NIM : 160810101165
Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
1. Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat
dan menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan
konsentris (concentric development).
2. Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan
penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan
perkembangan fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).
3. Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai
perkembangan yang meloncat (leap frog/checher board development).
Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga
dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau
ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :
1. Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan
mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan
demikian polanya akan berbentuk bintang atau star shape.
2. Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan
akhirnya menggabung pada kota yang lebih besar.
3. Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau
disebut dengan konurbasi.
Sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994),
mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan
enam pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
berdasarkan pada kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal kota
yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model bentuk
kota, yaitu sebagai berikut :
a. Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang
ada dengan kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa, sehingga
pertalian fungsional lebih efektif dan lebih efisien.
b. Bentuk stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan
kotanya didominasi oleh ribbon development.
c. Bentuk cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan
utama yang melingkar.
d. Bentuk linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di
sepanjang jalan utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan
untuk berkembang ke arah samping tanpa kendala fisikal.
e. Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya
didominasi oleh perkembangan vertikal.
f. Bentuk memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan
kompak dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat
mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.
Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, tentang pola-pola
perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak persamaan. Namun secara
umum pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat,
perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan jalan dan perkembangan meloncat
membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.
Diketahui bahwa harga tanah semakin tinggi semakin dekat dengan pusat
kota, namun tidak semua perusahaan mengalami kenaikan profit yang signifikan
jika berlokasi lebih dekat dengan pusat kota. Industri jasa dan retail kelas atas
(boutique) akan mengalami kenaikan profit yang lebih tinggi semakin dekat
dengan pusat pasar. Hal ini disebabkan oleh exposurenya yang lebih tinggi
terhadap pelanggan dan central business district yang tergolong lebih aktif dan
affluent, sehingga potensi adanya pembeli semakin tinggi. Dapat dilihat pada
gambar bahwa garis bid-rent retail cukup terjal, hal ini terjadi karena distance
decay yang dialaminya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor utama yang
mempengaruhi usaha retail adalah aksesibilitas terhadap konsumen, biaya
transportasi yang harus dikeluarkan konsumen, serta brand-image yang baik jika
berlokasi di pusat kota. Semakin jauh dari pusat kota, unsur-unsur ini menurun
dengan drastis sehingga garis bid rent yang ada cukup terjal.
Industri manufaktur cenderung tidak perlu berlokasi terlalu dekat dengan
pusat pasar karena yang dibutuhkan adalah pekerja yang murah dan lahan yang
cukup luas, namun industri juga perlu lokasi yang relative dekat dengan pasar
untuk mengurangi biaya transportasi. Oleh karena itu, dalam model bid-rent,
industri umumnya berlokasi pada bagian tengah kota, setelah retail dan sebelum
residensial atau agrikultur. Agrikultur cenderung memiliki bid-rent yang rendah
karena profit yang dihasilkan berbanding dengan jumlah lahan yang digunakan
tidak seberapa jika dibandingkan dengan industri ataupun retail. Oleh karena itu,
lebih menguntungkan bagi agrikultur untuk berlokasi di pinggiran perkotaan
yang mana harga tanahnya masih sangat murah dan masih tersisa banyak tanah
kosong. Distance decay yang dialami oleh agrikultur hanya dipengaruhi oleh
transportasi, sehingga dapat dilihat bahwa grafiknya cukup landai.
b. Model bid rent Perumahan
Terdapat pula model bid rent yang mana aksesibilitas ke dalam pusat
kota menjadi sangat penting, lebih penting daripada luas dan harga tanah yang
lebih murah dari daerah suburban. Pada kota seperti ini, penduduk yang memiliki
pendapatan tinggi akan cenderung langsung menempati area disekitar CBD,
diikuti oleh kelas menengah, dan kelas bawah. Pada pinggiran kota, terdapat pula
golongan kelas atas yang sudah tidak bekerja, mereka tidak lagi butuh
transportasi yang cepat ke lokasi kerja, sehingga dapat menikmati hidup dan
rumah yang besar di pinggir kota. Kota yang direpresentasikan model seperti ini
umumnya adalah kota yang memiliki kemacetan sangat tinggi seperti Bangkok
dan Manila.
d. Faktor Lingkungan
Kota Duosentris
Kota dengan struktur ruang polisentris/duosentris merupakan suatu kota dimana
terdapat tidak hanya satu atau dua pusat tetapi ada banyak sub pusat (pusat-pusat
kecil) pelayanan kota. Pusat-pusat tersebut tidak dapat berfungsi sebagai CBD bagi
daerah di sekitarnya. Pada suatu kota yang benarbenar menerapkan konsep
polisentris, fungsi perkantoran dan komersial tersebar secara luas pada sub-sub
pusat dan pergerakan masyarakat juga terdistribusikan atau tersebar di seluruh area
perkotaan. Dengan demikian, pergerakan masyarakat tidak dilakukan dalam jarak
dekat.
Adapun beberapa ciri kota dengan struktur ruang polisentris antara lain (Bertaud,
2002):
a. Kota polisentris cenderung memiliki nilai lahan yang lebih murah sehingga
cenderung meningkatkan konsumsi akan lahan (pembangunan secara
horisontal).
b. Untuk alasan yang sama dengan poin di atas, pengelola bisnis kecil akan
menemukan lahan di mana saja dengan mudah sehingga akan membentuk suatu
guna lahan yang tersebar.
c. Karena pergerakan dilakukan dengan jarak yang jauh dalam suatu kota, maka
tingkat polusi udara yang dihasilkan juga semakin tinggi dan semakin merusak
lingkungan.
Untuk lebih memperjelas bentuk pergerakan yang mungkin terjadi pada kota
polisentris, dapat dilihat pada gambar berikut dimana pada gambar kiri adalah
polisentris yang organized dan gambar kanan adalah polisentris yang disorganized.
seperti ini sangat sulit terwujud (hanya di kota-kota besar) karena lingkungan di
Indonesia banyak yang merupakan daerah pegunungan, berlembah, memiliki
sungai besar dan daerah yang terpisah laut.
f. Teori Poros
Teori tentang struktur ruang kota yang keenam adalah teori poros yakni
teori yang dikemukakan oleh Babcock pada tahun 1932. Teori ini menekankan
bahwa jalur tranportasi dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
struktur ruang kota.
g. Teori Historis