Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau terpenting bagi penjajah yang pernah
singgah di Nusantara. Para koloni menganggap Jawa adalah pulau yang paling
berhasil. Karena dianggap sebagai pulau yang berhasil, maka pemerintah kolonial
memutuskan untuk memperbaiki fasilitas perhubungan di Jawa. Perbaikan fasilitas
tersebut dimulai dengan dibangunnya jalan pos yang dibuat oleh Daendels. Jalan pos
tersebut menghubungkan beberapa kota besar, misalnya Betawi, Semarang, dan
Surabaya. Setelah jalan utama selesai dibuat, kemudian dilanjutkan dengan
pembuatan cabang-cabang jalan, baik jalan besar maupun jalan kecil. Pada masa itu,
orang yang sedang berpergian jauh menggunakan kendaraan berupa kereta yang
ditarik oleh kuda pos. Orang-orang yang menggunakan kuda pos tersebut kebanyakan
hanya orang-orang dari kalangan atas. Sementara orang dari kalangan biasa, mereka
berpergian menggunakan cikar, sebuah alat transportasi yang terbuat dari gerobak dan
ditarik menggunakan tenaga hewan. Sedangkan untuk pengangkutan barang, para
pedagang biasanya menggunakan gerobak yang ditarik oleh sapi. Sayangnya, di
tempat yang terdapat banyak sekali barang dagangan, sering sekali kekurangan sapi
sebagai sarana transportasi untuk mendistribusikan barang. Pada akhirnya, demi tetap
mendistribusikan barang, para pedagang mempekerjakan sapi secara paksa. Sapi-sapi
pun merasa kelelahan sehingga banyak yang mati. Sementara di pelabuhan, sudah
banyak kapal-kapal yang menunggu barang dari pedalaman. Apabila hanya
mengandalkan sapi yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah barang yang
harus dibawa ke pelabuhan, tentu kapal-kapal tersebut harus menunggu lebih lama
agar muatan yang ditargetkan terpenuhi. Jika kapal-kapal tersebut harus menunggu
lebih lama lagi, barang yang sudah ada di dalam kapal bisa berjamur.
Hal-hal seperti itu dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di tanah Jawa.
Maka dari itu, perlu diadakan pembaharuan sarana transportasi untuk mengubah
keadaan tersebut. Salah satu jalan yang dilakukan untuk mengubah keadaan adalah
dibuatnya perjalanan menggunakan kereta api. Pada saat itu, untuk mewujudkan
pembangunan kereta api, orang-orang Belanda di Nusantara banyak membicarakan
tentang itu. Kemudian, pada tanggal 6 April 1875, telah ditetapkan dalam undang-
undang bahwa perjalanan kereta api akan dibuat dari Surabaya ke Pasuruan dan
Malang di bawah pimpinan David Maarschalk. Pembangunan kereta api tersebut juga
tidak lepas dari dibangunnya stasiun, di mana kereta api tersebut berhenti untuk
mengangkut dan menunrunkan penumpang. Setelah melakukan pembangunan
mengenai kereta api selama bertahun-tahun, pada tanggal 20 Juli 1879 jalur kereta api
Bangil-Malang akhirnya dibuka juga. Peletakan stasiun kereta api pada umumnya
berada di pusat kota, agar dapat dengan mudah dijangkau oleh penumpang dari
berbagai penjuru kota .
Keberlangsungan rute kereta api di tanah Jawa tidak lepas dari peran stasiun.
Stasiun-stasiun yang ada di Jawa dan sebagian wilayah Sumatera tidak lepas dari
pengaruh Belanda. Salah satu stasiun yang mendapat pengaruh Belanda dan arsitektur
ala Eropa adalah Stasiun Bangil yang berada di Desa Pogar, Kecamatan Bangil,
Kabupaten Pasuruan. Stasiun ini merupakan salah satu stasiun peninggalan Belanda
yang ada di daerah Kabupaten Pasuruan. Stasiun Bangil ini adalah stasiun paling
timur di wilayah daerah operasi 8 Surabaya (DAOP 8) dan terdapat percabangan jalur
dari Surabaya-Malang dan Surabaya-Probolinggo.
Jika dilihat dari luar, dapat dirasakan nuansa kekunoan yang terdapat pada
bangunan stasiun Bangil. Hal tersebut terasa dengan adanya gable yang ada di bagian
fasade bangunan. Fasade sendiri berarti face, muka dari sebuah bangunan, dan
pelataran atau teras yang luas di depan bangunan tersebut. Stasiun Bangil ini juga
merupakan satu-satunya stasiun yang masih beroperasi dengan baik di wilayah
Pasuruan. Selain stasiun Bangil, ada juga stasiun Pasuruan yang masuk ke wilayah
DAOP 9 Jember dan stasiun Kraton yang sudah tidak beroperasi lagi karena jaraknya
yang tidak begitu jauh dari stasiun Pasuruan dan okupansi penumpang yang rendah.
Dari keterangan tersebut, bisa dilihat pengaruh kolonial yang terdapat di bangunan
Stasiun Bangil. Maka dari itu, peneliti teringin menuliskan sejarah lokal mengenai
Stasiun Bangil dengan judul Akulturasi Bangunan Hindia-Belanda di Stasiun Bangil.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kriteria bangunan kolonial di Stasiun Bangil?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeksripsikan kriteria bangunan kolonial di Stasiun Bangil.
BAB I
DESKRIPSI

Bangil merupakan salah satu wilayah strategis di Kabupaten Pasuruan. Bangil


terletak di antara jalur Surabaya-Banyuwangi dan Surabaya-Malang. Batas-batas kota
Bangil ada Kabupaten Malang di sebelah selatan, Kabupaten Sidoarjo dan Selat
Madura di sebelah utara, Kabupaten Mojokerto di sebelah barat, dan Kabupaten
Probolinggo di sebelah timur. Letak kota Bangil yang strategis ini ternyata sudah
dimanfaatkan sejak zaman kolonial. Karena lokasinya yang berada di persimpangan
jalur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi, dibangunlah sebuah stasiun yang
menjadi salah satu tempat pemberhentian dan pemberangkatan sarana transportasi
kereta api. Stasiun tersebut bernama Stasiun Bangil.
Stasiun Bangil dibangun di desa Pogar, kecamatan Bangil. Di stasiun ini,
terdapat percabangan jalur kereta api dengan jarak 500 meter dari stasiun. Satu
cabang merupakan arah Surabaya-Malang yang masuk ke daerah operasi 8 Surabaya
dan cabang lainnya merupakan arah Surabaya-Banyuwangi yang merupakan bagian
daerah operasi 9 Jember. Jalur kereta api Bangil-Malang sendiri diresmikan tahun 20
Juli 1879.
Tahun peresmian jalur kereta api Bangil-Malang juga berada di rentang waktu
yang sama dengan peresmian stasiun kereta api, yaitu berada pada kurun waktu tahun
1800-an. Pada tahun 1800-an, sedang berkembang berkembang aliran/gaya Neo
Klasik atau yang disebut dengan nama the Empire Style / the Dutch Colonial Villa.
Beberapa karakteristik bangunan Neo Klasik adalah:
1. Denah simetris penuh dengan satu lantai atas dan ditutup dengan atas perisai
2. Temboknya tebal
3. Langit-langitnya tinggi
4. Lantainya dari marmer
5. Beranda depan dan belakang luas dan terbuka
6. Di ujung beranda terdapat barisan pilar atau kolom bergaya Yunani
7. Pilar menjulang ke atas sebagai pendukung atap
8. Terdapat gevel dan mahkota di atas beranda depan dan belakang
9. Terdapat central room yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan
belakang
10. Daerah servis di bagian belakang dihubungkan dengan rumah induk oleh
galeri
11. Terletak di tanah luas dengan kebun di depan, samping, dan belakang.

Pada umumnya, bagian-bagian pada bangunan stasiun terdiri dari:

1. Halaman depan, berfungsi sebagai perpindahan transportasi baja ke jalan


raya atau sebaliknya. Isi halaman depan pada stasiun biasanya ada terminal
kendaraan umum (becak, angkutan umum, bis, dan kendaraan bermotor
lai), parkir kendaraan, dan bongkar muat barang.
2. Bangunan stasiun merupakan bangunan inti dari sebuah stasiun kereta api.
Isi bangunan stasiun ini terdiri dari: ruang depan (hall, biasanya digunakan
sebagai ruang tunggu penumpang saat menunggu giliran boarding ticket),
loket, fasilitas administratif (kantor kepala stasiun dan staff), fasilitas
operasional (ruang sinyal, ruang teknik, ruang pengatur perjalanan kereta
api (PPKA)), kantin, dan toilet umum.
3. Peron, pada umumnya terdiri dari tempat tunggu, naik-turun penumpang
dari dan menuju kereta api, dan tempat bongkar muat barang.
4. Emplasemen, biasanya terdiri dari sepur lurus, peron, dan sepur belok
sebagai tempat kereta api berhenti untuk memberikan kesempatan kereta
api lain lewat. Bisa dikatakan emplasemen ini juga tempat titik di mana
kereta api bersilang dan terdapat percabangan jalur di dalamnya.

Stasiun Bangil juga memiliki fasilitas yang telah disebutkan pada bagian
bangunan stasiun. Halaman depan stasiun bisa dikatakan cukup luas. Halaman depan
tersebut digunakan sebagai tempat parkir pengantar penumpang, pembeli tiket, tempat
parkir penumpang stasiun, tempat berkumpulnya para angkutan umum seperti bemo
dan becak. Di depan Stasiun Bangil juga biasanya digunakan sebagai tempat
pemberhentian bus Banyuwangi-Surabaya. Pada bagian inti bangunan stasiun, Stasiun
Bangil memiliki ruang depan yang biasanya digunakan para penumpang menunggu
giliran boarding ticket, loket yang terdiri dari 2 loket (1 loket untuk pembelian tiket
kereta lokal dan 1 loket untuk pembelian tiket kereta jarak jauh), kantor kepala
stasiun, ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api), ruang logistik, kantin, dan
toilet umum. Setelah mengalami beberapa kali proses renovasi, terdapat beberapa
bagian baru di bangunan inti stasiun, yaitu ruang menyusui, ruang customer service,
dan perpindahan tempat pemesanan tiket yang dibuatkan ruangan sendiri setelah
sebelumnya ruangan ini menjadi satu dengan hall stasiun. Peron pada Stasiun Bangil
ada ruang tunggu penumpang, tempat untuk penumpang naik dan turun kereta api,
dan tempat bongkar muat barang. Emplasemen pada stasiun merupakan suatu tempat
yang digunakan penumpang mulai dari membeli tiket sampai

Stasiun Bangil ini merupakan salah satu bangunan yang cukup tua di Kabupaten
Pasuruan. Usia bangunan yang cukup tua tersebut bisa dirasakan dari melihat
penampakan bagian luar atau fasade bangunan. Fasade yang simetris merupakan salah
satu karakteristika dari arsitektur kolonial. Kemudian, material yang digunakan untuk
membangun stasiun ini bisa berupa batu bata atau kayu. Pada Stasiun Bangil, di
beberapa bagian terbuat dari batu bata, sedangkan pada pinggiran pintu dan jendela
terbuat dari kayu. Entrance memiliki 2 daun pintu, sama seperti yang terdapat di
Stasiun Bangil. Di stasiun ini terdapat 2 pintu masuk dan masing-masing memiliki 2
daun pintu yang terletak di samping bangunan. Tidak hanya di pintu masuknya saja,
di pintu-pintu lain juga memiliki 2 daun pintu yang bingkainya terbuat dari kayu,
seperti di bagian tempat boarding ticket dilaksanakan dan di ruangan-ruangan lainnya.
Denah bangunan yang simetris ala bangunan kolonial juga dimiliki stasiun Bangil.
Denah bangunan stasiun ini pada dasarnya berbentuk persegi panjang. Jendela yang
besar dan berbingkai kayu juga merupakan salah satu ciri bangunan kolonial juga
dimiliki stasiun Bangil.

Ciri lain bangunan kolonial yang terdapat di Stasiun Bangil adalah adanya
gable. Gable ini pada umumnya berbentuk segitiga. Tidak hanya pada atap bangunan
fasadenya saja yang terdapa gable, di atap penutup peron juga terdapat gable. Selain
gable, juga ada dormer. Tetapi, pada Stasiun Bangil, dormer ini tidak ada di bangunan
utama stasiunnya, melainkan ada di sebuah bangunan mirip tandon yang terletak di
dekat dipo tempat gerbong penyelamat NR9 diletakkan.

Tidak hanya struktur bangunannya saja yang menunjukkan kekhasan


bangunan kolonial. Ada juga beberapa sentuhan klasik yang terdapat di Stasiun
Bangil. Beberapa di antaranya adalah jam dan lampu-lampu caping yang banyak
dijumpai pada desain-desain bangunan klasik.
DAFTAR RUJUKAN

Boekoe Peringatan dari Staatsspoor En Tramwegen di Hindia Belanda 1875-1925


Handinoto. 2004. “Indishe Empire Style” Gaya Arsitektur “Tempo Doeloe” Yang
Sekarang Sudah Mulai Punah. Dimensi, 20. (Online),(
http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/IESTYLE.pdf), diakses 02
November 2016
Handinoto. 1999. Perletakan Stasiun Kereta Api Dalam Tata Ruang Kota-Kota Di
Jawa (Khususnya Jawa Timur) Pada Masa Kolonial. Dimensi, (Online), 27
(2): 48-56, (http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/Kereta
%20api.pdf) diakses 02 November 2016
Situs Resmi Kecamatan Bangil. Gambaran Umum Kota Bangil, Pasuruan, Jawa
Timur, (Online),( http://bangil.pasuruankab.go.id/pages-7-gambaran-
umum.html), diakses 02 November 2016
Lampiran-Lampiran

Lampiran 1

Stasiun Bangil tahun 1979


(Sumber: Rahmalia, Devi. 2014. Angker.AAA Pictures, Bali Bumerang Films, Sapu Jagat
Productions, Suflines)
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6

Anda mungkin juga menyukai