Berbicara tentang Kereta Api Argo Parahyangan tak bisa lepas dari sejarah panjang lintasan
kereta api Bandung Jakarta. Rangkaian kereta api rute Bandung Jakarta memang memiliki
sejarah panjang sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Semula koridor ini
melewati Cianjur, Sukabumi dan Bogor menggunakan rangkaian kereta api Westerlijnen dengan
waktu tempuh hingga 9 jam. Rangkaian tersebut diberangkatkan dari Stasiun Batavia Nord dan
berakhir di Stasiun Cicalengka di Kabupaten Bandung. Waktu tempuh yang lama tersebut dinilai
sangat tidak efisien sehingga Pemerintah Belanda melalui Staat Spoorwagen (SS) membuka jalur
baru via Cikampek dan Purwakarta yang lebih pendek dan mulai beroperasi 2 Mei 1906 hingga
sekarang.
Menjadi Parahijangan.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, nama De Vlugge Vier diganti menjadi
Parahijangan. Di tahun 1950-an, Parahijangan ditarik oleh lokomotif diesel pertama di Indonesia,
CC-200 dan menggunakan rangkaian gerbong ABL asal Prancis –tergolong nyaman pada saat
itu. Parahijangan juga tercatat pernah mengantarkan delegasi Konferensi Asia Afrika (KAA)
1955.
Kejayaan Kereta Api Parahyangan dimulai pada dekade 1980-an. Dalam satu perjalanan di tahun
1987, Kereta Api Parahyangan pernah membawa 14 gerbong dengan 2 lokomotif CC-201
(double traksi). Jadi bila saat ini PT. Kereta Api Indonesia (PT.KAI) memiliki 2 kereta api
dengan formasi 14 gerbong pada Kereta Api Kertajaya (Jakarta Pasar Senen – Surabaya Pasar
Turi) dan Kereta Api Tawang Jaya (Jakarta Pasar Senen – Semarang Poncol), itu bukanlah cerita
baru, karena di zaman PJKA 14 gerbong dalam 1 rangkaian juga sudah pernah terjadi.
Namun yang membedakan, Kereta Api Kertajaya dan Kereta Api Tawang Jaya ditarik lokomotif
CC-206 yang lebih bertenaga dari CC-201 sehingga tidak dibutuhkan double traksi. Perbedaan
lainnya, 14 gerbong di era PJKA pada Kereta Api Parahyangan membawa rangkaian kelas 2
(K2) berbeda dengan 2 rangkaian 14 gerbong sekarang yang notabene adalah kelas ekonomi
(K3). Kejayaan Kereta Api Parahyangan berlanjut sampai pada tahun 1995 ketika Perumka
meluncurkan Kereta Api Argo Gede. Sejak saat itu perlahan kejayaan sang legenda mulai
memudar.
Penurunan jumlah penumpang Kereta Api Parahyangan makin terasa setelah beroperasinya Jalan
Tol Cipularang pada tahun 2004. Meski sempat naik sejenak setelah adanya penurunan tarif,
minimnya jumlah penumpang terus terjadi karena di saat bersamaan sejumlah perusahaan otobus
travel juga melakukan hal yang sama, sehingga opsi penutupan menjadi satu-satunya jalan agar
tidak merugikan operasional PT. Kereta Api Indonesia (KAI) secara keseluruhan. Akhirnya tepat
pada 26 April 2010, sang legenda resmi mengakhiri masa dinasnya.
Tetapi banyaknya masyarakat yang tetap menginginkan agar legenda Priangan Barat tidak benar-
benar mati dan juga tetap menginginkan adanya kelas bisnis yang terjangkau, maka PT. KAI
merespon keinginan masyarakat tersebut lewat Kereta Api Argo Parahyangan. Maka jadilah
kereta api Argo Parahyangan sebagai gabungan dari 2 rangkaian kereta api Argo Gede dan kereta
api Parahyangan. Dengan demikian, pelanggan kelas bisnis Parahyangan —waktu itu belum ada
fasilitas AC— tetap bisa menikmati layanan kelas bisnis dengan tarif terjangkau dan disisi lain
pelanggan kereta api Argo Gede juga tetap bisa menikmati layanan kelas argo di Priangan Barat
seperti biasa. Karena lahir tepat sehari setelah sang legenda mengakhiri tugasnya dan masih tetap
membawa rangkaian gerbong kelas bisnis bekas pendahulunya itu, Kereta Api Argo
Parahyangan boleh dibilang sebagai titisan sang legenda.
Jadwal Kereta Api Argo Parahyangan juga lebih sedikit dibanding dua pendahulunya. Sejak awal
peluncuran, okupasi kereta api Argo Parahyangan tetap stabil dan lonjakan penumpang biasa
terjadi di akhir pekan dan musim-musim liburan.
Mulai 2011, layanan kereta api Argo Parahyangan mengalami peningkatan menjadi kereta api
eksekutif sepenuhnya, meski di jam-jam tertentu juga masih membawa rangkaian kelas bisnis.
Peningkatan fasilitas ini juga berdasarkan lebih besarnya minat pelanggan terhadap kelas
eksekutif. Di awal 2012, rangkaian kelas bisnis di kereta api Argo Parahyangan mulai dilengkapi
fasilitas AC split, disamping juga mulai ditarik lokomotif terbaru CC-206. Meski demikian,
lokomotif CC-201 dan CC-203 masih tetap setia menarik titisan sang legenda. Barulah mulai
tahun 2014 setelah diberlakukannya Gapeka 2014, titisan sang legenda Priangan Barat ini rutin
ditarik lokomotif CC-206.
Kembali ke Khitah.
Karena permintaan kelas bisnis juga mengalami peningkatan, maka pada masa angkutan Lebaran
2016, Kereta Api Argo Parahyangan yang semula Full Eksekutif mulai membawa 1 rangkaian
kelas bisnis, awalnya rangkaian kelas bisnis hanya disediakan untuk penumpang dari Bandung
tujuan Jakarta Gambir, tetapi di bulan Agustus 2016 rangkaian kelas bisnis tersebut tersedia
untuk penumpang tujuan Bandung. Dengan demikian, kereta api Argo Parahyangan kembali ke
khitahnya sebagai rangkaian kereta api campuran eksekutif dan bisnis. Kecuali KA 33,34,35F
dan 36F masih Full Eksekutif karena menggunakan rangkaian kereta api lain (Turangga dan
Gajayana) yang sedang tidak beroperasi.
Disamping 7 kali perjalanan reguler, Kereta Api Argo Parahyangan menyediakan 1 kali
perjalanan khusus di akhir pekan Sabtu dan Minggu dengan KA 31 dan 32 menggunakan
rangkaian kereta api Harina dan satu perjalanan Fakultatif khusus di hari Minggu dan Libur
Nasional dengan KA 35F dan 36F yang menggunakan rangkaian kereta api Gajayana. Satu
perjalanan fakultatif disediakan khusus di hari Senin, KA 37F dan 38F.
Berikut jadwal lengkap Kereta Api Argo Parahyangan rute Stasiun Bandung – Stasiun Jakarta
Gambir berdasarkan Gapeka 2015:
Untuk keberangkatan reguler setiap hari, kereta api Argo Parahyangan menggunakan rangkaian
asli dengan formasi 1 rangkaian kereta pembangkit, 4 – 5 rangkaian kelas eksekutif, 1 rangkaian
kereta makan dan 1 rangkaian kelas bisnis (khusus KA 21 – KA27 dari Bandung dan KA 24 –
KA 30 dari Jakarta Gambir membawa 3 rangkaian kelas bisnis). Kecuali KA 33 dari Bandung
dan 34 dari Jakarta Gambir yang full eksekutif menggunakan rangkaian kereta api Turangga.
Adapun kereta api Argo Parahyangan 31 dan 32 menggunakan rangkaian kereta api Harina
dengan formasi 1 kereta pembangkit, 4 rangkaian kelas eksekutif, 1 rangkaian kereta makan, 2
rangkaian kelas bisnis dan 1 rangkaian kelas ekonomi. Tetapi saat digunakan sebagai kereta api
Argo Parahyangan 31 dan 32 rangkaian kelas ekonomi tidak digunakan. Rangkaian ini juga
kerap pergunakan sebagai KA 21 dan 24 setiap hari Senin karena rangkaian regulernya dipakai
KA 37F dan 38F.
Sementara itu untuk rangkaian KA 35F dan 36F yang dijalankan hanya apabila permintaan
sangat tinggi di akhir pekan dan hari libur formasinya Full Eksekutif menggunakan rangkaian
kereta api Gajayana dengan rute asli Jakarta Gambir – Malang PP tetapi tidak beroperasi di pagi
hari.
Harga tiket kereta api Argo Parahyangan untuk kelas eksekutif mulai Rp 100.000,00 s.d. Rp
120.000,00 dan kelas bisnis mulai Rp 75.000,00 s.d. Rp 90.000,00. Rinciannya sebagai berikut:
Subkelas A = Rp 120.000,00
Subkelas H = Rp 115.000,00
Subkelas I = Rp 105.000,00
Subkelas J = Rp 100.000,00
Subkelas B = Rp 90.000,00
Subkelas K = Rp 85.000,00
Subkelas N = Rp 80.000,00
Subkelas O = Rp 75.000,00
Perbendaan subkelas ini pada posisi tempat duduk, posisi gerbong, dan tergantung pada
permintaan. Untuk perjalanan akhir pekan dan musim liburan biasanya hanya tersedia tarif batas
atas Subkelas A (Eksekutif) dan B (Bisnis). Khusus untuk kelas bisnis di kereta api Argo
Parahyangan reguler selain rangkaian KA 21, 24, 27 dan 30 hanya tersedia 1 gerbong untuk
subkelas B saja.