam.

6. MIGRASI DAN PEMBANGUNAN


Migrasi desa kota atau rural urban migration ternyata pernah dipandang sebagai suatu
hal yang positif dalam ilmu ekonomi pembangunan pada umumnya. Migrasi internal
(berlangsung dalam suatu negara) dianggap sebagai proses alamiah yang akan menyalurkan
surplus tenaga kerja di daerah-daerah pedesaan ke sektor industri modern di kota-kota yang daya
serapnya lebih tinggi. Proses ini dipandang positif secara sosial karena memungkinkan
berlangsungnya suatu pergeseran sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marginal
sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marginal sosialnya bukan hanya positif tetapi juga akan
terus meningkat sehubung dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi. Kenyataan-
kenyataan yang ada di berbagai negara-negara paling miskin pada masa-masa sekarang ini
memang sangat bertentangan dengan pandangan para ekonomi tradisional. Arus perpindahan
tenaga kerja dari daerah perdesaan ke kota-kota telah jauh melampaui tingkat penciptaan atau
penambahan lapangan kerja, sehingga migrasi yang saat ini berlangsung sedemikian deras telah
jauh melampaui daya serap sektor-sektor industri maupun jasa-jasa pelayanan sosial yang ada di
daerah-daerah perkotaan.
Di sisi lain migrasi memperburuk ketidakseimbangan struktur sosial antara desa dan kota
secara langsung dalam dua hal. Pertama, di sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan
akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan
pertumbuhan penduduk, yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan
jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Kedua, di samping permintaan, penciptaan
kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan
lapangan kerja di pedesaan karena kebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan
membutuhkan aneka input-input komplementer yang sangat banyak jumlahnya maupun jenisnya.
Di samping itu tekanan kenaikan upah di perkotaan dan tuntutan karyawan untuk mendapatkan
aneka tunjangan kesejahteraan serta tidak tersedianya teknologi produksi tepat guna yang telah
padat karya dan teknologi produksi yang canggih yang hemat tenaga kerja semakin banyak juga
membuat para produsen enggan menambah karyawan Karena sekarang peningkatan output sektor
modern tidak harus mencapai melalui peningkatan produktivitas atau jumlah pekerja. Dengan
demikian kita harus mengakui bahwa arus migrasi yang jauh melampaui kesempatan kerja yang
ada merupakan gejala dan salah satu penyebab utama keterbelakangan negara-negara dunia
ketiga. Proses migrasi itu sendiri pada gilirannya cenderung mempengaruhi atau bahkan
mengubah pola-pola kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun secara geografis; mengubah
pola distribusi pendapatan dan bahkan besar kecilnya tingkat pertumbuhan penduduk. Karena
semua kebijakan ekonomi pada hakikatnya selalu menimbulkan dampak langsung dan tidak
langsung terhadap tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan di daerah perkotaan serta pedesaan
maka kebijakan-kebijakan tersebut juga cenderung mempengaruhi sifat dan dasarnya arus
migrasi. Migrasi dari desa ke kota adalah yang paling penting karena jumlah penduduk yang
menempati daerah perkotaan terus bertambah meskipun tingkat fertilitas di kota jauh lebih rendah
daripada di desa dan perbedaan ini cukup mempengaruhi migrasi dari desa ke kota. Jenis migrasi
ini juga penting karena potensi manfaat pembangunan dari aktivitas perekonomian perkotaan
karena ekonomi aglomerasi dan faktor-faktor lainnya. Namun demikian migrasi dari kota ke desa
juga penting untuk dipahami karena hal ini biasanya terjadi ketika masa-masa sulit di
perekonomian berbarengan dengan kenaikan harga output dari tanaman perkebunan andalan
negara yang bersangkutan; contoh terbarunya adalah Gana.
Di samping itu perbedaan upah, umur, dan pendidikan migrasi sebagian juga disebabkan
oleh regulasi karena perkawinan emigrasi yang dilakukan lebih dahulu oleh anggota keluarga,
jarak dan biaya rekolasi, terjadinya kelaparan penyakit, kekerasan dan bencana yang lainnya, dan
kedudukan sosial relatif di komunitas asalnya di mana orang-orang yang berstatus sosial rendah
lebih cenderung berimigrasi

7. MENUJU TEORI EKONOMI TENTANG MIGRASI DESA KOTA


Karena perekonomian pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, sementara ekonomian di daerah
perkotaan memusatkan kegiatannya pada industrialisasi maka kemajuan perekonomian secara
keseluruhan di negara-negara maju tersebut karakteristik ikan oleh adanya proses relokasi yang
berlangsung secara bertahap dari sektor pertanian ke sektor industri melalui migrasi dari desa ke kota,
baik dalam skala internal atau domestik maupun dalam skala internasional. Urbanisasi dan industrialisasi
pada dasarnya adalah dua sisi mata uang yang sama. Dan kebijakan untuk menghadapi aneka masalah
yang ditimbulkan, harus dicari di tempat lain. Dalam sebuah teori baru mengenai migrasi dari desa ke
kota dalam rangka menjelaskan adanya suatu hubungan bersifat paradoks atau sekurang-kurangnya bagi
para pakar ekonomi antara lonjakan migrasi dari desa ke kota yang semakin cepat itu dengan terus
meningkatnya pengangguran di daerah perkotaan titik teori tersebut dalam kepustakaan ilmu ekonomi
pembangunan selanjutnya dikenal sebagai model migrasi todaro.

7.1. DESKRIPSI VERBAL TENTANG MODEL TODARO


Model ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya
merupakan suatu fenomena ekonomi titik oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi
juga merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja
pergi meskipun mereka tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah
perkotaan. Selanjutnya model todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu
berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan desa
titik namun pendapatan yang dipersoalkan di sini bukanlah penghasilan yang aktual melainkan
penghasilan yang diharapkan. Pada dasarnya, model todaro tersebut beranggapan bahwa segenap
angkatan kerja, baik yang aktual maupun potensional senantiasa membandingkan penghasilan
yang diharapkan selama kurun waktu tertentu di sektor perkotaan dengan rata-rata tingkat
penghasilan yang bisa diperoleh di pedesaan.
Dengan demikian migrasi dari desa ke kota bukanlah suatu proses positif yang
menyamakan tingkat upah di kota dan di desa seperti yang diungkapkan oleh model-model
kompetitif melainkan kekuatan yang menyeimbangkan jumlah pendapatan yang diharapkan di
pedesaan serta di perkotaan. Sebagai contoh, bila rata-rata pendapatan di pedesaan mencapai 60
unit dan di perkotaan mencapai 120 unit, maka gelombang migrasi tersebut terhenti apabila
pengangguran di perkotaan telah mencapai 50% dari angkatan kerja yang ada. Lama angka
pengangguran di bawah presentasi itu, dan selama masih ada kemungkinan untuk meraih
penghasilan lebih tinggi maka selama itu pula proses migrasi akan berjalan terus meskipun
tingkat pengangguran di perkotaan sudah cukup besar. Dari contoh dengan angka di atas jelas
bahwa migrasi akan terus berlangsung meskipun tingkat pengangguran di daerah perkotaan telah
mencapai 30 hingga 40%.

7.2. SEBUAH PENYAJIAN DIAGRAMATIS


Proses pencapaian titik ekuilibrium pengangguran atau yang akan tercapai setelah tingkat
pendapatan yang diharapkan di kota sama dengan tingkat pendapatan aktual di desa yang akan
menghentikan arus migrasi (bukannya keseimbangan tingkat upah di desa dan kota seperti
dikemukakan model pasar bebas) tersebut bisa dijelaskan pula secara diakromatis menurut model
dasar Harris todaro. Diagram ini mengasumsikan bahwa dalam suatu perekonomian hanya ada
dua sektor; yakni sektor pertanian di pedesaan dan sektor industri di perkotaan. Tingkat
permintaan tenaga kerja atau kurva produk marginal tenaga kerja. Kita sering mengamati bahwa
para migran yang berasal dari kawasan perdesaan yang sama cenderung untuk menempati kota
yang sama bahkan dalam lingkungan yang sama, yang cukup jauh dari daerah asal para migran
tersebut. Dalam model yang diajukan oleh John karton tara visawanath migran yang terdahulu
menciptakan eksternalitas positif untuk para migran potensial yang datang kemudian dari daerah
asalnya dengan menurunkan biaya perpindahan melalui bantuan tempat tinggal, dan juga dengan
mengurangi kemungkinan menganggur dengan memberi mereka pekerjaan.
Model Todaro dan Aris Todaro relevan dengan negara-negara berkembang bahkan
apabila upah yang berlaku tidak ditetapkan oleh kekuatan-kekuatan institusional seperti peraturan
upah minimum. Jadi singkatnya model migrasi dari Todaro memiliki empat pemikiran dasar
sebagai berikut:
1. Migrasi desa kota dirangsang, terutama sekali, oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang
rasional dan langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif
migrasi itu sendiri (sebagai besar terwujud dalam satuan moneter namun ada pula yang
terwujud dalam bentuk-bentuk atau ukuran lain misalnya saja ke puasan psikologis.
2. Keputusan untuk berimigrasi tergantung pada selisih antara tingkat pendapatan yang
diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di (pendapatan yang diharapkan adalah
sejumlah pendapatan yang secara rasional bisa diharapkan akan tercapai di masa-masa
mendatang). Besar kecilnya selisih pendapatan itu sendiri ditentukan oleh dua variabel pokok
yaitu selisih upatual di kota dan di desa serta besar atau kecilnya kemungkinan mendapatkan
pekerjaan di perkotaan yang menawarkan tingkat pendapatan sesuai dengan yang diharapkan.
3. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung dengan tingkat
lapangan pekerjaan di perkotaan sehingga berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran
di perkotaan.
4. Laju migrasi desa kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi laju pertumbuhan
kesempatan kerja. Kenyataan ini memiliki landasan irasional; karena adanya perbedaan
ekspektasi pendapatan yang sangat lebar, yakni para migran pergi ke kota untuk meraih
tingkat upah lebih tinggi yang nyata (memang tersedia). Dengan demikian, lonjakan
pengangguran di perkotaan merupakan akibat yang tidak terhindarkan dari adanya
ketidakseimbangan kesempatan ekonomi yang sangat parah antara daerah perkotaan dan
daerah pedesaan (berupa kesenjangan tingkat upah tadi) dan ketimpangan-ketimpangan
seperti itu amat mudah ditemui di kebanyakan negara-negara dunia ketiga.
a. Lima implikasi kebijakan
Pertama, ketimpangan kesempatan kerja antara kota dan desa harus dikurangi
titik karena para migran diasumsikan tanggap terhadap adanya selisih-selisih pendapatan,
maka ketimpangan kesempatan ekonomi antara segenap sektor perkotaan dan perdesaan
harus dikurangi. Jika tingkat upah di daerah perkotaan dibiarkan meningkat lebih cepat
daripada rata-rata pendapatan di daerah perdesaan maka hal itu akan merangsang
terjadinya dan berlanjutnya arus migrasi meskipun tingkat pengangguran di kota juga
semakin meningkat.
Kedua pemecahan masalah pengangguran tidak cukup hanya dengan
menciptakan lapangan kerja di kota. Pemecahan masalah pengangguran di perkotaan
yang dilakukan menurut saran-saran ilmu ekonomi keynesian atau tradisional yaitu
melalui penciptaan lebih banyak lapangan kerja di sektor modern perkotaan tanpa harus
meningkatkan penghasilan dan kesempatan kerja di pedesaan dalam waktu bersamaan.
Dengan demikian, kebijakan yang dirancang untuk mengurangi pengangguran di daerah
perkotaan yang tidak memperhitungkan kenyataan ini mungkin bukan hanya untuk
menimbulkan pengangguran lebih banyak lagi, tetapi juga mengakibatkan kemerosotan
tingkat output pertanian dan stagnasi perekonomian desa. Hal ini lebih tepatnya disebut
dengan dorongan migrasi.
Ketiga pembangunan pendidikan yang berlebihan dapat mengakibatkan migrasi
dan pengangguran titik model todaro juga memiliki implikasi kebijakan yang penting
untuk mencegah investasi di bidang pendidikan yang berlebihan terutama pendidikan
tinggi. Banyaknya orang desa yang berimigrasi ke kota sehingga melampaui tingkat
penciptaan lapangan kerja baru akan memperberat seleksi penerimaan pegawai baru.
Akibatnya ada kecenderungan untuk memilih pekerjaan berdasarkan lamaran ijazah yang
mereka miliki. Sehingga pihak perusahaan akan menerima pegawai yang memiliki
tingkat pendidikan yang lebih baik meskipun pendidikan yang lebih baik tersebut tidak
menjadi jaminan untuk mendapatkan hasil pekerjaan yang lebih baik.dari sudut pandang
kebijakan pendidikan, bahwa dengan semakin langkanya kesempatan kerja untuk
mendapatkan pekerjaan karena banyaknya pelamar, maka para pelamar akan terdorong
untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi lagi titik permintaan setiap
orang terhadap penyelenggara pendidikan, yang dalam banyak hal mengakibatkan oleh
adanya permintaan untuk mendapatkan pekerjaan di perkotaan akan terus-menerus
menaikkan pemerintah untuk melakukan investasi di bidang pendidikan pada tingkat di
atas sekolah dasar.
Keempat, pemberian subsidi upah dan penentuan harga faktor produksi
tradisional atau tenaga kerja justru menurunkan produktivitas. Salah satu resep kebijakan
ekonomi yang baku untuk menciptakan kesempatan kerja di perkotaan adalah
menghilangkan distorsi harga faktor produksi dengan menggunakan harga yang
sebenarnya. Distorsi harga itu sendiri terwujud karena adanya subsidi upah dan
penentuan harga faktor produksi. Kak upah ditetapkan terlalu tinggi sehingga melampaui
upah pasar atau upah yang sebenarnya maka para produsen akan mengalihkan metode
produksinya dari teknologi padat karya ke teknologi padat modal. Sebagai akibatnya
penciptaan lapangan kerja akan menyusut dan angka pengangguran pun melonjak. Selain
itu, penetapan tingkat upah yang begitu tinggi dengan sendirinya akan memancing tenaga
kerja di daerah pedesaan untuk berimigrasi ke kota. Namun, dampak dari kebijakan
subsidi upah terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kota dan desa secara keseluruhan
tidak begitu jelas.
Untuk mengatasi masalah pengangguran di daerah perkotaan pemerintah harus
merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan pembangunan pedesaan. Model
todaro ini hanya menggarisbawahi betapa pentingnya suatu paket kebijakan yang akan
memperbaiki jalannya sejarah dengan cara mencegah terciptanya ketidakseimbangan
antara kesempatan ekonomi yang terdapat di daerah perkotaan dan perdesaan.

5. Rangkuman dan kesimpulan: pembentukan strategi yang komprehensif bagi penanggulangan


masalah migrasi dan kesempatan kerja
Adapun strategi komprehensif tersebut paling tidak mengandung tujuh elemen utama yakni:
1. Penciptaan keseimbangan ekonomi yang memadai antara desa dan kota. Keseimbangan
kesempatan ekonomi yang lebih layak antara desa dan kota merupakan suatu unsur
penting yang tidak dapat dipisahkan dalam strategi menanggulangi masalah-masalah
pengangguran di desa-desa maupun di kota-kota di berbagai negara berkembang serta
untuk mengurangi migrasi desa ke kota. Titik utama dari usaha tersebut harus diletakkan
pada pembangunan sektor perdesaan, perluasan industri kecil ke seluruh negeri dan
peninjauan kembali orientasi kegiatan ekonomi serta investasi sosial yang ditujukan bagi
daerah-daerah pedesaan, yang seharusnya ini harus dilaksanakan secara integratif atau
terpadu.
2. Perluasan industri-industri kecil yang padat karya. Komposisi atau bauran output sangat
mempengaruhi jangkauan (dan dalam banyak hal, termasuk juga lokasi) kesempatan
kerja karena beberapa produk atau barang-barang konsumsi pokok membutuhkan lebih
banyak tenaga kerja bagi setiap unit output dan setiap unit modal daripada produk atau
barang-barang lainnya. Perluasan sebagian besar industri kecil yang padat karya ini, baik
di daerah perkotaan maupun di pedesaan, dapat diselenggarakan dengan dua cara yaitu:
secara langsung melalui investasi dan penyediaan insentif oleh pihak pemerintah
terutama bagi kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor informal di perkotaan. , Dan secara
tidak langsung melalui redistribusi pendapatan (yang sudah ada maupun yang berasal dari
pertumbuhan ekonomi yang akan datang).
3. Penghapusan distorsi harga faktor-faktor produksi. Kita memiliki cukup banyak bukti
yang dapat menunjukkan bahwa upaya-upaya penghilangan distorsi harga faktor produksi
terutama melalui penghapusan berbagai subsidi modal dan mengurangi pertumbuhan
tingkat upah perkotaan di atas harga pasar, akan mampu meningkatkan kesempatan kerja
dan memperbaiki penggunaan sumber daya modal langka yang tersedia titik akan tetapi,
bagaimana dan seberapa cepat kebijakan ini harus ditetapkan agar berhasil tidaklah
begitu jelas. Lebih jauh lagi, implikasinya terhadap arus migrasi diketahui secara pasti.
Jelasnya kebijakan koreksi harga saja tidak akan cukup untuk mengubah secara mendasar
situasi lapangan kerja saat ini.
4. Pemilihan teknologi produksi padat karya yang tepat. Salah satu faktor utama yang
menghambat keberhasilan setiap program penciptaan kesempatan kerja dalam jangka
panjang baik pada sektor industri di perkotaan maupun pada sektor pertanian di pedesaan,
adalah terlalu besarnya ketergantungan teknologi dari negara-negara berkembang
terhadap mesin-mesin dan aneka peralatan canggih yang diimpor dari negara-negara
maju. Semua negara-negara berkembang harus melepas ketergantungan dan mengalihkan
perhatiannya untuk mencari teknologi produksi yang tepat guna sesuai dengan kondisi
dasar perekonomiannya sendiri. Usaha tersebut juga harus dikaitkan dengan program
pengembangan perusahaan-perusahaan kecil yang serba padat karya baik di desa maupun
di kota titik mereka perlu memusatkan perhatiannya pada upaya pengembangan metode-
metode yang murah dan padat karya dalam memenuhi kebutuhan daerah pedesaan akan
prasarana seperti jalan sistem pengairan irigasi dan pelayanan kesehatan pendidikan dan
lain sebagainya.
5. Pengubahan keterkaitan langsung antara pendidikan dan kesempatan kerja. Munculnya
fenomena pengangguran pendidikan di banyak negara merupakan mengundang berbagai
pertanyaan tentang kelayakan pengembangan pendidikan secara besar-besaran yang
terkadang kelewatan berlebihan. Pendidikan formal kini telah menjadi alat untuk
menyeleksi calon pekerja karena pekerjaan di sektor modern berkembang lebih lambat
daripada jumlah orang yang menyelesaikan pendidikan, maka diperlukannya
perpanjangan masa penyelesaian studi dan seleksi yang lebih ketat terhadap para
lulusannya.
6. Pengurangan laju pertumbuhan penduduk melalui upaya pengetasan kemiskinan absolut
dan perbaikan distribusi pendapatan, terutama bagi kaum wanita yang disertai dengan
penggalangan program-program keluarga berencana dan penyediaan pelayanan kesehatan
di daerah-daerah perdesaan. Sudah jelas bahwa setiap upaya pemecahan jangka panjang
atas berbagai masalah ketenagakerjaan dan urbanisasi di negara-negara dunia ketiga
harus melibatkan upaya pengendalian pertumbuhan penduduk meskipun besarnya
angkatan kerja selama 2 dekade pendatang sudah bisa diperkirakan atas dasar tingkat
kelahiran saat ini namun lonjakan mendadak pertumbuhan penduduk di setiap saat bisa
terjadi dan hal ini pasti akan melipatgandakan angkatan kerja.
7. Mendesentralisasikan kewenangan ke kota dan daerah-daerah sekitarnya titik pengalaman
menunjukkan bahwa desentralisasi kekuasaan ke kabupaten-kabupaten merupakan
langkah penting dalam perbaikan kebijakan perkotaan dan peningkatan kualitas
pelayanan publik. Kondisi kota besar sangat berbeda dengan kota kecil demikian pula
kondisi antara kawasan yang berbeda di dalam suatu negara dalam kebijakan harus
dirancang untuk merefleksikan perbedaan-perbedaan ini. Para pejabat pemerintah
setempat mempunyai informasi yang lebih banyak mengenai kondisi daerah setempat
yang selalu berubah; dan jika para pejabat daerah diberi tanggung jawab terhadap kinerja
keuangan daerahnya, dan mengetahui bahwa mereka harus bertanggung jawab kepada
para penerima layanan publiknya, mereka juga harus mempunyai insentif yang lebih
besar untuk melaksanakan tanggung jawab secara efektif. Desentralisasi, dengan
peningkatan kewenangan ke berbagai kota dan kawasan, telah menjadi trend
internasional yang utama dalam organisasi pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai