Anda di halaman 1dari 3

Original Research / Case Report / Article Review

Pengaruh Terapi pada Anak Down Syndrome

Rata kiri Calibri Bold (20 cpi), tidak lebih 12 kata dalam bahasa Indonesia dan 10 kata bahasa Inggris

(Rata kiri Calibri 12 cpi)


Adelia Putri Riyanie

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Surabaya, Indonesia

Corresponding author: adeliadellyputri@gmail.com (10 cpi)


Abstract—The abstract is a single paragraph written in Indonesian and English. The abstract includes an introduction, research methods, results and discussion, and ends with a comment about the importance of the results or a brief
conclusion. The abstract must describe the research carried out explicitly with clear and clear sentences. Abstracts and articles are written in English and Indonesia according to general Indonesian spelling guidelines (PUEBI). Maximum

abstract length of 200 words, 8 cpi Calibri and 1 space.

Keywords: (in italics, alfabetic) 3-5 words

Abstrak—Abstrak merupakan paragraf tunggal yang dituliskan dengan bahasa Indonesia dan Inggris. Abstrak mencakup pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, dan diakhiri dengan komentar tentang pentingnya hasil
atau kesimpulan singkat. Abstrak harus menggambarkan penelitian yang dilakukan secara eksplisit dengan kalimat yang lugas dan jelas. Abstrak dan artikel ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan

Bahasa Indonesia (PUEBI). Panjang abstrak maksimal 200 kata, Calibri 8 cpi dan 1 spasi.

Kata kunci: (dicetak miring, ditulis secara alfabetis) 3-5 kata

PENDAHULUAN

Down Syndrome (DS) adalah kelainan genetik yang paling sering ditemui yang menyebabkan kecacatan intelektual dan itu disebabkan oleh adanya tiga salinan kromosom

21 pada manusia. Nama sindrom ini diambil dari nama Down yang menggambarkan karakteristik klinis dari sindrom ini pada tahun 1866. Gejala DS melibatkan efek yang

memengaruhi berbagai sistem tubuh, terutama sistem muskuloskeletal, saraf, dan kardiovaskular. Orang dengan DS umumnya memiliki postur tubuh yang pendek, otot

yang kurang tegang, masalah dengan stabilitas tulang leher bagian atas (atlantoaksial), kelangkaan sel saraf, perkembangan cerebellum yang tidak sempurna, gangguan

intelektual, serta kelainan jantung bawaan, terutama kelainan septum atrioventrikular. Selain itu, orang yang mengalami DS memiliki risiko yang lebih tinggi untuk

mengalami beberapa masalah kesehatan seperti hipotiroidisme, penyakit autoimun, sleep apnea obstruktif, epilepsi, masalah pendengaran dan penglihatan, masalah

hematologi (termasuk leukemia), infeksi berulang, gangguan kecemasan, dan alzheimer yang muncul lebih awal. Sebaliknya, beberapa kondisi lain seperti sebagian besar

jenis tumor padat, tampaknya kurang umum pada individu dengan DS daripada pada populasi umum (Antonarakis et al., 2020).

Word Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 8 juta penderita DS di dunia, spesifiknya terdapat 3.000 – 5.000 anak lahir mengidap kelainan kromosom.

Untuk Indonesia prevalensi anak DS lebih dari 300 jiwa ribu. dengan rincian, terdapat 0,12 persen penderita pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 0,13 persen pada

tahun 2013

(Yetta Farma, 2018).

DS disebabkan oleh adanya satu salinan tambahan dari kromosom 21. Kegagalan pemisahan kromosom 21 selama proses gametogenesis mengakibatkan adanya

kromosom ekstra dalam semua sel tubuh. Selain itu, ada dua penyebab potensial lain dari trisomi 21, yaitu translokasi robertsonian dan isokromosom atau kromosom

cincin. Translokasi robertsonian terjadi pada sekitar 2% hingga 4% pasien. Lengan panjang kromosom 21 biasanya melekat pada kromosom lain, terutama kromosom 14.

Isokromosom adalah kondisi kedua lengan panjang kromosom terpisah bersama-sama, bukan terpisah antara lengan panjang dan pendek.

Gejala fisik DS mencakup sejumlah tanda fisik yang umumnya ditemui. Selain itu, perkembangan fisik anak-anak yang mengidap DS sering berjalan lebih lambat daripada

anak-anak tanpa kondisi tersebut. Misalnya, karena kekurangan tonus otot, anak dengan DS mungkin mengalami keterlambatan dalam kemampuan untuk berbalik, duduk,

berdiri, dan berjalan. Meskipun ada keterlambatan ini, mereka dapat belajar untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik seperti anak-anak lainnya. Mungkin memerlukan

waktu lebih lama bagi anak-anak dengan DS untuk mencapai beberapa tonggak perkembangan, tetapi pada akhirnya mereka akan mencapai sebagian besar dari tonggak-

tonggak tersebut.

Sementara itu, gejala intelektual dan perkembangan yang terkait dengan DS mencakup gangguan kognitif yang umumnya berada dalam rentang dari ringan hingga sedang.

Jarang sekali DS dikaitkan dengan gangguan kognitif yang parah. Selain itu, masalah kognitif dan perilaku lainnya yang sering muncul dapat mencakup daya tahan

perhatian yang pendek, penilaian yang kurang baik, perilaku impulsif, pembelajaran yang lambat, serta perkembangan dan bicara yang tertunda.

(https://www.nichd.nih.gov/health/topics/down/conditioninfo/symptoms)

Berdasarkan pengalaman penatalaksanaan fisioterapi, penulis ingin memberikan beberapa rekomendasi kepada berbagai pihak, yaitu keluarga, fisioterapis, lingkungan,

dan masyarakat, seperti berikut ini:

1. Keluarga memiliki peran penting dalam perawatan anak mereka yang mengalami keterlambatan perkembangan. Disarankan untuk melanjutkan terapi anak di fasilitas

perawatan medis dan menjalankan terapi di rumah sesuai panduan yang diberikan oleh terapis. Dukungan motivasi dan penuh dari keluarga sangat diperlukan, sertaperlu

ditingkatkan asupan makanan dan mutu gizi pasien.

2. Fisioterapi memainkan peran kunci dalam pemulihan anak. Fisioterapis sebaiknya

melanjutkan program latihan hingga mencapai hasil yang diharapkan. Fokus pada tujuan jangka pendek seperti membantu anak merangkak dan juga pada tujuan jangka

panjang,yaitu agar pasien dapat berdiri dan berjalan secara mandiri.

1
3. Lingkungan juga berperan penting. Anak harus ditempatkan dalam lingkungan yang mendukung aktivitas yang meningkatkan kemampuan fungsionalnya. Berikan

permainan yang merangsang perkembangan merangkak, dan pastikan tempat tinggal memiliki fasilitas yang mendukung perkembangan merangkak.

Penting bagi masyarakat untuk membaca dan memahami karya tulis ilmiah ini. Jika ada tetangga, kerabat, atau keluarga yang menghadapi masalah keterlambatan

perkembangan anak, segera berkonsultasi dengan petugas medis terdekat. Mereka sebaiknya membawa anak tersebut ke fisioterapis untuk mendapatkan penanganan

yang sesuai tanpa perlu panik. Dengan mengikuti rekomendasi ini, anak-anak yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang diharapkan dapat mendapatkan

perawatan dan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Berikut adalah 4 terapi untuk pengidap Sindrom Down

1. Terapi Fisik

Pertama-tama, dalam merawat anak yang memiliki DS, orang tua perlu memahami pentingnya terapi fisik. Ini melibatkan serangkaian aktivitas dan latihan yang dirancang

untuk membantu perkembangan fisik anak sejak usia dini. Terapi ini membantu anak dalam mempelajari keterampilan seperti merangkak dan mencapai benda-benda di

sekitarnya. Selain itu, terapi fisik juga membantu dalam membangun kemampuan motorik, meningkatkan kekuatan otot, dan mengembangkan keseimbangan pada anak

yang memiliki DS

2. Terapi Wicara.

Langkah selanjutnya dalam perawatan anak dengan DS adalah melalui terapi wicara. Pada umumnya, anak-anak yang memiliki DS mengalami keterlambatan dalam

perkembangan berbicara dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memulai terapi wicara sejak dini guna meningkatkan

kemampuan komunikasi anak dan penggunaan bahasa yang lebih efektif. Salah satu aspek dari terapi wicara adalah berlatih meniru suara.

3. Terapi Kerja

Meskipun anak-anak dengan DS memiliki perbedaan, mereka tetap memiliki potensi untuk mencapai kemandirian seperti anak-anak lainnya. Ini dapat dicapai melalui

terapi kerja yang dimulai sejak usia dini. Dalam terapi ini, anak-anak yang memiliki DS diajarkan berbagai keterampilan sehari-hari, seperti cara makan dengan benar,

berpakaian, menulis, dan bahkan penggunaan perangkat elektronik. Melalui terapi ini, anak-anak belajar mengenal aktivitas-aktivitas harian dan beradaptasi untuk

melaksanakannya.

4. Terapi Okupasi

Terakhir, terapi okupasi adalah langkah penting dalam merawat anak dengan sindrom Down. Dalam terapi ini, anak-anak yang memiliki DS didorong untuk mengeksplorasi

minat dan hobi mereka. Bahkan pada masa remaja, mereka akan dibantu untuk mengidentifikasi karier atau profesi yang ingin mereka tekuni. Ini merupakan salah satu

aspek kunci dalam perawatan anak dengan DS.

Penting untuk diingat bahwa saat menerapkan keempat metode perawatan ini, orang tua sebaiknya memperhatikan penggunaan alat bantu yang sesuai dengan

kebutuhan anak. Hal ini akan membantu dalam memfasilitasi pembelajaran anak dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Sebagai contoh, penggunaan alat musik

dapat membantu dalam melatih kemampuan fisik, sementara penggunaan pensil khusus dapat memudahkan dalam latihan menulis.

Selain itu, dukungan dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungan sekitar sangat penting untuk memungkinkan anak dengan DS berkembang secara optimal, sama

seperti anak-anak lainnya. Oleh karena itu, penting untuk tidak menyerah dan tetap sabar dalam merawat anak dengan DS. Konsultasikan dengan dokter spesialis anak di

fasilitas perawatan medis untuk merencanakan terapi dan latihan yang sesuai dengan perkembangan anak yang memiliki DS.

METODE

HASIL

1. Terapi Wicara

Setelah menjalani analisa penelitian dapat disimpulkan bahwa sebelum menerima terapi wicara, perkembangan bahasa anak-anak dengan sindrom Down memiliki rata-

rata sebesar 8,17. Namun setelah diberikan terapi wicara dengan metode pemodelan, rata-rata tingkat perkembangan bahasa meningkat secara signifikan menjadi 21,92,

hal tersebut menghasilkan perbedaan rata-rata perkembangan bahasa sebesar 13,75 sebelum dan setelah terapi wicara. Hasil uji statistik menggunakan uji t berpasangan

menunjukkan bahwa nilai p-value adalah 0,000, yang secara kuat menunjukkan bahwa terapi wicara dengan metode pemodelan memiliki dampak positif yang signifikan

terhadap perkembangan bahasa anak-anak dengan DS di SDLB Negeri 1 Ganting Bukittinggi pada tahun 2018. Temuan ini memberikan bukti kuat akan efektivitas terapi
(Yetta Farma, 2018)
wicara dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak-anak yang menghadapi tantangan perkembangan bahasa .

2. Terapi Okupasi

Analisis pengaruh terapi okupasi mozaik terhadap kemampuan motorik halus anak pengidap DS

Selain itu, dalam rangka untuk mengevaluasi dampak terapi okupasi dengan pendekatan mozaik terhadap kemampuan motorik halus, uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test

digunakan untuk membandingkan hasil pretest dan posttest.

2
Hasil uji ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan dalam kemampuan motorik halus sebelum dan sesudah terapi, dengan nilai p=0,000 yang jauh lebih

rendah dari tingkat signifikansi a=0,05 (p=0,000 < a=0,05) berdasarkan Tabel 4.3.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol (HI) diterima, dan hasil analisis ini menegaskan secara kuat adanya pengaruh yang signifikan dari terapi okupasi

dengan pendekatan mozaik terhadap peningkatan kemampuan motorik halus pada subjek penelitian. Hasil ini memberikan dasar yang kuat untuk penggunaan terapi

okupasi mozaik sebagai pendekatan yang efektif dalam merangsang perkembangan kemampuan motorik halus pada individu yang mengalami kesulitan motoric
(Prasetyo adi, 2019).

PEMBAHASAN

Berdasarkan data terapi okupasi dan terapi bahasa bisa disimpulkan bahwa terapi tersebut efektif dalam membentu anak yang menderita down syndrom. Terapi yang

dilakukan pada pasien DS ditujukan untuk memperbaiki tingkat bersosialisasi dalam masyarakat, mandiri, dan mengurangi ketergantungan kepada orang lain.

Terapi wicara mengajarkan anak DS bagaimana cara berkomunikasi dengan baik dan benar. Terapi ini dinilai dari pemahaman, penggunaan Bahasa, perkataan, dan

eskpresi. Terapi wicara sendiri adalah cara untuk pengobatan terhadap kondisi patologis dalam memfokuskan ide, pikiran dan perasaan secara oral.

Terapi okupasi dengan metode mozaik penting untuk meningkatkan kemampuan motorik anak DS. Mozaik sendiri adalah seni dekorasi bidang dengan kepingan bahan

kertas berwarna yang disusun dan ditempelkan pada perekat. Terapi ini akan membuat karya seni rupa dua dimensi atau tiga dimensi dengan bahan yang sudah dipotong

dan nanti akan ditempelkan pada bidang datar. Terapi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi fisik dalam melatih kekuatan otot, melatih koordinasi gerakan, dan

meningkatkan ruang gerak sendi. Terapi ini diharapkan dapat memudahkan anak DS untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan kegiatan disokolah serta dilingkungannya

dan membantu mencari aktivitas yang disukai anak DS.

Anda mungkin juga menyukai