Anda di halaman 1dari 12

Perencanaan Kota, Metropolitan dan

Kawasan Urbanisasi Serta Pertumbuhan


Kota

Fani Ratny Pasaribu, S.AP.,M.AP


Pertemuan Ke-6
Materi
01 Urbanisasi
Perkuliahan
02 Pertumbuhan Perkotaan

03 Paradima Aglomerasi Industri

04 Kebijakan Urbanisasi di Indonesia


1. Urbanisasi
Dalam monteks proses urbanisasi pada skala global, munculnya beberapa kota mega aglomerasi perkotaan menarik untuk dicatat. Dengan penduduk
lebih dari 10 juta jiwa, kota mega telah bermunculan di kawasan Asia selama lima dasa warsa terakhir. Tingkat urbanisasi di negara- negara Asia Tenggara
lebih tinggi dibanding negara- negara Asia lainnya. Selama empat dasawarsa terakhir, tingkat urbanisasi yang diukur dengan persentase penduduk yang
tinggal di daerah perkotaan meningkat hampir dua kali lipat di negara- negara Asean. Pada tahun 1950, tingkat urbanisasi di negara- negara Asean sebesar
15%, sedikit di bawah negara- negara Asia lainnya. Pada tahun 2000, hampir semua negara Asean memiliki tingkat urbanisasi yang jauh lebih tinggi
dibanding rata- rata negara Asia.

Walaupun demikian, pada skala global, tingkat urbanisasi di negara- negara Asean masih tergolong rendah. Ini terbukti dari tingkat urbanisasi dunia pada
tahun 1950 dan 2000 masing- masing sebesar 29,1% dan 47,1% yang lebih tinggi daripada rata- rata tingkat urbanisasi Asean. Pada tahun 2030, tingkat
urbanisasi di Asean diperkirakan mencapai 60,7% atau hampir sama dengan tingkat urbanisasi dunia sebesar 60,8%.

2016 2017 2018 2019 2020 2021

Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) dibalik urbanisasi yang cepat kawasan Asia sejak dasawarsa 1980-an. Kecuali dalam
dalam kasus industri berbasis sumber daya mice-based industries, industri manufaktur cenderung berlokasi di dalam dan sekitar pertanian dan
industri berdampingan, bahkan terkadang berebut lahan di seputar pusat- pusat kota yang pada gilirannya semakin mengaburkan perbedaan baku
antara desa dan kota. Industri cenderung braglomerasi di daerah- daerah dimana potensi dan lampauan daerah tersebut memenuhi kebutuhan
mereka, dan mereka mendapat manfaat: lokasi perusahaan yang saling berekatan. Kota umumnya menawarkan berbagai kelebihan bentuk
produktivitas dan pendapatan lebih tinggi yang menarik investtasi baru, teknologi pekerja terdidik, dan terampil dalam jumlah yang jauh lebih tinggi
dibanding perdesaaan.
Lanjutan….

Oleh karena itu, dapat dimengerti jika aglomerasi baik aktivitas


ekonomi maupun penduduk di perkotaan menjadi isu sentral dalam
literatur geografi ekonomi, strategi bisnis dan peningkatan daya
saing nasional.
2. Pertumbuhan Perkotaan
Pertumbuhan kota- kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih kompleks
daripada sekedar penghematan aglomerasi. Teori ukuran kota yang optimal yang
dikaji oleh Fujita dan Thisse (1996) menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial
dari aktivitas ekonomi sebagai hasil tarik menarik antara kekuatan sentripetal dengan
sentrifugal. Kekuatan sentripetal yang ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi
adalah semua kekuatan yang menarik aktivitas ekonomi ke daerah perkotaan.
Kekuatan sentrifugal adalah kbalikan dari kekuatan sentripetal, yaitu kekuatan
dispersi. Ini diperlihatkan oleh kenaikan upah tenaga kerja yang terampil dan kasar
serta kenaikan gaji manajer yang mendorong perusahaan memilih lokasi di luar pusat
kota. Pertumbuhan kota juga cenderung meningkatkan harga tanah secara rill karena
jumlahnya tidak bertmbah. Kota- kota utama juga menimbulkan eksternalitas negatif
yang sering kali diasosiasiakan dengan polusi lingkungan (Fujita dan Rivera-Baits:
1988). Inilah yang disebut kausalitas kumulatif yang negatif menurut versi Myrdal dan
Pred.

Pendekatan yang lebih luas dipelopori oleh Paul Krugman yang nyaris sendirian
memproklamasikan paradigma geografi ekonomi baru (Krugman:1998). Krugman
menempatkan aglomerasi perkotaan sebagai pusat perhatian. Walaupun banyak
menggunakan kerangka sistem perkotaan ala neo-klasik, Krugman telah membuka
misteri penghematan eksternal serta memasukkan dimensi spasial dari semangat
“proses kausalitas kumulatif” dalam mendeskripsikan perkembangan perkotaan dan
daerah. Ia menyoroti adanya empat hal yang secara empiris tidak berubah mengenai
konsentrasi.

Pendekatan soistem perkotaan menjelaskan kekuatan sentripetal aglomerasi sebagai


penghematan eksternal yang murni, sedangkan kekuatan sentrifugal muncul dari
adanya kebutuhan untuk laju ke daerah pusat kota dalam suatu wilayah kota. Namun,
paradigma ini dikritik karena memiliki sejumlah kelemahan. yang Pertama,
penghematan eksternal yang mendorong aglomerasi dianggap masih merupakan
misteri. Kedua, ketergantungan dari banyak literatur semacam ini pada asumsi
persaingan antar-pengembang kota.
Lanjutan…
Ketiga, pendekatan ini benar- benar non spasial:
pendekatan ini mendeskripsikan jumlah dan jenis kota, Model tempat sentral percaya bahwa skala kota amat
tetapi sama sekali tidak membahs mengenai lokasinya. penting dan terdapat kecenderungan aktivitas ekonomi
Perkotaan (Krugman,1962:12-3). Pertama, pendapatn mengumpul menuju primasi. Perusahaan cenderung
perkapita berhubungan negatif dengan konsentrasi berlokasi di kota- kota untuk menekan biaya transpor
perkotaan. Kedua, konsentrasi penduduk di perkotaan atas bahan baku dan produknya. Beberapa studi
berkorelsi dengan konsentrasi kekuasaan politis. Ketiga, mengonfirmasi bahwa meningkatkan skala kota dua
infrastruktur transportasi memiliki dampak penting kali akan meningkatkan produktivitas (Nakamura:
terhadap konsentrasi perkotaan. Keempat, semakin 1985). Bentuk- bentuk kota yang terlahir dari interaksi
terbukasuatu perekonomian sebagaiaman diukur dengan antarkota. Terdapat 3 bentuk kota, yaitu: 1. Kota
pangsa ekspor terhadap produk domestik bruto Monosentrik. 2. Kota Koridor dan 3. Kota jaringan.
cenderung memiliki kota- kota utama yang lebih kecil Jarigan transpor dan komunikasi yang cepat serta
dibandingperekonomian yang tidak memiliki perdagangan dapat mencapai penghematan ruang yang substansial.
sebesar itu. Tidak mengherankan, tujuh dari sepuluh daerah kota
metropolitan di Eropa yang paling keatif saat ini dapat
Krugman dan para ahli ekonomi perkotaan “arus utama” diidentifikasi sebagai jaringan kota atau koridor.
telah begitu terobsesi dengan model kota yang disebut Koridor dari tujuh kota ini merupakan koridor yang
tempat sentral yang monosentrik. Dilhami oleh model paling dinamis dan memainkan peranan penting dalam
Christaller mengenai hirarki tempat sentral Uni Eropa.
(Christaller:1933), model ini merupakan model
klasikmengenai sentral Christaller menjelaskan bahwa Montgomery (1988) mendefenisikan aglomerasi
perusahaan berorientasi pasar menentukan lokasi sebagai konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di
berdasarkan pertimbangan akses terhadap konsumen. kawasan perkotaan karena “penghematan akibat
Model ini digunakan untuk memprediksi jumlah, ukuran, lokasi yang berdekatan yang diasosiasikan dengan
dan jangkauan kota dalam suatu wilayah berdasarkan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan
analisis area pasar. Teori tempat sentral menunjukkan konsumen”. Ini senada dengan Markusen (1996) yang
bagaimana pola lokasi industri yang berbeda menyatu menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu yang
dalam membentuk sistem regional perkotaan “tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan
(O`Sullivian:2003) eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang
letaknya berdekatan engan perusahaanlain dan
penyedia jasa- jasa, bukan akibat kalkulasi
perusahaan atau para pekerja secara individual.
Lanjutan….
Perkembangan konsep dan pemikiran mengenai
aglomerasi dapat dirangkum bahwa setiap stui
atau teori mengenai aglomerasi dapat
digolongkan dalam perspektif klasik atau modern
(Kuncoro:2002). Perspektif klasik percaya bahwa
aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan
diasosiasikan dengan konsep “penghematan
akibat aglomerasi” melalui konsep eksternalitas.
Para pendukung perspektif ini telah meletakkan
dasar- dasar model mikro mengenai eksternalitas
akibat skala ekonomis (Fujita:1982). Belakagan,
jalur pemikiran ini ditindaklanjuti dengan berbagai
studi empiris yang mencoba menganalisis dan
mengestimasi besarnya skla ekonomis.

Sementara itu, para ahli ekonomi perkotaan


mendefenisikan kota sebagai hasil dariproduksi
aglomerasi secara spasial. Pada gilirannya, hal ini
mendorong tumbuhnya literatur mengenai formasi
perkotaan. Dalam menjelaskan fenomena
aglomerasi, banyak ekonom mendefenisikan kota
sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi
secara spasial
3. Paradigma Aglomerasi Industri
Terdapat beberapa teori yang berusaha mengupas masalah aglomerasi. Namun, sebelum
lebih jauh mengenai teori- teori tersebut, konsep aglomerasi perlu dipahami lebih dahulu.
Dasarnya, istilah aglomerasi muncul berawal dari ide Marshall tentang penghematan
aglomerasi atau dalam istilah Marshall disebut industri yang terokal. Montgemory
(1988)mendefenisikan peghematan aglomerasi sebagai penghematan adanya lokasi yang
berdekatan yang diasosiakan dengan kelompok perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen
secara spasial untuk meminimalkan biaya- biaya, biaya transportasu, informasi, dan
komunikasi.

Sementara itu, Markusen menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang
PowerPoint
tidak mudah berubah akibat penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan
Presentation
yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa- jasa, serta bukan
akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual (Kuncoro:2004).
Selanjutnya dengan mengacu pada beberapa defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
aglomerasimerupakan konsentrasi dari aktivitas ekonomi dan penduduk secara spasial
yang muncul karena penghematan yang diperoleh akibat lokasi yang berdekatan.
4. Kebijakan Urbanisasi di Indonesia
Dalam program pembangunan perkotaan, terdapat berbagai perkembangan strategi
pembangunan perkotaan dari era orde baru hingga era reformasi sekarang ini.
Awalnya, pada era orde baru, ada beberapa kerangka mengenai program
pembangunan daerah perkotaan berikut ini:
1.Pemisahan aktivitas pembangunan daerah perkotaan dari kawasan andalan dan
aktivitas pembangunan daerah.
2.Sektor- sektor yang mencakup perogram pembangunan daerah dan program
pembangunan daerah perkotaan akan fleksibel.
3.Setiap program nasional akan ditetapkan sesuai dengan misi dari setiap organisasi
yang berpartisipasi.
4.UPD setiap provinsi dan program pendanaan pembangunan daerag akan memiliki
executing board daripada executing agency.
5.Setiap proram nasional mempunyai biaya operasional masing- masing dan
manager program dinominasikan.

Perkembangan ini diikuti dengan munculnya program National Urban


Development (NUD) yang membutuhkan kerangka dalam menyusun struktur dalam
elemen spasial yang komprehensif, yaitu pertumbuhan ekonomis, ekuitas, stabilitas,
dan guidelines. Strategi NUD dilakukan dengan hal- hal berikut:
3 tujuan dan mencapai pembangunan perkotaan yang seimbang
1.Mewujudkan
membutuhkan GBHN.
2.Membuat dan menjalankan program kebijakan yang relevan dalam mendukung
program pembangunan perkotaan.
3.Mengakui4 strategi kebijakan nasional yangh dibentuk dalam pembangunan
perkotaan.

5
Lanjutan..
Di era SBY, konsep yang dibangun pada penyusunan Kebijakan
strategi perkotaan Nasional (KSPN) adalah pembangunan berbasis
perkotaan. Konsep ini memandang urbanisasi sebagai fenomena
yang perlu dikelola agar dapat berkontribusi positif terhadap
pembangunan nasional (Alisjahbana:2010), serta memastikan hal-
hal berikut:
1.Optimalisasi potensi kota melalui peningkatan produktivitas dan
meningkatkan nilai tambah ekonomi.
2.Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi antara kota dan desa
dengan melakukan intervensi atau affirmative action terhadap desa
agar desa tetap memiliki posisi tawar yang memadai.
3.Mendorong peningkatan keterampilan agar penduduk mampu
meningkatkan kinerja secara berkeadilan.

Setidaknya ada empat faktor yang sangat


mempengaruhi tingkat keberhasilan perwujudan kebijakan dan
strategi perkotaan nasional (Alisjahbana:2010):
1.Kota merupakan “identitas sosio-spasial”, artinya fisik dan ruang
mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Oleh karena itu, upaya pembangunan kota tidak dapat lepas dari
upaya pengembangan masyarakat.
2.Kota merupakan bagian dari lingkungan sekitarnya, baik
lingkungan yang bersifat alarm, seperti hutan, sungai, daerah aliran
sungai dsb nya di kawasan perdesaan atau perkotaan.
3.Kota- kota Indonesia bersifat “terbuka”, artinya memberikan
kesempatan yang sama bagi setiap warga, seperti golongan kaya
dan miskin, asli dan pendatang, perbedaan agama, suku, serta
identitas pribadi lokal.
4.Menjadikan keterkaitan desa-kota sebagai faktor pendorong
perkembangan bagi wilayah perdesaan dan perkotaan karena telah
berinteraksi secara erat
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai