Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Liabiitas dan Ekuitas merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dari laporan
keuangan. Dalam pelaporan akuntansi, liabilitas dan ekuitas membutuhkan definisi
pengukuran, penilaian dan pengakuan untuk dapat disajikan dalam laporan keuangan agar
laporan keuangan yang dihasilkan dapat dipahami dan menghasilkan informasi yang dapat
digunakan sebagai pengambilan keputusan oleh semua pihak yang berkepentingan.
Liabitas dan ekuitas menjadi substansi penting dalam laporan keuangan. Dimana liabilitas
merupakan kewajiban untuk menyerahkan manfaat ekonomi di masa akan datang kepada
pihak ke tiga, dalam bentuk uang, jasa, maupun aset yang lainnya. Liabitas mencakup tiga
aspek, yaitu libilitas pada saat ini, liabilitas masa lalu dan dasar pengakuan. Sedangkan
ekuitas merupakan sumber dana yang diperoleh dari pemilik dihitung dari selisih aset dengan
kewajiban. Liabilitas dan ekuitas memiliki kesenambungan, Nilai buku ekuitas dihitung
sebagai perbedaan antara aset dan liabilitas pada neraca perusahaan, sedangkan nilai pasar
ekuitas didasarkan pada harga saham saat ini. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai
liabilitas dan ekuitas akan dibahas pada bab selanjutnya sesuai dengan rumusan masalah
penelitian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pengertian dan Penggolongan Liabilitas?
2. Bagaimana Pengakuan dan Pengukuran Liabilitas?
3. Bagaimana Penyajian dan Pengungkapan Liabilitas?
4. Apakah Pengertian Kewajiban Diestimasi?
5. Bagaimana Pengakuan Kewajiban Diestimasi?
6. Bagaimana Pengungkapan Kewajiban Diestimasi?
7. Apakah Pengertian Kewajiban Kontijensi?
8. Bagaimana Pengakuan Kewajiban Kontijensi?
9. Bagaimana Pengukuran Kewajiban Kontijensi?
10. Bagaimana Penyajian dan Pengungkapan Kewajiban Kontijensi?
11. Apakah Pengertian Ekuitas dan Bagaimana Komponen Ekuitas Pemegang Saham?
12. Bagaimana Perlakuan Akuntansi dan Pelaporan Saham?
13. BagaimanaAkuntansi untuk Penerbitan Saham?
14. Bagaimana Akuntansi Ekuitas untuk Badan Usaha Berbentuk PT dan Non PT?
15. Bagaimana Dividen Pada PT?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui Pengertian dan Penggolongan Liabilitas?
2. Untuk Mengetahui Pengakuan dan Pengukuran Liabilitas?
3. Untuk Mengetahui Penyajian dan Pengungkapan Liabilitas?
4. Untuk Mengetahui Pengertian Kewajiban Diestimasi?
5. Untuk Mengetahui Pengakuan Kewajiban Diestimasi?

1
6. Untuk Mengetahui Pengungkapan Kewajiban Diestimasi?
7. Apakah Pengertian Kewajiban Kontijensi?
8. Untuk Mengetahui Pengakuan Kewajiban Kontijensi?
9. Untuk Mengetahui Pengukuran Kewajiban Kontijensi?
10. Untuk Mengetahui Penyajian dan Pengungkapan Kewajiban Kontijensi?
11. Untuk Mengetahui Pengertian Ekuitas dan Komponen Ekuitas Pemegang Saham?
12. Untuk Mengetahui Perlakuan Akuntansi dan Pelaporan Saham?
13. Untuk Mengetahui Akuntansi untuk Penerbitan Saham?
14. Untuk Mengetahui Akuntansi Ekuitas untuk Badan Usaha Berbentuk PT dan Non PT?
15. Untuk Mengetahui Dividen Pada PT?

2
BAB II

PEMBAHASAN TEORI

2.1 Liabilitas

2.1.1 Pengertian dan Penggolongan Liabilitas


 Pengertian Liabilitas
Menurut FASB kewajiban diartikan sebagai pengorbanan manfaat ekonomik masa datang
yang cukup pasti yang timbul dari keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk
mentransfer aset atau menyediakan/menyerahkan jasa kepada kesatuan lain datang sebagai
akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Statement of Financial Concepts No. 3 mendefinisikan utang sebagai pengorbanan
manfaat ekonomis yang mungkin terjadi di masa yang akan datang yang timbul dari
kewajiban yang ada dari suatu entitas tertentu untuk mentransfer aktiva atau memberikan jasa
ke entitas lainnya di masa yang akan datang sebagai akibat transaksi atau kejadian di masa
lalu.
Terdapat beberapa pengertian lain selain dari FASB yaitu seperti pengertian menurut
IASC, AASB, dan APB No. 4, tetapi pada umumnya dijelaskan bahwa kewajiban memiliki
tiga kharakteristik utama yang terdiri atas pengorbanan manfaat ekonomik masa datang,
keharusan sekarang untuk menstransfer aset, dan timbul sebagai akibat transaksi masa lalu.
o Menjadi pengorbanan sumber ekonomik yang cukup pasti di masa depan (probable future
sacrifices of economic benefits).
o Menjadi kewajiban saat ini atau periode ini (present obligation) untuk menyerahkan kas,
barang, atau jasa di masa datang.
o Terjadi karena transaksi masa lalu.

Dasar pengukuran kewajiban yang paling objektif adalah cost tunai atau cost tunai
implisit. Karena kewajiban merupakan cerminan dari aset, maka pengukurannya juga
mengikuti pengukuran aset. Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca berdasarkan
urutan kelancarannya sejalan dengan aset. PSAK No. 1 menggariskan bahwa aset lancar
disajikan menurut urutan likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh
tempo.

PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi kriteria sebagai
kewajiban jangka pendek diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang. Kriteria
tersebut adalah (a) diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi
perusahaan, atau (b) jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca.

 Penggolongan Liabilitas
Kewajiban dimasukkan dalam laporan neraca dengan saldo normal kredit, dan biasanya
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Kewajiban Lancar (current liabilities) – kewajiban yang likuiditasnya diperkirakan secara
layak memerlukan penggunaan sumber daya yang ada yang diklasifikasikan sebagai
aktiva lancar atau penciptaan kewajiban lancar lainnya. Terdapat banyak jenis kewajiban
lancar yang berbeda, antara lain hutang usaha, wesel bayar, jatuh tempo berjalan hutang

3
jangka panjang, kewajiban jangka pendej yang diharapkan akan didanai kembali, hutang
dividen, deposito yang dapat dikembalikan, pendapatan diterima dimuka, hutang pajak,
kewajiban yang berhubungan dengan karyawan. Hutang usaha atau hutang dagang
merupakan saldo yang terhutang kepada pihak lain atas barang, perlengkapan, atau jasa
yang dibeli dengan akun terbuka atau secara kredit. Hutang usaha muncul karena adanya
kesenjangan waktu antara penerimaan jasa atau akuisisi hak aktiva dan pembayaran
atasnya. Jika hak telah beralih ke pembeli sebelum barang diterima, maka transaksi itu
harus dicatat pada saat hak beralih ke pembeli.
2. Hutang Jangka Panjang (long-trem debt) – terdiri dari pengorbanan manfaat ekonomi
yang sangat mungkin dimasa depan akibat kewajiban sekarang yang tidak dibayarkan
dalam satu tahun atau satu siklus operasi perusahaan. Jenis-jenis hutang jangka panjang
antara lain hutang obligasi, wesel bayar jangka panjang, hutang hipotik, kewajiban
pensiun, dan kewajiban leasen.

2.1.2 Pengakuan dan Pengukuran Liabilitas


 Pengakuan Liabilitas
Kewajiban diakui pada saat keharusan telah mengikat akibat transaksi yang sebelumnya
terjadi. Kewajiban dapat diakui atas dasar kriteria pengakuan yaitu definisi, keterukuran,
keterandalan, dan keberpautan. Kam (hlm 119-120) mengajukan empat kaidah pengakuan
untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu ketersediaan dasar hukum, keterterapan konsep
dasar konservatisme, ketertentuan substansi ekonomik transaksi, dan keterukuran nilai
kewajiban. Keempat kaidah tersebut dapat memberikan petunjuk tentang adanya bukti teknis
untuk mengakui kewajiban.
 Pengukuran Liabilitas
Penentuan kos kewajiban pada saat terjadinya paralel dengan pengukuran aset, dan
pengukur yang paling objektif untuk menentukan kos kewajiban pada saat terjadinya adalah
dengan penghargaan sepakatan dalam transaksi-transaksi dan bukan jumlah rupiah
pengorbanan ekonomik masa datang. Penghargaan suau kewajiban merefleksi nilai setara
tunai atau nilai sekarang kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik
seandainya kewajiban dilunasi pada saat terjadinya.
Dasar pengukuran kewajiban yang paling objektif adalah kos tunai atau kos tunai implisit.
Karena kewajiban merupakan cerminan dari aset, maka pengukurannya juga mengikuti
pengukuran aset.
Nilai nominal atau jatuh tempo obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah
kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik bagi penerbit maupun bagi kreditor. Dasar
pengukuran demikian tidak tepat. Utang obligasi diukur dan diakui atas dasar jumlah rupiah
yang diterima dalam penerbitan obligasi, sedangkan diskun dan premium obligasi merupakan
jumlah rupiah penyesuaian bunga nominal untuk mendapatkan bunga efektif.
Kewajiban dapat bersifat moneter dan nonmeneter. Kewajiban moneter adalah kewajiban
yang pengorbanan sumber ekonomik masa datangnya berupa kas dengan jumlah rupiah dan
saat saat yang pasti. Kewajiban moneter ini dikukur atas dasar nilai diskunan pembayaran kas
masa datang (jangka panjang) dan atas dasar nilai nominal (jangka pendek). Kewajiban
nonmeneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan jasa dengan jumlah dan saat
yang cukup pasti yang biasanya timbul karena penerimaan pembayaran dimuka untuk barang

4
dan jasa tersebut. kewajiban nonmeneter diukur atas dasar pembayaran tersebut yang
menunjukkan harga yang disepakati untuk barang dan jasa.

2.1.3 Penyajian dan Pengungkapan Liabilitas


Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca berdasarkan urutan kelancarannya
sejalan dengan aset. PSAK No. 1 menggariskan bahwa aset lancar disajikan menurut urutan
likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo. Ini berarti kewajiban
jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka panjang . Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengevaluasi likuiditas perusahaan. PSAK
No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi kriteria sebagai kewajiban
jangka pendek diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang. Kriteria tersebut adalah (a)
diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan, atau
(b) jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca.
a) Penyajian kewajiban lancar
Dalam praktek, kewajiban lancar biasanya dicatat dalam catatan akuntansi dan dilaporkan
dalam laporan keuangan pada nilai penuh jatuh temponya. Karena singkatnya priode
waktu yang terlibat, yang sering kali kurang dari satu tahun. Maka perbedaan antara nilai
sekarang kewajiban lancar dan nilai jatuh temponya biasanya tidak besar. Akun
kewajiban lancar biasanya disajikan sebagai klasifikasi pertama dalam kelompok
kewajiban dan ekuitas pemegang saham di neraca. Dalam kelompok kewajiban lancar
akun-akun itu dapat dicantumkan menurut jatuh temponya, dalam jumlah yang menurun,
atau menurut prefensi likuiditasnya.
b) Penyajian hutang jangka panjang
Perusahaan yang mempunyai banyak terbitan hutang jangka panjang dalam jumlah besar
seringkali hanya melaporkan satu akun dalam neraca dan mendukungnya dengan
komentar serta skedul dalam catatan yang menyertainya. Pengungkapan catatan
umumnya berisi dari kewajiban, tanggal jatuh tempo, suku bunga, provisi penarikan,
pembatasan yang dilakukan oleh kreditor, dan aktiva yang disepakati atau digadaikan
sebagai jaminan.

2.2. Kewajiban Diestimasi dan Kewajiban Kontijensi


2.2.1 Pengertian Kewajiban Diestimasi
Kewajiban diestimasi adalah kewajiban yang waktu dan jumlahnya belum pasti.
Kewajiban diestimasi dapat dibedakan dari kewajiban lain, seperti utang dagang dan akrual,
karena pada kewajiban diestimasi terdapat ketidakpastian mengenai waktu atau jumlah yang
harus dikeluarkan pada masa datang untuk menyelesaikan kewajiban diestimasi tersebut.

2.2.2 Pengakuan Kewajiban Diestimasi


Kewajiban diestimasi harus diakui apabila ketiga kondisi berikut dipenuhi:
a) perusahaan memiliki kewajiban kini (baik bersifat hukum maupun bersifat konstruktif)
sebagai akibat peristiwa masa lalu;
b) besar kemungkinan (probable) penyelesaian kewajiban tersebut mengakibatkan arus
keluar sumber daya; dan
c) estimasi yang andal mengenai jumlah kewajiban tersebut dapat dibuat.

5
2.2.3 Pengungkapan Kewajiban Diestimasi
Untuk setiap jenis kewajiban diestimasi, entitas harus mengungkapkan:
a) nilai tercatat pada awal dan akhir periode;
b) kewajiban diestimasi tambahan yang dibuat dalam periode bersangkutan, termasuk
peningkatan jumlah pada kewajiban diestimasi yang ada;
c) jumlah yang digunakan, yaitu jumlah yang terjadi dan dibebankan pada kewajiban
diestimasi selama periode bersangkutan;
d) jumlah yang belum digunakan yang dibatalkan selama periode bersangkutan; dan
e) peningkatan, selama periode yang bersangkutan, dalam nilai kini yang timbul karena
berlalunya waktu dan dampak dari setiap perubahan tingkat diskonto.ormasi komparatif
tidak diharuskan

2.2.4 Pengertian Kewajiban Kontijensi


Kontijensi adalah suatu keadaan yang masih diliputi ketidakpastian mengenai
kemungkinan diperolehnya laba atau rugi oleh suatu perusahaan, yang baru akan
terselesaikan dengan terjadi atau tidak terjadinya satu atau lebih peristiwa dimasa yang akan
datang.
Kewajiban kontijensi adalah:
o kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu, dan keberadaannya menjadi
pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih pada masa depan yang
tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah; atau
o kewajiban kini yang timbul sebagai akibat peristiwa masa lalu, tetapi tidak diakui Karena:
a) tidak terdapat kemungkinan besar (not probable ) pemerintah mengeluarkan sumber
daya yang mengandung manfaat ekonomis untuk menyelesaikan kewajibannya; atau
b) jumlah kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal.
Keuntungan kontinjensi (gain contingencies) adalah klaim atau hak untuk menerima
aktiva (atau memiliki kewajiban yang menurun) yang keberadaannya tidak pasti tetapi pada
akhirnya akan menjadi sah. Jenis keuntungan kontinjensi yang khas adalah :
1) Penerimaan yang mungkin atas uang dari hadiah, sumbangan, bonus, dan lain sebagainya.
2) Kemungkinan pengembalian dana dari pemerintah atas kelebihan pajak
3) Penundaan kasus pengadilan yang hasilnya mungkin menguntungka
4) Kerugian pajak yang dikompensasi ke depan
Kerugian kontingensi (loss contiengencies) adalah situasi yang melibatkan ketidakpastian
atas kemungkinan terjadinya kerugian. Kewajiban yang terjadi sebagai akibat dari kerugian
kontinjensi menurut defenisinya disebut sebagai kewajiban kontinjen. Kewajiban kontijen
(contiegencies liabilities) adalah kewajiban yang bergantung pada terjadinya atau tidak
terjadinya satu atau lebih kejadian di masa depan untuk mengkonfirmasi jumlah hutang,
pihak yang dibayar, tangal pembayaran, atau keberadaannya.
Apabila terdapat kerugian kontinjensi, maka kemungkinan bahwa kejadian di masa depan
akan menguatkan terjadinya kewajiban dapat berkisar dari sangat mungkin hingga kurang
mungkin.

6
2.2.5 Pengakuan Kewajiban Kontijensi
Banyak peristiwa masa lalu yang dapat menimbulkan kewajiban kini. Walaupun
demikian, dalam beberapa peristiwa yang jarang terjadi, misalnya dalam tuntutan hukum,
dapat timbul perbedaan pendapat mengenai apakah peristiwa tertentu sudah terjadi atau
apakah peristiwa tersebut menimbulkan kewajiban kini. Jika demikian halnya, perusahaan
menentukan apakah kewajiban kini telah ada pada tanggal neraca dengan mempertimbangkan
semua bukti yang tersedia, termasuk misalnya pendapat ahli. Bukti yang dipertimbangkan
mencakup, antara lain, bukti tambahan yang diperoleh dari peristiwa setelah tanggal neraca.
Atas dasar bukti tersebut, apabila besar kemungkinan bahwa kewajiban kini belum ada pada
tanggal neraca, pemerintah mengungkapkan adanya kewajiban kontingensi.
Pengungkapan tidak diperlukan jika kemungkinan arus keluar sumber daya kecil.
Kewajiban kontingensi dapat berkembang ke arah yang tidak diperkirakan semula. Oleh
karena itu, kewajiban kontingensi harus terus-menerus dikaji ulang untuk menentukan apakah
tingkat kemungkinan arus keluar sumber daya bertambah besar (probable). Apabila
kemungkinan itu terjadi, maka manajemen akan mengakui kewajiban diestimasi dalam
laporan keuangan periode saat perubahan tingkat kemungkinan tersebut terjadi, kecuali
nilainya tidak dapat diestimasikan secara andal. Pengukuran Besaran kewajiban kontingensi
tidak dapat diukur secara eksak. Untuk itu diperlukan pertimbangan profesional oleh pihak
yang berkompeten. Penyajian dan Pengungkapan Kewajiban kontingensi tidak disajikan pada
neraca , namun demikian perusahaan harus mengungkapkan kewajiban kontingensi pada
Catatan atas Laporan Keuangan untuk setiap jenis kewajiban kontingensi pada tanggal
neraca.

2.2.6 Pengukuran Kewajiban Kontijensi


Besaran kewajiban kontingensi tidak dapat diukur secara eksak. Untuk itu diperlukan
pertimbangan profesional oleh pihak yang berkompeten.

2.2.7 Penyajian dan Pengungkapan Kewajiban Kontijensi


Kewajiban kontingensi tidak disajikan pada neraca, namun demikian harus
mengungkapkan kewajiban kontingensi pada Catatan atas Laporan Keuangan untuk setiap
jenis kewajiban kontingensi pada tanggal neraca. Pengungkapan tersebut dapat meliputi:
1) karakteristik kewajiban kontingensi;
2) estimasi dari dampak finansial yang diukur;
3) indikasi tentang ketidakpastian yang terkait dengan jumlah atau waktu arus keluar sumber
daya;
4) kemungkinan penggantian oleh pihak ketiga

2.3. Ekuitas
2.3.1 Pengertian Ekuitas
Istilah ekuitas berasal dari kata equity atau equity of ownership yang berarti kekayaan
bersih perusahaan. Secara sederhana, ia diformulasikan sebagai total aktiva dikurangi total
pasiva. Ekuitas merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yaitu selisih antara aktiva
dan kewajiban yang ada, dan dengan demikian tidak merupakan ukuran nilai jual perusahaan
tersebut.pada dasarnya ekuitas berasal dari investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan.

7
Ekuitas akan berkurang terutama dengan adanya penarikan kembali penyertaan oleh pemilik,
pembagian keuntungan atau karena kerugian.

2.3.2 Komponen Ekuitas Pemegang Saham


Ekuitas pemilik tercermin dalam neraca terdiri dari:
1) Modal disetor, yaitu jumlah setoran pemilik ke perusahaan sebesar nilai nominal saham.
Setoran ini akan dilaporkan dalam bentuk modal saham.
2) Tambahan modal disetor, yaitu selisih jumlah setoran yang melebihi nilai nominal saham.
Kelebihan jumlah setoran ini bisa juga disebut dengan agio saham.
3) Laba ditahan yaitu akumulasi perolehan laba (rugi) sejak perusahaan berdiri sampai
dengan periode terakhir.
Ekuitas pemegang saham mencerminkan kepentingan pemilik atau pemegang saham pada
perusahaan bisnis yang merupakan kepentingan residu (residual interest) jumlah ekuitas
pemegang saham setiap periode merupakan kumulatif dari kontribusi bersih pemegang saham
ditambah (dikurangi) laba ditahan atau rugi perusahaan. Dengan demikian dua sumber utama
perubahan ekuitas adalah:
1) Kontribusi pemegang saham (modal disetor) dan
2) Laba (penghasilan) yang ditahan oleh perusahaan. Dua komponen ini harus dihitungdan
dilaporkan oleh setiap perusahaan pada setiap akhir periode.

2.3.3 Perlakuan Akuntansi dan Pelaporan Saham


Jenis-jenis saham terdapat dua bentuk saham sebagai tanda hak milik pada perusahaan
yaitu:
1) Saham biasa (common stock) adalah saham dimana pemegangnya memiliki hak perseroan
secara umum dan pemegangnya menanggung risiko terbatas atas kerugian dan menerima
manfaat bila terjadi keuntungan. Saham ini tidak dijamin akan menerima dividen atau
tidak dijamin atas pembagian aset bila perusahaan dilikuidasi. Namun pemegang saham
ini memiliki hak suara terkait dengan penentuan kebijakan operasional perusahaan.
2) Saham preferen (preferred stock) adalah saham dimana pemegangnya memiliki hak-hak
istimewa di perusahaan terutama berkaitan dengan pembagian dividen dan pembagian
aset saat perusahaan dilikuidasi. Pemegang saham preferen akan selalu mendapatkan
dividen sebesar prosentase tertentu (tercantum dalam lembar saham preferen) dari nilai
pari atau nilai nominalnya. Namun pemegang saham preferen ini tidak memiliki hak
suara dalam hal penentuan kebijakan operasi perusahaan.

2.3.4 Akuntansi untuk Penerbitan Saham


Untuk memperlihatkan informasi penerbitan saham pada nilai pari/nilai nominal, akun-
akun berikut harus dipertahankan untuk masing-masing saham sebagai berikut :
1) Saham preferen atau saham biasa
Akun ini memperlihatkan jenis saham yang diterbitkan dengan nilai parinya.akun ini
dikredit ketika saham pertama kali diterbitkan, dan tidak ada penambahan ayat jurnal
pada akun ini kecuali ada penambahan saham yang diterbitkan atau adanya penarikan
saham.

8
2) Tambahan modal disetor akun ini menunjukkan kelebihan modal disetor di atas nilai pari
saham. Tambahan modal disetor ini meliputi agio saham atau disagio saham.
o Akuntansi penerbitan saham atas dasar pesanan
Dua perkiraan baru digunakan apabila saham dijual atas dasar pesanan, yaitu (1) saham
biasa atau preferen yang dipesan menunjukkan kewajiban perseroan untuk menerbitkan
saham setelah pembayaran akhir saldo pesanan oleh mereka yang telah memesan saham, (2)
piutang pesanan, menunjukkan jumlah yang harus ditagih sebelum saham pesanan akan
diterbitkan.
Kontroversial terjadi sehubungan dengan penyajian piutang pesanan saham dineraca.
Beberapa orang mengemukakan bahwa piutang pesanan sebaiknya dilaporkan pada seksi aset
lancar. Piutang dagang muncul dari transaksi penjualan pada kegiatan bisnis seperti yang
biasa sedangkan piutang pesanan berhubungan dengan penerbitan saham sendiri dan
merupakan kontribusi modal yang belum dibayarkan kepada perseroan.

2.3.5 Akuntansi Ekuitas untuk Badan Usaha Berbentuk PT dan Non PT


o Akuntansi Ekuitas untuk Badan Usaha Berbentuk PT
Modal saham meliputi saham preferen, saham biasa dan akun tambahan modal disetor .
Pos modal lainnya seperti modal yang berasal dari sumbangan dapat disajikan sebagai bagian
dari tambahan modal disetor. Akun tambahan modal disetor terdiri dari berbagai macam
unsure penambah modal seperti, agio saham, tambahan modal dari perolehan kembali saham
dengan harga yang lebih rendah daripada jumlah yang diterima pada saat pengeluaran,
tambahan modal dari penjualan saham yang diperoleh kembali dengan harga di atas jumlah
yang dibayarkan pada saat perolehannya, tambahan modal dari perbedaan kurs modal disetor.
Akun tambahan modal disetor tidak boleh didebit atau dikredit dengan pos laba rugi luar
biasa.

Penambahan modal disetor dicatat berdasarkan:


1) Jumlah uang yang diterima
2) Setoran saham dalam bentuk uang, sesuai transaksi nyata.
3) Besarnya tagihan yang timbul atau hutang yang dikonversi menjadi modal.
4) Setoran saham dalam dividen saham dilakukan dengan harga wajar saham.
5) Nilai wajar aktiva bukan kas yang diterima.
6) Setoran saham dalam bentuk barang, menggunakan nilai wajar aktiva bukan kas yang
diserahkan.

Pengurangan modal disetor lazimnya dicatat berdasarkan:


1) Jumlah uang yang dibayarkan
2) Besarnya hutang yang timbul
3) Nilai wajar aktiva bukan kas yag diserahkan
Pengeluaran saham dicatat sebesar nilai nominal yang bersangkutan. Bila jumlah yang
diterima dari pengeluaran saham tersebut lebih besar dari nilai nominalnya, selisih yang
terjadi dibukukan pada akun Agio Saham. Bila ketentuan hukum yang ada memungkinkan
penarikan kembali saham yang telah dikeluarkan, maka pencatatan transaksi ini dilakukan

9
dengan mendebit akun Modal Saham dan mengkredit Modal Saham yang diperoleh kembali
sebesar jumlah yang dibukukan pada saat perolehan kembali saham yang bersangkutan.

o Akuntansi Ekuitas untuk Badan Usaha Berbentuk Non PT


Akuntansi untuk ekuitas badan usaha bukan PT harus dilaporkan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku untuk badan usaha tersebut dan standar akuntansi keuangan yang
berlaku khusus untuk industri yang bersangkutan, misalnya koperasi.

2.3.6 Dividen PT
Kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen, dan
saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen yang dimaksud. Kewajiban yang timbul
disajikan dalam kelompok kewajiban lancar. Bila dividen dibagikan dalam bentuk aktiva
bukan kas, maka saldo laba akan didebit sebesar nilai wajar aktiva yang diserahkan. Dasar
pembagian dividen dalam bentuk aktiva bukan kas harus diungkapkan pada catatan atas
laporan keuangan.
Pembagian dividen termasuk dividen saham yang berasal dari saldo laba. Pembagian
dividen saham adalah pembagian saldo laba kepada pemegang saham, yang diinvestasikan
kembali oleh mereka dalam bentuk modal disetor. Pembagian dividen saham dicatat
berdasarkan nilai wajar saham. Konversi agio menjadi saham digolongkan sebagai modal
disetor sebesar nilai nominal, yang tidak boleh digolongkan sebagai pembagian dividen.

10
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

3.1. Profil Perusahaan, Kendala Internal dan Eksternal


o Profil Perusahaan
PT Great River International Tbk. (GRI) didirikan di Indonesia berdasarkan Akta Notaris
Warda Sungkar Alurmei, SH No. 75 tanggal 22 Juli 1976 yang telah diubah dengan Akta
Notaris Abdul Latief SH No. 117 tanggal 23 Nopember 1976. Akta Pendirian ini disahkan
oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. Y.A.5/3/5.Th.78
tanggal 15 Pebruari 1978 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 21
Tambahan No. 124 tanggal 11 Maret 1980. Anggaran Dasar Perusahaan telah mengalami
beberapa kali perubahan, terakhir dengan Akta Notaris Imas Fatimah, SH No. 2 tanggal 2
Desember 2003 antara lain mengenai peningkatan modal disetor dan ditempatkan melalui
pembagian saham bonus. Perubahan Anggaran Dasar tersebut belum disetujui oleh Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
o Bidang Usaha
Sesuai dengan pasal 3 anggaran dasar Perusahaan, kegiatan Perusahaan antara lain
meliputi industri pakaian jadi dan perdagangan.
o Sejarah Singkat Perseroan
 1976 - Didirikan oleh Sukanta Tanudjaja dan Sunjoto Tanudjaja dengan nama PT
Great River Garments Industries, dengan karyawan 150 orang
 1977/78 - Memperoleh lisensi pertama berupa pakaian pria dan pakaian dalam wanita
 1987 - Berturut-turut setiap tahun memperoleh lisensi merek-merek international
terkemuka
 1989 - Saham Perseroan tercatat di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya
 1991 - Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company” dari majalah Asiamoney
 1992 - Berganti nama menjadi PT Great River Industries
 1993 - Melaksanakan right issue yang pertama
 1993 - Mendirikan anak perusahaan, PT Inti Fasindo Internasional untuk menangani
usaha distribusi dan retail
 1991 - Menjalin kerjasama dengan Tomen Co. dari Jepang mendirikan perusahaan
patungan PT GT Utama Garments
 1992-Menjalin kerjasama dengan Mitsui Corp.dan Itabashi Co. dari Jepang,
mendirikan perusahaan patungan PT Great Iphock International, memproduksi
knitwear
 1992 - Menjalin kerjasama dengan Gunze Ltd. dari Jepang, mendirikan perusahaan
patungan PT Gunze Indonesia, memproduksi benang jahit
 1994 - Menjalin kerjasama dengan Toyobo Co.dari Jepang mendirikan perusahaan
patungan PT Toyobo Knitting Indonesia, memproduksi knit, dyeing & finishing
 1994 - Menjalin kerjasama dengan Gunze Ltd. dari Jepang mendirikan perusahaan
patungan PT Gunze Sock Indonesia, memproduksi kaus kaki
 1995 - Menjalin kerjasama dengan van Laack GmbH, dari Jerman mendirikan
perusahaan patungan Great River/ van Laack International, memproduksi pakaian pria

11
 1995 - Lisensi yang ditangani oleh Perseroan mencapai lebih dari 30 merek
internasional, terdiri dari pakaian dalam, kemeja, pakaian kasual, pakaian anak-anak,
household
 1996 - Melaksanakan right issue yang kedua
 1997 - Meraih sertifikasi ISO 9002 untuk quality management dan diperbarui tahun
1999
 1997 - Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company” dari majalah Asiamoney
untuk kedua kali
 2000 - Meraih kualifikasi “Kecelakaan Kerja Nihil” (Zero Accidents) dari Departemen
Tenaga Kerja
 1996 - Berganti nama menjadi PT Great River International
 2000 - Usaha ekspor Perseroan mencapai 69% dari total nilai penjualan
 2001 - Menyelesaikan restrukturisasi tahap I dengan Termsheet melalui Prakarsa
Jakarta
 2001 - Nilai penjualan ditargetkan meningkat 9,6%, dengan usaha ekspor mencapai
65% dari total penjualan Fasilitas Produksi

o Kendala Internal
 Kepastian hukum, kondisi sosial, politik, keamanan kurang kondusif
 Kurangnya kenyamanan dan ketenangan berusaha
 Kenaikan UMR, TDL, BBM secara berturut-turut berdampak pada meningkatnya
biaya operasional
 Daya beli pasar domestik masih lemah

o Kendala Eksternal
 Sistem kuota
 Menurunnya perekonomian dunia berpengaruh terhadap eksport
 Dampak pasca tragedi ‘911’
 Tariff & non-tariff barriers
 Proteksi dari negara industri seperti Uni Eropa (ISO, Eco-labeling, ILAC, CSM-2000)
dan Amerika Serikat (WRAP)

3.2. Potensi Pertumbuhan dan Keadaan Perusahaan


o Potensi Pertumbuhan Perusahaan
 Great River merupakan perusahaan pakaian jadi terkemuka di Indonesia, meliputi
produksi, distribusi dan retail
 Memiliki 6000 konsumen ritel dan 71 unit toko milik sendiri
 Tetap konsisten pada bisnis inti (core bisnis)
 Aliansi strategis dengan Dept Store nasional dan internasional
 Negara tujuan ekspor melebihi 20 negara
 kapasitas produksi mencapai 44 juta potong per tahun
 Ekspansi melalui “ Direct Selling” dengan 67,500 Fashion Dealers
 Strategi operasional melalui usaha patungan

12
o Keadaan Perseroan saat ini
 Kegiatan operasional Perseroan berjalan normal, pabrik masih berproduksi
 Kondisi karyawan terkendali. Seluruh karyawan baik dari pabrik, kantor pusat,
maupun kantor cabang, masuk seperti biasa
 Listrik di Gedung Plaza GRI Kantor Pusat dimatikan, sehingga kegiatan di kantor
pusat terhambat
 Perseroan belum mampu untuk melakukan pembayaran terhadap kewajiban yang
harus dibayarkan
3.3. Latar Belakang Permasalahan
 Perseroan mengalami kekurangan modal kerja
 Tidak tercapainya target penjualan domestic karena masuknya barang berharga murah
dari China dan Vietnam, sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan stok di toko-
toko
 Penjualan ekspor mengalami tekanan harga jual sehingga margin keuntungan turun,
karena persaingan yang berat
 Biaya operasional yang tinggi dan meningkat secara signifikan setiap tahun (kenaikan
UMP dan biaya TDL, telpon dan bahan bakar)
 Secara umum, perseroan tidak cukup fleksibel menghadapi perubahan dan tantangan
yang terjadi di pasar dengan tingkat persaingan yang semakin ketat

3.4. Kondisi Hutang Perseroan


 Perseroan memiliki hutang obligasi senilai Rp 300 Miliar. Penggunaan dana hasil
obligasi tersebut adalah :
a) 74% untuk melunasi hutang bank jangka panjang perseroan
b) 26% untuk pembelian aset seperti penambahan mesin jahit dan modal kerja
Perseroan
 Perseroan memiliki total kewajiban sebesar lebih dari Rp 300 Miliar (Hutang Bank,
Hutang Usaha, dan Kewajiban lainnya)

3.5. Kronologi dan Identifikasi Kasus


o Kronologi Kasus
PT Great River International merupakan perusahaan pakaian jadi berkualitas tinggi dan
terkemuka di Indonesia. PT Great River International Didirikan oleh Sukanta Tanudjaja dan
Sunjoto Tanudjaja pada tahun 1976 dengan nama PT. Great River Garments Industries.
Kemudian pada tahun 1996 Berganti nama menjadi PT Great River International. Pada
awalnya, PT Great River International mengalami perkembangan yang sangat pesat hal ini
ditandai dengan diperolehnya beberapa kali penghargaan dari majalah Asiamoney dan
berhasil lulus sertifikasi ISO 9002 untuk quality management.
Namun mulai tahun 2002, PT. Great River International mulai mengalami kesulitan
keuangan dengan mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) ke Pengadilan Niaga. Permohonan PKPU tersebut diajukan sehubungan dengan
permohonan pailit yang diajukan oleh Citibank atas utang senilai US $10 juta yang berasal
dari US $ 2 juta dari Revolving Credit Agreement pada 16 Februari 1994 dan US $ 8 juta dari
Revolving Credit Agreement-Domestic Trade Payable Onshore tanggal 16 November 1995..

13
PT Great River International memperkirakan jumlah kewajibannya yang telah dan akan
jatuh tempo, di luar utangnya kepada Citibank, adalah sebesar US $179.291.292. Sedangkan
total aset yang dimiliki diperkirakan sebesar Rp1.674.716.315.355. Perusahaan garmen PT
Great River International Tbk membukukan laba bersih sebesar Rp 1,023 trilyun per
September 2002, melonjak dari periode yang sama tahun sebelumnya yang masih
membukukan rugi bersih Rp 11,298 milyar. Demikian dikemukakan Dirut Great River
Sunjoto Tanudjaja dalam laporan keuangan kepada Bursa Efek Jakarta (BEJ).
Lonjakan laba bersih itu lebih disebabkan adanya pendapatan pos luar biasa dari hasil
restrukturisasi utang sebesar Rp 1,277 trilyun. Dari total utang sebesar 172,5 juta dollar AS,
Great River memperoleh potongan utang (hair cut) sebesar 85 persen atau untuk setiap dollar
utangnya, perseroan hanya membayar 15 sen. Oleh karena itu, pos-pos yang tadinya untuk
membayar utang, karena ada koreksi pembukuan, berubah menjadi keuntungan. Secara
langsung, pendapatan dari pos luar biasa tersebut tidak mempengaruhi aliran dana tunai (cash
flow) perusahaan, tetapi mengubah struktur keuangan perseroan menjadi positif.
Sebagaimana dialami berbagai emiten lainnya, perusahaan garmen ini mengalami
kesulitan keuangan semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Melonjaknya nilai tukar dollar AS
terhadap rupiah membuat nilai utang perseroan melejit ke atas. Proses restrukturisasi yang
sudah dirintis manajemen selama 4 tahun, sejak tahun 1998 tersebut akhirnya membuahkan
hasil dengan penandatanganan scheme buy back (skema pembelian kembali) utang pada
bulan Agustus 2002.
Pada tahun 2005, salah satu pemegang saham PT. Great River International Tbk
mengajukan diadakannya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk
menindaklanjuti hasil audit investigasi Akuntan Publik Amir Abadi Jusuf dan Mawar. Dalam
RUPLSB tersebut, akan dimintakan persetujuan pelaksanaan kuasi reorganisasi terhadap hasil
audit investigasi terhadap perseroan yang dilakukan oleh KAP Amir Abadi Jusuf & Mawar
pada November 2005. Selain itu, RUPLSB juga akan meminta persetujuan soal
restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian atau seluruh utang
menjadi saham perseroan. Termasuk pula persetujuan soal penambahan modal sehubungan
dengan konversi sebagian atau seluruh utang perseroan menjadi saham perseroan.
Akuntan publik Justinus Aditya Sidharta diindikasi melakukan kesalahan dalam
mengaudit laporan keuangan PT. Great River Internasional, Tbk. Kasus tersebut muncul
setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan indikasi
penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada
laporan keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan
arus kas dan gagal dalam membayar utang. Berdasarkan investigasi tersebut Bapepam
menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Great River ikut
menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28
November 2006 telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua
tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik
(SPAP) berkaitan dengan laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Great River
tahun 2003.
Dalam konteks skandal keuangan di atas, muncul pertanyaan apakah trik-trik rekayasa
tersebut mampu terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan tersebut
atau sebenarnya telah terdeteksi namun auditor justru ikut mengamankan praktik kejahatan

14
tersebut. Tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu mendeteksi trik rekayasa
laporan keuangan maka yang menjadi inti permasalahannya adalah kompetensi atau keahlian
auditor tersebut. Namun jika yang terjadi justru akuntan publik ikut mengamankan praktik
rekayasa tersebut, seperti yang terungkap juga pada skandal yang menimpa Enron, Andersen,
Xerox, WorldCom, Tyco, Global Crossing, Adelphia dan Walt Disney (Sunarsip 2002 dalam
Christiawan 2003:83) maka inti permasalahannya adalah independensi auditor tersebut.
Terkait dengan konteks inilah, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi dan
independensi auditor saat ini dan apakah kompetensi dan independensi auditor tersebut
berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik. Kualitas audit ini
penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan
yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan.
Auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan
keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-
kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada
tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Namun sesuai dengan
tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan,
maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga
harus independen dalam mengaudit. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-
apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil audit dari auditor sehingga masyarakat tidak akan
meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan
oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus
dipertahankan oleh audito “. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk
kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus
melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas
laporan keuangan audited.
Selama izinnya dibekukan, Justinus dilarang memberikan jasa atestasi (pernyataan
pendapat atau pertimbangan akuntan publik) termasuk audit umum, review, audit kerja dan
audit khusus. Dia juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang Kantor
Akuntan Publik (KAP). Namun yang bersangkutan tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa
yang telah diberikan serta wajib memenuhi ketentuan untuk mengikuti Pendidikan
Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut
atas Surat Keputusan Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-
BPPAP/VI/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan
Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan
Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa
AP dikenakan sanksi pembekuan izin apabila AP yang bersangkutan mendapat sanksi
pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP.
Menurut Fuad Rahmany, Ketua Bapepam-LK, pihaknya sedang melakukan penyidikan
terhadap AP yang memeriksa laporan keuangan Great River. Kalau ditemukan unsur pidana

15
dalam penyidikan itu, maka AP tersebut bisa dijadikan sebagai tersangka. “Kita sedang
proses penyidikan terhadap AP yang bersangkutan. Kalau memang nanti ditemukan ada
unsur pidana, maka dia akan kita laporkan juga Kejaksaan,” ujar Fuad.
Seperti diketahui, sejak Agustus lalu, Bapepam menyidik akuntan publik yang mengaudit
laporan keuangan Great River tahun buku 2003. Fuad menyatakan telah menemukan adanya
indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River. Sayangnya, dia tidak
bersedia menjelaskan secara detail praktek konspirasi dalam penyajian laporan keuangan
emiten berkode saham GRIV itu. Fuad juga menjelaskan tugas akuntan adalah hanya
memberikan opini atas laporan perusahaan. Akuntan, menurutnya, tidak boleh melakukan
segala macam rekayasa dalam tugasnya. “Dia bisa dikenakan sanksi berat untuk rekayasa
itu,” katanya untuk menghindari sanksi pajak.Menanggapi tudingan itu, Kantor akuntan
publik Johan Malonda & Rekan membantah telah melakukan konspirasi dalam mengaudit
laporan keuangan tahunan Great River. Deputy Managing Director Johan Malonda, Justinus
A. Sidharta, menyatakan, selama mengaudit buku Great River, pihaknya tidak menemukan
adanya penggelembungan account penjualan atau penyimpangan dana obligasi. Namun dia
mengakui metode pencatatan akuntansi yang diterapkan Great River berbeda dengan
ketentuan yang ada. “Kami mengaudit berdasarkan data yang diberikan klien,” kata Justinus.
Menurut Justinus, Great River banyak menerima order pembuatan pakaian dari luar
negeri dengan bahan baku dari pihak pemesan. Jadi Great River hanya mengeluarkan ongkos
operasi pembuatan pakaian. Tapi saat pesanan dikirimkan ke luar negeri, nilai ekspornya
dicantumkan dengan menjumlahkan harga bahan baku, aksesori, ongkos kerja, dan laba
perusahaan. Justinus menyatakan model pencatatan seperti itu bertujuan menghindari dugaan
dumping dan sanksi perpajakan. Sebab, katanya, saldo laba bersih tak berbeda dengan yang
diterima perusahaan. Dia menduga hal itulah yang menjadi pemicu dugaan adanya
penggelembungan nilai penjualan. Sehingga diinterpretasikan sebagai menyembunyikan
informasi secara sengaja. Johan Malonda & Rekan mulai menjadi auditor Great River sejak
2001. Saat itu perusahaan masih kesulitan membayar utang US$ 150 Juta kepada Deutsche
Bank. Pada 2002, Great River mendapat potongan pokok utang 85 persen dan sisa utang
dibayar menggunakan pinjaman dari Bank Danamon. Setahun kemudian Great River
menerbitkan obligasi Rp 300 miliar untuk membayar pinjaman tersebut. “Kami hanya tahu
kondisi perusahaan pada rentang 2001-2003,” kata Justinus.
Sebelumnya Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah
melimpahkan kasus penyajian laporan keuangan konsolidasi Great River ke Kejaksaan
Agung pada tanggal 20 Desember 2006. Dalam laporan tersebut, empat anggota direksi
perusahaan tekstil itu ditetapkan menjadi tersangka, termasuk pemiliknya, Sunjoto Tanudjaja.
Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi Aryanto, Amir Jusuf, dan
Mawar, yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang, dan aset
hingga ratusan miliar rupiah di Great River. Akibatnya, Great River mengalami kesulitan arus
kas dan gagal membayar utang.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam terdapat indikasi penipuan dalam penyajian
laporan keuangan. Pasalnya, Bapepam menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement
penyajian account penjualan dan piutang dalam laporan tersebut. Kelebihan itu berupa
penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi yang tanpa pembuktian.

16
Akibatnya, Great River kesulitan arus kas. Perusahaan tidak mampu membayar utang Rp 250
miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai Rp 300 miliar.

o Identifikasi Kasus
1) Tahun 2002 PT. Great River International mulai mengalami kesulitan keuangan dengan
mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke
Pengadilan Niaga.
2) Selain itu, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) juga akan meminta
persetujuan soal restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian
atau seluruh utang menjadi saham perseroan.
3) Bapepam menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian
laporan keuangan PT. Great River International Tbk khususnya dalam penyajian laporan
keuangan pada tahun 2003 untuk penerbitan obligasi perseroan yang gagal bayar .
4) Adanya metode pencatatan akuntasi yang berbeda dengan ketentuan yang ada. Terdapat
keterkaitan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan dengan kesulitan perusahaan
dalam membayar utangnya. Sehingga mengakibatkan perusahaan tidak mampu
membayar hutang Rp. 250 miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi
senilai 300 miliar.
5) Terhitung sejak tanggal 28 November 2006, Mentri Keuangan RI telah membekukan izin
akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama 2 tahun, sanksi tersebut diberikan
karena Justinus terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan audit atas laporan keuangan
konsolidasi PT Great River International Tbk tahun 2003.

3.6. Pembahasan Kasus


1) PT. Great River melakukan restrukturisasi hutang pada tahun 2002. Restrukturisasi
hutang merupakan suatu proses untuk merestruktur hutang bermasalah dengan tujuan
untuk memperbaiki posisi keuangan debitur, (Darmadji, 2001:69). Menurut IAI dalam
PSAK No.54 (1999:1), restrukturisasi hutang bermasalah terjadi jika berdasarkan
pertimbangan ekonomi atau hukum, kreditur memberikan konsesi khusus kepada debitur
yaitu konsesi yang tidak akan diberikan dalam keadaan tidak terdapat kesulitan keuangan
di pihak debitur. Konsesi ini dapat berasal dari perjanjian antara kreditur dan debitur, atau
dari keputusan pengadilan, atau dari peraturan hukum. Restrukturisasi hutang bermasalah
dapat terjadi sebelum, pada, atau sesudah tanggal jatuh tempo hutang yang tercantum
dalam perjanjian, dan akan terdapat rentang waktu diantara saat perjanjian, keputusan
pengadilan, dan sebagainya. Dengan tanggal efektif persyaratan baru atau terjadinya
peristiwa lain yang merupakan pelaksanaan restrukturisasi, yang dimaksud dengan ini
yaitu tanggal efektif pelaksanaan merupakan saat restrukturisasi.
2) Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) juga akan meminta persetujuan
soal restrukturisasi seluruh utang perseroan yakni mengkonversi sebagian atau seluruh
utang menjadi saham perseroan. Menurut PSAK No. 54 “Restrukturisasi hutang
bermasalah dapat berupa penyelesaian sebagian hutang dengan pengalihan aset debitur
atau pemberian saham (atau keduanya) kepada kreditur dan modifikasi persyaratan
hutang yang masih tersisa”.

17
3) Berdasarkan investigasi yang dilakukan, Bapepam telah menemukan adanya:
a) Overstatement atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam Laporan Keuangan
PT. Great River Inetrnational Tbk per 31 Desember 2003; dan
b) Penambahan aktiva tetap perseroan, khususnya yang terkait dengan penggunaan dana
hasil emisi obligasi, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Sehingga perusahaan tekstil tersebut mengalami kelebihan pendapatan (overstatement)
yang seharusnya justru merugi.
4) Overstatement dalam arti lain penggelembungan atas penyajian akun penjualan dan
piutang dalam Laporan Keuangan PT. Great River Inetrnational Tbk per 31 Desember
2003 telah diakukan dalam pencatatan akuntasi yang berbeda dengan ketentuan yang
mengakibatkan perusahaan tidak mampu membayar hutang Rp. 250 miliar kepada Bank
Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai 300 miliar. PT. Great River International
Tbk, jelas melakukan pelanggaran terhadap laporan keuangan konsolidasinya. Sesuai
dengan PSAK No.4 menyebutkan “Laporan keuangan konsolidasi disusun dengan
menggunakan kebijakan akuntansi yang sama untuk transaksi, peristiwa dan keadaan
yang sama atau sejenis. Apabila tidak mungkin digunakan kebijakan akuntansi yang sama
dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi, maka harus diungkapkan penggunaan
kebijakan akuntansi yang berbeda tersebut dan proporsi unsur yang terkait dengan
kebijakan akuntansi tersebut terhadap unsur sejenis dalam laporan keuangan konsolidasi.”
5) Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut atas Surat Keputusan Badan
Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-BPPAP/VI/2006 tanggal
15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan Akuntan Indonesia
Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menkeu
Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa Akuntan Publik
dikenakan sanksi pembekuan izin apabila Akuntan Publik yang bersangkutan mendapat
sanksi pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP.
Kasus PT Great River International, Tbk di atas, yang melibatkan akuntan publik Justinus
Aditya Sidharta, dianggap telah menyalahi aturan mengenai kode etik profesi akuntan,
terutama yang berkaitan dengan integritas dan objektivitas. Akuntan publik Justinus
Aditya Sidharta dianggap telah melakukan tindak kebohongan publik, dimana dia
tidak melaporkan kondisi keuangan PT Great River International, Tbk secara jujur.
Menurut pengertiannya, integritas dapat berarti kepatuhan terhadap nilai-nilai moral,
prinsip-prinsip, serta nilai-nilai lainnya yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya.
Pelanggaran integritas berarti seseorang telah melanggar aturan-aturan yang telah disepakati
secara umum. Sedangkan objektivitas merupakan pernyataan jujur dan apa adanya terhadap
suatu hal. Pelanggaran objektivitas menunjukkan bahwa seseorang telah berani melakukan
tindak kebohongan / kecurangan dalam melakukan suatu hal. Kedua nilai ini, bersama
dengan independensi, merupakan nilai dasar yang harus dimiliki oleh seorang akuntan
publik agar seorang akuntan publik dapat menghasilkan suatu laporan yang sifatnya
akurat dan dapat dipercaya. Tanpa adanya nilai-nilai dasar tersebut, seorang akuntan
publik tidak ada bedanya dengan seorang penjahat yang tidak bermoral.
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa “Dalam
semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus

18
dipertahankan oleh audito“. Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap
independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk
kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus
melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik
perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas
laporan keuangan audited.
Salah satu hal yang ditekankan pasca skandal ini adalah perlunya etika profesi. Selama ini
bukan berarti etika profesi tidak penting bahkan sejak awal profesi akuntan sudah memiliki
dan terus menerus memperbaiki Kode Etik Professinya baik di USA maupun di Indonesia.
Etika adalah aturan tentang baik dan buruk. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan
hal apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai
anggota professi baik dalam berhubungan dengan kolega, langganan, masyarakat dan
pegawai. Kenyataannya konsep etika yang selama ini dijadikan penopang untuk menegakkan
praktik yang sehat yang bebas dari kecurangan tampaknya tidak cukup kuat menghadapi sifat
sifat “selfish dan egois”, kerakusan ekonomi yang dimiliki setiap pelaku pasar modal, dan
manajemen yang bermoral rendah yang hanya ingin mementingkan keuntungan ekonomis
pribadinya.
Profesi akuntan publik bisa dikatakan sebagai salah satu profesi kunci di era globalisasi
untuk mewujudkan era transparansi bisnis yang fair, oleh karena itu kesiapan yang
menyangkut profesionalisme mensyaratkan hal utama yang harus dipunyai oleh setiap
anggota profesi yaitu: keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Dalam kenyataannya,
banyak akuntan yang tidak memahami kode etik profesinya sehingga dalam prakteknya
mereka banyak melanggar kode etik. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan
publik terhadap profesi akuntansi. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku beberapa
akuntan yang sengaja melanggar kode etik profesinya demi memenuhi kepentingan mereka
sendiri.
Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik
profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan
Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada
akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan
masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien,
pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa
yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur
dalam kode etik profesi.

19
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Terdapat tiga karakteristik liabilitas menurut FASB yaitu:


1) Pengorbanan manfaat ekonomi masa datang
2) Keharusan sekarang untuk mentransfer asset
3) Timbul akibat transaksi masa lalu
Sedangkan menurut IASB, definisi kewajiban mengandung dua elemen yaitu:
1) Keberadaan kewajiban sekarang, membutuhkan penyerahan di masa mendatang
2) Hasil dari transaksi masa lampau atau kegiatan lain yang lewat.
Ekuitas didefinisikan sebagai hak residual atas aset perusahaan setelah dikurangi semua
kewajiban. Ekuitas mengandung makna pemilikan. Oleh karena itu, untuk organisasi
nonbisnis ekuitas sering disebut sebagai aset bersih.

20
DAFTAR PUSTAKA

IAI, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

Kieso, Donald E., et all. 2008. Akuntansi Intermediate Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga

Godfrey, Jayne, Allan Hodgson, Ann Tarca, Jane Hamilton, and Scott Holmes. 2010,

Accounting Theory, 7th., Australia: John Wiley & Sons, Inc.

Suwardjono. 2010, Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi ketiga, BPFE.

21

Anda mungkin juga menyukai