Anda di halaman 1dari 3

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Juli 2012

di Dinas Kesehatan Kota Surakarta, didapatkan data laporan hasil


pemantauan status gizi Kota Surakarta pada tahun 2009 menunjukkan
4 bahwa Kelurahan Kestalan Kecamatan Banjarsari yang merupakan wilayah
kerja Puskesmas Gilingan memiliki permasalahan rawan gizi tertinggi di Kota
Surakarta yaitu 15,45% balita berstatus gizi kurang dan 1,63% balita berstatus
gizi buruk. Berdasarkan data pada tahun 2010 permasalahan rawan gizi di
Kelurahan Kestalan menurun yaitu status gizi kurang 8,94% dan status gizi
buruk 0,81%. Data laporan hasil pemantauan status gizi Kota Surakarta pada
tahun 2011 berdasarkan pengukuran BB/PB Kelurahan Kestalan masih
memiliki persentase balita kurus tertinggi yaitu 7,69%. Hal ini yang membuat
peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian di Kelurahan Kestalan
Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta dengan judul“hubungan pengetahuan
ibu tentang MP-ASI dengan perilaku pemberian MP-ASI dan status gizi pada
baduta usia 6-24 bulan”.

Persentase balita stuntingtercapai 11,6% dari target 24,1% ataupersentase pencapaian


kinerja sebesar207,76%.3.Persentase bayi kurang dari 6 bulan mendapat ASI
eksklusiftercapai 66,1% dari target 40%ataupersentase pencapaian kinerja sebesar165,25%

eberapa hal yang menjadi tantangan dalam melaksanakan kegiatan yang berkontribusi
terhadap pencapaian target pencegahan stunting antara lain:
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2020Kementerian Kesehatan Republik Indonesia381)Situasi
pandemi menyebabkan terjadinya gangguan layanan gizi terutama di fasilitas pelayanan
keseahtan dan posyandu karena adanya pembatasan mobilitas masyrakat untuk mencegah
terjadinya penularan virus Covid-19 sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
11 tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB).2)Studi yang dilakukan oleh Balitbangkes terkait Dampak
Pandemi terhadap Pelayanan Kesehatan menunjukkan bahwa hanya 19.2% puskesmas
yang tetap melaksanakan posyandu. Sementara pelaksanaan pemantauan pertumbuhan
dilakukan di posyandu. 3)Keterbatasan kompetensi tenaga kesehatan dalam melakukan
pengukuran dan menginput pelaporan hasil pengukuran kedalam aplikasi
ePPGBM.4)Keterbatasan alat antropometri di Posyandu dan Puskes

Beberapa hal yang menjadi tantangan dalam melaksanakan kegiatan yang berkontribusi
terhadap pencapaian target pencegahan stunting antara lain:
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2020Kementerian Kesehatan Republik Indonesia381)Situasi
pandemi menyebabkan terjadinya gangguan layanan gizi terutama di fasilitas pelayanan
keseahtan dan posyandu karena adanya pembatasan mobilitas masyrakat untuk mencegah
terjadinya penularan virus Covid-19 sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
11 tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB).2)Studi yang dilakukan oleh Balitbangkes terkait Dampak
Pandemi terhadap Pelayanan Kesehatan menunjukkan bahwa hanya 19.2% puskesmas
yang tetap melaksanakan posyandu. Sementara pelaksanaan pemantauan pertumbuhan
dilakukan di posyandu. 3)Keterbatasan kompetensi tenaga kesehatan dalam melakukan
pengukuran dan menginput pelaporan hasil pengukuran kedalam aplikasi
ePPGBM.4)Keterbatasan alat antropometri di Posyandu dan Puskesmas.Faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan adalah:1)Direktorat Gizi Masyarakat sudah melaksanakan
program perbaikan gizi masyarakat sesuai dengan rekomendasi Lancet 2013 yaitu
intervensi gizi spesifik yang langsung menyasar kelompok 1000 HPK yang terbukti efektif
dapat mencegah terjadinya stunting jika cakupannya mencapai minimal 90%. Intervensi gizi
spesifik meliputi : seplementasi zat gizi mikro pada ibu hamil, pemberian makanan
tambahan untuk ibu hamil dengan masalah gizi, konseling dan promosi PMBA (Pemberian
Makan Bayi dan Anak), suplementasi zat gizi mikro pada balita, penanganan anak dengan
masalahgizi akut (gizi buruk), dan pemantauan pertumbuhan. Selain itu, Lancet 2018 juga
merekomendasikan intervensi gizi sensitif yang menyasar populasi umum. 2)Dukungan
kegiatan dari lintas program dan lintas sektor berupa kegaitan intervensi gizi sensitif di lokus
stunting (260 Kab/Kota) di tahun 2020. Konvergensi kegiatan di lokasi yang sama
memberikan dampak yang signifikan terhadap capaian program gizi di wilayah tersebut.
Kegiatan intervensi gizi sensitif yang dilakukan oleh sektor non kesehatan ditujukan untuk
mengatasi masalah tidak langsung dari masalah gizi, diantaranya adalah peningkatan
ketahanan pangan tingkat rumah tangga (pertanian), peningkatan akses sanitasi dan air
bersih (PUPR dan Kesehatan), perlindungan sosial (sosial), peningkatan partisipasi belajar
terutama pada perempuan (pendidikan). 3)Penguatan strategi operasionaluntuk
meningkatkan kualitas dan cakupan intervensi spesifik yang dilakukan oleh Direktorat
Kesehatan maka diterapkan 4 strategi operasional yang mencakup peningkatan kapasitas
SDM, peningkatan kualitas layanan, penguatan edukasi gizi, dan penguatan manajemen
intervensi gizi di puskesmas dan posyandu.4) Dukungan kebijakan yang responsif terhadap
perubahan yang terjadi. Termasuk situasi pandemi yang melanda dunia termasuk Indonesia
pada awal tahun 2020. a.Surat Edaran Dirjen Kesmas Nomor: HK.02.02/V/393/2020 tentang
Pelayanan Gizi dalam Pandemi COVID-19b.Direktorat Gizi Masyarakat menyusun Buku
Pedoman Pelayanan Gizi pada Masa Pandemi dan beberapa pedoman pelaksanaan
intervensi gizi dalam konteks situasi pandemi. Pedoman-pedoman tersebut dapat digunakan
sebagai acuan bagi petugas gizi di daerah untuk melakukan modifikasi layanan gizi pada
masa
Laporan Akuntabilitas Kinerja Tahun 2020Kementerian Kesehatan Republik Indonesia39pandemi.
Hasil survey cepat Dampak Pandemi terhadap Pelayanan Gizi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang dilakukan oleh Direktorat Gizi Masyarakat dan UNICEF menunjukkan
bahwa sekitar 56.6% puskesmas yang menjadi responden (2296 puskesmas) melakukan
modifikasi layanan gizi dengan mengintegrasikan pemberian makanan tambahan ibu hamil
dengan pemberian TTD pada ibu hamil

Fasilitas kesehatan yang terbebani, rantai pasokan makanan yang terganggu, dan hilangnya
pendapatan karena COVID-19 dapat menyebabkan peningkatan tajam dalam jumlah anak-
anak yang mengalami masalah gizi di Indonesia, kecuali jika tindakan cepat diambil, kata
UNICEF hari ini.

Bahkan sebelum COVID-19, Indonesia sudah menghadapi masalah gizi yang tinggi. Saat ini,
lebih dari dua juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari tujuh juta anak di bawah usia 5
tahun mengalami stunting.

UNICEF baru-baru ini menunjukkan bahwa dengan tidak adanya tindakan yang tepat waktu,
jumlah anak yang mengalami wasting atau kekurangan gizi akut di bawah 5 tahun dapat
meningkat secara global sekitar 15 persen tahun ini karena COVID-19.

Anda mungkin juga menyukai