Anda di halaman 1dari 8

Abstrak

Tujuan jurnal : Untuk mengevaluasi dampak penerapan kriteria Roma IV pada praktik
gastrointestinal pediatrik. Pada tahun 2016 kriteria terbaru, kriteria Roma IV diterbitkan,
memberikan pembaruan kriteria diagnosis berbasis gejala pada anak- anak dengan gangguan
gastrointestinal fungsional (FGID).
Ringkasan : Untuk neonatus dan balita, kriteria Wessel untuk mendiagnosis kolik bayi sudah
ditinggalkan, dan dibuat perbedaan antara anak yang terlatih menggunakan toilet dan tidak
menggunakan toilet dalam diagnosis konstipasi fungsional. Untuk anak-anak dan remaja,
dijelaskan dua gangguan baru yaitu (mual fungsional dan muntah fungsional) dan dalam
mendiagnosis dispepsia fungsional, nyeri tidak menjadi keluhan utama lagi. Perubahan ini
menjadikan dispepsia fungsional sebagai gangguan nyeri perut fungsional yang paling sering,
melebihi prevalensi irritable bowel syndrome (IBS). Terakhir, diagnosis migrain perut dipersempit
sehingga menyebabkan penurunan dalam prevalensinya.

Introduction
Kelainan gastrointestinal fungsional (FGIDs) sering terjadi pada anak- anak dari semua kelompok
umur.. Dengan tidak adanya biomarker atau tes khusus untuk mendiagnosis FGID, diagnosisnya
didasarkan pada gejala. Kriteria saat ini yang digunakan untuk mendiagnosis FGID diterbitkan
pada tahun 2016 dan disebut kriteria Roma IV.Kriteria ini menggantikan kriteria Roma III
sebelumnya dan merupakan revisi kedua dari kriteria FGID pediatrik yang pertama kali dijelaskan
pada tahun 1999 sebagai kriteria pediatrik Roma II. kriteria memilih kelompok pasien yang
homogen pentimg untuk penelitian lanjutan dan pengobatan pasien dengan keluhan gastrointestinal
fungsional. Kriteria diagnostik diperbarui secara berkala untuk mempertimbangkan perkembangan
baru dalam epidemiologi, patofisiologi, diagnostik, dan pengobatan. Kriteria pediatrik saat ini
membagi FGID menurut 3 kelompok usia (neonatus dan balita—0 hingga 3 tahun—dan anak-anak
dan remaja — 4 hingga 18 tahun). Dalam kelompok diagnosis anak-anak dan remaja, ada tiga
kategori diagnostik berdasarkan gejala yang paling mengganggu menurut laporan pasien sendiri
(atau laporan orang tua pada anak kecil) yakni angguan mual dan muntah, gangguan nyeri perut,
dan gangguan buang air besar.
Jurnal ini memberikan gambaran kriteria Roma IV tentang perubahan di setiap kelompok umur,
serta dampak dari perubahan ini dalam epidemiologi FGID, dan dampak klinis untuk praktik
sehari-hari. Di akhir setiap bagian, pembaca akan menemukan garis besar singkat tentang
pertimbangan untuk penelitian masa depan.

Bayi dan Balita


Kolik Bayi
Modifikasi yang paling penting dalam diagnosis FGID pada neonatus dan balita menyangkut
kriteria diagnostik untuk

Tabel 1FGID menurut Roma IV


Kelainan gastrointestinal fungsional pada neonatus dan balita
Regurgitasi bayi
Sindrom perenungan bayi
Sindrom muntah siklik
Kolik bayi
Diare fungsional
Diskezia bayi
Sembelit fungsional

Gangguan gastrointestinal fungsional pada anak-anak dan remaja


Gangguan mual dan muntah fungsional
Sindrom muntah siklik
Mual fungsional dan muntah fungsional Sindrom ruminasi
Aerofagia
Gangguan nyeri perut fungsional
Dispepsia fungsional
Sindrom distres postprandial
Sindrom nyeri epigastrium
Sindrom iritasi usus (IBS)
Sembelit predominan (IBS-C)
Diare predominan (IBS-D)
Kebiasaan buang air besar campuran (IBS-M)
Tidak terklasifikasi (IBS-U)
Migrain perut
Sakit perut fungsional-tidak ditentukan lain
Gangguan buang air besar fungsional
Konstipasi fungsional
Inkontinensia tinja nonretentif

kolik bayi. Komite pediatrik Roma IV menetapkan kriteria berbeda untuk diagnostiik klinis dan
penelitian. Untuk diagnosis klinis, kriteria tidak lagi didasarkan pada “rule of threes” Wessel et al.
(menangis lebih dari 3 kali sehari, selama lebih dari 3 hari dalam seminggu, selama lebih dari 3
minggu berturut-turut). Menurut panitia, kriteria ini sewenang-wenang, tergantung budaya, tidak
praktis, dan tidak mencerminkan dampak gejala anak terhadap keluarga. Oleh karena itu, kriteria
klinis baru didasarkan pada gejala yang telah terbukti menyebabkan penderitaan pada orang tua.
Selain itu, umur diagnosis kolik bayi diperpanjang hingga bayi berusia 5 bulan. Kolik bayi
dicirikan sebagai periode menangis, rewel, atau iritabilitas yang berulang dan berkepanjangan,
tanpa penyebab yang jelas dan tidak dapat diatasi atau dicegah oleh pengasuh, tanpa bukti gagal
tumbuh, demam, atau sakit pada bayi di bawah 5 bulan saat onset dan resolusi gejala. Dengan
kriteria baru ini, komite berusaha untuk mengurangi penderitaan keluarga dengan memberikan
jaminan pendidikan, dan dukungan awal dan tepat waktu kepada orang tua bayi dengan kolik,
faktor yang menjadi andalan tim manajemen.
Perubahan kriteria diagnostik ini tidak menghasilkan perubahan signifikan dalam epidemiologi
ketika membandingkan studi berbasis masyarakat menggunakan kriteria Roma III dan Roma.
Pengobatan kolik bayi saat ini didasarkan pada pendapat ahli dan jika tidak ada tanda bahaya, fokus
kan pada meyakinkan dan mendukung orang tua.
Untuk tujuan penelitian, ada kriteria tambahan untuk mendiagnosis kolik bayi yaitu pengasuh harus
melaporkan bahwa bayi telah menangis atau rewel selama 3 jam atau lebih per hari selama 3 hari
atau lebih dalam 7 hari melalui telepon atau wawancara tatap muka dengan peneliti atau klinisi.
Menangis atau rewel harus dikonfirmasi selama 3 jam atau lebih bila diukur secara prospektif
dengan satu buku diary per 24 jam. Kriteria tambahan ini akan menemukan diagnosis spesifik
untuk penelitian, walau bagaimanapun mereka juga meningkatkan upaya yang diperlukan untuk
membuat suatu penelitian. Belum ada penelitian yang dilakukan untuk menetapkan apakah
perubahan kriteria untuk kolik bayi akan mempengaruhi frekuensi diagnosis.

Penelitian masa depan pada kolik bayi harus fokus pada penyelidikan peran mikrobioma dalam
patofisiologi dan kemungkinan pengobatan kolik bayi, mengembangkan metode objektif yang
bertujuan mengukur tingkat keparahan kolik bayi dan membangun strategi berbasis bukti untuk
mengobati kolik bayi.

Konstipasi fungsional
dapat didiagnosis pada kedua kelompok umur. Ada definisi yang berbeda untuk konstipasi
fungsional pada neonatus dan balita versus anak-anak dan remaja. Panitia menyamakan durasi di
kedua kelompok usia menjadi 1 bulan dan membuat kriteria tambahan untuk anak-anak yang lebih
muda. Setelah meninjau kriteria diagnostik Roma III, anggota komite berpendapat bahwa beberapa
aspek kriteria tidak berhubungan dengan anak yang memakai popok. Sedangkan Roma IV
membedakan antara anak-anak dengan pelatihan toilet dan tanpa pelatihan toilet. Anak-anak yang
tidak mengikuti pelatihan toilet dapat didiagnosis dengan konstipasi fungsional jika mereka
menunjukkan setidaknya dua dari kriteria berikut: kurang dari atau sama dengan dua kali buang air
besar per minggu, riwayat retensi tinja yang berlebihan, riwayat buang air besar yang keras, riwayat
buang air besar besar, dan/atau adanya massa feses yang besar di rektum. Untuk anak yang dilatih
toilet, dua kriteria tambahan yang digunakan: setidaknya satu episode inkontinensia per minggu
dan/atau riwayat tinja berdiameter besar. Sejak kriteria baru, satu studi menemukan peningkatan
prevalensi konstipasi fungsional pada bayi dan balita dari 4,7 menjadi 12,1%. Data yang tidak
dipublikasikan oleh beberapa penulis naskah ini tidak mengkonfirmasi kenaikan ini; namun,
mereka menemukan prevalensi signifikan yang lebih tinggi pada anak-anak kecil yang terlatih
menggunakan toilet dibandingkan dengan anak-anak kecil yang tidak terlatih menggunakan toilet.
Penelitian di masa depan harus fokus pada dampak perubahan yang dibuat dari kriteria Roma IV
dibandingkan dengan versi sebelumnya mengenai prevalensi konstipasi dan pengobatan.
Selanjutnya, uji RCT harus dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh makanan dan obat pencahar
pada kelompok usia ini.

Anak-anak dan Remaja


Ada beberapa modifikasi dalam kriteria diagnostik dalam kelompok usia ini. Perubahan khusus
juga dilakukan pada masing2 kategori FGID. Di masa lalu, ada kriteria umum untuk semua FGID:
syarat untuk "tidak adanya proses inflamasi, anatomi, metabolisme, atau neoplastik yang
menjelaskan gejala subjek." Kriteria ini telah diganti dengan "setelah pemeriksaan medis yang tepat,
gejala tidak dapat dikaitkan dengan kondisi medis lain." Alasan di balik perubahan ini adalah
pernyataan sebelumnya dapat disalahartikan untuk melakukan pengujian menyeluruh sebelum
menegakkan diagnosis. Sehingga, dengan tidak adanya biomarker, pengujian tidak selalu
diperlukan. Sehingga kriteria ini dibuat untuk menentukan jenis pengujian apa (jika ada) yang akan
dilakukan dengan dokter. Meskipun hasil dari perubahan ini belum dievaluasi, diharapkan hal ini
akan mengurangi jumlah pengujian yang tidak perlu pada subjek dengan FGID.
Kriteria Roma IV menggarisbawahi pentingnya mengenali adanya komorbiditas yang tumpang
tindih. Anak-anak dengan FGID sering memenuhi kriteria dua FGID secara bersamaan. Komite
juga mendorong dokter untuk mempertimbangkan kemungkinan tumpang tindih antara FGID dan
penyakit organik. Sebagai contoh, diketahui bahwa sebagian besar anak-anak (sampai 25% dalam
beberapa penelitian) yang didiagnosis dengan penyakit radang usus memiliki gejala awal
fungsional yang tidak dijelaskan. Mengenali tumpang tindih gejala fungsional dan penyakit organik
menggerakan asumsi bahwa semua gejala yang dilaporkan oleh pasien dengan penyakit organik
harus berasal dari organik. Hal ini dibenarkan bahwa psikoterapi seperti terapi perilaku kognitif
atau hipnoterapi penting untuk meringankan gejala pada anak-anak dengan diagnosis fungsional
dan/atau organik.

Gangguan Fungsional Mual dan Muntah


Kriteria untuk diagnosis sindrom muntah siklik telah dimodifikasi dan sekarang sejalan dengan
pedoman NASPGHAN untuk diagnosis dan pengobatan. Sindrom muntah siklik, migrain perut,
dan sakit kepala migrain dianggap sebagai bagian dari kelompok gangguan yang sama, dengan
demikian, sering bermanifestasi pada pasien yang sama. Untuk memperjelas diagnosis pada pasien
dengan gejala yang tumpang tindih (misalnya, anak-anak dengan sindrom muntah siklik dan
migrain perut dapat mengalami nyeri perut dan muntah), kriteria Roma IV menekankan bahwa
diagnosis utama harus didasarkan pada gejala yang paling mengganggu. Pertimbangan ini memiliki
implikasi diagnostik dan terapeutik dalam praktik klinis, karena anak-anak dengan migrain perut
tidak selalu dirujuk ke ahli gastroenterologi, malahan dilihat oleh ahli saraf, yang menggunakan
kriteria diagnostik yang berbeda (ICHD) dan sering merekomendasikan pengobatan yang berbeda.
Kriteria Roma III versi sebelumnya, mual hanya disebutkan dalam sindrom muntah siklik atau
migrain perut. Penelitian telah menunjukkan bahwa mual adalah gejala umum pada anak- anak
dengan gangguan nyeri perut fungsional.18] dan bahwa beberapa anak mengalami mual atau
muntah yang muncul secara non-stereotipikal dan siklik. Selain itu, penelitian telah menunjukkan
bahwa mual adalah gejala yang sangat tidak valid dan bahwa anak-anak dengan mual yang parah
dan berkepanjangan memiliki kualitas hidup yang buruk. Akibatnya, kriteria Roma IV menetapkan
dua diagnosis baru: mual fungsional dan muntah fungsional. Mual fungsional diterapkan pada
kelompok anak-anak yang melaporkan mual yang mengganggu sebagai gejala dominan, terjadi
setidaknya dua kali per minggu, selama minimal 2 bulan, dan umumnya tidak berhubungan dengan
makanan, atau secara konsisten berhubungan dengan muntah. Untuk mendiagnosis pasien dengan
muntah fungsional, anak harus mengalami setidaknya satu episode muntah per minggu. Muntah
tidak boleh berhubungan dengan gangguan makan, perenungan, atau diinduksi sendiri. Bukti saat
ini menunjukkan bahwa mual dan muntah fungsional dapat didiagnosis pada anak-anak. Studi
epidemiologis yang dilakukan di Amerika Serikat dan Amerika Latin menunjukkan bahwa
gangguan ini jarang terjadi. Prevalensi mual fungsional adalah sekitar 0,1-0,5%.
Diagnosis yang baru ditentukan memungkinkan penandaan pasien yang terlihat di klinik. dengan
memberikan diagnosis kepada pasien hal itu akan membantu meyakinkan keluarga dan anak-anak
sementara pada saat yang sama sehingga dapat menghindari pengujian yang tidak perlu untuk
mencari penyakit yang lain. Edukasi keluarga tentang diagnosis dapat memberikan rasa lega yang
secara positif dapat mempengaruhi prognosis [21]. Karena masuknya diagnosis fungsional dan
mual dan muntah baru-baru ini pada anak-anak, masih ada kekurangan bukti untuk perawatan
farmakologis dan non-farmakologis tertentu. Pengobatan farmakologis seperti beberapa terapi
herbal, terapi perilaku kognitif, dan hipnoterapi, yang telah terbukti efektif pada anak-anak dengan
mual parah. Mirip dengan pengobatan sebagian besar FGID, pendekatan interdisipliner yang
menangani beban psikososial diutamakan.

Penelitian masa depan tentang mual dan muntah fungsional diharapkan fokus pada riwayat
penyakit ini, memahami risiko dan faktor protektif untuk perkembangan mereka dan merancang uji
klinis untuk mendapatkan data berbasis bukti untuk pengobatannya. Namun, karena rendahnya
prevalensi gangguan ini, uji klinis mungkin perlu dilakukan.

Gangguan Nyeri Perut Fungsional


Kelompok gangguan yang ditandai dengan dominasi nyeri perut ini telah berganti nama menjadi
gangguan nyeri perut fungsional. Dianggap bahwa istilah kriteria Roma III dari "gangguan
gastrointestinal fungsional predominan nyeri perut" terlalu rumit. Kelompok gangguan ini
termasuk nyeri perut fungsional-tidak ditentukan lain (FAP-NOS), yang menggantikan diagnosis
Roma III nyeri perut fungsional dan sindrom nyeri perut fungsional, dua diagnosis yang dianggap
memiliki keparahan dalam gangguan yang sama. Tiga diagnosis lain termasuk dalam kategori ini:
dispepsia fungsional, sindrom iritasi usus besar (IBS), dan migrain perut. Masing-masing diagnosa
ini mengalami perubahan.

Dispepsia Fungsional
Berbeda dengan kriteria Roma III, definisi dispepsia fungsional Roma IV tidak mengharuskan
pasien untuk menggambarkan nyeri sebagai gejala yang dominan. Pasien datang dengan setidaknya
satu dari gejala berikut: rasa begah setelah makan, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, atau rasa
terbakar. Dengan definisi baru ini muncul dua subtipe: sindrom nyeri epigastrium dan sindrom
distres postprandial. Sindrom nyeri epigastrium ditandai dengan nyeri epigastrium yang tidak
berkurang dengan buang air besar, seperti yang terjadi pada IBS. Sindrom distres postprandial
mencakup anak-anak yang merasa cepat kenyang atau tidak nyaman yang tidak memungkinkan
mereka untuk menyelesaikan makan mereka dan kadang-kadang menyebabkan penurunan berat
badan. Berdasarkan definisi baru dari subtipe, anak-anak yang didiagnosis dengan dispepsia
fungsional di Roma III sekarang sebagian besar akan memenuhi kriteria sindrom nyeri epigastrium
di Roma IV. Studi yang membandingkan prevalensi gangguan nyeri perut fungsional antara kriteria
Roma III dan kriteria Roma IV menemukan bahwa dengan kriteria baru, dispepsia fungsional
sekarang merupakan gangguan yang paling umum pada kelompok ini (3,0-7,6%), dengan sindrom
distres postprandial menjadi subtipe yang paling sering terjadi (2,7-7,2%) Menariknya, dalam studi
ini, prevalensi dispepsia fungsional melebihi prevalensi IBS, yang sebelumnya ditemukan sebagai
gangguan nyeri perut fungsional yang paling umum di wilayah penelitian yang dilakukan dan
dalam meta-analisis di seluruh dunia [24]. Sebuah studi baru-baru ini mempelajari prevalensi
dispepsia fungsional pada orang dewasa di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris juga menemukan
dispepsia fungsional lebih umum daripada IBS.25]. Karena dominasi sebelumnya dalam prevalensi
IBS, sebagian besar penelitian yang dipublikasikan difokuskan pada diagnosis ini, dan sedikit
perhatian diberikan pada dispepsia fungsional, yang dianggap jarang terjadi. Dengan demikian, saat
ini, tidak ada pedoman untuk pengobatan anak-anak dengan dispepsia fungsional maupun studi
acak prospektif untuk memberikan rekomendasi. Sebuah sistematic review baru-baru ini
menemukan bahwa tidak ada bukti yang tersedia untuk mendukung penggunaan obat farmakologis
untuk mengobati anak-anak dengan dispepsia fungsional. Namun, panitia membuat rekomendasi
untuk pengobatan setiap subtipe berdasarkan pendapat ahli dan berdasarkan data orang dewasa.
Untuk subtipe sindrom nyeri epigastrium, panitia merekomendasikan penggunaan PPI sebagai
pengobatan lini pertama. Antidepresan trisiklik direkomendasikan untuk kasus yang paling parah.
Untuk subtipe sindrom distres postprandial, panitia merekomendasikan penggunaan obat relaksan
fundus (yaitu, siproheptadin) dan prokinetik, seperti eritromisin. Studi retrospektif telah
menunjukkan bahwa siproheptadin mungkin bermanfaat dan aman untuk anak-anak dengan gejala
dispepsia.26]. Meskipun sepertiga dari anak-anak akan melaporkan efek samping yang kecil dan
seperti mengantuk, nafsu makan meningkat, dan penambahan berat badan. Obat lain dengan efek
agonis 5HT-1, seperti buspirone, telah digunakan dengan beberapa keberhasilan dalam uji coba
kecil pada orang dewasa [ 28]. Ada beberapa prokinetik dengan bukti pediatrik yang tersedia di AS.
Administrasi Makanan dan Obat (FDA) telah mengeluarkan peringatan kotak hitam untuk
penggunaan metoklopramid karena risiko tardive dyskinesia yang terkait dengan penggunaan
jangka panjang.29]. Domperidone tidak tersedia di AS, tetapi dapat lebih mudah diperoleh di
banyak negara lain. Risiko perpanjangan QT harus dipertimbangkan dengan penggunaannya [30]
serta dengan antibiotik yang memiliki efek agonis motilin, seperti eritromisin dan azitromisin, yang
kadang-kadang digunakan sebagai prokinetik. Prokinetik baru yang disetujui FDA untuk digunakan
pada pasien dewasa termasuk tegaserod dan prucalopride. Studi pediatrik juga menunjukkan bahwa
stimulasi gastro-listrik mungkin berguna pada anak-anak dengan dispepsia fungsional.31,32].
Studi prospektif, sebaiknya multisenter, harus dirancang untuk menilai patofisiologi setiap subtipe
dispepsia fungsional pada anak- anak, untuk menetapkan faktor risiko untuk perkembangan dan
prognosis mereka, dan untuk menilai kemanjuran berbagai pilihan pengobatan.

Migrain perut
Dengan perubahan kriteria diagnostik dari edisi Roma II ke Roma III, prevalensi diagnosis ini
sangat meningkat luar biasa[33]. Komite menganggap bahwa prevalensi yang begitu tinggi tidak
mencerminkan praktik klinis. Penelitian telah menunjukkan bahwa diagnosis migrain perut Roma
III mudah salah diklasifikasikan dan secara teratur tumpang tindih dengan diagnosis IBS [33–36].
Panitia melakukan perubahan diagnosis migrain perut untuk mengatasi masalah ini. Diagnosis baru
migrain perut lebih ketat dan lebih baik mendefinisikan periode antara serangan simtomatik.
Kriteria Roma IV termasuk episode paroksismal dan stereotip dari nyeri periumbilikal akut yang
intens, nyeri perut di garis tengah atau difus sebagai gejala yang dominan, berlangsung setidaknya 1
jam dan mengganggu aktivitas sehari- hari. Nyeri harus dikaitkan dengan setidaknya 2 dari berikut:
anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, fotofobia, atau pucat, dan episode harus terjadi setidaknya
dua kali dalam 6 bulan. Sebagai akibat dari perubahan kriteria diagnostik ini, prevalensi migrain
perut menurun dari 23 menjadi 0,5-1,1% [1 • ,2 • ].Prevalensi ini kemungkinan besar lebih
mencerminkan prevalensi "real" dari gangguan ini. Diagnosis yang lebih spesifik dari pasien
dengan migrain perut ini memiliki implikasi penting untuk pengobatan, karena strategi manajemen
antara migrain perut dan IBS berbeda. Intervensi utama untuk migrain perut ialah tindakan
pencegahan seperti menghindari pemicu, terapi perilaku, dan modifikasi diet.37]. Pengobatan
farmakologis harus dipertimbangkan jika gejala refrakter terhadap intervensi ini.37]. Sampai
sekarang, hanya satu kecil (n =16) studi terkontrol plasebo buta ganda telah mengevaluasi efek
pizotifen (tidak tersedia di AS) sebagai pengobatan profilaksis, yang menunjukkan efek positif [38 ].
Amitriptyline dapat digunakan dalam pencegahan migrain perut dan muntah siklik. Dosis yang
dianjurkan untuk migrain perut berkisar 0,2-0,4 mg / kg [39], sedangkan untuk sindrom muntah
siklik, pedoman merekomendasikan peningkatan dosis secara perlahan hingga 1,0-1,5 mg/kg [15].
Komite percaya bahwa migrain perut, muntah siklik, dan sakit kepala migrain memiliki
patofisiologi yang sama, tetapi tidak ada hipotesis saat ini yang dikonfirmasi secara pasti.37].
Mereka membutuhkan penelitian yang lebih detail tentang gangguan kelompok ini, pemicu umum,
riwayat alami, dan pilihan pengobatan.

Iritabel Bowel Syndrome


Sejalan dengan kriteria diagnostik dewasa, empat subtipe IBS telah didefinisikan [40]. Klasifikasi
baru memungkinkan perbedaan pengobatan untuk pasien dengan subtipe IBS yang berbeda.
Subtipe didasarkan pada pola buang air besar yang dominan menurut Skala Bristol Stool dan
didefinisikan sebagai IBS dengan konstipasi (IBS-C), diare (IBS-D), kebiasaan buang air besar
campuran (IBS-M), dan kelompok yang tidak diklasifikasikan, yang tidak cocok dengan subtipe ini.
IBS-C tampaknya menjadi subtipe yang paling umum pada anak-anak dan remaja di sebagian besar
penelitian; namun, tidak jarang pasien mengubah subtipe dari waktu ke waktu [41,42].
Pertimbangan penting yang dibuat oleh komite adalah untuk menetapkan kriteria untuk
membedakan IBS-C dari konstipasi fungsional. Panitia merekomendasikan bahwa pasien dengan
sakit perut dan konstipasi pertama-tama harus dirawat karena konstipasi Ketika gejala sakit perut
tetap ada meskipun pengobatan konstipasi yang memadai, pasien harus didiagnosis dengan IBS-C
dan dirawat sesuai dengan pedoman berbasis bukti [21].
Untuk pengobatan IBS, pendidikan, membangun strategi terapeutik dan memberikan jaminan
mungkin cukup. Dalam kasus lain, strategi terapi tambahan dapat diterapkan. Ada semakin banyak
bukti untuk pendekatan pengobatan non-farmakologis, termasuk terapi modifikasi biopsikososial
dan intervensi diet.21,43]. Pada pasien yang lebih memilih pendekatan farmakologis, Rome IV
Interactive Clinical Decision Toolkit merekomendasikan antispasmodik sebagai lini pertama dan
penggunaan antidepresan trisiklik dalam kasus bandel [44]. Pengobatan masalah tinja pasien
mungkin memerlukan obat tambahan. Pencahar dapat digunakan dalam kasus konstipasi dan obat
yang menurunkan motilitas dan sekresi dapat digunakan dalam kasus diare. Obat umum yang
digunakan dalam IBS-D adalah loperamide dan cholestyramine. Studi pada orang dewasa telah
menunjukkan manfaat yang signifikan dari penggunaan lubiprostone, prucalopride, dan linaclotide
daripada plasebo di IBS-C [45]. Untuk orang dewasa dengan IBS-D, penggunaan sekuestran asam
empedu mungkin bermanfaat, karena hingga 50% orang dewasa dengan diare fungsional dan
IBS-D mengalami malabsorpsi asam empedu.46]. Rifaximin, eluxadoline, dan alosetron telah
terbukti bermanfaat dalam pengobatan IBS-D pada orang dewasa tetapi tidak ada percobaan yang
dilakukan pada anak-anak.47].
Ada kekurangan validasi Skala Bristol dan kurangnya bukti untuk mendukung pengobatan untuk
berbagai subtipe IBS pada anak-anak. Uji klinis besar harus dilakukan dalam hal ini dan untuk
lebih mencirikan diagnosis IBS dan subtipenya dan untuk menguji perbedaan antara IBS-C dengan
konstipasi fungsional yang diusulkan Roma IV
Gangguan Buang Air Besar Fungsional
Pada kategori gangguan defekasi fungsional, hanya dilakukan sedikit penyesuaian pada kelompok
anak-anak dan remaja. Durasi yang diperlukan untuk diagnosis konstipasi fungsional dipersingkat
dari 2 bulan menjadi 1 bulan untuk menekankan pentingnya pengobatan dini yang terbukti
meningkatkan prognosis. Studi yang membandingkan kriteria Roma III dan Roma IV telah
menunjukkan bahwa pengurangan kriteria waktu tidak mengubah prevalensi konstipasi fungsional
pada anak-anak dan remaja.

Kesimpulan
Kriteria Roma IV telah mengubah kerangka kerja di mana dokter memeriksa, mendiagnosis, dan
merawat anak-anak. Dengan pengenalan mual fungsional dan muntah fungsional sebagai
gangguan yang didefinisikan dan perubahan signifikan dalam kriteria diagnostik untuk kolik bayi,
migrain perut, dan dispepsia fungsional maka prevalensi dan karakteristik pasien telah berubah,
sehingga memerlukan studi baru yang melibatkan populasi pasien yang berbeda. Selain itu,
mengingat perbedaan hasil antara uji klinis yang dilakukan pada anak-anak dan orang dewasa, uji
coba pediatrik harus dirancang untuk menetapkan strategi pengobatan bermanfaat berbasis bukti
khusus untuk anak-anak.

Anda mungkin juga menyukai