Anda di halaman 1dari 11

Makalah Arsitektur Kolonial

“STASIUN KERETA API DAERAH OPERASI VI YOGYAKARTA”

Alicia Tiffany Beandda

15210043

Sejarah Perkeretaapian Indonesia

Kereta api telah menjadi sarana transportasi massal yang kehadirannya sangat memudahkan
dan dirasa sangat penting oleh banyak negara besar termasuk Indonesia. Hal ini telah
dirasakan oleh Indonesia sejak berabad-abad lalu dimana transportasi sudah mejadi
kebutuhan bagi masyarakatnya. Dengan jumlah daya angkut manusia, waktu tempuh yang
relatif lebih cepat dibanding moda transportasi darat lainnya, serta harga tiket yang relatif
terjangkau adalah pertimbangan-pertimbangan mengapa moda transportasi ini sangat
diminati. Kehadiran kereta api di Indonesia berawal dari berdirinya perusahaan swasta NV
Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada 27 Agustus 1863. Setelah itu,
mulailah berdiri perusahaan kereta api yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belada
bernama Staats Spoorwegen (SS) yang dilatarbelakagi oleh permasalahan finansial yang
menghambat pembangunan jalur kereta api.

Ide pembangunan jalur kereta api ini telah dikemukakan sebelumnya oleh Kolonel JHR Van
Der Wijk, petinggi Koniklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) pada 5 Agustus 1840, 23
tahun sebelum NISM didirikan. Menurutnya, kereta api merupakan salah satu jalan keluar
untuk mengatasi permasalahan pengangkutan dan menjadi sebuah keuntungan di bidang
pertahanan. Jalur kereta api Batavia (Jakarta) menuju Surabaya yang melewati Yogyakarta
dan Surakarta. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menerima ide tersebut, tetapi jalur yang
dibagun malah menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta.

NISM didirikan setelah mendapatkan izin dari Guberur Jenderal Hindia Belanda pada saat
itu, Mr. L.A.J.W Baron Sloet Ban De Beele untuk membangun jalur Kemijen-Taggung yang
berjarak 26 km. Pada tanggal 17 Juni 1864, dibangunlah jalur kereta api di Jawa yang
ditandai dengan peletakkan batu pertama oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-52, Van
De Beele. Jalur Kemijen-Tanggung ini kemudain diperpanjang hingga sampai Yogyakarta
melalui Surakarta dan mulai dipergunakan pada 10 Jui 1872. Jalur ini kemudian selesai dan
diresmikan pada 2 Maret 1882. Semua jalur tersebut dikuasai dan dikelola oleh NV. NISM
(Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda).

Stasiun Kereta Api di Indonesia

Karena keberadaan stasiun kereta api umumnya bersamaan dengan keberdaan sarana kereta
api di Indonesia yang dibangun pada zaman Belanda, maka kebanyakan stasiun kereta api
merupakan bangunan lama yang dibangun pada masa itu. Sebagian direstorasi dan diperluas,
sedangkan sebagian yang lain ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kebanyakan kota
besar, kota kabupaten, dan bahkan kecamatan di Jawa dihubungkan dengan jalur kereta api
sehingga di kota-kota tersebut selalu dilengkapi dengan stasiun kereta api. Tidak hanya
sebagai fasilitas ataupun infrastruktur tempat naik turunnya penumpang kereta api, stasiun
juga telah menjadi saksi sejarah yang kuat pada perkembangan baik sistem perkertaapian
hingga arsitektur Indonesia. Stasiun-stasiun di Indonesia dibangun antara tahun 1880 hingga
1940 pada zaman Hindia Belanda dengan arsitektur Eropa, mulai dari stasiun besar seperti
stasiun Tugu Yogyakarta hingga stasiun kecil seperti Kedung Jati.

Daerah Operasi 6 Yogyakarta

Pada saat ini, pengoperasian Kereta api dibagi menjadi beberapa daerah operasi menurut
lokasi stasiunnya. Daerah Operasi VI Yogyakarta atau disingkat dengan Daop 6 Jogja atau
Daop VI YK adalah salah satu derah operasi perkeretaapian terluas di Indonesia di bawah
lingkungan PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang berada di bawah direksi PT Kereta Api
Indonesia. Daerah Operasi VI Yogyakarta ini memiliki beberapa stasiun besar, beberapa di
antaranya adalah Stasiun Tugu, Lempuyangan, Solo Balapan, dan Solo Jebres. Berikut ini
merupakan penjelasan dari stasiun-stasiun tersebut
Stasiun Yogyakarta Tugu

Stasiun Yogyakarta Tugu dikenal sebagai salah satu stasiun tertua Indonesia yang terletak di
tengah kota Yogyakarta, dekat dengan pusat belanja kawasan Malioboro dan kawasan cagar
budaya Benteng Vrederburg. Stasiun ini mulai beroperasi tanggal 2 Mei 1887 dengan fungsi
awal untuk kebutuhan pengangkutan hasil bumi dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya yang
menghubungkan kota-kota Yogyakarta-Solo-Semarang. Pada tahun 1905, stasiun yogyakarta
mulai menjadi kereta penumpang. Saat ini, stasiun Yogyakarta Tugu sudah menjadi stasiun
besar yang mealayani kereta kelas bisnis dan eksekutif untuk berbagai kota tujuan di Pulau
Jawa. Stasiun ini juga masih berfunsi sebagai tempat perawatan kereta. Fasilitas tersebut
terletak di baguan barat stasiun dan sedikit terpisah dengan bangunan utama dan peron
penumpang.

Arsitektur stasiun ini memiliki unsur Art Deco yang terlihat pada komposisi pintu masuk
utama yang sangat simetris dan memiliki perpaduan garis horizontal dan vertikal yang
menjadi karakter kuat sebagai pusat perhatian. Bangunan ini memiliki keunikan dalam tata
letaknya, yaitu komposisinya yang menjadikannya disebut stasiun dua sisi. Komposisi ini
biasa digunakkan pada stasiun antara yang cukup besar. Fasad atau bagian depan bangunan
ini menjadi pintu masuk utama stasiun dan menghadap ke arah timur atau Jalan Mangkubumi
yang menjadi poros kota Yogyakarta.

Gambar 1. Bagian luar stasiun Yogyakarta Tugu

Sumber: http://kotawisataindonesia.com/wp-
content/uploads/2013/10/bangunan-stasiun-tugu-yogyakarta.jpg
Dari bagian depan bangunan itu dapat dikenali ciri arsitektur langgam Indische Empire yang
banyak dianut pada akhir abad ke 19 dan menjadi gaya arsitektur kolonial modern pada awal
abad ke 20 di Hindia Belanda. Salah satu cirinya adalah susunan denah dan tampak bangunan
yang simetris dan memiliki kesan rapi dan sederhana. Selain itu, bangunan ini juga tidak
memiliki bentuk yang berlebih-lebihan yang juga merupakan pengaruh dari gaya Neo
Renaissance. Gaya Art Deco yang terdapat di bangunan ini juga terlihat pada garis-garis
horizontal dan vertikal pada lubang-lubang dinding roster yang berguna sebagai cross
ventilation sebagai pemberi karakter bangunan. Pada kedua sisi terdapat bangunan terbuka
dengan struktur baja beratap ebar yang memayungi arena peron dan emplasemen.

Tanggapan akan iklim tropis pada bangunan ini dapat terlihat dari penambahan overstek pada
atap yang berbentuk busur. Pada bagian dalam stasiun, plafon dan kolom serta balok diberi
warna putih. Kolom diberi kombinasi material keramik untuk mengurangi resiko kotor.
Kombinasi kolom-kolom beton pada bangunan utama dan pada bangunan peron
memperlihatkan ketepatan pemilihan material sesuai dengan fungsinya.

Gambar 2. Bagian dalam stasiun Yogyakarta Tugu

Sumber: http://mulakusuma.files.wordpress.com/2009/12/tugu-
e1261755970113.jpg
Stasiun Lempuyangan

Stasiun Lempuyangan didirikan pada tanggal 2 Maret 1872. Stasiun ini melayani
pemberhentian semua kereta api ekonomi yang melintasi Yogyakarta. Beserta dengan rel
yang membujur dari barat ke timur, stasiun ini merupakan perbatasan antara kecamatan
Gondokusuman di utara dan Danurejan di Selatan. Berbeda dengan stasiun kereta api lain di
Jawa yang umumnya baru melayani pemberhentian rangkaian ekonomi setelah kebijaka
pemisahan pelayanan stasiun untuk penumpang kereta api ekonomi dan non-ekonomi, stasiun
ini sudah sejak lama dijadikan tempat pelayanan kereta api ekonomiyang diberangkatkan dari
Yogyakarta. Dulu, ketika semua kereta api ekonomi lain masih diberangkatkan dari stasiun
Yogyakarta, stasiun ini sudah menjadi titik keberangkatan KA Empu Jaya jurusan Jakarta
Pasar Senen (sekarang berganti nama menjadi KA Progo) dan KA Argopuro jurusan
Banyuwangi Baru (sekarang menjadi KA Sri Tanjung) dan KA Gajah Wong jurusan Jakarta
Pasar Senen.

Sebelum pemerintahan Hindia belanda meresmikan dan menyetujui undang-undang u


pembangunan jalan kereta api di pulau Jawa, NISM telah membangun rel sepanjang 26 km
dengan rute Semarang-Tanggung dan Grobogan. Setelah bisnisnya merugi, NISM kemudian
meminta pemerintah Hindia Belanda melanjutkan pembangunan rel sepanjang 166 km
menuju Yogyakarta. Sehingga pada masa itu, Stasiun Lempuyangan tercatat sebagai salah
satu stasiun yang menjadi bagian dari sejarah terbentuknya jaringan rel kereta api di pulau
Jawa.

Gambar 3. Stasiun Lempuyangan

Sumber: http://3.bp.blogspot.com/
Arsitektur bangunan stasiun Lempuyangan ini bergaya campuran Art Deco dengan Indische
Empire. Hal ini dapat terlihat dari tampak bangunan yang memiliki unsur garis horizontal
pada bagian teritisannya. Unsur Indische Empire dapat terlihat dari jendela kayu berjalusi
pada bagian depannya. Gaya simetris sangat terlihat dari pintu masuk bagian depan yang
diapit oleh jendela kayu pada bagian samping-sampingnya. Bangunan stasiun ini sayangnya
sudah terlihat agak lebih modern dengan pemberian kaca bercorak pada bagian atas jendela di
pintu masuk sehingga kurang terlihat unsur arsitektur aslinya. Penggunaan material batu alam
terdapat pada bagian bawah jendela pada area pintu masuk. Pada bagian dalam bangunan,
terdapat deretan kolom struktural berwarna coklat dari material beton yang diukir sederhana
dengan penambahan warna kuning dengan unsur vertikal dari bagian ujung atas hingga ujung
bawah yang kemudian disambungkan dengan truss baja sebagai struktur atapnya. Struktur
atap stasiun ini dibuat meninggi pada bagian tengahnya dan menempatkan jendela kaca pada
bagian sofi-sofinya.

Gambar 4. Bagian dalam Stasiun Lempuyangan

Sumber: http://vanillaqu.com/?p=1160
Stasiun Solo Balapan

Stasiun Solo Balapan adalah stasiun induk di Kestalan dan Gilingan , Banjarsari, Surakarta
yang menghubungkan kota Bandung, Jakarta, Surabayam dan Semarang. Bangunan Stasiun
Balapan Solo terdiri dari dua terminal atau emplasemen selatan dan utara. Emplasemen
selatan memiliki lima jalur sepur, sedangkan emplasemen utara memiliki tujuh jalur sepur.
Emplasemen selatan umumnya dipakai untuk pelayaan kereta api penumpang, sementara
emplasemen utara lebih diperuntukkan untuk pelayanan kereta api barang. Stasiun Solo
Balapan bagian utara mulai dibangun pada tahun 1870 oleh perusahaan kereta api
Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada lahan milik Keraton
Mangkunegaran. Satsiun ini merupakan salah satu stasiun besar tertua di Indonesia setelah
Stasiun Semarang Tawang. Bangunan stasiun bagian selatan dirancang oleh Herman Thomas
Karsten, seorang arsitek kenamaan beraliran Indische, pada tahun 1927.

Bangunan emplasemen utara yang dibangun lebih awal dirancang sebagai bangunan gedung
memanjang dengan atap pelana tanpa teritisan di bagian sofi-sofinya. Di bagian tengah
bangunan yang memanjang tersebut diletakkan bangunan utama yang berfungsi sebagai
ruang kedatangan penumpangs erta kanotr administrasi stasiun dengan dimensi yang berbeda
sehingga tampak seperti menara. Menara tersebut memiliki bentuk atap yang mengambil
inspirasi bentuk atap lokal dengan dua tekukan kemiringan yang berbeda dan diberi akhiran
ornamen pada puncak bubungan. Itulah ciri bangunan gedung bergaya Nieuw Bouwen yang
dikombinasikan dengan elemen lokal, sperti yang terlihat pada jenis kontruksi atap peron dan
raut profil yang dibuat di pilaster-pilasternya. Bangunan emplasemen utara berkarakter Nieuw
Bouwen yang dikombinasikan dengan elemen lokal.

Gambar 5. Stasiun Solo Balapan

Sumber: http://beritaenam.com/mp-content/berita/24solo-
balapan.jpg
Bagian pintu masuk, hall, dan kantor administrasi diletakkan di tengah dalam bentuk seperti
menara sehingga menjadi vocal point bangunan ini. Emplasemen selatan merupakan
bangunan dengan langgam yang lebih baru yang merupakan arsitektur lokal dan modern.
Bangunannya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian kanopi drop-off yang merupakan
penambahan baru, bagian hall dengan loket dan kantor adminstrasi, serta bangunan
emplasemen. Bangunan hall dirancang dengan atap bertumpuk tiga sejajar yang tidak
menunjukkan ciri-ciri arsitektur lokal, sedangkan bentuk atap kanopi drop-off mengikuti
bentuk pendopo yang diadaptasi dari arsitektur setempak dengan konstruksi kolom beton.

Bentuk bukaan dinding pembatas antar peron dan ruang tunggu pada emplasemen utara
dengan ornamen berupa cornice merupakan bentuk desain untuk mencapai keselarasan.
Cahaya buatan yang terpancar dari lampu yang berada di langit-langit peron pada malam hari
menciptakan suasana yang membuat suatu karya arsitektur menjadi terasa lebih indah.
Susunan atap tiga lapis berbentuk limasan menaungu bangunan utama emplasemen selatan
dimana ruangan yang berada dibawahnya adalah hall dan loket penjualan tiket. Tiang yang
tinggi menjulang pada puncak atap selai berfungsi sebagai penada bangunan utama juga
berfungsi sebagai penangkal petir. Struktur dan konstruksi penutup atap kanopi drop-off
berbentuk jurai dengan material besi sebagai rangkanya dan seng galvanis sebagai penutup.
Salah satu penerapan konsep simetris tercermin dalam deretan jendela yang terdapat pada
bagian atas bangunan koridor yang difungsikan sebagai tempat untuk mengamati perjalanan
kereta api.

Gambar 6. Emplasemen Stasiun Solo Balapan

Sumber: http://s1206.photobucket.com/
Stasiun Solo Jebres

Stasiun Solo Jebres dibangun tahun 1884 oleh pemerintah Kasunanan Surakarta melalui
perusahaan kereta api Hindia Belanda Staats Spoorwegen (SS). Saat ini Stasiun Jebres adalah
salah satu stasiun untuk transportasi kelas ekonomi dengan tujuan Jakarta dan Surabaya serta
sebagai stasiun barang atau kargo ke beberapa kota serta sebagai salah satu destinasi wisata
ke Kota Solo. Lokasi stasiun terletak di area yang cukup strategis yaitu di pusat kota.
Pemerintah kemudian segera menetapkan bangunan ini sebagai cagar budaya mengingat nilai
penting yang dimilikinya.

Arsitektur bangunan Stasiun Solo Jebres ini bergaya Indische Empire dengan fasad yang kaya
dengan detail yang banyak dipengaruhi oleh langgam Neoklasik. Bangunan ini berbentuk
simetris dengan penekanan pada bagian pintu masuk utama dan peninggian atap serta
pengolahan fasad yang berbeda. Pada bagian tengah yang menjadi perhatian utama ini,
karakter bangunan diberntuk oleh fasad segitifa dari sofi-sofi yang dihiasai corrnice di
bawahnya. Dua buah lunette atau jendela atas, serta dua pintu yang semua berbentuk
lengkung. Komposisi simetris dari elemen-elemen tersebut meciptakan kesan megah yag
ditambah dengan detail jalusi pada pintu yang bernuansa Art Nouveau serta penempatan
garis-garis horizontal pada dinding. Selain itu terdapat juga penambahan kanopi sebagai
penanda masuk berbahan baja.

Gambar 7. Stasiun Solo Jebres

Sumber: http://www.tiket.com/
Lengkungan pada setiap bukaan yang diperkuat dengan moulding yang berbentuk busur
dengan warna merah bata yang kontras dengan warna dinding merah muda. Lubang udara di
atas pintu atau jendela untuk penghawaan alami diperindah dengan tralis besi dengan pola
Art Nouveau atau deretan papan bernuansa tradisional.

Pada bagian dalam bangunan, kekayaan komposisi elemen bangunan masih terlihat dengan
pengolahan yang sama, meskipun hanya pintu utama yang berbentuk lengkung sedangkan
pintu lainnya diakhiri dengan moulding berbentuk cornice. Hal ini untuk mencapai kesatuan
bentuk dengan bagian bangunan yang lain. Bagian bawah dinding dilapisi oleh keramik untuk
kemudahan dalam perawatannya. Detail moulding lengkung di atas pintu dan jendela serta
kolom-kolom korintian yang merupakan ciri gaya Neoklasik. Jalusi bergaya Art Nouveau
serta pewarnaan yang kontras menjadikan bangunan stasiun ini terlihat kaya dengan detail.

Gambar 8. Bagian dalam Stasiun Solo Jebres

Sumber: http://images.solopos.com/

Pembahasan

Keempat stasiun ini termasuk dalam stasiun besar di daerah Jawa Tengah yang tergabung
dalam DOP VI Yogyakarta. Berikut merupakan perbandingan antara keempat stasiun tersebut
Kesimpulan

Keempat stasiun ini memiliki ciri khas arsitektur masing-masing walaupun berada pada
periode pembangunan yang berdekatan. Perusahaan pembangunan stasiun menjadi salah satu
pola yang cukup terlihat pada gaya arsitektur yang digunakan. Pada perancangan stasiun-
stasiun ini, Karsten memiliki gaya yang cukup berbeda ketika merancang Stasiun Solo
Balapan. Ia berani meggabungkan gaya Indische Empire dengan arsitektur lokal lewat bentuk
atapnya.

Sebagai bangunan cagar budaya, keempat stasiun ini memiliki sejarah masing-masing dalam
pembangunannya. Lewat konservasi, pemerintah sudah melakukan upaya pemeliharaan
terhadap sejarah tersebut. Ada yang dipertahankan secara utuh, ada yang sudah cukup
berubah pada bagian warna dan materialnya. Mempertahankan bangunan secara utuh
memang lebih sulit, tetapi sejarah yang dipertahankan pun lebih banyak. Hal ini yang
harusnya terus dikembangkan untuk mempertahankan keaslian bangunan cagar budaya di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai