Disusun oleh :
Izmy Permata Hayati (202FF05064)
Ria Nurindah Pratiwi (202FF05125)
Lifia Amanda (202FF05075)
Aris Munandar (202FF05119)
Nurul Mardiah (202FF05025)
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1. Latar Belakang............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................2
1.3. Tujuan.........................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................3
2.1 Definisi.......................................................................................3
2.2 Klasifikasi Angina Pectoris........................................................3
2.3 Gejala Umum Angina Pectoris Tidak Stabil..............................4
2.4 Faktor Resiko..............................................................................5
2.5 Pemeriksaan................................................................................5
2.6 Etiologi.......................................................................................7
2.7 Patofisiologi................................................................................8
2.8 Manifestasi Klinis.......................................................................10
2.9 Komplikasi.................................................................................10
2.10 Terapi Pengobatan......................................................................13
BAB 3 GEJALA SPESIFIK ANGINA PECTORIS....................................24
3.1 Gejala dari Angina Pectoris........................................................24
BAB 4 PENUTUP...........................................................................................25
4.1 Kesimpulan.................................................................................25
4.2 Saran...........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................25
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Jenis dan dosis Penyekatan beta……………………………… 10
Gambar 2. Jenis dan dosis Nitrat ………………………………………… 11
Gambar 3. Jenis dan dosis Penghambat Kanal Kalsium……………….… 11
Gambar 4. Jenis dan dosis Antiplatelet…………………………………... 13
Gambar 5. Jenis dan dosis Antikoagulan………………………………… 14
Gambar 6. Jenis dan dosis Penghambat ACE……………………………. 15
Gambar 7. Jenis dan dosis Statin Intensitas Tinggi……………………… 16
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Data kasus penyakit angina di Indonesia masih sangat terbatas, pada tahun
2009 jumlah kasus angina di Provinsi Jawa tengang sebesar 16.632 kasus, dari
total kasus penyakit jantung coroner sebesar 24.031 kasus dan angka kematian
akibat angin duduk sebesar 89 kasus di Jawa Tengah. Dari sumber Riset
Kesehatan Dasar,tingkat angka penyakit pembuluh darah jantung dan jantung
meningkat dari tahun ke tahun (Ahmad & Lutfi, 2021).
Berdasarkan penjelasan diatas, pembuatan makalah ini untuk memberikan
wawasan kepada masyarakat agar lebih memperhatikan kesehatan dan juga lebih
memahami akan gejala angina pectoris yang sering disalah artikan sebagai gejala
dari kondisi lain, seperti naiknya asam lambung dan masuk angin atau gejala lain.
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Penyakit Angina Pectoris
2. Untuk mengetahui terapi yang tepat untuk pasien dengan Angina Pectoris
3. Untuk mengetahui gejala yang spesifik dari Penyakit Angina Pectoris
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang
khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke
lengan kiri. Nyeri dada tersebut biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas
dan segera hilang bila aktivitas dihentikan (Permenkes, 2014).
Angina pektoris merupakan tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien
yang mengalami penyakit jantung koroner. Angina pektoris dilaporkan terjadi
dengan rata-rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis kelamin, umur, pasien dan
faktor risiko. Data dari studi Framingham pada tahun 1970 dengan studi kohort
diikuti selama 10 tahun menunjukkan prevalensi sekitar 1,5% untuk wanita dan
4,3% untuk pria berusia 50 – 59 tahun (Permenkes, 2014).
3
bertambah progresif, sebelumnya dengan angina stabil atau angina pada
pertama kali. Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada
patologi biasanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri
tersendiri.
3. Angina prinzmetal (Variant angina)
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan pada
kenyataannya sering timbul pada waktu beristirahat atau tidur. Pada angina
prinzmetal terjadi spasme arteri koroner yang menimbulkan iskemi jantung di
bagian hilir. Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan arterosklerosis.
Klasifikasi Angina Pektoris menurut Canadian Cardiovascular Society
Classification System:
a. Kelas I: Pada aktivitas fisik biasa tidak mencetuskan angina. Angina akan
muncul ketika melakukan peningkatan aktivitas fisik (berjalan cepat,
olahraga dalam waktu yang lama).
b. Kelas II: Adanya pembatasan aktivitas sedikit/ aktivitas sehari-hari (naik
tangga dengan cepat, jalan naik, jalan setelah makan, stres, dingin).
c. Kelas III: Benar-benar ada pembatasan aktivitas fisik karena sudah timbul
gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok atau naik tangga baru 1
tingkat.
d. Kelas IV: Tidak bisa melakukan aktivitas sehari-sehari, tidak nyaman,
untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa kambuh, bahkan waktu
istirahat juga bisa terjadi angina.
4
1.4. Faktor Resiko
A. Faktor Resiko yang tidak dapat di ubah
1. Usia
Risiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun
(umumnya setelah menopause)
2. Jenis Kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali
lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini berkaitan dengan
estrogen endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini
terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara
dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause.
3. Riwayat Keluarga
Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami penyakit jantung
koroner sebelum usia 70 tahun merupakan faktor risiko terjadinya PJK.
B. Faktor Resiko yang dapat di ubah
1. Mayor
a. Peningkatan lipid serum
b. Hipertensi
c. Merokok
d. Konsumsi alcohol
e. Diabetes Melitus
f. Diet tinggi lemak jenuh, kolestrol dan kalori
2. Minor
a. Aktivitas fisik kurang
b. Stress psikologik
c. Tipe kepribadian (Permenkes, 2014).
2.5. Pemeriksaan
A. Pemeriksaan Fisik
1. Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Walau jarang pada
auskultasi dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur
sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun,
menetap atau meningkat pada waktu serangan angina.
5
2. Dapat ditemukan pembesaran jantung.
B. Pemerikasaan Penunjang
1. EKG
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina
sering masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien
pernah mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina;
dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST atau gelombang T yang
tidak khas. Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi
segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.
Gambaran EKG penderita angina tak stabil/ATS dapat berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, depresi segmen ST disertai inversi
gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang ikatan His dan bisa
tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada ATS
bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun
bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24
jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi
gelombang Q, maka disebut sebagai IMA angina.
2. Foto toraks
Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang normal;
pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang
tampak adanya kalsifikasi arkus aorta (PerMenKes, 2014).
3. Laboratorium rutin: Hb, Ht, Leuko, Trombo, Natrium, Kalium, Ureum,
Kreatinin, Gula darah sewaktu, SGOT, SGPT. Laboratorium Khusus: CK-
MB, dan hs Troponin atau Troponin.
4. Ekokardiogram
C. Diagnosis Banding
1. Gastroesofageal Refluks Disease (GERD)
2. Gastritis Akut (PerMenKes, 2014)
3. Storke
4. Gagal Jantung (Kemenkes, 2017)
6
2.6. Etiologi
A. Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah timbunan lemak di dalam lubang pembuluh
darah, kalau semakin banyak disebut plak. Aterosklerosis ini sebenarnya
berlangsung sejak lahir secara alami menimbulkan penyempitan dan
pengerasan pembuluh darah (arteri) koroner yang berakibat rusaknya
dinding arteri. Bila arteri menyempit akan mengganggu jalannya aliran
darah/oksigen ke otot jantung.
7
b. Kontraktilitas
Dengan bekerja, maka akan banyak mengeluarkan katekolamin
(adrenalin dan nor adrenalin) sehingga dapat meningkatkan kontraksi
pada jantung.
c. Tekanan Sistolik Ventrikel Kiri
Makin tinggi tekanan, maka akan semakin banyak pemakaian oksigen.
d. Ukuran Jantung
Jantung yang besar, akan memerlukan oksigen yang banyak.
2.7. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakseimbangan
suplai oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekauan arteri dan
penyempitan lumen arteri koroner (ateriosklerosis koroner). Tidak diketahui
secara pasti apa penyebab ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada factor
tunggal yang bertanggungjawab atas perkembangan ateriosklerosis.
Ateriosklerosis merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering
ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan
oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat
maka arteri koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen
ke otot jantung. Namun apabila arteri koroner mengalami kekauan atau
menyempit akibat ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon
terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan
suplai darah) miokardium.
Sakit dada pada angina pektoris disebabkan karena timbulnya iskemia
miokard atau karena suplai darah dan oksigen ke miokard berkurang. Aliran darah
berkurang karena penyempitan pembuluh darah koroner (arteri koronaria).
8
Penyempitan terjadi karena proses ateroskleosis atau spasme pembuluh koroner
atau kombinasi proses aterosklerosis dan spasme.
Aterosklerosis dimulai ketika kolesterol berlemak tertimbun di intima arteri
besar. Timbunan ini, dinamakan ateroma atau plak akan mengganggu absorbsi
nutrient oleh sel-sel endotel yang menyusun lapisan dinding dalam pembuluh
darah dan menyumbat aliran darah karena timbunan ini menonjol ke lumen
pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang terkena akan mengalami nekrotik
dan menjadi jaringan parut, selanjutnya lumen menjadi semakin sempit dan aliran
darah terhambat. Pada lumen yang menyempit dan berdinding kasar, akan
cenderung terjadi pembentukan bekuan darah. Hal ini menjelaskan bagaimana
terjadinya koagulasi intravaskuler, diikuti oleh penyakit tromboemboli, yang
merupakan komplikasi tersering aterosklerosis.
Pada mulanya, suplai darah tersebut walaupun berkurang masih cukup untuk
memenuhi kebutuhan miokard pada waktu istirahat, tetapi tidak cukup bila
kebutuhan oksigen miokard meningkat seperti pada waktu pasien melakukan
aktivitaas fisik yang cukup berat. Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat,
kebutuhan oksigennya juga meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat
pada jantung yang sehat, arteri-arteri koroner akan berdilatasi dan mengalirkan
lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Akan tetapi apabila arteri koroner
mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak
dapatberdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan
terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium
mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Proses pembentukan energy ini sangat tidak efisien dan menyebabkan
pembentukan asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan
menyebabkan nyeri ang berkaitan dengan angina pectoris. Apabila kebutuhan
energy sel-sel jantung berkurang, suplai oksigen oksigen menjadi adekut dan sel-
sel otot kembali keproses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energy. Proses
ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan menghilangnya penimbunan asam
laktat, nyeri angina pectoris mereda.
9
2.8. Manifestasi Klinis
1. Angina pectoris stabil.
a. Muncul ketika melakukan aktifitas berat
b. Biasanya dapat diperkirakan dan rasa nyeri yang muncul biasanya
sama dengan rasa nyeri yang datang sebelumnya
c. Hilang dalam waktu yang pendek sekitar 5 menit atau kurang
d. Hilang dengan segera ketika anda beristirahat atau menggunakan
pengobatan terhadap angina
e. Rasa sakitnya dapat menyebar ke lengan, punggung atau area lain
f. Dapat dipicu oleh tekanan mental atau stres.
2. Angina pectoris tidak stabil.
a. Angina yang baru pertama kali atau angina stabil dengan karakteristik
frekuensi berat dan lamanya meningkat.
b. Timbul waktu istirahat/kerja ringan.
c. Tidak dapat diperkirakan
d. Biasanya lebih parah dan hilang dalam waktu yang lebih lama
e. Dapat tidak akan hilang saat beristirahat ataupun pengobatan angina
f. EKG: Deviasi segment ST depresi atau elevasi.
3. Angina variant.
a. Angina yang terjadi spontan umumnya waktu istirahat dan pada waktu
aktifitas ringan. Biasanya terjadi karena spasme arteri koroner
b. EKG deviasi segment ST depresi atau elevasi yang timbul pada waktu
serangan yang kemudian normal setelah serangan selesai
2.9. Komplikasi
1. Stable Angina Pectoris
Kebutuhan metabolik otot jantung dan energi tak dapat dipenuhi karena
terdapat stenosis menetap arteri koroner yang disebabkan oleh proses
aterosklerosis. Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu pekerjaan.
sesuai dengan berat ringannya pencetus dibagi atas beberapa tingkatan
2. Unstable Angina Pectoris
Disebabkam primer oleh kontraksi otot polos pembuluh koroner
sehingga mengakibatkan iskemia miokard. patogenesis spasme tersebut
10
hingga kini belum diketahui, kemungkinan tonus alphaadrenergik yang
berlebihan (Histamin, Katekolamin, Prostagglandin). Selain dari spame
pembuluh koroner juga disebut peranan dari agregasi trobosit. penderita ini
mengalami nyeri dada terutama waktu istirahat, sehingga terbangun pada
waktu menjelang subuh. Manifestasi paling sering dari spasme pembuluh
koroner ialah variant (prinzmental).
Elektrokardiografi tanpa serangan nyeri dada biasanya normal saja.
Pada waktu serangan didapati segmen ST elevasi. Jangan dilakukan uji
latihan fisik pada penderita ini oleh karena dapat mencetuskan aritmia yang
berbahaya. Dengan cara pemeriksaan teknik nuklir kita dapat melihat
adanya iskemia saja ataupun sudah terjadi infark.
11
Rasa sakitnya adalah diffus dan bersifat mencekam, mencekik,
mencengkeram atau membor. Paling nyata didaerah subternal, dari mana ia
menyebar kedua lengan, kerongkongan atau dagu, atau abdomen sebelah
atas (sehingga ia mirip dengan kolik cholelithiasis, cholesistitis akut ulkus
peptikum akut atau pancreatitis akut).
Terdapat laporan adanya infark miokard tanpa rasa sakit. Namun bila
pasien-pasien ini ditanya secara cermat, mereka biasanya menerangkan
adanya gangguan pencernaan atau rasa benjol didada yang samar-samar
yang hanya sedikit menimbulkan rasa tidak enak/senang. Sekali-sekali
pasien akan mengalami rasa napas yang pendek (seperti orang yang
kelelahan) dan bukanya tekanan pada substernal. Sekali-sekali bisa pula
terjadi cekukan/singultus akibat irritasi diapragma oleh infark dinding
inferior. pasien biasanya tetap sadar, tetapi bisa gelisah, cemas atau bingung.
Syncope adalah jarang, ketidak sadaran akibat iskemi serebral, sebab
cardiac output yang berkurang bisa sekali-sekali terjadi.
Bila pasien-pasien ditanyai secara cermat, mereka sering menyatakan
bahwa untuk masa yang bervariasi sebelum serangan dari hari 1 hingga 2
minggu), rasa sakit anginanya menjadi lebih parah serta tidak bereaksi baik
tidak terhadap pemberian nitrogliserin atau mereka mulai merasa
distres/rasa tidak enak substernal yang tersamar atau gangguan pencernaan
(gejala -gejala permulaan /ancaman /pertanda). Bila serangan-serangan
angina menghebat ini bisa merupakan petunjuk bahwa ada angina yang
tidak stabil (unstable angina) dan bahwasanya dibutuhkan pengobatan yang
lebih agresif.
Bila diperiksa, pasien sering memperlihatkan wajah pucat bagai abu
dengan berkeringat , kulit yang dingin .walaupun bila tanda-tanda klinis dari
syok tidak dijumpai. Nadi biasanya cepat, kecuali bila ada blok/hambatan
AV yang komplit atau inkomplit. Dalam beberapa jam, kondisi klinis pasien
mulai membaik, tetapi demam sering berkembang. Suhu meninggi untuk
beberapa hari, dan kemudian perlahan-lahan turun ,kembali normal pada
akhir dari minggu pertama.
12
4. Aritmia
Suatu kelainan ireguler dari denyut jantung yang disebabkan oleh
pembentukan impuls yang abnormal dan kelainan konduksi impuls atau
keduanya. Depolarisasi terlambat disebabkan oleh meningginya kalsium
intrasel. Kalsium intoksikasi adalah salah satu contoh terjadinya depolarisasi
tipe ini.
5. Kematian Jantung Mendadak (Sudden Cardiac Death)
Didefinisikan sebagai kematian yang terjadi kurang dari 1 jam dari
kesadaran tanpa diketahui terlebih dahulu adanya penyakit jantung primer
atau tidak. Secara umum penyebab dari kematian jantung lebih dari 90%
disebabkan oleh koroner (VT dan VF 60%), infark akut (15%), iskemi akut
(10%), spasme koroner (2-5%)
13
dilaporkan. Berhenti merokok dapat menurunkan mortalitas sebesar 36%
setelah terjadinya infark miokard. Terapi sulih nikotin aman untuk pasien
PJK. Bupropion dan varenicline juga terbukti aman pada pasien dengan
PJK stabil pada beberapa studi, namun keamanan penggunaan varenicline
sempat dipertanyakan, karena pada suatu meta-analisis ternyata varenicline
berhubungan dengan sedikit peningkatan pada kejadian kardiovaskular.
4. Menjaga berat badan ideal.
Berat badan berlebih dan obesitas berhubungan dengan peningkatan
resiko kematian pada PJK. Penurunan massa tubuh direkomendasikan
pada pasien yang berlebih (overweight) dan obesitas, untuk mendapatkan
beberapa efek yang menguntungkan seperti penurunan tekanan darah,
perbaikan dislipidemia, dan metabolisme glukosa. Adanya gejala sleep
apnea harus ditelusuri, khususnya pada pasien obesitas. Sleep apnea
berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas
kardiovaskular.
5. Mangatur pola makan.
Konsumsi diet yang sehat akan mengurangi risiko PJK. Asupan energi
harus dibatasi pada energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan (atau
mencapai) massa tubuh yang sehat, yaitu <25 mg/m2. Secara umum, jika
mengikuti aturan diet yang sehat, tidak ada suplementasi tambahan yang
diperlukan.
Konsumsi N-3 Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) yang berasal dari
minyak ikan, berpotensi memiliki efek yang menguntungkan untuk
menanggulangi faktor resiko PJK, khususnya untuk menurunkan
trigliserida, namun tidak semua uji klinis randomisasi membuktikan
bahwa suplementasi PUFA dapat menurunkan kejadian kardiovaskular.
Sehingga, direkomendasikan untuk meningkatkan konsumsi PUFA
melalui konsumsi ikan dibandingkan dengan melalui suplemen makanan.
6. Melakukan olahraga ringan secara teratur.
Aktivitas fisik rutin berhubungan dengan penurunan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular pada pasien PJK. Latihan aerobik perlu
diberikan pada pasien dengan PJK sebagai program rehabilitasi jantung.
14
Pasien dengan riwayat IMA, BPAK, IKP, APS, gagal jantung kronis
yang stabil, harus melaksanakan latihan aerobik intensitas sedang-berat
≥3 kali seminggu dan 30 menit setiap sesi. Pada pasien PJK yang
signifikan dan bukan kandidat untuk dilakukan revaskularisasi, latihan
fisik menjadi alternatif untuk memperbaiki gejala dan meningkatkan
prognosis.
7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap melakukan pengbatan diabetes secara
teratur.
Diabetes merupakan faktor risiko kuat untuk terjadinya komplikasi
kardiovaskuler, meningkatkan risiko perburukan PJK, dan harus
ditatalaksana secara teliti, dengan target HbA1C <7% secara umum, dan
<6.5%-6.9% untuk dasar tiap individu. Kontrol gula darah harus
berdasarkan pertimbangan tiap individu, tergantung pada karakteristik
pasien, termasuk usia, adanya komplikasi, dan durasi terjadinya diabetes.
8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum lipid.
Dislipidemia harus ditatalaksana sesuai dengan pedoman
dislipidemia, melalui intervensi pola hidup dan farmakologis. Pasien PJK
memiliki resiko yang sangat tinggi untuk kejadian kardiovaskuler dan
pengobatan statin harus dipertimbangkan. Target kadar LDL adalah <70
mg/dL atau penurunan LDL >50% jika konsentrasi target tidak tercapai.
Pada sebagian besar pasien, hal ini dapat dicapai dengan monoterapi
statin. Intervensi lain (fibrat, resin, asam nikotinat, ezetimibe) dapat
menurunkan LDL namun tidak memiliki manfaat dalam luaran klinis
pasien, walaupun peningkatan TG dan HDL yang rendah berhubungan
dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, bukti uji klinis tidak
cukup kuat untuk membuatnya menjadi target terapi. Untuk pasien yang
menjalani IKP untuk APS, atorvastatin dosis tinggi dapat menurunkan
frekuensi infark miokard peri-prosedural pada pasien yang baru
menerima statin, maupun pasien yang telah lama mengkonsumsi statin.
Sehingga, pemberian statin intensitas tinggi sebelum dilakukan IKP perlu
dipertimbangkan.
15
9. Mengontrol tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah merupakan faktor resiko mayor untuk
PJK, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Terdapat bukti yang kuat
untuk mempertahankan tekanan darah sistolik <140 mmHg dan diastole
<90 mmHg pada pasien dengan hipertensi.
10. Faktor Psikososial.
Depresi, kecemasan, dan stres, umum terjadi pada pasien dengan
PJK. Pasien harus dinilai secara psikososial dan diberikan penanganan
yang tepat. Rujukan untuk psikoterapi, pemberian obat-obatan dan
penanganan kolaboratif diperlukan untuk gejala yang signifikan dari
depresi maupun ansietas. Pendekatan ini dapat menurunkan gejala dan
meningkatkan kualitas hidup
B. Farmakologi
1. Penyekatan Beta (beta bloker)
Terapi penyekatan beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1
yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi
hendaknya tidak diberika pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-
ventrikuler yang signifikaan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel
kiri. Penyekatan beta direkomendasikan pada APTS, terutama jika terdapat
hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat kontraindikasi
(Kelas I-B). penyekatan beta oral hendaknya diberikan 24 jam pertama (Kelas
I-B). penyekatan beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan
disfungsi ventrikal kiri selam tidak ada kontraindikasi (Kelas I-B). pemberian
penyekata bea pada pasien dengan riwaayat pengobatan penyekatan beta
kronisyang dating dengan SKA tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk
klasifikasi Killip >III (Kelas I-B). beberapa penyekatan beta yang sering
dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat pada gambar 1.
16
Gambar 1. Jenis dan dosis penyekatan beta
2. Nitrat
Terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastole ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi
pembuluh darah coroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.
a. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase aku
dari episode angina (Kelas I-C).
b. Pasien dengan APTS/IMA-NEST yang mengalai nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapatkan nitrat subingual setiap 5 menit sampai maksimal
3 kali pemberian, setelah ituharus dipertimbangkan penggunaan nitrat
intravena jika tidak ada kontraindikasi (Kelas I-C).
c. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama APTS/IMA-NEST.
Keputusan penggunaan nitrat intravena tidak boleh menahan pengobatan
yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau
penghambat ACE (Kelas -B).
d. Nitrat tidak diberikan kepada pasien dengan tekanan darah sistolik <90
mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali
permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel
kanan (Kelas I-C).
e. Nitrat tidak boleh diberikan kepada pasien yang telah mengonsumsi
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu
yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat
ditentukan (Kelas III-C).
17
Gambar 2. Jenis dan dosis nitrat
4. Antiplatelet
a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa kontraindikasi
dengan dosis pemuatan 150-300 mg dan pemeliharaan 75-100 mg
setiap hari untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan (Kelas l-A).
b. Peng reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin memungkinkan
dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontraindikasi seperti
kelebihan hambatan kelebihan (Kelas l-A).
18
c. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy: aspirin dan penghambat
reseptor ADP) pasti pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran
cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan kepada pasien dengan
berbagai faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia 65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas lA).
d. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12
bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi
klinis (Kelas l-C).
e. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko
kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan
troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 2 x 90 mg/hari.
Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.
Pemberian ini juga dilakukan pada pasien sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian dopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas l-B).
f. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas l-A).
g. Penghentian penghambatan reseptor ADP lama atau permanen dalam
12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi
klinis (Kelas l-C).
h. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko
kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan
troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 2 x 90 mg/hari.
Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.
Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas l-B).
i. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas l-A).
j. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300
mg diikuti dosis tambahan 300 mg IKP) direkomendasikan untuk
19
pasien yang menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor (Kelas l-B).
k. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
ADP yang perlu menjalani pembedahan walikota non-emergensi
(termasuk BPAK), perlu ditunda tertundanya operasi selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara
klinis memungkinkan, kecuali bila kemungkinan risiko terjadi
adalahkemik yang (Kelas). lla-C).
l. Tidak menyarankan aspirin bersama OAINS (penghambat COX-2
selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).
Gambar 4. Jenis dan dosis Antiplatelet
20
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara subkutan (Kelas l-B).
c. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinux, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Ilb/Illa) perlu diberikan saat IKP
(Kelas -B). Enoxaparin (1 mg/kg, 2x/hari) disarankan untuk pasien
dengan risiko perdarahan rendah jika fondaparinux tidak tersedia (Kelas -
B).
d. Heparin tidak terfraksi (unfractionated heparin/UFH) dengan target aPTT
50-70 detik atau heparin berat molekul rendah (low molecular weight
heparin/LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinux atau enoxaparin tidak tersedia (Kelas
l-C).
e. Dalam strategi yang benar-benar menakjubkan, pemberian antikoagulasi
perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah (Kelas l-A).
f. Enoxaparin dipertimbangkan sebagai antikoagulan untuk KP pada
pasien-pasien yang sebelumnya mendapatkan enoxaparin subkuran
(Kelas IIa-B).
g. Crossover heparin (UFH dan LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).
Gambar 5. Jenis dan dosis antikoagulan
21
c. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama
pada penderita tua atau risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5
lebih disarankan (Kelas Ilb-B).
8. Penghambatan angiotensin converting enzim (ACE) dan penghambatan
Angiotensin
Penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian pasca infark
miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa
gejala gagal jantung. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan
karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau
terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek
antiaterogenik.
Pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri s40%, pasien dengan
diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK),
penghambatan ACE diindikasikan penggunaan untuk jangka panjang, kecuali
terdapat kontraindikasi. Penghambat reseptor angiotensin merupakan
alternatif pada pasien yang intoleran terhadap penghambatan ACE (Kelas l-
A).
Gambar 6. Jenis dan dosis penghabat ACE
9. Statin
Tanpa melihat awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, penghambatan terhadap hidroksimetilglutari-koenzim A
reduktease (statin) harus diberikan semua penderita APTS/IMA-NEST,
termasuk yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat
kontraindikasi (Kelas l-A). Terapi statin tinggi dimulai sedini mungkin
(Kelas l-A).
22
Gambar 7. Jenis dan dosis statin intensitas tinggi
23
BAB III
GEJALA SPESIFIK ANGINA PECTORIS
24
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Angina pektoris merupakan suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada
yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di dada yang sering
menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut biasanya timbul pada saat melakukan
aktivitas dan segera hilang bila aktivitas dihentikan. Terapi untuk pasien dengan
penyakit angina pectoris terdiri dari terapi non-farmakologi dan farmakologi. Ciri
Khas gejala dari penyakit angina pectoris adalah dapat di lihat dari letak, kualitas,
hubungan dengan aktivitas, lamanya serangan dan Nyeri dada bisa disertai
keringat dingin , mual, muntah, sesak dan pucat.
4.2. Saran
Saran yang dapat diberikan agar masyarakat lebih memperhatikan kesehatan
dan juga lebih memahami akan gejala awal dari angina pectoris yang sering
disalah artikan sebagai gejala dari kondisi lain, seperti naiknya asam lambung dan
masuk angin atau gejala lain.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Turmudy Zy, ddan Lutfi Adi A. 2021. “Implementasi Algoitma Naïve
Bayes Dalam Mendiagnosa Penyakit Angin Duduk”. Jurnal. Bekasi :
Universitas Pelita Bangsa.
Menteri Kesehatan RI, 2014. PERMENKES No. 5 Tahun 2014 Tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
26