Anda di halaman 1dari 3

Teori Yang Perlu Dirangkumi Untuk Menggubal Kurikulum Dalam Pendidikan Awal Kanak-Kanak

Teori kematangan behavioris adalah teori yang mengajukan bahwa perkembangan individu dibentuk
oleh pengalaman dan lingkungan sekitar. Teori ini diperkenalkan oleh John B. Watson yang merupakan
seorang psikolog behavioris Amerika Serikat pada tahun 1913.

Menurut teori ini, perkembangan individu terjadi karena adanya pengkondisian atau pembiasaan.
Pembiasaan ini dapat terjadi melalui pembentukan ikatan atau asosiasi antara stimulus dan respons.
Sebagai contoh, saat bayi merasa lapar, ia akan menangis, dan ketika ia diberikan makanan, ia akan
merasa kenyang. Perilaku bayi ini akan terus terjadi karena ia telah belajar bahwa menangis akan
membuat dirinya diberi makanan.

Teori kematangan behavioris juga menekankan bahwa perkembangan individu tergantung pada
kematangan biologis, seperti kematangan sistem saraf atau sistem hormon. Kematangan biologis ini
akan mempengaruhi kemampuan individu untuk belajar (learning) dan berkembang (developing).

Meskipun teori kematangan behavioris menekankan pentingnya lingkungan dan pengalaman dalam
perkembangan individu, teori ini masih terbatas dalam menjelaskan tentang faktor-faktor lingkungan
yang memengaruhi perkembangan individu. Selain itu, teori ini juga kurang memberikan penjelasan
mengenai perbedaan antar individu dalam perkembangannya.

Dalam perkembangan keilmuan psikologi, teori kematangan behavioris masih memiliki nilai dan
relevansi dalam memahami proses pembelajaran dan perkembangan individu.

Teori konstruktivis adalah teori pembelajaran yang mengatakan bahwa pembelajaran adalah suatu
proses pemahaman dan konstruksi pengetahuan oleh individu melalui pengalaman dan pemrosesan
informasi. Menurut teori ini, pembelajaran aktif dan kontekstual, dimana siswa harus membangun
pemahaman mereka sendiri daripada menerima pengetahuan seperti sebuah paket yang siap
dikonsumsi.

Dalam teori konstruktivis, siswa dipandang sebagai pembangun aktif dari pengetahuan mereka sendiri
dan lingkungan belajar dianggap sebagai suatu sumber informasi dan pengalaman yang diperlukan
untuk membangun pemahaman yang konkrit dan kontekstual. Oleh karena itu, guru diharapkan dapat
difokuskan pada mendukung siswa pada kegiatan belajar kreatif serta memberikan umpan balik
terhadap tahap konstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh siswa.

Teori konstruktivis juga menekankan pada pentingnya keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran dan
pembelajaran yang bersifat kolaboratif. Proses pembelajaran yang merupakan hasil keterlibatan antara
siswa, guru, dan kelompok teman-temannya, dirancang untuk menyediakan berbagai kesempatan untuk
menafsirkan informasi, memecahkan masalah, dan berpikir kritis.

Dalam teori konstruktivis, pengalaman menjadi faktor penting, karena siswa diharapkan memiliki
pengalaman yang berarti dan kontekstual untuk memungkinkannya memahami informasi yang baru.
Dalam hal ini, konsteks dan pengalaman belajar individu menjadi faktor kunci dalam proses pencapaian
pengetahuan serta dapat mempengaruhi kualitas pengetahuan yang dikonstruksi.

Dalam kesimpulannya, teori konstruktivis melihat pembelajaran sebagai suatu proses konstruksi
pengetahuan oleh siswa melalui interaksi aktif dengan lingkungan belajar. Melalui pembelajaran yang
aktif dan kontekstual, siswa dapat membangun pengetahuan mereka sendiri dan menerapkan
pemahaman mereka dalam situasi sehari-hari. Oleh karenanya, guru harus merancang lingkungan
belajar yang kondusif dan memfasilitasi kegiatan belajar yang kreatif untuk menghargai konstruksi
pengetahuan siswa.

Teori tingkah laku persekitaran merupakan teori yang terfokus pada pengaruh lingkungan terhadap
perilaku seseorang. Teori ini menekankan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
di sekitar mereka, seperti pengaruh orang lain, peraturan sosial, dan situasi fisik.

Teori tingkah laku persekitaran menyatakan bahwa orang cenderung melakukan perilaku yang didorong
oleh hadiah atau penghargaan positif dan menghindari perilaku yang mendapatkan hukuman atau
konsekuensi negatif. Selain itu, teori ini juga menekankan bahwa lingkungan sosial dan fisik dapat
mempengaruhi motivasi, interaksi sosial, dan efektivitas tindakan.

Sebagai contoh, teori ini dapat diaplikasikan pada lingkungan kerja di mana hadiah atau penghargaan
positif seperti kenaikan gaji atau promosi dapat memotivasi karyawan untuk bekerja lebih keras,
sementara hukuman atau konsekuensi negatif seperti pemberhentian kerja atau penundaan gaji dapat
menghambat produktivitas dan motivasi karyawan. Kesimpulannya, teori tingkah laku persekitaran
sangat penting dalam memahami bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi perilaku manusia dan
efektivitas interaksi sosial.

Anda mungkin juga menyukai