PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Liabiitas dan Ekuitas merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari laporan
keuangan. Dalam pelaporan akuntansi, liabilitas dan ekuitas membutuhkan definisi
pengukuran, penilaian dan pengakuan untuk dapat disajikan dalam laporan keuangan agar
laporan keuangan yang dihasilkan dapat dipahami dan menghasilkan informasi yang dapat
digunakan sebagai pengambilan keputusan oleh semua pihak yang berkepentingan.
Liabitas dan ekuitas menjadi substansi penting dalam laporan keuangan. Dimana liabilitas
merupakan kewajiban untuk menyerahkan manfaat ekonomi di masa akan datang kepada
pihak ke tiga, dalam bentuk uang, jasa, maupun aset yang lainnya. Liabitas mencakup tiga
aspek, yaitu libilitas pada saat ini, liabilitas masa lalu dan dasar pengakuan. Sedangkan
ekuitas merupakan sumber dana yang diperoleh dari pemilik dihitung dari selisih aset dengan
kewajiban. Liabilitas dan ekuitas memiliki kesenambungan, Nilai buku ekuitas dihitung
sebagai perbedaan antara aset dan liabilitas pada neraca perusahaan, sedangkan nilai pasar
ekuitas didasarkan pada harga saham saat ini. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai
liabilitas dan ekuitas akan dibahas pada bab selanjutnya sesuai dengan rumusan masalah
penelitian.
1
6. Untuk Mengetahui Pengungkapan Kewajiban Diestimasi?
7. Apakah Pengertian Kewajiban Kontijensi?
8. Untuk Mengetahui Pengakuan Kewajiban Kontijensi?
9. Untuk Mengetahui Pengukuran Kewajiban Kontijensi?
10. Untuk Mengetahui Penyajian dan Pengungkapan Kewajiban Kontijensi?
11. Untuk Mengetahui Pengertian Ekuitas dan Komponen Ekuitas Pemegang Saham?
12. Untuk Mengetahui Perlakuan Akuntansi dan Pelaporan Saham?
13. Untuk Mengetahui Akuntansi untuk Penerbitan Saham?
14. Untuk Mengetahui Akuntansi Ekuitas untuk Badan Usaha Berbentuk PT dan Non PT?
15. Untuk Mengetahui Dividen Pada PT?
2
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
2.1 Liabilitas
Dasar pengukuran kewajiban yang paling objektif adalah cost tunai atau cost tunai
implisit. Karena kewajiban merupakan cerminan dari aset, maka pengukurannya juga
mengikuti pengukuran aset. Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca berdasarkan
urutan kelancarannya sejalan dengan aset. PSAK No. 1 menggariskan bahwa aset lancar
disajikan menurut urutan likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh
tempo.
PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi kriteria sebagai
kewajiban jangka pendek diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang. Kriteria
tersebut adalah (a) diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi
perusahaan, atau (b) jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca.
Penggolongan Liabilitas
Kewajiban dimasukkan dalam laporan neraca dengan saldo normal kredit, dan biasanya
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Kewajiban Lancar (current liabilities) – kewajiban yang likuiditasnya diperkirakan secara
layak memerlukan penggunaan sumber daya yang ada yang diklasifikasikan sebagai
aktiva lancar atau penciptaan kewajiban lancar lainnya. Terdapat banyak jenis kewajiban
lancar yang berbeda, antara lain hutang usaha, wesel bayar, jatuh tempo berjalan hutang
3
jangka panjang, kewajiban jangka pendej yang diharapkan akan didanai kembali, hutang
dividen, deposito yang dapat dikembalikan, pendapatan diterima dimuka, hutang pajak,
kewajiban yang berhubungan dengan karyawan. Hutang usaha atau hutang dagang
merupakan saldo yang terhutang kepada pihak lain atas barang, perlengkapan, atau jasa
yang dibeli dengan akun terbuka atau secara kredit. Hutang usaha muncul karena adanya
kesenjangan waktu antara penerimaan jasa atau akuisisi hak aktiva dan pembayaran
atasnya. Jika hak telah beralih ke pembeli sebelum barang diterima, maka transaksi itu
harus dicatat pada saat hak beralih ke pembeli.
2. Hutang Jangka Panjang (long-trem debt) – terdiri dari pengorbanan manfaat ekonomi
yang sangat mungkin dimasa depan akibat kewajiban sekarang yang tidak dibayarkan
dalam satu tahun atau satu siklus operasi perusahaan. Jenis-jenis hutang jangka panjang
antara lain hutang obligasi, wesel bayar jangka panjang, hutang hipotik, kewajiban
pensiun, dan kewajiban leasen.
4
dan jasa tersebut. kewajiban nonmeneter diukur atas dasar pembayaran tersebut yang
menunjukkan harga yang disepakati untuk barang dan jasa.
5
2.2.3 Pengungkapan Kewajiban Diestimasi
Untuk setiap jenis kewajiban diestimasi, entitas harus mengungkapkan:
a) nilai tercatat pada awal dan akhir periode;
b) kewajiban diestimasi tambahan yang dibuat dalam periode bersangkutan, termasuk
peningkatan jumlah pada kewajiban diestimasi yang ada;
c) jumlah yang digunakan, yaitu jumlah yang terjadi dan dibebankan pada kewajiban
diestimasi selama periode bersangkutan;
d) jumlah yang belum digunakan yang dibatalkan selama periode bersangkutan; dan
e) peningkatan, selama periode yang bersangkutan, dalam nilai kini yang timbul karena
berlalunya waktu dan dampak dari setiap perubahan tingkat diskonto.ormasi komparatif
tidak diharuskan
6
2.2.5 Pengakuan Kewajiban Kontijensi
Banyak peristiwa masa lalu yang dapat menimbulkan kewajiban kini. Walaupun
demikian, dalam beberapa peristiwa yang jarang terjadi, misalnya dalam tuntutan hukum,
dapat timbul perbedaan pendapat mengenai apakah peristiwa tertentu sudah terjadi atau
apakah peristiwa tersebut menimbulkan kewajiban kini. Jika demikian halnya, perusahaan
menentukan apakah kewajiban kini telah ada pada tanggal neraca dengan mempertimbangkan
semua bukti yang tersedia, termasuk misalnya pendapat ahli. Bukti yang dipertimbangkan
mencakup, antara lain, bukti tambahan yang diperoleh dari peristiwa setelah tanggal neraca.
Atas dasar bukti tersebut, apabila besar kemungkinan bahwa kewajiban kini belum ada pada
tanggal neraca, pemerintah mengungkapkan adanya kewajiban kontingensi.
Pengungkapan tidak diperlukan jika kemungkinan arus keluar sumber daya kecil.
Kewajiban kontingensi dapat berkembang ke arah yang tidak diperkirakan semula. Oleh
karena itu, kewajiban kontingensi harus terus-menerus dikaji ulang untuk menentukan apakah
tingkat kemungkinan arus keluar sumber daya bertambah besar (probable). Apabila
kemungkinan itu terjadi, maka manajemen akan mengakui kewajiban diestimasi dalam
laporan keuangan periode saat perubahan tingkat kemungkinan tersebut terjadi, kecuali
nilainya tidak dapat diestimasikan secara andal. Pengukuran Besaran kewajiban kontingensi
tidak dapat diukur secara eksak. Untuk itu diperlukan pertimbangan profesional oleh pihak
yang berkompeten. Penyajian dan Pengungkapan Kewajiban kontingensi tidak disajikan pada
neraca , namun demikian perusahaan harus mengungkapkan kewajiban kontingensi pada
Catatan atas Laporan Keuangan untuk setiap jenis kewajiban kontingensi pada tanggal
neraca.
2.3. Ekuitas
2.3.1 Pengertian Ekuitas
Istilah ekuitas berasal dari kata equity atau equity of ownership yang berarti kekayaan
bersih perusahaan. Secara sederhana, ia diformulasikan sebagai total aktiva dikurangi total
pasiva. Ekuitas merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yaitu selisih antara aktiva
dan kewajiban yang ada, dan dengan demikian tidak merupakan ukuran nilai jual perusahaan
tersebut.pada dasarnya ekuitas berasal dari investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan.
7
Ekuitas akan berkurang terutama dengan adanya penarikan kembali penyertaan oleh pemilik,
pembagian keuntungan atau karena kerugian.
8
2) Tambahan modal disetor akun ini menunjukkan kelebihan modal disetor di atas nilai pari
saham. Tambahan modal disetor ini meliputi agio saham atau disagio saham.
o Akuntansi penerbitan saham atas dasar pesanan
Dua perkiraan baru digunakan apabila saham dijual atas dasar pesanan, yaitu (1) saham
biasa atau preferen yang dipesan menunjukkan kewajiban perseroan untuk menerbitkan
saham setelah pembayaran akhir saldo pesanan oleh mereka yang telah memesan saham, (2)
piutang pesanan, menunjukkan jumlah yang harus ditagih sebelum saham pesanan akan
diterbitkan.
Kontroversial terjadi sehubungan dengan penyajian piutang pesanan saham dineraca.
Beberapa orang mengemukakan bahwa piutang pesanan sebaiknya dilaporkan pada seksi aset
lancar. Piutang dagang muncul dari transaksi penjualan pada kegiatan bisnis seperti yang
biasa sedangkan piutang pesanan berhubungan dengan penerbitan saham sendiri dan
merupakan kontribusi modal yang belum dibayarkan kepada perseroan.
9
dengan mendebit akun Modal Saham dan mengkredit Modal Saham yang diperoleh kembali
sebesar jumlah yang dibukukan pada saat perolehan kembali saham yang bersangkutan.
2.3.6 Dividen PT
Kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen, dan
saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen yang dimaksud. Kewajiban yang timbul
disajikan dalam kelompok kewajiban lancar. Bila dividen dibagikan dalam bentuk aktiva
bukan kas, maka saldo laba akan didebit sebesar nilai wajar aktiva yang diserahkan. Dasar
pembagian dividen dalam bentuk aktiva bukan kas harus diungkapkan pada catatan atas
laporan keuangan.
Pembagian dividen termasuk dividen saham yang berasal dari saldo laba. Pembagian
dividen saham adalah pembagian saldo laba kepada pemegang saham, yang diinvestasikan
kembali oleh mereka dalam bentuk modal disetor. Pembagian dividen saham dicatat
berdasarkan nilai wajar saham. Konversi agio menjadi saham digolongkan sebagai modal
disetor sebesar nilai nominal, yang tidak boleh digolongkan sebagai pembagian dividen.
10
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
11
1995 - Lisensi yang ditangani oleh Perseroan mencapai lebih dari 30 merek
internasional, terdiri dari pakaian dalam, kemeja, pakaian kasual, pakaian anak-anak,
household
1996 - Melaksanakan right issue yang kedua
1997 - Meraih sertifikasi ISO 9002 untuk quality management dan diperbarui tahun
1999
1997 - Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company” dari majalah Asiamoney
untuk kedua kali
2000 - Meraih kualifikasi “Kecelakaan Kerja Nihil” (Zero Accidents) dari Departemen
Tenaga Kerja
1996 - Berganti nama menjadi PT Great River International
2000 - Usaha ekspor Perseroan mencapai 69% dari total nilai penjualan
2001 - Menyelesaikan restrukturisasi tahap I dengan Termsheet melalui Prakarsa
Jakarta
2001 - Nilai penjualan ditargetkan meningkat 9,6%, dengan usaha ekspor mencapai
65% dari total penjualan Fasilitas Produksi
o Kendala Internal
Kepastian hukum, kondisi sosial, politik, keamanan kurang kondusif
Kurangnya kenyamanan dan ketenangan berusaha
Kenaikan UMR, TDL, BBM secara berturut-turut berdampak pada meningkatnya
biaya operasional
Daya beli pasar domestik masih lemah
o Kendala Eksternal
Sistem kuota
Menurunnya perekonomian dunia berpengaruh terhadap eksport
Dampak pasca tragedi ‘911’
Tariff & non-tariff barriers
Proteksi dari negara industri seperti Uni Eropa (ISO, Eco-labeling, ILAC, CSM-2000)
dan Amerika Serikat (WRAP)
12
o Keadaan Perseroan saat ini
Kegiatan operasional Perseroan berjalan normal, pabrik masih berproduksi
Kondisi karyawan terkendali. Seluruh karyawan baik dari pabrik, kantor pusat,
maupun kantor cabang, masuk seperti biasa
Listrik di Gedung Plaza GRI Kantor Pusat dimatikan, sehingga kegiatan di kantor
pusat terhambat
Perseroan belum mampu untuk melakukan pembayaran terhadap kewajiban yang
harus dibayarkan
3.3. Latar Belakang Permasalahan
Perseroan mengalami kekurangan modal kerja
Tidak tercapainya target penjualan domestic karena masuknya barang berharga murah
dari China dan Vietnam, sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan stok di toko-
toko
Penjualan ekspor mengalami tekanan harga jual sehingga margin keuntungan turun,
karena persaingan yang berat
Biaya operasional yang tinggi dan meningkat secara signifikan setiap tahun (kenaikan
UMP dan biaya TDL, telpon dan bahan bakar)
Secara umum, perseroan tidak cukup fleksibel menghadapi perubahan dan tantangan
yang terjadi di pasar dengan tingkat persaingan yang semakin ketat
13
PT Great River International memperkirakan jumlah kewajibannya yang telah dan akan
jatuh tempo, di luar utangnya kepada Citibank, adalah sebesar US $179.291.292. Sedangkan
total aset yang dimiliki diperkirakan sebesar Rp1.674.716.315.355. Perusahaan garmen PT
Great River International Tbk membukukan laba bersih sebesar Rp 1,023 trilyun per
September 2002, melonjak dari periode yang sama tahun sebelumnya yang masih
membukukan rugi bersih Rp 11,298 milyar. Demikian dikemukakan Dirut Great River
Sunjoto Tanudjaja dalam laporan keuangan kepada Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Lonjakan laba bersih itu lebih disebabkan adanya pendapatan pos luar biasa dari hasil
restrukturisasi utang sebesar Rp 1,277 trilyun. Dari total utang sebesar 172,5 juta dollar AS,
Great River memperoleh potongan utang (hair cut) sebesar 85 persen atau untuk setiap dollar
utangnya, perseroan hanya membayar 15 sen. Oleh karena itu, pos-pos yang tadinya untuk
membayar utang, karena ada koreksi pembukuan, berubah menjadi keuntungan. Secara
langsung, pendapatan dari pos luar biasa tersebut tidak mempengaruhi aliran dana tunai (cash
flow) perusahaan, tetapi mengubah struktur keuangan perseroan menjadi positif.
Sebagaimana dialami berbagai emiten lainnya, perusahaan garmen ini mengalami
kesulitan keuangan semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Melonjaknya nilai tukar dollar AS
terhadap rupiah membuat nilai utang perseroan melejit ke atas. Proses restrukturisasi yang
sudah dirintis manajemen selama 4 tahun, sejak tahun 1998 tersebut akhirnya membuahkan
hasil dengan penandatanganan scheme buy back (skema pembelian kembali) utang pada
bulan Agustus 2002.
Pada tahun 2005, salah satu pemegang saham PT. Great River International Tbk
mengajukan diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk
menindaklanjuti hasil audit investigasi Akuntan Publik Amir Abadi Jusuf dan Mawar. Dalam
RUPLSB tersebut, akan dimintakan persetujuan pelaksanaan kuasi reorganisasi terhadap hasil
audit investigasi terhadap perseroan yang dilakukan oleh KAP Amir Abadi Jusuf & Mawar
pada November 2005. Selain itu, RUPLSB juga akan meminta persetujuan soal
restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian atau seluruh utang
menjadi saham perseroan. Termasuk pula persetujuan soal penambahan modal sehubungan
dengan konversi sebagian atau seluruh utang perseroan menjadi saham perseroan.
Akuntan publik Justinus Aditya Sidharta diindikasi melakukan kesalahan dalam
mengaudit laporan keuangan PT. Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut muncul
setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan indikasi
penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada
laporan keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan
arus kas dan gagal dalam membayar utang. Berdasarkan investigasi tersebut Bapepam
menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Great River ikut
menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28
November 2006 telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua
tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik
(SPAP) berkaitan dengan laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Great River
tahun 2003.
Dalam konteks skandal keuangan di atas, muncul pertanyaan apakah trik-trik rekayasa
tersebut mampu terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan tersebut
atau sebenarnya telah terdeteksi namun auditor justru ikut mengamankan praktik kejahatan
14
tersebut. Tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu mendeteksi trik rekayasa
laporan keuangan maka yang menjadi inti permasalahannya adalah kompetensi atau keahlian
auditor tersebut. Namun jika yang terjadi justru akuntan publik ikut mengamankan praktik
rekayasa tersebut, seperti yang terungkap juga pada skandal yang menimpa Enron, Andersen,
Xerox, WorldCom, Tyco, Global Crossing, Adelphia dan Walt Disney (Sunarsip 2002 dalam
Christiawan 2003:83) maka inti permasalahannya adalah independensi auditor tersebut.
Terkait dengan konteks inilah, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi dan
independensi auditor saat ini dan apakah kompetensi dan independensi auditor tersebut
berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik. Kualitas audit ini
penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan
yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan.
Auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan
keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-
kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada
tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Namun sesuai dengan
tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan,
maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga
harus independen dalam mengaudit. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-
apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil audit dari auditor sehingga masyarakat tidak akan
meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan
oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus
dipertahankan oleh audito “. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk
kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus
melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas
laporan keuangan audited.
Selama izinnya dibekukan, Justinus dilarang memberikan jasa atestasi (pernyataan
pendapat atau pertimbangan akuntan publik) termasuk audit umum, review, audit kerja dan
audit khusus. Dia juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang Kantor
Akuntan Publik (KAP). Namun yang bersangkutan tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa
yang telah diberikan serta wajib memenuhi ketentuan untuk mengikuti Pendidikan
Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut
atas Surat Keputusan Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-
BPPAP/VI/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan
Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan
Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa
AP dikenakan sanksi pembekuan izin apabila AP yang bersangkutan mendapat sanksi
pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP.
Menurut Fuad Rahmany, Ketua Bapepam-LK, pihaknya sedang melakukan penyidikan
terhadap AP yang memeriksa laporan keuangan Great River. Kalau ditemukan unsur pidana
15
dalam penyidikan itu, maka AP tersebut bisa dijadikan sebagai tersangka. “Kita sedang
proses penyidikan terhadap AP yang bersangkutan. Kalau memang nanti ditemukan ada
unsur pidana, maka dia akan kita laporkan juga Kejaksaan,” ujar Fuad.
Seperti diketahui, sejak Agustus lalu, Bapepam menyidik akuntan publik yang mengaudit
laporan keuangan Great River tahun buku 2003. Fuad menyatakan telah menemukan adanya
indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River. Sayangnya, dia tidak
bersedia menjelaskan secara detail praktek konspirasi dalam penyajian laporan keuangan
emiten berkode saham GRIV itu. Fuad juga menjelaskan tugas akuntan adalah hanya
memberikan opini atas laporan perusahaan. Akuntan, menurutnya, tidak boleh melakukan
segala macam rekayasa dalam tugasnya. “Dia bisa dikenakan sanksi berat untuk rekayasa
itu,” katanya untuk menghindari sanksi pajak.Menanggapi tudingan itu, Kantor akuntan
publik Johan Malonda & Rekan membantah telah melakukan konspirasi dalam mengaudit
laporan keuangan tahunan Great River. Deputy Managing Director Johan Malonda, Justinus
A. Sidharta, menyatakan, selama mengaudit buku Great River, pihaknya tidak menemukan
adanya penggelembungan account penjualan atau penyimpangan dana obligasi. Namun dia
mengakui metode pencatatan akuntansi yang diterapkan Great River berbeda dengan
ketentuan yang ada. “Kami mengaudit berdasarkan data yang diberikan klien,” kata Justinus.
Menurut Justinus, Great River banyak menerima order pembuatan pakaian dari luar
negeri dengan bahan baku dari pihak pemesan. Jadi Great River hanya mengeluarkan ongkos
operasi pembuatan pakaian. Tapi saat pesanan dikirimkan ke luar negeri, nilai ekspornya
dicantumkan dengan menjumlahkan harga bahan baku, aksesori, ongkos kerja, dan laba
perusahaan. Justinus menyatakan model pencatatan seperti itu bertujuan menghindari dugaan
dumping dan sanksi perpajakan. Sebab, katanya, saldo laba bersih tak berbeda dengan yang
diterima perusahaan. Dia menduga hal itulah yang menjadi pemicu dugaan adanya
penggelembungan nilai penjualan. Sehingga diinterpretasikan sebagai menyembunyikan
informasi secara sengaja. Johan Malonda & Rekan mulai menjadi auditor Great River sejak
2001. Saat itu perusahaan masih kesulitan membayar utang US$ 150 Juta kepada Deutsche
Bank. Pada 2002, Great River mendapat potongan pokok utang 85 persen dan sisa utang
dibayar menggunakan pinjaman dari Bank Danamon. Setahun kemudian Great River
menerbitkan obligasi Rp 300 miliar untuk membayar pinjaman tersebut. “Kami hanya tahu
kondisi perusahaan pada rentang 2001-2003,” kata Justinus.
Sebelumnya Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah
melimpahkan kasus penyajian laporan keuangan konsolidasi Great River ke Kejaksaan
Agung pada tanggal 20 Desember 2006. Dalam laporan tersebut, empat anggota direksi
perusahaan tekstil itu ditetapkan menjadi tersangka, termasuk pemiliknya, Sunjoto Tanudjaja.
Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi Aryanto, Amir Jusuf, dan
Mawar, yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang, dan aset
hingga ratusan miliar rupiah di Great River. Akibatnya, Great River mengalami kesulitan arus
kas dan gagal membayar utang.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terdapat indikasi penipuan dalam penyajian
laporan keuangan. Pasalnya, Bapepam menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement
penyajian account penjualan dan piutang dalam laporan tersebut. Kelebihan itu berupa
penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi yang tanpa pembuktian.
16
Akibatnya, Great River kesulitan arus kas. Perusahaan tidak mampu membayar utang Rp 250
miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai Rp 300 miliar.
o Identifikasi Kasus
1) Tahun 2002 PT. Great River International mulai mengalami kesulitan keuangan dengan
mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke
Pengadilan Niaga.
2) Selain itu, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) juga akan meminta
persetujuan soal restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian
atau seluruh utang menjadi saham perseroan.
3) Bapepam menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian
laporan keuangan PT. Great River International Tbk khususnya dalam penyajian laporan
keuangan pada tahun 2003 untuk penerbitan obligasi perseroan yang gagal bayar .
4) Adanya metode pencatatan akuntasi yang berbeda dengan ketentuan yang ada. Terdapat
keterkaitan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan dengan kesulitan perusahaan
dalam membayar utangnya. Sehingga mengakibatkan perusahaan tidak mampu
membayar hutang Rp. 250 miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi
senilai 300 miliar.
5) Terhitung sejak tanggal 28 November 2006, Mentri Keuangan RI telah membekukan izin
akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama 2 tahun, sanksi tersebut diberikan
karena Justinus terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan audit atas laporan keuangan
konsolidasi PT Great River International Tbk tahun 2003.
17
3) Berdasarkan investigasi yang dilakukan, Bapepam telah menemukan adanya:
a) Overstatement atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam Laporan Keuangan
PT. Great River Inetrnational Tbk per 31 Desember 2003; dan
b) Penambahan aktiva tetap perseroan, khususnya yang terkait dengan penggunaan dana
hasil emisi obligasi, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Sehingga perusahaan tekstil tersebut mengalami kelebihan pendapatan (overstatement)
yang seharusnya justru merugi.
4) Overstatement dalam arti lain penggelembungan atas penyajian akun penjualan dan
piutang dalam Laporan Keuangan PT. Great River Inetrnational Tbk per 31 Desember
2003 telah diakukan dalam pencatatan akuntasi yang berbeda dengan ketentuan yang
mengakibatkan perusahaan tidak mampu membayar hutang Rp. 250 miliar kepada Bank
Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai 300 miliar. PT. Great River International
Tbk, jelas melakukan pelanggaran terhadap laporan keuangan konsolidasinya. Sesuai
dengan PSAK No.4 menyebutkan “Laporan keuangan konsolidasi disusun dengan
menggunakan kebijakan akuntansi yang sama untuk transaksi, peristiwa dan keadaan
yang sama atau sejenis. Apabila tidak mungkin digunakan kebijakan akuntansi yang sama
dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi, maka harus diungkapkan penggunaan
kebijakan akuntansi yang berbeda tersebut dan proporsi unsur yang terkait dengan
kebijakan akuntansi tersebut terhadap unsur sejenis dalam laporan keuangan konsolidasi.”
5) Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut atas Surat Keputusan Badan
Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-BPPAP/VI/2006 tanggal
15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan Akuntan Indonesia
Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menkeu
Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa Akuntan Publik
dikenakan sanksi pembekuan izin apabila Akuntan Publik yang bersangkutan mendapat
sanksi pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP.
Kasus PT Great River International, Tbk di atas, yang melibatkan akuntan publik Justinus
Aditya Sidharta, dianggap telah menyalahi aturan mengenai kode etik profesi akuntan,
terutama yang berkaitan dengan integritas dan objektivitas. Akuntan publik Justinus
Aditya Sidharta dianggap telah melakukan tindak kebohongan publik, dimana dia
tidak melaporkan kondisi keuangan PT Great River International, Tbk secara jujur.
Menurut pengertiannya, integritas dapat berarti kepatuhan terhadap nilai-nilai moral,
prinsip-prinsip, serta nilai-nilai lainnya yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya.
Pelanggaran integritas berarti seseorang telah melanggar aturan-aturan yang telah disepakati
secara umum. Sedangkan objektivitas merupakan pernyataan jujur dan apa adanya terhadap
suatu hal. Pelanggaran objektivitas menunjukkan bahwa seseorang telah berani melakukan
tindak kebohongan / kecurangan dalam melakukan suatu hal. Kedua nilai ini, bersama
dengan independensi, merupakan nilai dasar yang harus dimiliki oleh seorang akuntan
publik agar seorang akuntan publik dapat menghasilkan suatu laporan yang sifatnya
akurat dan dapat dipercaya. Tanpa adanya nilai-nilai dasar tersebut, seorang akuntan
publik tidak ada bedanya dengan seorang penjahat yang tidak bermoral.
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus
18
dipertahankan oleh audito“. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk
kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus
melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas
laporan keuangan audited.
Salah satu hal yang ditekankan pasca skandal ini adalah perlunya etika profesi. Selama ini
bukan berarti etika profesi tidak penting bahkan sejak awal profesi akuntan sudah memiliki
dan terus menerus memperbaiki Kode Etik Professinya baik di USA maupun di Indonesia.
Etika adalah aturan tentang baik dan buruk. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan
hal apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai
anggota professi baik dalam berhubungan dengan kolega, langganan, masyarakat dan
pegawai. Kenyataannya konsep etika yang selama ini dijadikan penopang untuk menegakkan
praktik yang sehat yang bebas dari kecurangan tampaknya tidak cukup kuat menghadapi sifat
sifat “selfish dan egois”, kerakusan ekonomi yang dimiliki setiap pelaku pasar modal, dan
manajemen yang bermoral rendah yang hanya ingin mementingkan keuntungan ekonomis
pribadinya.
Profesi akuntan publik bisa dikatakan sebagai salah satu profesi kunci di era globalisasi
untuk mewujudkan era transparansi bisnis yang fair, oleh karena itu kesiapan yang
menyangkut profesionalisme mensyaratkan hal utama yang harus dipunyai oleh setiap
anggota profesi yaitu: keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Dalam kenyataannya,
banyak akuntan yang tidak memahami kode etik profesinya sehingga dalam prakteknya
mereka banyak melanggar kode etik. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan
publik terhadap profesi akuntansi. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku beberapa
akuntan yang sengaja melanggar kode etik profesinya demi memenuhi kepentingan mereka
sendiri.
Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik
profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan
Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada
akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan
masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien,
pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa
yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur
dalam kode etik profesi.
19
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
Kieso, Donald E., et all. 2008. Akuntansi Intermediate Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga
Godfrey, Jayne, Allan Hodgson, Ann Tarca, Jane Hamilton, and Scott Holmes. 2010,
Suwardjono. 2010, Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ketiga, BPFE.
21