1. Identifikasi jalur-jalur transsportasi yang mati di daerah daop 9!
Daerah Operasi IX Jember atau disingkat dengan Daop IX JR atau Daop 9 Jember adalah salah satu daerah operasi perkeretaapian Indonesia di bawah lingkungan PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang berada di bawah Direksi PT Kereta Api Indonesia; dipimpin oleh seorang Executive Vice President (EVP) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direksi PT Kereta Api Indonesia. Daop IX merupakan wilayah kerja PT KAI yang berada di ujung timur Pulau Jawa dan berpusat di Jember. Kantornya terletak di Jalan Dahlia 2, dekat dengan Stasiun Jember. Stasiun besar di wilayah Daop IX adalah Stasiun Jember, Stasiun Pasuruan, Stasiun Probolinggo, dan Stasiun Banyuwangi Baru. Terdapat satu dipo lokomotif, yakni Dipo Lokomotif Jember, serta dua subdipo lokomotif, yakni Subdipo Probolinggo dan Banyuwangi Baru. Subdipo Probolinggo kadang-kadang melayani lokomotif kereta api Probowangi, sementara Subdipo Banyuwangi melayani lokomotif-lokomotif milik dipo lain atau milik Dipo Jember sendiri pasca dinas dengan kereta-kereta api yang dioperasikan Daop IX ini. a. Jalur kereta api Kalisat – Banyuwangi Jalur kereta api Kalisat–Banyuwangi adalah jalur kereta api utama di Indonesia yang termasuk dalam Daerah Operasi IX Jember. Jalur ini terletak di Kabupaten Jember hingga Kabupaten Banyuwangi. Setiap harinya kereta api yang melintasi jalur ini tergolong frekuensi tidak padat (total ±16 kereta api yang melintas), yaitu Mutiara Timur, Sri Tanjung, Tawang Alun, Probowangi, dan Pandanwangi. Ditambah, kereta angkutan Semen Tiga Roda jurusan Nambo-Banyuwangi, p.p. yang beroperasi tidak setiap hari. Boleh dibilang, jalur ini adalah ciri khas wilayah timur Daop IX yang bertipikal pegunungan dan dataran tinggi. Belum lagi pada petak Kalisat-Ledokombo terdapat puluhan bukit yang ada di tepian rel. Semakin ke timur, mulai dari Kalibaru ruang jarak (spasial) antara jalur rel dan permukiman amatlah sempit, tetapi lanskap sepanjang jalur ini hingga titik minus (Banyuwangi Baru) bisa dikatakan sebagai pemandangan khas jalur timur Daop IX. Di utara Stasiun Banyuwangi Baru terdapat petak balon (balloon loop) yang menggantikan pemutar rel di jalur ujung lain. rute balon ini disebut demikian karena bentuknya yang seperti balon. Rute ini berawal dari Stasiun Banyuwangi Baru masuk kembali ke jalan raya melintasi pabrik-pabrik seperti Pusri, Pelabuhan Meneng, dan Jakarta Lloyd. Namun, rute balon tersebut kini sudah tidak dipergunakan karena pabrik- pabrik tersebut mengganti moda transportasi barang-barangnya. Kini rute balon tersebut diperkecil dan terletak di selatan jalan kecil yang menghubungkan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Lingkar Ketapang. Pada tahun 1985, jalur kereta api baru telah selesai dibangun oleh PJKA dari Stasiun Kabat menuju Stasiun Banyuwangi Baru yang mengakibatkan segmen ke Banyuwangi resmi dinonaktifkan. Segmen ke Banyuwangi resmi ditutup pada 31 Maret 1988. Sejak dekade 90-an, jalur ini sudah tidak dioperasikan lagi karena digantikan oleh jalur baru dari Stasiun Kabat menuju Stasiun Banyuwangi Baru yang memiliki akses cukup dekat menuju Pelabuhan Ketapang. Keadaan di jalur rel ini berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain. Stasiun Kabat sudah tidak difungsikan dan yang bisa dilihat adalah bangunan tanpa atap yang dijalari rumput liar. Stasiun Banyuwangi juga sudah tidak difungsikan dan kini menjadi kompleks pertokoan, tetapi arsitektur asli dari stasiun ini masih dijaga. Jalur yang melewati Desa Kedayunan masih ada meskipun hanya besi rel nya saja dan bantalannya telah hilang. Di Perumahan Kalirejo Permai besi-besi rel ini sudah dilepas untuk dijual, bahkan ada beberapa rumah yang memiliki pagar dari bekas rel kereta api. Perlintasan kereta di Jalan S. Parman kini telah dibangun pos polisi di atasnya. Jalan Kepiting di Kelurahan Sobo adalah jalan raya baru yang dibangun sesaat setelah rel sudah tidak difungsikan, di sisi kanan dan kiri Jalan Kepiting terdapat besi tiang berkarat yang dulunya mungkin berwarna biru-putih, tanda sebuah rel kereta pernah ada disana. Perkampungan warga dan komplek pertokoan dibangun di atas rel yang telah mati ini dari Kertosari hingga Karangrejo. Beberapa palang perlintasan manual juga masih ada, seperti yang terdapat di rel yang melintasi Jalan Ikan Sadar, Karangrejo. Beberapa bekas gedung atau pabrik industri juga terdapat di lokasi-lokasi dekat jalur rel menandakan bahwa dulu terdapat kegiatan industri yang memanfaatkan kereta api. Beberapa pabrik yang terkenal adalah pabrik bernama Naga Bulan, sebuah perusahaan pengolahan minyak kopra. Dan sisa-sisa dari jalur rel ini masih bisa ditelusuri sampai ke Pantai Boom, tetapi turntable yang dulu ada di ujung jalur ini sudah hilang. Pendirian bangunan permanen di atas jalur mati Kabat-Banyuwangi menyalahi aturan PT Kereta Api Indonesia yang menyatakan bahwa aset lahan milik KAI adalah milik negara dan tidak bisa dimiliki oleh warga. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Kepala Bagian PT KAI Daerah Operasi IX Jember, Gatut Setyatmoko. Hal ini menyebabkan bangunan permanen tersebut harus siap sewaktu-waktu ditertibkan tanpa pemberian ganti rugi. b. Jalur kereta api Kalisat – Panarukan Jalur kereta api Kalisat–Panarukan merupakan jalur kereta api nonaktif yang menghubungkan Stasiun Kalisat dan Stasiun Panarukan, Situbondo, termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember. Saat itu perusahaaan kereta api negara atau Staatsspoorwegen mulai berencana membangun rel kereta api dari Probolinggo ke Jember dan diteruskan hingga Panarukan melewati Bondowoso. Pada bulan Juli 1895, rel yang membentang dari Probolinggo ke Klakah sepanjang 34 Km selesai dibangun. Disusul kemudian pembangunan rel sepanjang 36 Km dari Klakah ke Pasirian yang rampung pengerjaannya pada tanggal 16 Mei 1896. Setelah itu pada perkembangannya pada bulan Juni 1897, pembangunan rel kereta api dari Klakah ke Jember sepanjang 62 Km juga selesai. Sedangkan sisanya yaitu pembangunan rel kereta api sepanjang 89 Km dari Jember-Kalisat-Bondowoso- Panarukan melewati Soemberkolak, Sitobundo selesai dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Oktober 1897. Jalur yang panjangnya 89 km ini melayani kereta lokal angkutan penumpang Panarukan-Jember. Kereta ini terakhir melintas jalur ini pada awal tahun 2004. Namun jalur ini ditutup pada pertengahan 2004 karena sepinya kereta api yang lewat serta kalah bersaing dengan moda transportasi lain. c. Jalur kereta api Rogojampi – Benculuk Pembangunan jalur kereta Api Benculuk - Srono mulai dikerjakan pada bulan Juni 1921. Jalur ini resmi dibuka pada tanggal 26 Oktober 1921 oleh Staatsspoorwegen Oosterlijnen dan Berada di bawah pengelolaan Daerah Operasi IX Jember. Jalur KA ini hingga di Halte Srono dan diperpanjang lagi pada tahun 1922 sampai rogojampi, Pembangunan Rel KA. Srono - Benculuk - Ragadjampi selesai dan mulai siap dioperasikan pada Tanggal 1 November 1922. Dengan total Biaya konstruksi sejumlah f 863.900. Jalur Kereta Api Rogojambi-Srono-Benculuk (18 KM) Mulai tidak beroperasi antara tahun 1976. Jalur Kereta api ini melayani angkutan kereta api ringan di sepanjang Jalan Raya Benculuk-Srono-Rogojampi. Namun jalur ini akhirnya ditutup pada tahun 1976 karena prasarana yang sudah tua. Selain itu, persaingan dengan mobil pribadi dan angkutan umum membuat jalur ini minim okupansi. Jalur kereta api mulai tidak beroperasi sekitar tahun 1975an. Kala itu stasiun benculuk sangat ramai penumpang dan banyak penjual asongan yang beseliweran di Kerta api,Karena prasarana yang sudah tua dan persaingan angkutan umum mulai marak sekitar tahun 1975an jalur ini di tutup. d. Jalur kereta api Probolinggo-Paiton Jalur kereta api Probolinggo–Paiton adalah jalur kereta api nonaktif yang menghubungkan Stasiun Probolinggo dengan Stasiun Paiton dengan panjang lintasan 36 Km. Jalur ini dibangun dari tahun 1897-1912 oleh perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda, yaitu PbSM (Probolinggo Stoomtram Maatschappij). Perusahaan tersebut mendapat izin untuk membangun jalur kereta api di wilayah Probolinggo dan Kraksaan yang saat itu masih berupa wilayah kabupaten berbeda. Pusat operasional jalur ini berada di Jati. Latar belakang pemberian izin pembangunan seiring dengan kebutuhan transportasi cepat bagi penumpang dan barang, terutama gula. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pabrik gula di wilayah tersebutRailbed di jalur ini hampir sepenuhnya selalu bersisian dengan jalan raya. Sisa-sisa sarana perkeretaapian di jalur ini masih dapat di jumpai walaupun sebenarnya jalur ini sudah ditutup cukup lama pada tahun 1960an. Sedangkan di beberapa lokasi, bekas railbednya hingga saat ini digunakan untuk angkutan tebu oleh beberapa pabrik gula dengan cara menyempitkan lebar relnya (regauge) yang semula lebar relnya 1067 mm. Jalur ini ditutup sementara oleh PJKA sekitar tahun 1960 karena persaingan dengan alat transportasi yang lebih modern. Bekas rel dan beberapa stasiun masih dapat dijumpai di sepanjang jalan raya Probolinggo-Paiton. Sebagian aset yang berhubungan masih dikuasai oleh PT Kereta Api Indonesia. e. Jalur kereta api Klakah-Lumajang Jalur kereta api Klakah–Lumajang–Pasirian merupakan jalur kereta api non- aktif yang menghubungkan Stasiun Klakah dengan Stasiun Lumajang. Jalur ini ditutup semenjak 1 Februari 1988, bersamaan dengan penutupan jalur kereta api Lumajang- Pasirian. Jalur KA Klakah-Lumajang mulai digunakan tanggal 16 Mei 1896 sebagai bagian dari jalur Klakah - Pasirian, yang merupakan kelanjutan jalur Probolinggo– Klakah yang telah dibuka setahun sebelumnya. Di Stasiun Lumajang, jalur sepanjang 17 km ini bercabang dua. Ke arah Pasirian dan ke arah Balung. Terus ke timur, jalur yang akhir ini tersambung ke Stasiun Rambipuji dan selanjutnya ke Jember. Jalur kereta api antara Balung–Rambipuji ini juga telah lama ditutup; namun ruas Rambipuji– Jember hingga saat ini masih melayani angkutan penumpang dan barang antara Banyuwangi dan Surabaya; begitu pun ruas Klakah–Probolinggo. Jalur kereta api ini pada masa lalu merupakan jalur yang cukup sibuk, dengan Stasiun Lumajang—yang terbesar di jalur ini—melayani hampir 300.000 penumpang per tahun dan barang hingga 23 ribu ton lebih di antara tahun 1950-1953. kemungkinan karena okupansi penumpang yang menurun dan prasarananya yang telah banyak mengalami kerusakan. Jalur kereta api ini sekarang termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember. Alasan mengapa jalur kereta tidak beroperasi lagi, Karena kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum, semua jalur di wilayah Lumajang sampai Balung–Rambipuji beserta stasiun dan seluruh layanan di jalur ini ditutup semenjak 1 Februari 1988. Asetnya masih dikuasai oleh PT Kereta Api Indonesia dan tidak ada reaktivasi. f. Jalur kereta api Lumajang-Pasirian Jalur kereta api Klakah–Lumajang–Pasirian merupakan jalur kereta api non- aktif yang menghubungkan Stasiun Klakah dengan Stasiun Lumajang. Jalur KA Klakah-Lumajang mulai digunakan tanggal 16 Mei 1896 sebagai bagian dari jalur Klakah - Pasirian, yang merupakan kelanjutan jalur Probolinggo–Klakah yang telah dibuka setahun sebelumnya. Di Stasiun Lumajang, jalur sepanjang 17 km ini bercabang dua. Ke arah Pasirian dan ke arah Balung. Terus ke timur, jalur yang akhir ini tersambung ke Stasiun Rambipuji dan selanjutnya ke Jember. Jalur kereta api antara Balung–Rambipuji ini juga telah lama ditutup; namun ruas Rambipuji–Jember hingga saat ini masih melayani angkutan penumpang dan barang antara Banyuwangi dan Surabaya; begitu pun ruas Klakah–Probolinggo. Jalur kereta api ini pada masa lalu merupakan jalur yang cukup sibuk, dengan Stasiun Lumajang—yang terbesar di jalur ini—melayani hampir 300.000 penumpang per tahun dan barang hingga 23 ribu ton lebih di antara tahun 1950-1953. Jalur ini ditutup semenjak 1 Februari 1988, bersamaan dengan penutupan jalur kereta api Lumajang-Pasirian. Karena kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum, semua jalur di wilayah Lumajang sampai Balung– Rambipuji beserta stasiun dan seluruh layanan di jalur ini ditutup semenjak 1 Februari 1988. Kemungkinan karena okupansi penumpang yang menurun dan prasarananya yang telah banyak mengalami kerusakan. Jalur kereta api ini sekarang termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember. Asetnya masih dikuasai oleh PT Kereta Api Indonesia dan tidak ada reaktivasi. g. Jalur kereta api Lumajang-Balung Jalur kereta api Lumajang–Balung merupakan jalur kereta api yang tidak lagi aktif, yang menghubungkan Stasiun Lumajang dengan Stasiun Balung. Jalur ini sekarang termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember. Pembangunan diprakarsai oleh Staatsspoorwegen, dengan melanjutkan jalurnya dari Lumajang menuju Rambipuji via Balung. Jalur dan stasiun-stasiunnya sendiri dibuka pada tanggal 3 Mei 1913 untuk segmen Rambipuji–Balung dan dilanjut menuju Puger. Selanjutnya, jalur kemudian dibuka pula untuk segmen Lumajang–Kencong pada tanggal 25 Agustus 1927 dan kemudian ke arah Balung pada tanggal 1 November 1928. Setahun berikutnya jalur ini diputuskan untuk diganti sepurnya menjadi 1.067 mm. Jalur kereta api ini pada masa lalu merupakan jalur yang cukup sibuk. Lebih dari 300.000 penumpang tercatat pada tahun 1950 menggunakan kereta api dari Stasiun Balung, dan sedikit kurang dari jumlah itu di Stasiun Lumajang. Akan tetapi berselang beberapa tahun kemudian di 1953, jumlah penumpang ini di Stasiun Lumajang menurun hingga tinggal sedikit lagi di atas angka 270 ribu orang; namun penyusutan yang drastis terjadi di Stasiun Balung, yang turun okupansinya hingga mendekati 170 ribu orang saja. Dalam kurun waktu itu, angkutan barang justru meningkat pada tahun 1953, hingga mencapai lebih dari 23 ribu ton di Stasiun Lumajang dan lebih dari 25 ribu ton di Stasiun Balung. Jalur ini dinonaktifkan pada tahun 1986 karena kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum. Tidak ada reaktivasi. h. Jalur kereta api Rambipuji-Balung-Puger Jalur kereta api Rambipuji–Balung–Puger merupakan salah satu jalur kereta nonaktif di Jawa Timur. Jalur ini termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember. Yang menjadi istimewa adalah, mulanya jalur ini dibangun dengan lebar sepur 600 mm sebelum diubah menjadi 1.067 mm sejak 1929. Jalur dan stasiun-stasiunnya sendiri dibuka untuk pelayanan umum pada tanggal 3 Mei 1913 untuk segmen Rambipuji– Balung dan dilanjut menuju Puger beserta cabangnya menuju Ambulu. Karena volume angkutan yang semakin banyak, SS memutuskan untuk mengubah sepurnya menjadi 1.067 mm pada tanggal 1 November 1929 dan lintas menuju Puger pun dicabut. Jalur ini dinonaktifkan pada tahun 1986 karena kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum serta tidak ada reaktivasi untuk jalur ini. i. Jalur kereta api Balung-Ambulu Jalur kereta api Balung–Ambulu adalah salah satu jalur kereta api nonaktif di Jawa Timur yang termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember dengan panjang lintas kurang lebih 13,801 km serta lebar sepur 600 mm. Jalur dan stasiun-stasiunnya sendiri dibuka untuk pelayanan umum pada tanggal 3 Mei 1913 untuk segmen Rambipuji– Balung dan dilanjut menuju Puger beserta cabangnya menuju Ambulu. Karena volume angkutan yang semakin banyak, SS memutuskan untuk mengubah sepurnya menjadi 1.067 mm pada tanggal 1 November 1929 dan lintas menuju Puger pun dicabut, tetapi tidak untuk jalur menuju Ambulu. Jalur ini sempat ditutup pada tahun 1945. Namun ada versi lain yang menyebut bahwa jalur ini sempat dihidupkan lagi (bahkan nama- namanya dicatat dalam Nama, Kode, dan Singkatan Stasiun dan Perhentian). Bahkan hal ini diperkuat dengan adanya jalur rel dengan sepur 600 mm tertancap di dalam bangunan utama Stasiun Balung. Sepur 600 mm di jalur ini punah pada tahun 1972.
2. Identifikasi faktor-faktor penyebab dari matinya jalur tersebut!
Faktor-faktor penyebab dari matinya jalur Daop IX dikarenakan sepinya jalur tersebut dan juga kalah bersaing dengan moda transportasi lain serta banyaknya masyarakat yang beralih terhadap tranportasi pribadi seperti motor dan mobil. Padahal transportasi kereta api merupakan salah satu tranportasi yang dapat mengurangi macet, mempersingkat waktu perjalanan, serta biaya yang terjangkau. 3. Identifikasi dampak ekonomi dan dampak spasial dari matinya jalur tersebut! a. Dampak ekonomi Dengan matinya jalur kereta api mengakibatkan perekonomian di daerah jalur kereta api menurun, sehingga menurunnya pula pendapatan dari masyarakat sekitar. Penyebab dari matinya jalur kereta api daop IX mengakibatkan biaya akomodasi transportasi akan lebih mahal, dikarenakan pengguna kereta api akan beralih menggunakan moda transportasi lain yang lebih mahal dan akses waktu tempuh yang lebih lama. b. Dampak spasial Dengan adanya penutupan jalur kereta api Daop IX, hal ini menyebabkan peralihan transportasi kereta api ke moda transportasi lain. Sehingga dapat menambah beban volume dari jalan raya karena akan mengakibatkan banyak terjadinya kemacetan lalu lintas dan juga kemungkinan kerusakan jalan raya.
4. Strategi kebijakan apa yang tepat untuk menghidupkan!
Strategi pemerintah untuk melakukan pemulihan jalur kereta api tersebut dapat dilakukan dengan cara reaktivasi atau pemulihan-pemulihan jalur kereta api. Reaktivasi jalur kereta api dapat dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan kemenhub guna meningkatkan konektivitas yang menjadi alternatif lalu lintas barang, daya saing, dan nilai tambah terhadap pendapatan daerah. Pengguaan transportasi kereta api lebih efektif dikarenakan waktu tempuh dan biaya tranportasi yang terjangkau. Selain itu kereta api juga dapat mengurangi beban jalan raya seperti kemacetan lalu lintas dan meninimalisir kemungkinan kerusakan jalan. Untuk mendukung pengaktifan rel mati tersebut, salah satu upaya yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (Persero) adalah dengan merevitalisasi stasiun. Salah satu stasiun yang sudah direnovasi adalah Stasiun Bondowoso. Stasiun Bondowoso sudah mulai direnovasi sejak awal 2014. Penyelesaian renovasi gedung bergaya Indische Empire Style itu selesai pada akhir tahun 2014. Saat ini fungsi stasiun hanya sebatas sebagai museum. Setelah Stasiun Bondowoso, PT KAI juga memiliki rencana untuk merenovasi seluruh stasiun yang dilewati jalur Kalisat-Panarukan. Karena jalur tersebut strategis dan dapat mengurangi kepadatan lalu lintas jalan raya. Selain itu jalur ini bagus dari segi ekonomi karena memiliki jarak yang dekat dengan pantai yang dapat menghidupkan pendapatan dari daerah pesisir pantai dan pengiriman barang.
5. Apa proyeksi implikasi atau dampak dari kebijakan yang diterapkan!
Dengan dilakukannya kebijakan reaktivasi jalur Kalisat – panarukan diharapkan dapat menciptakan konektivitas yang dapat menjadi alternatif angkutan lalu lintas barang, meningkatkan daya saing dan nilai tambah pendapatan. Selain itu, dampak dari kebijakan reaktivitas tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan sektor pariwisata, dan terciptanya lapangan pekerjaan baru yang dapat membantu perekonomian masyarakat sekitar. Peggunaan moda transportasi kereta api selain untuk mengurangi kemacetan lalu lintas juga lebih efisien. Karena dengan penggunan moda transportasi yang memiliki waktu tempuh yang lama, sedangkan untuk transportasi kereta api dapat dilakukan dengan waktu tempuh yang lebih singkat dan juga biaya transportasi yang lebih terjangkau. Pemulihan kembali jalur Kalisat – Panarukan dapat menjadi suatu alternatif untuk penduduk yang menuju kearah Situbondo dan juga sekitarnya. Dengan kembalinya jalur ini diharapkan arus barang menuju Pelabuhan Panarukan dapat dilakukan dengan kereta sehingga mengurangi beban jalan raya dan meminimalisir kemungkinan kerusakan jalan akibat volume dan beban kendaraan yang lewat.Selain itu, diharapkan kereta api dapat menjadi alternatif transportasi penduduk yang menuju ke arah Situbondo dan sekitarnya. Jalur ini juga diharapkan menjadi jalur KA wisata.