Rata kiri Calibri Bold (20 cpi), tidak lebih 12 kata dalam bahasa Indonesia dan 10 kata bahasa Inggris
Abstrak—Abstrak merupakan paragraf tunggal yang dituliskan dengan bahasa Indonesia dan Inggris. Abstrak mencakup pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, dan diakhiri dengan komentar tentang pentingnya hasil
atau kesimpulan singkat. Abstrak harus menggambarkan penelitian yang dilakukan secara eksplisit dengan kalimat yang lugas dan jelas. Abstrak dan artikel ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia (PUEBI). Panjang abstrak maksimal 200 kata, Calibri 8 cpi dan 1 spasi.
PENDAHULUAN
Down Syndrome (DS) adalah kelainan genetik yang paling sering ditemui yang menyebabkan kecacatan intelektual dan itu disebabkan oleh adanya tiga salinan kromosom
21 pada manusia. Nama sindrom ini diambil dari nama Down yang menggambarkan karakteristik klinis dari sindrom ini pada tahun 1866. Gejala DS melibatkan efek yang
memengaruhi berbagai sistem tubuh, terutama sistem muskuloskeletal, saraf, dan kardiovaskular. Orang dengan DS umumnya memiliki postur tubuh yang pendek, otot
yang kurang tegang, masalah dengan stabilitas tulang leher bagian atas (atlantoaksial), kelangkaan sel saraf, perkembangan cerebellum yang tidak sempurna, gangguan
intelektual, serta kelainan jantung bawaan, terutama kelainan septum atrioventrikular. Selain itu, orang yang mengalami DS memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami beberapa masalah kesehatan seperti hipotiroidisme, penyakit autoimun, sleep apnea obstruktif, epilepsi, masalah pendengaran dan penglihatan, masalah
hematologi (termasuk leukemia), infeksi berulang, gangguan kecemasan, dan alzheimer yang muncul lebih awal. Sebaliknya, beberapa kondisi lain seperti sebagian besar
jenis tumor padat, tampaknya kurang umum pada individu dengan DS daripada pada populasi umum (Antonarakis et al., 2020).
Word Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 8 juta penderita DS di dunia, spesifiknya terdapat 3.000 – 5.000 anak lahir mengidap kelainan kromosom.
Untuk Indonesia prevalensi anak DS lebih dari 300 jiwa ribu. dengan rincian, terdapat 0,12 persen penderita pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 0,13 persen pada
tahun 2013
DS disebabkan oleh adanya satu salinan tambahan dari kromosom 21. Kegagalan pemisahan kromosom 21 selama proses gametogenesis mengakibatkan adanya
kromosom ekstra dalam semua sel tubuh. Selain itu, ada dua penyebab potensial lain dari trisomi 21, yaitu translokasi robertsonian dan isokromosom atau kromosom
cincin. Translokasi robertsonian terjadi pada sekitar 2% hingga 4% pasien. Lengan panjang kromosom 21 biasanya melekat pada kromosom lain, terutama kromosom 14.
Isokromosom adalah kondisi kedua lengan panjang kromosom terpisah bersama-sama, bukan terpisah antara lengan panjang dan pendek.
Gejala fisik DS mencakup sejumlah tanda fisik yang umumnya ditemui. Selain itu, perkembangan fisik anak-anak yang mengidap DS sering berjalan lebih lambat daripada
anak-anak tanpa kondisi tersebut. Misalnya, karena kekurangan tonus otot, anak dengan DS mungkin mengalami keterlambatan dalam kemampuan untuk berbalik, duduk,
berdiri, dan berjalan. Meskipun ada keterlambatan ini, mereka dapat belajar untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik seperti anak-anak lainnya. Mungkin memerlukan
waktu lebih lama bagi anak-anak dengan DS untuk mencapai beberapa tonggak perkembangan, tetapi pada akhirnya mereka akan mencapai sebagian besar dari tonggak-
tonggak tersebut.
Sementara itu, gejala intelektual dan perkembangan yang terkait dengan DS mencakup gangguan kognitif yang umumnya berada dalam rentang dari ringan hingga sedang.
Jarang sekali DS dikaitkan dengan gangguan kognitif yang parah. Selain itu, masalah kognitif dan perilaku lainnya yang sering muncul dapat mencakup daya tahan
perhatian yang pendek, penilaian yang kurang baik, perilaku impulsif, pembelajaran yang lambat, serta perkembangan dan bicara yang tertunda.
(https://www.nichd.nih.gov/health/topics/down/conditioninfo/symptoms)
Berdasarkan pengalaman penatalaksanaan fisioterapi, penulis ingin memberikan beberapa rekomendasi kepada berbagai pihak, yaitu keluarga, fisioterapis, lingkungan,
1. Keluarga memiliki peran penting dalam perawatan anak mereka yang mengalami keterlambatan perkembangan. Disarankan untuk melanjutkan terapi anak di fasilitas
perawatan medis dan menjalankan terapi di rumah sesuai panduan yang diberikan oleh terapis. Dukungan motivasi dan penuh dari keluarga sangat diperlukan, sertaperlu
melanjutkan program latihan hingga mencapai hasil yang diharapkan. Fokus pada tujuan jangka pendek seperti membantu anak merangkak dan juga pada tujuan jangka
1
3. Lingkungan juga berperan penting. Anak harus ditempatkan dalam lingkungan yang mendukung aktivitas yang meningkatkan kemampuan fungsionalnya. Berikan
permainan yang merangsang perkembangan merangkak, dan pastikan tempat tinggal memiliki fasilitas yang mendukung perkembangan merangkak.
Penting bagi masyarakat untuk membaca dan memahami karya tulis ilmiah ini. Jika ada tetangga, kerabat, atau keluarga yang menghadapi masalah keterlambatan
perkembangan anak, segera berkonsultasi dengan petugas medis terdekat. Mereka sebaiknya membawa anak tersebut ke fisioterapis untuk mendapatkan penanganan
yang sesuai tanpa perlu panik. Dengan mengikuti rekomendasi ini, anak-anak yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang diharapkan dapat mendapatkan
perawatan dan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
1. Terapi Fisik
Pertama-tama, dalam merawat anak yang memiliki DS, orang tua perlu memahami pentingnya terapi fisik. Ini melibatkan serangkaian aktivitas dan latihan yang dirancang
untuk membantu perkembangan fisik anak sejak usia dini. Terapi ini membantu anak dalam mempelajari keterampilan seperti merangkak dan mencapai benda-benda di
sekitarnya. Selain itu, terapi fisik juga membantu dalam membangun kemampuan motorik, meningkatkan kekuatan otot, dan mengembangkan keseimbangan pada anak
yang memiliki DS
2. Terapi Wicara.
Langkah selanjutnya dalam perawatan anak dengan DS adalah melalui terapi wicara. Pada umumnya, anak-anak yang memiliki DS mengalami keterlambatan dalam
perkembangan berbicara dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memulai terapi wicara sejak dini guna meningkatkan
kemampuan komunikasi anak dan penggunaan bahasa yang lebih efektif. Salah satu aspek dari terapi wicara adalah berlatih meniru suara.
3. Terapi Kerja
Meskipun anak-anak dengan DS memiliki perbedaan, mereka tetap memiliki potensi untuk mencapai kemandirian seperti anak-anak lainnya. Ini dapat dicapai melalui
terapi kerja yang dimulai sejak usia dini. Dalam terapi ini, anak-anak yang memiliki DS diajarkan berbagai keterampilan sehari-hari, seperti cara makan dengan benar,
berpakaian, menulis, dan bahkan penggunaan perangkat elektronik. Melalui terapi ini, anak-anak belajar mengenal aktivitas-aktivitas harian dan beradaptasi untuk
melaksanakannya.
4. Terapi Okupasi
Terakhir, terapi okupasi adalah langkah penting dalam merawat anak dengan sindrom Down. Dalam terapi ini, anak-anak yang memiliki DS didorong untuk mengeksplorasi
minat dan hobi mereka. Bahkan pada masa remaja, mereka akan dibantu untuk mengidentifikasi karier atau profesi yang ingin mereka tekuni. Ini merupakan salah satu
Penting untuk diingat bahwa saat menerapkan keempat metode perawatan ini, orang tua sebaiknya memperhatikan penggunaan alat bantu yang sesuai dengan
kebutuhan anak. Hal ini akan membantu dalam memfasilitasi pembelajaran anak dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Sebagai contoh, penggunaan alat musik
dapat membantu dalam melatih kemampuan fisik, sementara penggunaan pensil khusus dapat memudahkan dalam latihan menulis.
Selain itu, dukungan dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungan sekitar sangat penting untuk memungkinkan anak dengan DS berkembang secara optimal, sama
seperti anak-anak lainnya. Oleh karena itu, penting untuk tidak menyerah dan tetap sabar dalam merawat anak dengan DS. Konsultasikan dengan dokter spesialis anak di
fasilitas perawatan medis untuk merencanakan terapi dan latihan yang sesuai dengan perkembangan anak yang memiliki DS.
METODE
HASIL
1. Terapi Wicara
Setelah menjalani analisa penelitian dapat disimpulkan bahwa sebelum menerima terapi wicara, perkembangan bahasa anak-anak dengan sindrom Down memiliki rata-
rata sebesar 8,17. Namun setelah diberikan terapi wicara dengan metode pemodelan, rata-rata tingkat perkembangan bahasa meningkat secara signifikan menjadi 21,92,
hal tersebut menghasilkan perbedaan rata-rata perkembangan bahasa sebesar 13,75 sebelum dan setelah terapi wicara. Hasil uji statistik menggunakan uji t berpasangan
menunjukkan bahwa nilai p-value adalah 0,000, yang secara kuat menunjukkan bahwa terapi wicara dengan metode pemodelan memiliki dampak positif yang signifikan
terhadap perkembangan bahasa anak-anak dengan DS di SDLB Negeri 1 Ganting Bukittinggi pada tahun 2018. Temuan ini memberikan bukti kuat akan efektivitas terapi
(Yetta Farma, 2018)
wicara dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak-anak yang menghadapi tantangan perkembangan bahasa .
2. Terapi Okupasi
Analisis pengaruh terapi okupasi mozaik terhadap kemampuan motorik halus anak pengidap DS
Selain itu, dalam rangka untuk mengevaluasi dampak terapi okupasi dengan pendekatan mozaik terhadap kemampuan motorik halus, uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test
2
Hasil uji ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan dalam kemampuan motorik halus sebelum dan sesudah terapi, dengan nilai p=0,000 yang jauh lebih
rendah dari tingkat signifikansi a=0,05 (p=0,000 < a=0,05) berdasarkan Tabel 4.3.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol (HI) diterima, dan hasil analisis ini menegaskan secara kuat adanya pengaruh yang signifikan dari terapi okupasi
dengan pendekatan mozaik terhadap peningkatan kemampuan motorik halus pada subjek penelitian. Hasil ini memberikan dasar yang kuat untuk penggunaan terapi
okupasi mozaik sebagai pendekatan yang efektif dalam merangsang perkembangan kemampuan motorik halus pada individu yang mengalami kesulitan motoric
(Prasetyo adi, 2019).
PEMBAHASAN
Berdasarkan data terapi okupasi dan terapi bahasa bisa disimpulkan bahwa terapi tersebut efektif dalam membentu anak yang menderita down syndrom. Terapi yang
dilakukan pada pasien DS ditujukan untuk memperbaiki tingkat bersosialisasi dalam masyarakat, mandiri, dan mengurangi ketergantungan kepada orang lain.
Terapi wicara mengajarkan anak DS bagaimana cara berkomunikasi dengan baik dan benar. Terapi ini dinilai dari pemahaman, penggunaan Bahasa, perkataan, dan
eskpresi. Terapi wicara sendiri adalah cara untuk pengobatan terhadap kondisi patologis dalam memfokuskan ide, pikiran dan perasaan secara oral.
Terapi okupasi dengan metode mozaik penting untuk meningkatkan kemampuan motorik anak DS. Mozaik sendiri adalah seni dekorasi bidang dengan kepingan bahan
kertas berwarna yang disusun dan ditempelkan pada perekat. Terapi ini akan membuat karya seni rupa dua dimensi atau tiga dimensi dengan bahan yang sudah dipotong
dan nanti akan ditempelkan pada bidang datar. Terapi ini bertujuan untuk mengembalikan fungsi fisik dalam melatih kekuatan otot, melatih koordinasi gerakan, dan
meningkatkan ruang gerak sendi. Terapi ini diharapkan dapat memudahkan anak DS untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan kegiatan disokolah serta dilingkungannya