FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MEDAN AREA MEDAN 2023 Sejarah Perkeretaapian Di Indonesia Perkembangan Kereta Api di Indonesia
Pembangunan Rel Kereta Api Indonesia
Zaman Penjajahan Kereta api di Indonesia mucul pada abad ke 19, dalam bentuk kereta yang ditarik oleh lokomotif uap. Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen hari Jumat tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung yang jaraknya kurang lebih 26 kilometer. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada Hari Sabtu, 10 Agustus 1867.
Stasiun Kereta Api Semarang
Keberhasilan pihak NV. NISM membangun jalan kereta api ini dilanjutkan. Tanggal 10 Februari 1870 rel kereta api lainnya dapat menghubungkan kota Semarang - Surakarta sejauh 110 kilometer. Dengan kesuksesan ini akhirnya banyak investor yang terdorong minatnya untuk membangun jalan kereta api di daerah lainnya. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara tahun 1864 - 1900 tumbuh dengan pesat. Dari panjang hanya 25 kilometer di tahun1864, berkembang menjadi 3.338 kilometer di penghujung abad ke 19. Selain di Pulau Jawa, pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di Aceh di tahun 1874, Sumatera Utara pada 1886, Sumatera Barat tahun 1891, dan di Sumatera Selatan pada tahun 1914. Tahun 1922, pembangunan jalan kereta api berlanjut hingga Celebes, Pulau Sulawasi. Jalan kereta api di Sulawesi ini menghubungkan jarak 47 Km antara Makasar dengan Takalar, yang pengoperasiannya mulai dilakukan tanggal 1 Juli 1923. Sedangkan di Pulau Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi mengenai jalan kereta api jalur Pontianak-Sambas sejauh 220 Km sudah diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, juga pernah dilakukan studi pembangunan jalan kereta api. Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan kereta api di Indonesia mencapai 6.811 kilometer. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 kilometer. Hilangnya kurang lebih 901 kilometer ini diperkirakan disebabkan oleh pembongkaran yang dilakukan oleh Jepang, semasa masa penjajahannya di Indonesia. Bongkaran jalan kereta api ini kemudian diangkut Jepang ke Myanmar (dulu Burma) untuk membangun jalan kereta api di sana. Semasa pendudukannya di Indonesia (tahun 1942-1943), Jepang juga ikut berkontribusi membangun jalur kereta api. Sepanjang 83 kilometer jalur kereta api antara kota Bayah-Cikara dibangun dan 220 kilometer antara Muaro-Pekanbaru. Ironisnya, Jepang membangun jalan kereta api jalur Muaro-Pekanbaru dengan menggunakan teknologi seadanya dan menggunakan tenaga penduduk Indonesia. Jalur Muaro-Pekanbaru saat itu diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan yang memperkerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang hingga kini makamnya bertebaran sepanjang Muaro- Pekanbaru. Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya dengan diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, karyawan KA yang tergabung dalam "Angkatan Moeda Kereta Api" (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tanggal 28 September 1945. Di hari itu, AMKA menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya "Djawatan Kereta Api Republik Indonesia" (DKARI).
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERKERETAAPIAN
NOMOR : HK.209/3/19/DJKA/2022 TENTANG : PEDOMAN TEKNIS PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERKERETAAPIAN Pedoman teknis penerapan manajemen risiko di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian dimaksudkan sebagai acuan bagi seluruh pimpinan dan pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian dalam menerapkan manajemen risiko terkait dengan pelaksanaan fungsi/program/kegiatan dalam upaya pencapaian tujuan dan sasaran unit kerja. Pedoman Teknis ini berlaku untuk penerapan manajemen risiko di unit kerja eselon I, eselon II dan unit kerja mandiri/Balai di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Pedoman teknis ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas perencanaan, mengoptimalkan kinerja, mendorong inovasi dan efektivitas pengendalian intern melalui penerapan manajemen risiko yang sistematis, terstruktur, dan sinergis. Secara lebih rinci, tujuan penerapan manajemen risiko di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian sebagai berikut : A. Mengidentifikasi dan mengelola risiko dan meminimalisasi dampak yang ditimbulkannya; B. Melindungi pimpinan dan pegawai unit kerja dari risiko signifikan yang dapat menghambat pencapaian tujuan dan sasaran unit kerja; C. Mengoptimalkan efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan dalam pelaksanaan fungsi/program/kegiatan; dan D. Menciptakan kesadaran dan kepedulian seluruh pimpinan dan pegawai akan pentingnya pengelolaan risiko.