Anda di halaman 1dari 8

NAMA : DWI VINA AZALIA

NIM : 160810101217

KELAS : EPP / B

1. Identifikasi jalur-jalur transsportasi yang mati di daerah daop 9!


Daerah Operasi IX Jember atau disingkat dengan Daop IX JR atau Daop 9 Jember
adalah salah satu daerah operasi perkeretaapian Indonesia di bawah lingkungan PT Kereta
Api Indonesia (Persero) yang berada di bawah Direksi PT Kereta Api Indonesia; dipimpin
oleh seorang Executive Vice President (EVP) yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Direksi PT Kereta Api Indonesia.
Daop IX merupakan wilayah kerja PT KAI yang berada di ujung timur Pulau Jawa dan
berpusat di Jember. Kantornya terletak di Jalan Dahlia 2, dekat dengan Stasiun Jember.
Stasiun besar di wilayah Daop IX adalah Stasiun Jember, Stasiun Pasuruan, Stasiun
Probolinggo, dan Stasiun Banyuwangi Baru. Terdapat satu dipo lokomotif, yakni Dipo
Lokomotif Jember, serta dua subdipo lokomotif, yakni Subdipo Probolinggo dan
Banyuwangi Baru. Subdipo Probolinggo kadang-kadang melayani lokomotif kereta api
Probowangi, sementara Subdipo Banyuwangi melayani lokomotif-lokomotif milik dipo lain
atau milik Dipo Jember sendiri pasca dinas dengan kereta-kereta api yang dioperasikan
Daop IX ini.
a. Jalur kereta api Kalisat – Banyuwangi
Jalur kereta api Kalisat–Banyuwangi adalah jalur kereta api utama di Indonesia
yang termasuk dalam Daerah Operasi IX Jember. Jalur ini terletak di Kabupaten Jember
hingga Kabupaten Banyuwangi. Setiap harinya kereta api yang melintasi jalur ini
tergolong frekuensi tidak padat (total ±16 kereta api yang melintas), yaitu Mutiara
Timur, Sri Tanjung, Tawang Alun, Probowangi, dan Pandanwangi. Ditambah, kereta
angkutan Semen Tiga Roda jurusan Nambo-Banyuwangi, p.p. yang beroperasi tidak
setiap hari.
Boleh dibilang, jalur ini adalah ciri khas wilayah timur Daop IX yang bertipikal
pegunungan dan dataran tinggi. Belum lagi pada petak Kalisat-Ledokombo terdapat
puluhan bukit yang ada di tepian rel. Semakin ke timur, mulai dari Kalibaru ruang jarak
(spasial) antara jalur rel dan permukiman amatlah sempit, tetapi lanskap sepanjang jalur
ini hingga titik minus (Banyuwangi Baru) bisa dikatakan sebagai pemandangan khas
jalur timur Daop IX.
Di utara Stasiun Banyuwangi Baru terdapat petak balon (balloon loop) yang
menggantikan pemutar rel di jalur ujung lain. rute balon ini disebut demikian karena
bentuknya yang seperti balon. Rute ini berawal dari Stasiun Banyuwangi Baru masuk
kembali ke jalan raya melintasi pabrik-pabrik seperti Pusri, Pelabuhan Meneng, dan
Jakarta Lloyd. Namun, rute balon tersebut kini sudah tidak dipergunakan karena pabrik-
pabrik tersebut mengganti moda transportasi barang-barangnya. Kini rute balon tersebut
diperkecil dan terletak di selatan jalan kecil yang menghubungkan Jalan Gatot Subroto
dan Jalan Lingkar Ketapang.
Pada tahun 1985, jalur kereta api baru telah selesai dibangun oleh PJKA dari
Stasiun Kabat menuju Stasiun Banyuwangi Baru yang mengakibatkan segmen ke
Banyuwangi resmi dinonaktifkan. Segmen ke Banyuwangi resmi ditutup pada 31 Maret
1988. Sejak dekade 90-an, jalur ini sudah tidak dioperasikan lagi karena digantikan oleh
jalur baru dari Stasiun Kabat menuju Stasiun Banyuwangi Baru yang memiliki akses
cukup dekat menuju Pelabuhan Ketapang.
Keadaan di jalur rel ini berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain.
Stasiun Kabat sudah tidak difungsikan dan yang bisa dilihat adalah bangunan tanpa atap
yang dijalari rumput liar. Stasiun Banyuwangi juga sudah tidak difungsikan dan kini
menjadi kompleks pertokoan, tetapi arsitektur asli dari stasiun ini masih dijaga. Jalur
yang melewati Desa Kedayunan masih ada meskipun hanya besi rel nya saja dan
bantalannya telah hilang. Di Perumahan Kalirejo Permai besi-besi rel ini sudah dilepas
untuk dijual, bahkan ada beberapa rumah yang memiliki pagar dari bekas rel kereta api.
Perlintasan kereta di Jalan S. Parman kini telah dibangun pos polisi di atasnya. Jalan
Kepiting di Kelurahan Sobo adalah jalan raya baru yang dibangun sesaat setelah rel
sudah tidak difungsikan, di sisi kanan dan kiri Jalan Kepiting terdapat besi tiang
berkarat yang dulunya mungkin berwarna biru-putih, tanda sebuah rel kereta pernah ada
disana. Perkampungan warga dan komplek pertokoan dibangun di atas rel yang telah
mati ini dari Kertosari hingga Karangrejo. Beberapa palang perlintasan manual juga
masih ada, seperti yang terdapat di rel yang melintasi Jalan Ikan Sadar, Karangrejo.
Beberapa bekas gedung atau pabrik industri juga terdapat di lokasi-lokasi dekat jalur rel
menandakan bahwa dulu terdapat kegiatan industri yang memanfaatkan kereta api.
Beberapa pabrik yang terkenal adalah pabrik bernama Naga Bulan, sebuah perusahaan
pengolahan minyak kopra. Dan sisa-sisa dari jalur rel ini masih bisa ditelusuri sampai
ke Pantai Boom, tetapi turntable yang dulu ada di ujung jalur ini sudah hilang.
Pendirian bangunan permanen di atas jalur mati Kabat-Banyuwangi menyalahi
aturan PT Kereta Api Indonesia yang menyatakan bahwa aset lahan milik KAI adalah
milik negara dan tidak bisa dimiliki oleh warga. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh
Kepala Bagian PT KAI Daerah Operasi IX Jember, Gatut Setyatmoko. Hal ini
menyebabkan bangunan permanen tersebut harus siap sewaktu-waktu ditertibkan tanpa
pemberian ganti rugi.
b. Jalur kereta api Kalisat – Panarukan
Jalur kereta api Kalisat–Panarukan merupakan jalur kereta api nonaktif yang
menghubungkan Stasiun Kalisat dan Stasiun Panarukan, Situbondo, termasuk dalam
Wilayah Aset IX Jember. Saat itu perusahaaan kereta api negara atau Staatsspoorwegen
mulai berencana membangun rel kereta api dari Probolinggo ke Jember dan diteruskan
hingga Panarukan melewati Bondowoso.
Pada bulan Juli 1895, rel yang membentang dari Probolinggo ke Klakah
sepanjang 34 Km selesai dibangun. Disusul kemudian pembangunan rel sepanjang 36
Km dari Klakah ke Pasirian yang rampung pengerjaannya pada tanggal 16 Mei 1896.
Setelah itu pada perkembangannya pada bulan Juni 1897, pembangunan rel
kereta api dari Klakah ke Jember sepanjang 62 Km juga selesai. Sedangkan sisanya
yaitu pembangunan rel kereta api sepanjang 89 Km dari Jember-Kalisat-Bondowoso-
Panarukan melewati Soemberkolak, Sitobundo selesai dan mulai beroperasi pada
tanggal 1 Oktober 1897.
Jalur yang panjangnya 89 km ini melayani kereta lokal angkutan penumpang
Panarukan-Jember. Kereta ini terakhir melintas jalur ini pada awal tahun 2004. Namun
jalur ini ditutup pada pertengahan 2004 karena sepinya kereta api yang lewat serta kalah
bersaing dengan moda transportasi lain.
c. Jalur kereta api Rogojampi – Benculuk
Pembangunan jalur kereta Api Benculuk - Srono mulai dikerjakan pada bulan
Juni 1921. Jalur ini resmi dibuka pada tanggal 26 Oktober 1921 oleh Staatsspoorwegen
Oosterlijnen dan Berada di bawah pengelolaan Daerah Operasi IX Jember. Jalur KA ini
hingga di Halte Srono dan diperpanjang lagi pada tahun 1922 sampai rogojampi,
Pembangunan Rel KA. Srono - Benculuk - Ragadjampi selesai dan mulai siap
dioperasikan pada Tanggal 1 November 1922. Dengan total Biaya konstruksi sejumlah f
863.900. Jalur Kereta Api Rogojambi-Srono-Benculuk (18 KM) Mulai tidak beroperasi
antara tahun 1976.
Jalur Kereta api ini melayani angkutan kereta api ringan di sepanjang Jalan
Raya Benculuk-Srono-Rogojampi. Namun jalur ini akhirnya ditutup pada tahun 1976
karena prasarana yang sudah tua. Selain itu, persaingan dengan mobil pribadi dan
angkutan umum membuat jalur ini minim okupansi.
Jalur kereta api mulai tidak beroperasi sekitar tahun 1975an. Kala itu stasiun
benculuk sangat ramai penumpang dan banyak penjual asongan yang beseliweran di
Kerta api,Karena prasarana yang sudah tua dan persaingan angkutan umum mulai
marak sekitar tahun 1975an jalur ini di tutup.
d. Jalur kereta api Probolinggo-Paiton
Jalur kereta api Probolinggo–Paiton adalah jalur kereta api nonaktif yang
menghubungkan Stasiun Probolinggo dengan Stasiun Paiton dengan panjang lintasan 36
Km. Jalur ini dibangun dari tahun 1897-1912 oleh perusahaan kereta api swasta Hindia
Belanda, yaitu PbSM (Probolinggo Stoomtram Maatschappij). Perusahaan tersebut
mendapat izin untuk membangun jalur kereta api di wilayah Probolinggo dan Kraksaan
yang saat itu masih berupa wilayah kabupaten berbeda. Pusat operasional jalur ini
berada di Jati. Latar belakang pemberian izin pembangunan seiring dengan kebutuhan
transportasi cepat bagi penumpang dan barang, terutama gula. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya pabrik gula di wilayah tersebutRailbed di jalur ini hampir sepenuhnya selalu
bersisian dengan jalan raya. Sisa-sisa sarana perkeretaapian di jalur ini masih dapat di
jumpai walaupun sebenarnya jalur ini sudah ditutup cukup lama pada tahun 1960an.
Sedangkan di beberapa lokasi, bekas railbednya hingga saat ini digunakan untuk
angkutan tebu oleh beberapa pabrik gula dengan cara menyempitkan lebar relnya
(regauge) yang semula lebar relnya 1067 mm.
Jalur ini ditutup sementara oleh PJKA sekitar tahun 1960 karena persaingan
dengan alat transportasi yang lebih modern. Bekas rel dan beberapa stasiun masih dapat
dijumpai di sepanjang jalan raya Probolinggo-Paiton. Sebagian aset yang berhubungan
masih dikuasai oleh PT Kereta Api Indonesia.
e. Jalur kereta api Klakah-Lumajang
Jalur kereta api Klakah–Lumajang–Pasirian merupakan jalur kereta api non-
aktif yang menghubungkan Stasiun Klakah dengan Stasiun Lumajang. Jalur ini ditutup
semenjak 1 Februari 1988, bersamaan dengan penutupan jalur kereta api Lumajang-
Pasirian. Jalur KA Klakah-Lumajang mulai digunakan tanggal 16 Mei 1896 sebagai
bagian dari jalur Klakah - Pasirian, yang merupakan kelanjutan jalur Probolinggo–
Klakah yang telah dibuka setahun sebelumnya. Di Stasiun Lumajang, jalur sepanjang
17 km ini bercabang dua. Ke arah Pasirian dan ke arah Balung. Terus ke timur, jalur
yang akhir ini tersambung ke Stasiun Rambipuji dan selanjutnya ke Jember. Jalur kereta
api antara Balung–Rambipuji ini juga telah lama ditutup; namun ruas Rambipuji–
Jember hingga saat ini masih melayani angkutan penumpang dan barang antara
Banyuwangi dan Surabaya; begitu pun ruas Klakah–Probolinggo. Jalur kereta api ini
pada masa lalu merupakan jalur yang cukup sibuk, dengan Stasiun Lumajang—yang
terbesar di jalur ini—melayani hampir 300.000 penumpang per tahun dan barang
hingga 23 ribu ton lebih di antara tahun 1950-1953. kemungkinan karena okupansi
penumpang yang menurun dan prasarananya yang telah banyak mengalami kerusakan.
Jalur kereta api ini sekarang termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember.
Alasan mengapa jalur kereta tidak beroperasi lagi, Karena kalah bersaing
dengan mobil pribadi dan angkutan umum, semua jalur di wilayah Lumajang sampai
Balung–Rambipuji beserta stasiun dan seluruh layanan di jalur ini ditutup semenjak 1
Februari 1988. Asetnya masih dikuasai oleh PT Kereta Api Indonesia dan tidak ada
reaktivasi.
f. Jalur kereta api Lumajang-Pasirian
Jalur kereta api Klakah–Lumajang–Pasirian merupakan jalur kereta api non-
aktif yang menghubungkan Stasiun Klakah dengan Stasiun Lumajang. Jalur KA
Klakah-Lumajang mulai digunakan tanggal 16 Mei 1896 sebagai bagian dari jalur
Klakah - Pasirian, yang merupakan kelanjutan jalur Probolinggo–Klakah yang telah
dibuka setahun sebelumnya. Di Stasiun Lumajang, jalur sepanjang 17 km ini bercabang
dua. Ke arah Pasirian dan ke arah Balung. Terus ke timur, jalur yang akhir ini
tersambung ke Stasiun Rambipuji dan selanjutnya ke Jember. Jalur kereta api antara
Balung–Rambipuji ini juga telah lama ditutup; namun ruas Rambipuji–Jember hingga
saat ini masih melayani angkutan penumpang dan barang antara Banyuwangi dan
Surabaya; begitu pun ruas Klakah–Probolinggo. Jalur kereta api ini pada masa lalu
merupakan jalur yang cukup sibuk, dengan Stasiun Lumajang—yang terbesar di jalur
ini—melayani hampir 300.000 penumpang per tahun dan barang hingga 23 ribu ton
lebih di antara tahun 1950-1953. Jalur ini ditutup semenjak 1 Februari 1988, bersamaan
dengan penutupan jalur kereta api Lumajang-Pasirian. Karena kalah bersaing dengan
mobil pribadi dan angkutan umum, semua jalur di wilayah Lumajang sampai Balung–
Rambipuji beserta stasiun dan seluruh layanan di jalur ini ditutup semenjak 1 Februari
1988. Kemungkinan karena okupansi penumpang yang menurun dan prasarananya yang
telah banyak mengalami kerusakan. Jalur kereta api ini sekarang termasuk dalam
Wilayah Aset IX Jember. Asetnya masih dikuasai oleh PT Kereta Api Indonesia dan
tidak ada reaktivasi.
g. Jalur kereta api Lumajang-Balung
Jalur kereta api Lumajang–Balung merupakan jalur kereta api yang tidak lagi
aktif, yang menghubungkan Stasiun Lumajang dengan Stasiun Balung. Jalur ini
sekarang termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember. Pembangunan diprakarsai oleh
Staatsspoorwegen, dengan melanjutkan jalurnya dari Lumajang menuju Rambipuji via
Balung. Jalur dan stasiun-stasiunnya sendiri dibuka pada tanggal 3 Mei 1913 untuk
segmen Rambipuji–Balung dan dilanjut menuju Puger. Selanjutnya, jalur kemudian
dibuka pula untuk segmen Lumajang–Kencong pada tanggal 25 Agustus 1927 dan
kemudian ke arah Balung pada tanggal 1 November 1928. Setahun berikutnya jalur ini
diputuskan untuk diganti sepurnya menjadi 1.067 mm. Jalur kereta api ini pada masa
lalu merupakan jalur yang cukup sibuk. Lebih dari 300.000 penumpang tercatat pada
tahun 1950 menggunakan kereta api dari Stasiun Balung, dan sedikit kurang dari jumlah
itu di Stasiun Lumajang. Akan tetapi berselang beberapa tahun kemudian di 1953,
jumlah penumpang ini di Stasiun Lumajang menurun hingga tinggal sedikit lagi di atas
angka 270 ribu orang; namun penyusutan yang drastis terjadi di Stasiun Balung, yang
turun okupansinya hingga mendekati 170 ribu orang saja. Dalam kurun waktu itu,
angkutan barang justru meningkat pada tahun 1953, hingga mencapai lebih dari 23 ribu
ton di Stasiun Lumajang dan lebih dari 25 ribu ton di Stasiun Balung.
Jalur ini dinonaktifkan pada tahun 1986 karena kalah bersaing dengan mobil
pribadi dan angkutan umum. Tidak ada reaktivasi.
h. Jalur kereta api Rambipuji-Balung-Puger
Jalur kereta api Rambipuji–Balung–Puger merupakan salah satu jalur kereta
nonaktif di Jawa Timur. Jalur ini termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember. Yang
menjadi istimewa adalah, mulanya jalur ini dibangun dengan lebar sepur 600 mm
sebelum diubah menjadi 1.067 mm sejak 1929. Jalur dan stasiun-stasiunnya sendiri
dibuka untuk pelayanan umum pada tanggal 3 Mei 1913 untuk segmen Rambipuji–
Balung dan dilanjut menuju Puger beserta cabangnya menuju Ambulu. Karena volume
angkutan yang semakin banyak, SS memutuskan untuk mengubah sepurnya menjadi
1.067 mm pada tanggal 1 November 1929 dan lintas menuju Puger pun dicabut.
Jalur ini dinonaktifkan pada tahun 1986 karena kalah bersaing dengan mobil
pribadi dan angkutan umum serta tidak ada reaktivasi untuk jalur ini.
i. Jalur kereta api Balung-Ambulu
Jalur kereta api Balung–Ambulu adalah salah satu jalur kereta api nonaktif di
Jawa Timur yang termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember dengan panjang lintas
kurang lebih 13,801 km serta lebar sepur 600 mm. Jalur dan stasiun-stasiunnya sendiri
dibuka untuk pelayanan umum pada tanggal 3 Mei 1913 untuk segmen Rambipuji–
Balung dan dilanjut menuju Puger beserta cabangnya menuju Ambulu. Karena volume
angkutan yang semakin banyak, SS memutuskan untuk mengubah sepurnya menjadi
1.067 mm pada tanggal 1 November 1929 dan lintas menuju Puger pun dicabut, tetapi
tidak untuk jalur menuju Ambulu. Jalur ini sempat ditutup pada tahun 1945. Namun ada
versi lain yang menyebut bahwa jalur ini sempat dihidupkan lagi (bahkan nama-
namanya dicatat dalam Nama, Kode, dan Singkatan Stasiun dan Perhentian). Bahkan
hal ini diperkuat dengan adanya jalur rel dengan sepur 600 mm tertancap di dalam
bangunan utama Stasiun Balung. Sepur 600 mm di jalur ini punah pada tahun 1972.

2. Identifikasi faktor-faktor penyebab dari matinya jalur tersebut!


Faktor-faktor penyebab dari matinya jalur Daop IX dikarenakan sepinya jalur tersebut
dan juga kalah bersaing dengan moda transportasi lain serta banyaknya masyarakat yang
beralih terhadap tranportasi pribadi seperti motor dan mobil.
Padahal transportasi kereta api merupakan salah satu tranportasi yang dapat mengurangi
macet, mempersingkat waktu perjalanan, serta biaya yang terjangkau.
3. Identifikasi dampak ekonomi dan dampak spasial dari matinya jalur tersebut!
a. Dampak ekonomi
Dengan matinya jalur kereta api mengakibatkan perekonomian di daerah jalur
kereta api menurun, sehingga menurunnya pula pendapatan dari masyarakat sekitar.
Penyebab dari matinya jalur kereta api daop IX mengakibatkan biaya akomodasi
transportasi akan lebih mahal, dikarenakan pengguna kereta api akan beralih
menggunakan moda transportasi lain yang lebih mahal dan akses waktu tempuh yang
lebih lama.
b. Dampak spasial
Dengan adanya penutupan jalur kereta api Daop IX, hal ini menyebabkan
peralihan transportasi kereta api ke moda transportasi lain. Sehingga dapat menambah
beban volume dari jalan raya karena akan mengakibatkan banyak terjadinya kemacetan
lalu lintas dan juga kemungkinan kerusakan jalan raya.

4. Strategi kebijakan apa yang tepat untuk menghidupkan!


Strategi pemerintah untuk melakukan pemulihan jalur kereta api tersebut dapat
dilakukan dengan cara reaktivasi atau pemulihan-pemulihan jalur kereta api. Reaktivasi
jalur kereta api dapat dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan kemenhub guna
meningkatkan konektivitas yang menjadi alternatif lalu lintas barang, daya saing, dan nilai
tambah terhadap pendapatan daerah. Pengguaan transportasi kereta api lebih efektif
dikarenakan waktu tempuh dan biaya tranportasi yang terjangkau. Selain itu kereta api juga
dapat mengurangi beban jalan raya seperti kemacetan lalu lintas dan meninimalisir
kemungkinan kerusakan jalan.
Untuk mendukung pengaktifan rel mati tersebut, salah satu upaya yang dilakukan PT
Kereta Api Indonesia (Persero) adalah dengan merevitalisasi stasiun. Salah satu stasiun
yang sudah direnovasi adalah Stasiun Bondowoso. Stasiun Bondowoso sudah mulai
direnovasi sejak awal 2014. Penyelesaian renovasi gedung bergaya Indische Empire Style
itu selesai pada akhir tahun 2014. Saat ini fungsi stasiun hanya sebatas sebagai museum.
Setelah Stasiun Bondowoso, PT KAI juga memiliki rencana untuk merenovasi seluruh
stasiun yang dilewati jalur Kalisat-Panarukan. Karena jalur tersebut strategis dan dapat
mengurangi kepadatan lalu lintas jalan raya. Selain itu jalur ini bagus dari segi ekonomi
karena memiliki jarak yang dekat dengan pantai yang dapat menghidupkan pendapatan dari
daerah pesisir pantai dan pengiriman barang.

5. Apa proyeksi implikasi atau dampak dari kebijakan yang diterapkan!


Dengan dilakukannya kebijakan reaktivasi jalur Kalisat – panarukan diharapkan dapat
menciptakan konektivitas yang dapat menjadi alternatif angkutan lalu lintas barang,
meningkatkan daya saing dan nilai tambah pendapatan. Selain itu, dampak dari kebijakan
reaktivitas tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan sektor pariwisata, dan
terciptanya lapangan pekerjaan baru yang dapat membantu perekonomian masyarakat
sekitar. Peggunaan moda transportasi kereta api selain untuk mengurangi kemacetan lalu
lintas juga lebih efisien. Karena dengan penggunan moda transportasi yang memiliki waktu
tempuh yang lama, sedangkan untuk transportasi kereta api dapat dilakukan dengan waktu
tempuh yang lebih singkat dan juga biaya transportasi yang lebih terjangkau.
Pemulihan kembali jalur Kalisat – Panarukan dapat menjadi suatu alternatif untuk
penduduk yang menuju kearah Situbondo dan juga sekitarnya. Dengan kembalinya jalur ini
diharapkan arus barang menuju Pelabuhan Panarukan dapat dilakukan dengan kereta
sehingga mengurangi beban jalan raya dan meminimalisir kemungkinan kerusakan jalan
akibat volume dan beban kendaraan yang lewat.Selain itu, diharapkan kereta api dapat
menjadi alternatif transportasi penduduk yang menuju ke arah Situbondo dan sekitarnya.
Jalur ini juga diharapkan menjadi jalur KA wisata.

Anda mungkin juga menyukai