Anda di halaman 1dari 13

Pengertian Megapolitan atau Megacities

Megapolitan bukan suatu gejala maupun konsep baru dan bukan satu-satunya istilah
yang digunakan dalam kajian geografi dan perencanaan. Istilah lainnya yang setara dengan
megapolitan adalah megapolis, megalopolis, megacity, mega urban, atau supercity. Inti dari kata
tersebut adalah mega/ megal yang memiliki arti besar.
Menurut Yunus (2006), megalopolitan atau ‘megapolitan’ terdiri dari polis dan
mega/megal. Prud’Homme (1996) juga menuliskan konsep mengenai ‘megacities’. Jika kata
‘politan’ diganti dengan kata ‘city’ akan lebih baik karena memiliki sandaran teoritis (Prud’
Homme, 1996).
Mega Urban adalah dua kota yang terhubungkan oleh jalur transportasi yang efektif
sehingga menyebabkan wilayah di koridornya berkembang pesat dan cenderung menyatukan
secara fisikal dua kota utamanya. Secara umum megacities biasanya didefinisikan sebagai
wilayah metropolitan dengan populasi penduduk lebih dari 10 juta jiwa (Perlman, 1990) . Sebuah
megacities dapat berupa suatu metropolitan tunggal atau metropolitan tunggal dengan
mikropolitan yang bergabung menjadi suatu wilayah fungsional yang terintegrasi. Konsep
megapolitan menjelaskan bagaimana antar kota mengalami keterkaitan ekonomi yang sangat
kuat. Cara pandang utama dalam melihat megapolitan adalah pendekatan ekonomi regional.
Sehingga megapolitan dijadikan sebagai konsep akademis dalam pengembangan wilayah, bukan
penggabungan wilayah secara administratif.

Teori model spasial terbentuknya megacities menurut Friedmann


Menurut Friedmann, perkembangan permukiman di perkotaan disebabkan oleh dua
proses yang terkait yaitu proses sosial-ekonomi dan proses spasial. Beroperasinya proses sosial-
ekonomi dan proses spasial, menurut friedmann akan menciptakan organisasi keruangan wilayah
yang dicerminkan dalam ekspresi spasial dari kota – kota yang ada dalam suatu wilayah.
Menurutnya, ada empat tahapan proses keruangan kota untuk menjadi sebuah
megacities, yaitu (1) tahapan terbentuknya kota – kota lokal yang berdiri sendiri – sendiri; (2)
Tahapan terjadinya dominasi kota dalam perekonomian regional terhadap kota – kota lain; (3)
tahapan terjadinya penggabungan antara kota – kota dominan (primary city) dengan kota – kota
yang lebih kecil dalam suatu wilayah dan (4) Tahapan terjadinya penggabungan kota-kota
dominan itu sendiri menjadi suatu sistem kekotaan yang besar. Dan berikut ini adlah tahapan
proses keruangan kota untuk menjadi sebuah megacities :
Tahapan 1 : Pembentukan Kota Mandiri Tingkat Lokal (The Independent Local Centre Stage)
Pada tahapan awal ini, terdapat kota – kota dalam skala kecil yang hanya berperan secara
sosial dan ekonomi di tingkat lokal saja. Akan tetapi secara keruangan masih merupakan sebuah
desa tapi sudah menunujkkan performa kota dengan basis nonagraris. Oleh karena itu kota pada
tahapan ini terpisah satu sama lain dan dapat dikatakan sebagai kota mandiri.

Gambar 1. Ilustrasi kota – kota lokal mandiri menurut Friedmann


Sumber : Yunus, hadi sabari.(2006). Megapolitan (Konsep Problematika dan
Prospek)
Tahapan 2 : Pembentukan Kota Dominan Tingkat Regional (Single, Dominant Centre Stage)
Pada tahapan ini, perkembangan kota dipengaruhi oleh industrialisasi yang dipicu oleh
revolusi industri. Revolusi industri ini mengakibatkan banyak industri yang didirikan di kota,
khususnya di daerah pinggiran. Banyaknya industri yang berkembang mengakibatkan
berkembangnya working opportunities, sehingga menarik penduduk pedesaan yang menganggur
untuk masuk ke dalam sektor ini dan pergi ke kota. Mulailah terjadi perkembangan wilayah,
khususnya perkembangan ekonomi yang baik dan diikuti oleh perkembangan kesejahteraan
secara signifikan. Kota – kota yang ada secara fisiko-spasialnya mengalami perkembangan
cukup pesat dan ditandai urban sprawl di pinggiran kota sehingga kota bertambah luas. Dari
situlah juga mulai muncul kegiatan sosial, ekonomi, politik di tingkat regional dan beberapa kota
– kota kecil yang bersangkutan

Gambar 2. Ilustrasi pembentukan kota regional dominan menurut Friedmann


Sumber : Yunus, hadi sabari.(2006). Megapolitan (Konsep Problematika dan
Prospek)
Tahapan 3 : Pembentukan Kota Pusat Nasional yang didukung Oleh Pusat – Pusat Regional
(National Centre, With Strong Peripheral Sub Centre)
Pada tahapan ini perkembangan kota regional yang sudah ada berkembang menjadi
semakin besar karena bergabungnya kota – kota kecil di sekitarnya menjadi satu kesatuan urban
sistem.
Dalam hal ini performa kota mulai terbentuk ke suatu tahapan pembentukan metropolis
atau konurbasi. Dalam hubungan cebter-periphery yang semula mendominasi bentuk hubungan
dalam tahap ke dua, telah berubah menajdi hubungan antarmetropolitan dan kondisi
perekonomian telah terbawa dalam suatu kesatuan urban sistem sehingga tahapan ini membawa
peningkatan terhadap perekonomian nantinya.

Gambar 3. Ilustrasi pembentukan kota regional nasional menurut Friedmann


Sumber : Yunus, hadi sabari.(2006). Megapolitan (Konsep Problematika dan
Prospek)

Tahapan 4 : Pembentukan Urban Sistem Terintegrasi Secara Fungsional (Functionally


Interdependent Urban Sistem)
Pada tahapan ini tercapai klimaks perkembangan fungsional dari sebuah urban sistem
dimana masing – masing metropolis yang ada mencapaintegrasi sosial, ekonomi dan menjadi
satu kesatuan urban sistem dan secara keruangan di beberapa tempat telah benar – benar telah
terintegrasi. Masing – masing pusat metropolis berfungsi sebagai pusat kegiatan dalam urban
sistem yang besar sehingga terjalin functionally interdependent system urban metropolitan
peripheries yang masih terlihat dalam tahapan ketiga, tidak lagi terdapat dalam tahap keempat
ini. Pada tahapan ini, disparitas pembanguann antarwilayah dapat diminimasikan berhubung
hampir setiap bagian wilayah telah terintegrasi merata dengan dampak ekonomi yang telah
tercapai maksimasi potensi pertumbuhan perekonomian nasioanal ditunjukkan dengan ilustrasi
sebagai berikut :
Gambar 4. Ilustrasi pembentukan urban sistem terintregasi menurut Friedmann
Sumber : Yunus, hadi sabari.(2006). Megapolitan (Konsep Problematika dan
Prospek)

Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat aglomerasi kekotaan yang mat besar yang kemudian
megalopolis. Dan ditekankan bahwa sebuah sebutan wilayah megalopolitan tidak pada jumlah
penduduknya, namun pada keterkaitan fungsional yang terjalin antarberbagai metropolis yang
tergabung menjadi satu yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, politik, teknologi,
pertukaran jasa dan informasi.
A. Megacities sebagai konsep pengelolaan wilayah perkotaan
Dalam perkembangan pengelolaan kawasan perkotaan, konsep pengelolaan megacities
memang tidak dapat dihindari oleh wilayah perkotaan yang makin meluas dan saling terhubung
dalam jejaring fisik, prasarana, sosial dan ekonomi. Gejala megacities ini telah berkembang di
negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Konsep pengelolaan megacities
tidak dapat dihindarkan karena dianggap konsep yang paling tepat untuk mengatasi berbagai
persoalan dan mengendalikan pembangunannya. Persoalan utama yang dihadapi kota-kota besar
antara lain adalah kegagalan dalam desentralisasi, penyediaan pelayanan publik,pencangan
secara ad-hoc, penataan ruang dan fragmentasi (Stubbs dan Clarke, 1996). Jean Gottmann (1987)
menyatakan bahwa konsep metrocities sudah tidak memadai lagi dan sudah harus beralih ke
konsep megacities.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka wilayah megacities dapat diartikan sebagai
wilayah perkotaan berskala besar yang terkait dengan perkotaan sekitarnya sebagai satu kesatuan
sosial, ekonomi, geografi dan ekologi yang saling terhubung dalam satu kesatuan prasarana.
Konsep megapolitan juga digunakan untuk menentukan wilayah perkotaan dengan jumlah
penduduk yang besar. Pada tahun 1980, PBB mengklasifikasikan kota dengan jumlah penduduk
minimum 8 juta jiwa sebagai megacity (Clarke, 1996). Sumber lainnya yang lebih mutakhir
(Perlman, 1990) mengutip angka minimum 10 juta penduduk sebagai megacities. Meskipun
sejumlah konsep megacities didasarkan pada jumlah minimum 10 juta penduduk, Gottmann dan
Harper (1990) sendiri lebih cenderung menetapkan jumlah minimum 25 juta penduduk. Dengan
angka ini maka daftar megacities di dunia akan berkurang.
Perkembangan Megacities di Indonesia

Gambar 11. Megacities di Jabodetabekjur


Sumber : www.pu.go.id

Perkembangan megacities di Indonesia dimulai dengan adanya Jabodetabekjur (Jakarta,


Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur) yang merupakan suatu kesatuan wilayah fungsional
terutama dalam aspek hubungan interaksi ekonomi yang sangat intensif antar wilayah
Jadebotabekjur dengan pusat pertumbuhan di provinsi Jakarta, dan wilayah tata ekologis
Jadebodetabekjur sebagai suatu wilayah ekosistem, dimana komponen antar wilayah memiliki
ketergantungan dan saling mempengaruhi. Tuntutan penerapan megacities di Jabodetabekjur
didasarkan atas upaya isu-isu pokok yaitu urbanisasi, transportasi, banjir, dan sampah. Pelayanan
urbanisasi dikarenakan DKI Jakarta hanya memiliki luas 65 km 2 tidak mampu menampung 10
juta penduduk. Selain itu penanganan banjir dan sampah DKI Jakarta harus dilakukan secara
sinergi dengan wilayah sekitarnya.
Gambar 12. Jakarta sebagai metropolitan pendukung megacities Jabodetabekjur
Sumber : kompas-ku.blogspot.com

Kesatuan wilayah Jabodetabekjur ini membentuk kerjasama antar kota untuk


memberikan pelayanan serta untuk membentuk konfigurasi kekuatan daya saing menuju
megacities yang dapat bersaing dengan megacities ASEAN maupun dengan megacities belahan
negara lain. Jabodetabekjur telah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Dari segi jumlah
penduduk kini telah menembus angka kriteria ‘megacities’ yang dibuat oleh (Perlman 1990;
ESCAP 1993; ADB 1995a; dalam Clarke 1996) tidak kurang dari 10 juta jiwa tinggal di Kota
ditunjukkan dalam tabel berikut.
Tabel Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jabodetabekjur Tahun 2003

Sumber : Jurnal isu megapolitan jabodetabekjur dalam konteks pengelolaan pembangunan dan revisi UU no.
34/1999
Dalam tabel luas, jumlah dan kepadatan penduduk Jabodetabekjur sudah masuk dalam
kriteria megacities akan tetapi fasilitas untuk tinggal di Jabodetabekjur ini tidak sepenuhnya
menggambarkan megacities seperti di negara maju. Kenyataannya, dari segi output, kota ini
ditandai oleh makin sulit dan tidak nyamannya untuk dijadikan tempat tinggal. Konsep
‘megacities’ sejalan dengan pengaturan kawasan perkotaan yang variatif dan berjenjang.
Kawasan perkotaan dapat dikenali dari berbagai sifat dan karakternya yang membentuk satu
jalinan fungsional perkotaan. Dengan demikian, megacities semestinya bukan saja ditujukan bagi
Jabodetabekjur seja tetapi dapat pula diberikan kepada kota-kota lain yang memenuhi
persyaratan sebagai megacities.

Gambar 13. Jakarta dengan segala ketidaknyamanannya


Sumber : harsindo.com

Pengembangan wilayah megacities dengan pengelolaan yang terpadu diharapkan


membawa banyak manfaat. Meskipun konsep pengelolaan megacities diharapkan mendatangkan
manfaat bagi semua pihak, keberhasilannya sangat bergantung dari kejelasan konsep dan
penyelenggaraannya di lapangan. Dengan demikian, untuk sementara keuntungan atau manfaat
yang ada baru sebatas pada harapan.
Selanjutnya manfaat adanya konsep megacities yang dapat diharapkan pada
Jabodetabekjur menurut Yazid (2006) sebagai berikut :
1. Pengelolaan pembangunan yang terpadu dan berkelanjutan
2. Lokasi konsentrasi penduduk lebih tersebar seara proporsional dan berjenjang
3. Penataan ruang yang terpadu dan disepakati bersama
4. Pemerataan kesempatan kerja/usaha
5. Penyediaan prasarana secara terpadu (air bersih, transportasi, sampah, banjir)
6. Mempercepat pertumbuhan kawasan
7. Pembagian beban pembiayaan secara proporsional antara pusat, provinsi dan daerah
(insentif, kompensasi, subsidi silang)
8. Pengelolaan sumberdaya alam yang terpadu
Di samping kedelapan manfaat di atas, dengan pengelolaan megacities di
Jabodetabekjur diharapkan juga akan terjadi pengembangan kota menengah dan kecil dalam
layanan jaringan transportasi yang terpadu. Apabila konsep pengelolaan Megacities di
Jabodetabekjur gagal diselenggarakan sesuai dengan yang direncanakan, maka yang akan mucul
justru berbagai persoalan seperti spekulasi berikut ini :
1. Beban pembiayaan pusat akan bertambah berat termasuk lintas provinsi menjadi kewajiban
pemerintah pusat apakah pemerintah pusat mampu untuk melakukan pembiayaan tersebut
jika rencana pengelolaan tersebut gagal
2. Berubahnya gaya hidup pada Jabodetabekjur yang mempengaruhi pola hidup hanya pada
masyarakat kelas atas
3. Semakin menarik bagi investasi dan penduduk, sehingga beban pemerintah semakin besar
khususnya dalam permintaan penyediaan lahan
4. Mendorong terbentuknya megacities di daerah lain sehingga menambah beban pembiayaan
bagi pusat untuk melakukan integrasi kawasan khususnya dalam bidang transportasi
5. Kegagalan dalam mencapai kesepakatan dalam kerjasama antardaerah sehingga pengelolaan
tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
6. Manfaat tidak dirasakan secara merata, eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah yang
melahirkan berbagai ketimpangan permasalahan pada daerah urban.
Kondisi beberapa daerah yang tergabung dalam Jabodetabekjur, sebagai berikut :
Depok
Depok dahulu adalah kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bogor, yang kemudian
mendapat status kota administratif pada tahun 1982. Sejak 20 April 1999, Depok ditetapkan
menjadi kotamadya (sekarang: kota) yang terpisah dari Kabupaten Bogor. Kota Depok terdiri
atas 11 kecamatan, yang dibagi menjadi 63 kelurahan.
Depok merupakan kota penyangga Jakarta. Ketika menjadi kota administratif pada tahun
1982, penduduknya hanya 240.000 jiwa, dan ketika menjadi kotamadya pada tahun 1999
penduduknya 1,2 juta jiwa. Tahun 1997 seiring dengan pesatnya Depok sebagai salah satu
kecamatan di Kabupaten Bogor, sudah saatnya diarahkan sebagai sebuah kota satelit yang
mandiri. Maka dimulailah serangkain rencana strategis untuk menjadikan Kota Depok sebagai
Kota yang mandiri.
Badrul Kamal merupakan tokoh penting dalam perkembangan Kota Depok. Selama 5
tahun kepemimpinannya, Depok berkembang sangat pesat dibandingkan sebelumnya. Sekolah-
sekolah dibangun, puskesmas dibangun, jalan-jalan diperbaiki, bahkan Jalan Juanda yang
menjadi kebanggaan hingga kini dibangun pada tahun ke 3 usia pemerintahan Badrul Kamal,
Untuk mengantisipasi pesatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya ekonomi warga, pada tahun
itu pula dicanangkan pembangunan ruas jalan tol. Peruntukan ruas jalan tol inilah yang
direncanakan dalam perencanaan tata ruang wilayah Kota Depok. Untuk mewujudkan rencana
itu kemudian Panitia Khusus RTRW Kota Depok 2000-2010 dibentuk yang di ketuai oleh Agus
Sutondo. Maka melalui RTRW Kota Depok 2000-2010, Akhirnya perencanaan ruas Jalan Tol
Cinere-Jagorawi dan rencana ruas jalan tol Depok-Antasari dapat terwujud yang nantinya akan
menghubungkan wilayah Jakarta, Depok dan Bogor.
Perkembangan Kota Depok dari aspek geografis, demografis maupun sumber pendapatan
begitu pesat, terutama di bidang administrator pembangunan.
Ada beberapa indikator yang dapat dipergunakan sebagai acuan tentang pertumbuhan
ekonomi di Kota Depok. Pertama, Indeks daya beli masyarakat Depok semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Sisi daya beli terjadi peningkatan indeks daya beli dari 576,76 pada
tahun 2006 menjadi 586,49 pada tahun 2009.
Kedua, capaian Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok pada tahun tahun 2009:
6,22%. Kontribusi paling dominan terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan LPE,
dari subsektor perdagangan dan jasa.
Ketiga, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun pada peranan sektor tersier, yaitu dari
50,42% pada tahun 2006 menjadi 52,77% pada tahun 2009. Indikasi tersebut menandakan bahwa
masyarakat Depok sudah dapat memenuhi kebutuhan sektor primer maupun sekunder.
Laju ekonomi yang meningkat tersebut, telah menjadikan Depok sebagai kota jasa dan
perdagangan. Hal itu terlihat secara nyata dengan semakin banyaknya layanan sektor jasa dan
perdagangan yang bermunculan di Kota Depok, seperti restauran, Mall, tempat-tempat usaha dan
layanan jasa lainnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2012 pertumbuhan
perekonomian Kota Depok mencapai 7,1%. Angka tersebut jauh melebihi pertumbuhan ekonomi
di Jawa Barat sebesar 6,2%.
Tangerang Raya
Tangerang Raya adalah sebuah kawasan di sebelah barat Jakarta, dengan luas sekitar
1.500 km2, dihuni oleh lebih dari 5 juta penduduk. Tangerang Raya saat ini terbagi menjadi 3
daerah otonom, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan Tangerang Raya sangat beragam. Merupakan
perpaduan antara daerah pesisir (Pantura) dengan daerah dataran rendah sampai menengah.
Merupakan kombinasi antara daerah agraris dengan industri, pedesaan dengan metropolitan.
Tangerang Raya merupakan daerah penyangga bagi Jakarta, yang berkedudukan sebagai
ibu kota negara RI dan pusat bisnis terbesar di indonesia. Dengan demikian, apa yang terjadi di
Jakarta segera berimbas ke Tangerang. Akibat melubernya jumlah penduduk Jakarta, maka
sebagian bermigrasi ke Tangerang, dengan tetap mencari nafkah di Jakarta.
Tangerang adalah pintu gerbang utama Indonesia. Hal itu karena keberadaan Bandara
Internasional Soekarno Hatta yang berada di wilayah Kota Tangerang. Namun posisi tersebut,
tidak serta merta mendongkrak sektor pariwisata Tangerang Raya. Hampir 100 persen pendatang
dari negara-negara lain hanya numpang lewat di Tangerang. Bisa dikatakan sektor pariwisata
Tangerang tidak memiliki daya tarik, baik wisata perkotaan, pantai atau agrowisata.
Tangerang dikenal pula sebagai kawasan 1.000 industri, karena keberadaan aneka
industri, terutama di sekitar Balaraja, Cisoka dan Cikupa. Tangerang juga memiliki area
pesawahan yang masih sangat luas, meskipun keberadaannya terus terdesak oleh industrialisasi
dan perluasan kota.
Kenyataannya, beragam sektor strategis di Tangerang Raya, kurang dikelola secara
profesional. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah pengangguran dan penduduk
yang miskin. Geliat sektor perdagangan dan bisnis di sebagian kawasan, ternyata hanya
memberikan keuntungan bagi segelintir orang saja, dan kurang menciptakan kemakmuran bagi
rakyat banyak. Tumbuh pesatnya Kecamatan Serpong misalnya, justru menyebabkan banyak
warga asli yang terpinggirkan.
Bekasi
Kota Bekasi merupakan salah satu kota yang terdapat di provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Kota ini sekarang berada dalam lingkungan megapolitan Jabodetabek dan menjadi kota besar ke
empat di Indonesia. Saat ini Kota Bekasi berkembang menjadi tempat tinggal kaum urban dan
sentra industri. Sebagai kawasan hunian masyarakat urban, Bekasi banyak membangun kota-kota
mandiri, di antaranya Kota Harapan Indah, Kemang Pratama, dan Galaxi City. Selain itu
pengembang Summarecon Agung juga sedang membangun kota mandiri Summarecon Bekasi
seluas 240 ha di kecamatan Bekasi Utara. Perekonomian Bekasi ditunjang oleh kegiatan
perdagangan, perhotelan, dan restoran. Pada awalnya pusat pertokoan di Bekasi hanya
berkembang di sepanjang jalan Ir. H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km dari alun-alun kota
hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat berbagai pusat pertokoan yang dibangun sejak tahun
1978.
Selanjutnya sejak tahun 1993, kawasan sepanjang Jl. Ahmad Yani berkembang menjadi
kawasan perdagangan seiring dengan munculnya beberapa mal serta sentra niaga. Pertumbuhan
kawasan perdagangan terus berkembang hingga jalan K. H. Noer Ali (Kalimalang), Kranji, dan
Kota Harapan Indah.
Selain itu keberadaan kawasan industri di kota ini, juga menjadi mesin pertumbuhan
ekonominya, dengan menempatkan industri pengolahan sebagai yang utama. Lokasi industri di
Kota Bekasi terdapat di kawasan Rawa Lumbu dan Medan Satria.
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang dapat menggambarkan kinerja
perekonomian di suatu wilayah. Kecuali pada tahun 2004, pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi
selalu di atas Jawa Barat dan Indonesia. Pada tahun 2004 ekonomi Kota Bekasi tumbuh 5,38%
dan pertumbuhan ini lebih tinggi dari Jawa Barat (4,77%) tetapi di bawah LPE Indonesia yang
mencapai 5,50%. Pada tahun 2005 dengan 5,65%, LPE Kota Bekasi sedikit lebih tinggi dari
Jawa Barat dan Indonesia dengan 5,62% dan 5,55%. Demikian pula pada tahun 2006, LPE Kota
Bekasi yang mencapai 6,07% masih lebih baik dibandingkan Jawa Barat dan Indonesia yang
hanya mencapai 6,01% dan 5,48%.
Sebagai kota satelit Jakarta, tingginya tingkat kemacetan pada jam sibuk biasa terjadi
terutama di jalan penghubung antara Jakarta Timur dan Bekasi. Hal ini disebabkan oleh
tingginya pertumbuhan kendaraan bermotor, yang tidak diimbangi dengan penambahan ruas
jalan. Oleh sebab itu wilayah Kota Bekasi dipersiapkan untuk pengembangan infrastruktur
penunjang Ibu Kota Jakarta. Lahan yang datar dinilai cocok untuk gedung, sarana transportasi
dan pusat bisnis. Rencana tata ruang Kota Bekasi itu tertuang dalam konsep pengembangan
Badan Kerjasama Pembangunan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur
(Jabodetabekjur).
Kota Bekasi dilintasi oleh Jalan Tol Jakarta-Cikampek, dengan empat gerbang tol akses
yaitu Pondok Gede Barat, Pondok Gede Timur, Bekasi Barat, dan Bekasi Timur. Serta jalan
tol Lingkar Luar Jakarta dengan empat gerbang tol akses yaitu Jati Warna, Jati Asih, Kalimalang,
dan Bintara. Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas yang menghubungkan Pusat Kota dengan
Bekasi Utara, maka pemerintah bersama pengembang Summarecon Agung telah membangun
jalan layang sepanjang 1 km. Disamping itu pemerintah juga berencana akan membangun jalan
layang Bulak Kapal di Jalan Joyomartono, Bekasi Timur.
Berdasarkan sumber mengenai perkembangan megacities di dunia, baik Amerika Serikat
maupun Indonesia dapat disimpulkan bahwa kelebihan dan kekurangan megacities adalah
sebagai berikut :
A. Kelebihan
 Memberikan akses yang lebih mudah terhadap aktivitas kegiatan. Dengan adanya
perkembangan megacities, akses perjalanan transportasi semakin mudah ditunjukkan dengan
integrasi transportasi yang dapat dijangkau oleh pelaku kegiatan ekonomi sehingga
perpindahan baik barang maupun manusia semakin mudah.
 Upaya penyebaran ekonomi ke wilayah lain. Perekmbangan ekonomi wilayah ini
nantinya akan menyebar dan meningkatkan PDRB masing masing wilayah tidak hanya
peningkatan ekonomi di wilayah metropolitan tetapi ekonomi di mikropolitan juga akan
terkena dampak peningkatan sehingga tidak ada kesenjangan ekonomi yang signifikan
antara daerah metropolitan dan mikropolitan.
B. Kelemahan
 Kota yang menjadi megacities biasanya menjadi padat. Padatnya kota dipengaruhi oleh
banyaknya pelaku ekonomi yang turut andil dalam bidang industri serta sektor perdagangan
jasa yang menyebabkan banyak dibangunnya kawasan industri serta perdagangan dalam
skala besar dan membutuhkan lahan yang banyak sehingga kepadatan kota akan terus
bertambah.
 Kepadatan penduduk menjadi tak terkendali. Diakibatkan banyaknya jumlah pendatang
yang tidak terkendali menimbulkan aglomerasi kepadatan berada di sub sub megapolitan.
 Menurunnya tingkat daya dukung lingkungan. Dengan boomingnya kawasan industri dan
kawasan perdagangan dan jasa di daerah megapolitan aktivitas polusi yang ditimbulkan juga
mengalami peningkatan menyebabkan kualitas udara di kawasan megapolitan cenderung
turun sehingga berpengaruh pada keseimbangan daya dukung lingkungan.
 Terjadi kesenjangan antara wilayah pinggiran dan wilayah pusat kota. Kesenjangan
tersebut terjadi karena adanya batu loncatan antara pusat kota dan pinggiran karena
cenderung yang dikembangkan dalam basis ekonomi ini hanya pusat kota.

Anda mungkin juga menyukai