Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

STRIKTUR URETRA

A. DEFENISI
Striktur urethra adalah berkurangnya diameter dan atau elastisitas urethra yang
disebabkan oleh jaringan urethra diganti jaringan ikat yang kemudian mengkerut
menyebabkan lumen urethra mengecil. (3,4) Penyempitan lumen urethra disebabkan oleh
dinding urethra mengalami fibrosis dan pada tingkat yang parah terjadi fibrosis korpus
spongiosium.
B. ETIOLOGI
Striktur urethra disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:
1. Infeksi.
Infeksi dari urethra adalah penyebab tersering dari striktur urethra, misalnya infeksi
akibat transmisi seksual seperti uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika. Dapat
juga disebabkan oleh infeksi sebagai komplikasi pemasangan dan penggunaan kateter
dalam jangka waktu lama.
2. Trauma.
Cedera pada urethra dapat menyebabkan ruptur urethra anterior atau posterior, cedera
yang telah menyembuh dapat meninggalkan jaringan skar yang akan menyebabkan
striktur. Trauma yang menyebabkan striktur urethra adalah trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelvis, dan instrumentasi atau tindakan
transuretra uretra yang kurang berhati-hati.
3. Kongenital.
Beberapa bayi lahir dengan striktur urethra, misalnya meatus stenosis congenital, klep
urethra posterior.
C. PATOFIOLOGI
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada urethra akan menyebabkan terbentuknya
jaringan sikatriks pada urethra. Jaringan sikatriks pada lumen urethra menimbulkan
hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat akan mecari
jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktur) dan akhirnya akan mengumpul
di rongga periurethra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periurethra yang kemudian
pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali
fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Berkurangnya aliran urine. Ini merupakan gejala umum pertama yang sering
ditemukan. Ketegangan saat berkemih adalah hal yang biasa ditemukan, tetapi
kemacetan total atau lengkap jarang terjadi.
2. Pancaran air kencing kecil dan bercabang.
3. Perasaan tidak puas setelah berkemih.
4. Frekuensi (buang air kecil lebih sering dari normal).
5. Urgensi (tidak dapat menahan keinginan untuk berkemih).
6. Sakit atau nyeri saat buang air kecil kadang-kadang dijumpai.
7. Kadang-kadang dijumpai infiltrat, abses dan fistel.
8. Gejala lanjut adalah retensio urine.
E. KOMPLIKASI
Obstruksi urethra yang lama akan menimbulkan stasis urine dan menimbulkan berbagai
komplikasi anatar laian:
1. Infeksi. (saluran kemih, prostat, ginjal)
2. Divcertikel urethra atau buli-buli.
3. Abses periurethra.
4. Batu urethra.
5. Fistel uretro-kutan.
6. Karsinoma urethra.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratoriun
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk pelengkap pelaksanaan pembedahan.
Selain itu, beberapa dilakukan untuk mengetahui adanya tanda –tanda infeksi melalui
pemeriksaan urinalisis dan kultur urine.
2. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urine.
Volume urine yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses
miksi. Kecepatan pancaran urine normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada
wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan
adanya obstruksi.
3. Radiologi
Diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi sehingga dapat melihat letak penyempitan
dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang
striktur adalah dengan sistouretrografi yaitu memasukkan bahan kontras secara
antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini,
panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau
operasi.
G. PENATALAKSANAAN
1. Terapi
 Kalau penderita datang dengan retensio urine maka pertolongan pertama
dengan cystostomi kemudian baru dibuat pemeriksaan uretrogafi untuk
memastikan adanya striktura urethra.
 Kalau penderita datang dengan infiltrat urine atau abses dilakukan insisi
infiltrat dan abses dan dilakukan cystostomi baru kemidian dibuat
uretrografi.
2. Trukar Cystostomi
Kalau penderita datang dengan retensio urine atau infiltrat urine, dilakukan
cystostomi. Tindakan cystostomie dilakukan dengan trukar, dilakukan dengan lokal
anestesi, satu jari di atas pubis di garis tengah, tusukan membuat sudut 45 derajat
setelah trukar masuk, dimasukan kateter dan trukar dilepas, kater difiksasi dengan
benar sutra kulit.
3. Bedah endoskop
 Setelah dibuat diagnosis striktura urethra ditentukan lokasi dan panjang
striktura Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat sachse
adalah striktura urethra anterior atau posterior yang masih ada lumen
walaupun kecil dan panjang tidak lebih 2 cm serta tidak fistel kateter
dipasang selama 2 hari pasca tindakan
 Setelah penderita dipulangkan, penderita harus kontrol tiap minggu sampai 1
bulan kemudian.Tiap bulan sampai 6 bulan dan tiap 6 bulan seumur
hidup.Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmer kalau Q
maksimal <10 dilakukan bauginasi
4. Uretraplasti
Indikasi untuk uretroplasti adalah dengan setriktur urethra panjang lebih 2 cm atau
dengan fistel urethrokutan atau penderita residif striktur pasca urethratomi sachse
Operasi urethroplasti ini bermacam – macam , pada umunya setelah daerah striktur
diexsisi, urethra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan free graf
atau pedikel graf yaitu dibuat tambung urethra baru dari kulit preputium atau kulit
penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.
5. Otis uretomie
 Tindakan otis uretrotomi di kerjakan pada striktura urethra anterior terutama
bagian distal dari pendulan urethra dan fossa manicularis.
 Otis uretrotomi ini juga dilakukan pada wanita dengan striktura urethra
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1. Nyeri b.d insisi bedah sitostomi suprapubik
Tujuan : nyeri berkurang/hilang
Kriteria Hasil :
a. Melaporkan penurunan nyeri
b. Ekspresi wajah dan posisi tubuh terlihat relaks
Intervensi:
 Kaji sifat, intensitas, lokasi, lama dan faktor pencetus dan penghilang nyeri
 Kaji tanda nonverbal nyeri ( gelisah, kening berkerut, mengatupkan rahang,
peningkatan TD)
 Berikan pilihan tindakan rasa nyaman
 Bantu pasien mendapatkan posisi yang nyaman
 Ajarkan tehnik relaksasi dan bantu bimbingan imajinasi
 Dokumentasikan dan observasi efek dari obat yang diinginkan dan efek
sampingnya
 Secara intermiten irigasi kateter uretra/suprapubis sesuaiadvis, gunakan salin
normal steril dan spuit steril
 Masukkan cairan perlahan-lahan, jangan terlalu kuat.
 Lanjutkan irigasi sampai urin jernih tidak ada bekuan.
 Jika tindakan gagal untuk mengurangi nyeri, konsultasikan dengan dokter
untuk penggantian dosis atau interval obat.
2. Perubahan pola eliminasi perkemihan b.d sitostomi suprapubik
Kriteria hasil:
a. kateter tetap paten pada tempatnya
b. Bekuan irigasi keluar dari dinding kandung kemih dan tidak menyumbat
aliran darah melalui kateter
c. Irigasi dikembalikan melalui aliran keluar tanpa retensi
d. Haluaran urin melebihi 30 ml/jam
e. Berkemih tanpa aliran berlebihan atau bila retensi dihilangkan
Intervensi:
 Kaji uretra dan atau kateter suprapubis terhadap kepatenan
 Kaji warna, karakter dan aliran urin serta adanya bekuan melalui kateter tiap 2
jam
 Catat jumlah irigan dan haluaran urin, kurangi irigan dengan haluaran ,
laporkanretensi dan haluaran urin <30 ml/jam
 Beritahu dokter jika terjadi sumbatan komplet pada kateter untuk
menghilangkan bekuan
 Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu sesuai instruksi
 Gunakan salin normal steril untuk irigasi
 Pertahankan tehnik steril
 Masukkan larutan irigasi melalui lubang yang terkecil dari kateter
 Atur aliran larutan pada 40-60 tetes/menit atau untuk mempertahankan urin
jernih
 Kaji dengan sering lubang aliran terhadap kepatenan
 Berikan 2000-2500 ml cairan oral/hari kecuali dikontraindikasikan
3. Resiko terhadap infeksi b.d adanya kateter suprapubik, insisi bedah sitostomi
suprapubik
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil:
a. Suhu tubuh pasien dalam batas normal
b. Insisi bedah kering, tidak terjadi infeksi
c. Berkemih dengan urin jernih tanpa kesulitan
Intervensi:
 Periksa suhu setiap 4 jam dan laporkan jikadiatas 38,5 derajat C
 Perhatikan karakter urin, laporkan bila keruh dan bau busuk
 Kaji luka insisi adanya nyeri, kemerahan, bengkak, adanya kebocoran urin,
tiap 4 jam sekali
 Ganti balutan dengan menggunakan tehnik steril
 Pertahankan sistem drainase gravitas tertutup
 Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan
 Pantau dan laporkan jika terjadi kemerahan, bengkak, nyeri atau adanya
kebocoran di sekitar kateter suprapubis.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3, ed. 8,
EGC, Jakarta
Doenges, et all 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, ed. 3, EGC, Jakarta
Mansjoer, A et all 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, ed. 3, Media Aesculapius,
Jakarta
Tambajong, J 2000, Patofisiologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta
Tarwoto, et all 2007, Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan Sisten Persarafan,
Sagung Seto, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai