Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Eceng Gondok


Eceng gondok (Eichornia Crossipes) merupakan tumbuhan air yang hidup
di daerah perairan. Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan bahwa satu batang eceng
gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 m2 atau dalam waktu 1
tahun mampu menutup area seluas 7 m2 (Gunawan Pasaribu, 2007). Pertumbuhan
yang sangat cepat pada eceng gondok mengakibatkan penurunan debit air
dikarenakan sifatnya mudah menyerap air. Berikut kandungan kimia eceng gondok
segar ditunjukkan pada tabel II.1.

Tabel II.1 Kandungan kimia eceng gondok segar

Senyawa Kimia Persentase (%)


Air 92,6
Abu 0,44
Serat Kasar 2,09
Karbohidrat 0,17
Lemak 0,35
Protein 0,16
Fosfor sebagai P2O5 0,52
Kalium sebagai K2O 0,42
Klorida 0,26
Alkanoid 2,22
(Sumber : Anonymous, dikutip dari jurnal hasil Rosdiana Moeksin, dkk, 2016)

Dari Tabel II.1 terlihat bahwa eceng gondok segar memiliki kadar air
sangat tinggi sebesar 90% dari beratnya. Sehingga eceng gondok apabila dilakukan
pengeringan, massa eceng gondok akan berkurang 90% apabila air menguap
seluruhnya.

II-1
II-2

Eceng gondok sering dianggap sebagai gulma akibat pertumbuhannya


sangat cepat , tetapi eceng gondok berperan dalam menangkap polutan logam berat
(Ramadhan Tosepu, 2012). Kandungan serat yang tinggi pada eceng gondok dapat
dimanfaatkan di industri komersial (Samrenta Defina Sianturi, 2015). Tampak
visual dari tanaman eceng gondok pada Gambar II.1.

Gambar II.1 Tanaman eceng gondok


(Sumber : florawww.eeb.uconn.edu)

Dari Gambar II.1, terlihat bahwa variasi tanaman eceng gondok yang telah
berbunga dan yang masih muda. Pada bagian tangkai daun terdapat masa yang
menggelembung yang berisi serat. Setiap kepala putik dapat menghasilkan sekitar
500 bakal biji atau 5.000 biji setiap tangkai bunga. Sehingga eceng gondok dapat
berkembang biak dengan dua cara yaitu dengan tunas dan biji (Rahayu, dikutip dari
http://www.bibitazolla.net/tanaman-eceng-gondok, 2014).

II.2 Briket Eceng Gondok


Selain bermanfaat untuk industri komersil, eceng gondok dapat
dimanfatkan sebagai bahan utama pembuatan briket. Berikut kandungan kimia
eceng gondok kering ditunjukkan pada Tabel II.2.
II-3

Tabel II.2 Kandungan kimia eceng gondok kering


Senyawa Kimia Persentase (%)
Selulosa 64,51
Pentosa 15,61
Lignin 7,69
Silika 5,56
Abu 12
(Sumber : Roechyati, 1983)
Berdasarkan Tabel II.2, eceng gondok kering memiliki selulosa tinggi
sebesar 64,51% yang membuat eceng gondok berpotensi digunakan sebagai bahan
bakar alternatif (Roechyati dikutip dari jurnal hasil A. Rasyid Fachry, dkk, 2010).
Sebelum eceng gondok dibuat jadi arang, terlebih dahulu dilakukan
pembakaran. Pembakaran yang dimaksud adalah pembakaran yang tidak sempurna,
dimana eceng gondok tersebut tidak sepenuhnya terbakar, sedikit oksigen dan
menjadi abu. Untuk mendapatkan hasil yang baik eceng gondok tersebut harus
dalam keadaan kering dengan melakukan proses pengeringan di bawah sinar
matahari kurang lebih selama 3-4 hari.
Setelah eceng gondok menjadi arang, kemudian dilakukan penggerusan
guna memperkecil ukuran arang dan dicampur dengan tepung kanji sebagai
perekatnya. Barulah dimasukkan ke dalam mesin pencetak briket untuk dipress atau
dipadatkan. Briket eceng gondok dapat digunakan baik sebagai bahan bakar
alternatif di masyarakat. Berikut briket eceng gondok yang sudah dibuat
ditunjukkan pada Gambar II.2.

Gambar II. 2 Briket eceng gondok


(Sumber : uns.ac.id)
II-4

Berdasarkan Gambar II.2, briket eceng gondok umumnya dibuat dalam


bentuk silinder. Warna hitam pekat menunjukkan briket eceng gondok dibuat
dengan menggunakan arang eceng gondok serta batubara. Sementara warna coklat
menunjukkan bahwa briket eceng gondok dibuat menggunakan eceng gondok
kering.
Kelebihan dari briket eceng gondok ini adalah ramah lingkungan, sedikit
asap dan lebih harum dari jenis arang yang lain. Berikut karakteristik arang eceng
gondok dengan pembakaran secara tradisional ditunjukkan Tabel II.3.
Tabel II.3 Karakteristik arang eceng gondok (pembakaran tradisonal)
Analisis Parameter Arang Eceng gondok Unit
Kadar Karbon Terikat 50,90 %
Kadar Abu 18,31 %
Kelembaban 12,23 %
Kadar Zat Menguap 18,55 %
Nilai Kalor 4049,09 kal/gram
(Sumber : Sulistiawati Balong, 2015 )

Berdasarkan Tabel II.3, arang eceng gondok memiliki nilai karbon terikat
dan nilai kalor yang tinggi sehingga berpotensi digunakan sebagai campuran
biobriket.

II.3 Pembriketan Batubara


Pembriketan batubara adalah jenis produk briket yang melewati proses
pencetakan partikel-partikel padatan berbasis batubara pada tekanan tertentu baik
menggunakan atau tanpa bahan pengikat maupun bahan imbuh lainnya. Briket
batubara biasanya memakai jenis batubara yang memiliki nilai kalor yang rendah,
dengan campuran bahan perekat tanah liat, tepung tapioka, air, dan lain-lain.
Sebagai patokan kualitas mutu dari briket, briket batubara memiliki
standar berupa ukuran, nilai kalor, kadar air, dan lain-lain. Di Indonesia, salah satu
standar briket batubara telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Alam (Permen ESDM) Nomor 47 tahun 2006 tentang Pedoman Pembuatan
dan Pemanfaatan Briket Batubara dan Bahan Bakar Padat Berbasis Batubara.
Standar kualitas Briket dan Biobriket dapat dilihat pada Tabel II.4 dan II.5.
II-5

Tabel II.4 Standar komposisi briket


No Jenis Briket Jumlah Jumlah Jumlah Bahan Lainnya
Batubara (%) Pengikat (%) Imbuh*(%)
1 Non karbonisasi 80-95 5-20 0-5 -
2 Karbonisasi 80-90 5-15 0-5 -
3 Biobriket 50-80 5-10 0-5 Biomassa 10-40

*Jumlah imbuh merupakan jumlah bahan campuran sebagai pengeras. Contohnya


seperti tanah liat, tepung tapioka, dll.

(Sumber: Permen ESDM No. 47 Tahun 2006)

Dari Tabel II.4 dapat dilihat bahwa jenis biobriket memiliki jumlah
batubara paling sedikit dibandingkan jenis briket non-karbonisasi maupun
karbonisasi. Ini dikarenakan pada biobriket ditambahkan bahan lainnya seperti
biomassa. Sementara untuk jumlah pengikat dan jumlah imbuh, memiliki
komposisi yang sama untuk ketiga jenis briket ini.

Tabel II.5 Standar kualitas briket di Indonesia


No Jenis Briket Kandungan Kadar Nilai Kalor Total Kuat
Batubara Air (%) Abu (%) kal/gram Sulfur % Tekan
(adb) (adb) (kg/cm2)

1 Biobriket batubara ≤ 15 ≤ 15 ≥ 4400 ≤1 ≥ 65

2 Briket batubara ≤ 20 ≤ 15 ≥ 4400 ≤1 ≥ 60


terkarbonisasi.
Jenis batubara
muda
(subbituminus)
3 Briket batubara ≤7 ≤ 15 ≥ 5500 ≤1 ≥ 60
terkarbonisasi.
Jenis bukan
batubara muda
(bituminus)
(Sumber: Permen ESDM No. 47 Tahun 2006)
II-6

Berdasarkan Tabel II.5, terlihat bahwa standar nilai kalor yang tertinggi
yaitu dimiliki oleh briket batubara terkarbonisasi, jenis bukan batubara muda
dengan perbedaan 25% dibandingkan standar biobriket dan briket batubara
terkarbonisasi, jenis batubara muda. Untuk nilai zat terbang, disesuaikan
berdasarkan material penyusun briket (Riyadi, dkk, 2016).

II.4 Biobriket batubara


Biobriket batubara merupakan jenis produk pembriketan yang
menggunakan bahan baku partikel batubara sekitar biomassa, baik dengan/tanpa
bahan pengikat maupun bahan imbuh lainnya. Bahan baku biobriket batubara terdiri
dari batubara, biomassa, bahan pengikat, dan bahan imbuh. Biomassa yang umum
digunakan berasa dari ampas industri dan pertanian (seperti ampas tebu, ampas
kelapa sawit, sekam padi, dan serbuk gergaji).
Komposisi campurannya adalah batubara 50%-80%, biomassa 10%-40%,
bahan pengikat 5%-l0%, bahan imbuh 0%-5%. Pemakaian biomassa bertujuan
selain untuk menurunkan temperatur penyalaan briket, juga mempercepat proses
pembakaran yang sempurna dari briket sehingga dapat mengurangi emisi gas
buang. Bagan alir proses pembuatan briket biobatubara dapat dilihat pada Gambar
II.3.

Gambar II.3 Bagan alir pembuatan biobriket batubara


(Sumber: Permen ESDM No. 47 Tahun 2006)
II-7

Berdasarkan Gambar II.3, proses pembuatan briket dengan metode


biobriket diperlukan tambahan biomassa dan bahan perekat lainnya. Untuk
komposisi penggunaannya, dapat dilihat pada Tabel II.2 mengenai standar
komposisisi briket.

II.5 Bahan Perekat


Untuk merekatkan bahan baku campuran briket, diperlukan zat perekat
sehingga briket lebih kompak dan padat. Perekat adalah suatu zat atau bahan yang
memiliki kemampuan untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan.
Beberapa jenis perekat yang digunakan untuk biobriket (Kurniawan dan Marsono,
2008 dikutip dari skripsi Junaedi Pabisa, 2013), seperti :
a. Perekat aci
Perekat aci terbuat dari tepung tapioka yang mudah diperoleh. Perekat aci ini
juga umum digunakan dalam pembuatan briket. Cara membuatnya
mencampurkan tepung tapioka dengan air, lalu dididihkan di atas kompor.
Selama pemanasan tepung diaduk terus menerus agar tidak menggumpal.
Setelah dipanaskan, warna tepung yang semula putih akan berubah menjadi
transparan dan lengket. Rasio antara tapioka dengan air saat pembuatan perekat
juga harus diperhatikan sehingga perekat yang telah jadi benar-benar matang
dan kental.
b. Perekat tanah liat
Perekat tanah liat bisa digunakan sebagai perekat karbon dengan cara tanah liat
diayak halus seperti tepung, lalu diberi air sampai lengket. Namun perekat ini
membuat briket kurang menarik dan membutuhkan waktu lama untuk
mengeringkannya. Selain itu, perekat ini membuat briket memiliki waktu
penyalaan yang lama saat dibakar.
c. Perekat getah karet
Daya lekat getah karet lebih kuat dibandingkan dengan perekat tepung tapioka
maupun tanah liat. Ongkos produksinya mahal dan sulit untuk diperoleh.
Apabila biobriket menggunakan perekat getah karet, menghasilkan banyak
asap hitam dan beraroma tidak sedap ketika dibakar.
II-8

d. Perekat getah pinus


Biobriket menggunakan perekat ini memiliki kesamaan dengan biobriket yang
menggunakan perekat karet. Namun, keunggulannya terletak pada daya 20
benturan briket yang menyebabkan briket tetap utuh dan kuat meskipun
dijatuhkan dari tempat yang tinggi.
e. Perekat pabrik
Perekat pabrik adalah lem khusus yang diproduksi oleh pabrik yang
berhubungan langsung dengan industri pengolahan kayu. Lem-lem tersebut
mempunyai daya lekat yang sangat kuat tetapi kurang ekonomis jika diterapkan
pada biobriket.

II.6 Proses Karbonisasi Eceng Gondok dan Tahapan Pembakaran


Proses ini merupakan proses penting dalam menghasilkan briket campuran
eceng gondok-batubara yang berkualitas. Proses ini meliputi karbonisasi atau
pembuatan arang eceng gondok dan tahap pembakaran briket.

II.6.1 Proses Karbonisasi Eceng Gondok


Proses karbonisasi merupakan suatu proses pembakaran yang tidak
sempurna dari bahan-bahan organik dengan jumlah oksigen yang sangat terbatas,
yang menghasilkan arang serta menyebabkan penguraian senyawa organik yang
menyusun struktur bahan membentuk uap air, methanol, uap-uap asam asetat dan
hidrokarbon (Kurniadi dan Hasani. A, 1996).
Proses karbonisasi ini merupakan salah satu tahap penting dalam
pembuatan biobriket. Pada umumnya, proses ini dilakukan pada temperatur 500-
800oC. Kandungan zat yang mudah menguap akan hilang sehingga terbentuk
struktur pori awal (Widowati, 2003).
Proses pengarangan dapat dibagi menjadi empat tahap sebagai berikut :
a. Penguapan air, kemudian penguraian selulosa menjadi destilat yang sebagian
besar mengandung asam-asam dan metanol.
b. Penguraian selulosa secara intensif hingga menghasilkan gas serta sedikit air.
c. Penguraian senyawa lignin menghasilkan lebih banyak tar yang akan
bertambah jumlahnya pada waktu yang lama dan suhu tinggi.
d. Pembentukan gas hidrogen berupa proses pemurnian arang yang terbentuk.
II-9

Tujuan eceng gondok melewati proses karbonisasi selain menjadikan


arang sebagai bahan utama briket, juga agar eceng gondok memiliki struktur
rantai karbon yang lebih panjang. Sehingga semakin panjang rantai karbon, hasil
pembakaran pun akan lebih sempurna.

II.6.2 Tahapan Pembakaran


Pada biobriket, tahapan pembakaran briket (Syamsiro dan Harwin
Saptoadi, 2007) memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Pengeringan
Dalam proses ini bahan bakar mengalami proses kenaikan temperatur yang
akan mengakibatkan menguapnya kadar air yang berada pada permukaan
bahan bakar tersebut, sedangkan untuk kadar air yang berada di dalam akan
menguap melalui pori-pori bahan bakar padat tersebut.
b. Devolatilisasi
Devolatilisasi yaitu proses bahan bakar mulai mengalami dekomposisi
setelah terjadi pengeringan.
c. Pembakaran Arang
Sisa dari pirolisis adalah arang dan sedikit abu, kemudian partikel bahan
bakar mengalami tahapan oksidasi arang yang memerlukan 70%-80% dari
total waktu pembakaran.

II.7 Pemanfaatan Briket


Penggunaan biobriket batubara dalam kehidupan memiliki banyak
manfaat secara berkesinambungan karena sifatnya dapat dilestarikan, maka dari itu
Biobriket merupakan sumber energi yang memiliki potensi cukup besar di
Indonesia. Pengaplikasian pemanfaatan biobriket dalam kehidupan sehari-hari
dapat dilihat sebagai berikut.
a. Industri pencelupan batik
b. Industri batubata/keramik/genting
c. Industri pengeringan ikan
d. Industri pengeringan tembakau
II-10

II.8 Kandungan- kandungan Energi pada Biobriket


Di dalam biobriket, terdapat kandungan-kandungan energi seperti nilai
analisis ultimat, proksimat dan nilai kalor. Berikut penjelasan mengenai
kandungan-kandungan energi.

II.8.1 Analisis Ultimat


Analisis Ultimat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui unsur
unsur pembentuk batubara dengan memperhatikan unsur kimia pembentuknya
dan mengabaikan senyawa kompleks yang ada di dalamnya. Analisis Ultimat
merupakan analisis yang dilakukan untuk menentukan kadar karbon (C), oksigen
(O), nitrogen (N), dan sulfur (S) dalam biobriket. Analisis ini terdiri dari:

1. Kadar Karbon dan Hidrogen


Biobriket terdiri dari senyawa kompleks dari karbon dan hidrogen kemudian
membentuk senyawa hidrokarbon.
2. Kadar Nitrogen
Nitrogen dalam batubara hanya terdapat dalam bentuk senyawa organik.
Biasanya senyawa nitrogen terdapat dalam kapiler air sehingga umumnya
terdapat pada batubara muda. Pada proses pembakaran biobriket, nitrogen yang
bereaksi dengan udara akan membentuk nitrogen dioksida. Senyawa ini
berpotensi menjadi pencemar udara di atmosfer bumi sehingga kadar nitrogen
dilakukan dengan prosedur yang sama seperti penentuan kadar karbon dan
hidrogen, yaitu memanfaatkan intensitas beda potensial yang dideteksi oleh
alat.
3. Kadar Belerang Total
Briket dengan kadar sulfur yang tinggi dapat menyebabkan pencemaran udara
apabila bereaksi dengan oksigen. Selain itu sulfur juga dapat menimbulkan
korosi pada alat. Di dalam biobriket belerang atau sulfur mempunyai tiga
bentuk yaitu:
a. Sebagai sulfur organik, yaitu sulfur yang terikat pada senyawa hidrokarbon
di dalam batubara.
b. Sebagai material sulfida, yaitu sulfur yang berada di dalam material
anorganik, contohnya pirit.
II-11

c. Sebagai mineral sulfat, yaitu yang dihasilkan dari proses oksidasi mineral
sulfida dengan bantuan udara.
4. Kadar Oksigen
Oksigen di briket terkandung pada senyawa organik, karbonat, lempung,
moisture, dan lain-lain. Oksigen memiliki peranan dalam penentuan derajat
pembentukan batubara.
Nilai analisis ultimat memiliki standar seperti pada Tabel II.6.

Tabel II.6 Standar nilai analisis ultimat


Carbon Hidrogen Nitrogen Total Sulphur Oksigen
(%) (%) (%) (%) (%)
≥ 50 ≤5 ≤2 ≤ 0,5 ≤ 30
(Sumber : Bureau Energy Efficiency Standard, 2010)

Berdasarkan Tabel II.6, standar yang digunakan yaitu BEE (Bureau Energy
Efficiency Standard) sebagai acuan penentuan nilai analisis ultimat biobriket
pada tugas akhir ini.

II.8.2 Analisis Proksimat


Analisis Proksimat merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui
kandungan relatif zat terbang (volatile matter), kandungan air (moisture content),
komponen anorganik berupa abu hasil pembakaran, serta karbon tertambat (fixed
carbon). Analisis Proksimat ini digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan
batubara dalam industri pengguna batubara. Analisis Proksimat ini mengacu pada
standar American Society for Testing and Materials (ASTM) dan terdiri dari:
1. Kadar air total (Total Moisture)
Kadar air total (total moisture) terdiri dari dua jenis, yaitu kandungan air bebas
(free moisture atau air-dry loss) dan kandungan air bawaan (inherent
moisture). Free moisture merupakan air yang menempel di permukaan atau
berada di celah rekahan batubara. Kandungan air bebas (free moisture) dapat
dihilangkan dengan cara mengangin-anginkan batubara pada suhu kamar.
Kandungan air bawaan (inherent moisture) adalah kandungan air yang terikat
di dalam pori internal batubara dan umumnya terikat bersamaan dengan proses
pembatubaraan.
II-12

2. Kandungan zat terbang (Volatile Matter)


Volatile matter adalah senyawa organik atau anorganik yang hilang saat
batubara yang telah dihilangkan kandungan airnya dipanaskan pada suhu tinggi
dan waktu tertentu. Zat yang hilang ini sebagian besar terdiri dari gas yang
mudah menguap bila dipanaskan seperti hidrogen, karbon dioksida dan metana.
3. Kadar Abu (Ash)
Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral yang ada dalam arang
briket di mana setelah dilakukan pembakaran, mineral ini akan berubah
menjadi abu.
4. Kadar karbon tertambat (Fixed carbon)
Karbon tertambat (fixed carbon) merupakan banyaknya karbon yang tersisa
setelah moisture, volatile matter, dan ash dihilangkan. Karbon tertambat
menggambarkan sisa penguraian dari komponen organik batubara ditambah
sedikit senyawa nitrogen, belerang, hidrogen dan oksigen yang terserap atau
bersatu secara kimiawi. Berdasarkan Bureau Energy Efficiency Standard, 2010
nilai analisis proksimat memiliki standar seperti pada Tabel II.7

Tabel II.7 Standar nilai analisis proksimat


Ash Volatile Fixed Moisture in Air dried
(%) Matter (%) Carbon (%) sample (%)
- - ≥ 50 -
(Sumber : Bureau Energy Efficiency Standard, 2010)

Pada Tabel II.7, untuk standar BEE hanya memiliki nilai karbon tetap saja,
sehingga untuk nilai analisis proksimat biobriket tetap menggunakan standar
yang tercantum pada Tabel II.3 mengenai standar kualitas briket di Indonesia.

II.8.3 Kandungan Nilai Kalor


Kandungan nilai kalor bertujuan untuk mengetahui potensi energi yang
terkandung di dalam biobriket. Nilai kalor adalah parameter penting karena
mempengaruhi efisiensi bahan bakar. Semakin besar nilai kalor, jumlah bahan
bakar yang diperlukan agar dapat menghasilkan panas pembakaran tertentu akan
semakin sedikit. Nilai kalor bahan bakar terdiri dari dua jenis yaitu HHV (Highest
II-13

Heating Value) dan LHV (Low Heating Value) (Farel Napitupulu, 2006),
perbedaan HHV dan LHV adalah sebagai berikut:
1. HHV (Highest Heating Value) adalah nilai kalor yang diperoleh dari
pembakaran 1 kg bahan bakar dengan memperhitungkan panas kondensasi uap
(air yang dihasilkan dari pembakaran berada dalam wujud cair). Untuk
menghitung nilai HHV, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
empiris. Persamaan empiris ini dapat digunakan apabila karakteristik
ultimatnya diketahui. Persamaan empiris tersebut dapat dilihat pada Tabel II.8.
Tabel II.8 Rumus empiris menghitung HHV
DULONG (1820) = (80.8 x C) + (344.6 x H) – (43.1 x O) + (25 x S)

SEYLER (1938) = (123.9 x C) + (388.1 x H) + (25 x O2) – 4269

MOTT & SPOONER (1940) OXYGEN < 15% = (80.3 x C) + (339 x H) - (34.7 x O) +
(22.5 x S)
MOTT & SPOONER (1940) OXYGEN > 15% = (80.3 x C) + (339 x H) - (36.6 x O) +
(0.17 x O2) + 22.5 x S
BOIE (1953) = (84 x C) + (277.7 x H) – (26.5 x O) + (15.0 x N) + (25 x S)

NEAVEL (1986) = (81.05 x C) + (316.4 x H) – (29.9 x O) + (23.9 x S) - (3.5x Ash)

GIVEN (1986) = (78.3 x C) + (339.1 x H) – (33.0 x O) + (22.1 x S) + 152

(Sumber : Dirk Willem van Krevelen, 1961)

Berdasarkan Tabel II.8, persamaan nilai HHV yang akan digunakan untuk
mencari nilai HHV pada tugas akhir ini yaitu persamaan yang dibuat oleh
Given (1986).
2. LHV (Low Heating Value) adalah nilai kalor yang diperoleh dari
pembakaran 1 kg bahan bakar tanpa memperhitungkan panas
kondensasi uap (Air yang dihasilkan dari pembakaran berada dalam
wujud gas/uap).

II.8.4 Kuat Tekan


Pengujian kuat tekan adalah mengukur kekuatan tekan briket dengan
memberikan penekanan sampai briket pecah. Penentuan kuat tekan dapat ditulis
seperti persamaan (2.1).
II-14

𝐹
𝑃=
𝐴 ……………………………………………………………. (2.1)
Keterangan :
P : beban kuat tekan (Kg/cm2)
F : beban penekanan (Kg)
A : luas penampang (cm2)

II.9 Jenis Briket


Selain menganalisis mengenai nilai analisis proksimat, ultimat, dan nilai
kalor, briket campuran eceng gondok-batubara juga dibandingkan dengan briket
batubara berporos (Robbirodhya Islam 2016) dan briket campuran tempurung
kelapa-batubara (Windi, 2016).

II.9.1 Jenis Briket Batubara Berporos


Yang pertama, briket batubara berporos sebagai data perbandingan.
Batubara yang digunakan berjenis sub bituminus dengan ukuran sebesar 50 mesh.
Dan komposisi pencampurannya yaitu 85% batubara, 10% tapioka, dan 5% tanah
liat. Berikut briket batubara berporos yang ditunjukkan pada Gambar II.4.

Gambar II.4 Briket batubara berporos


(Sumber : Robbirodhya Islam, 2016)

Berdasarkan Gambar II.4, briket batubara berporos ini memiliki massa


sebesar 25 gram dengan ukuran 500 mm x 70 mm x 55 mm. Selain itu, briket ini
memiliki rongga sebanyak 25 rongga/lubang dengan diameter rongga sebesar 2
mm. Rongga pada briket ini berfungsi untuk memperbesar kecukupan udara untuk
proses pembakaran (Robbirodhya Islam, 2016). Berikut adalah nilai analisis
proksimat ditunjukkan pada Tabel II.9.
II-15

Tabel II.9 Nilai analisis proksimat briket batubara berporos


Jenis Briket
Proksimat Batubara Berporos Unit
(Sub bituminus)
MOISTURE IN AIR
10,5 %
DRIED SAMPLE

ASH 12,7 %

VOLATILE MATTER 38,7 %

FIXED CARBON 38,1 %

(Sumber : Robbirodhya Islam, 2016)

Berdasarkan Tabel II.9, dapat dilihat briket batubara berporos memiliki


nilai karbon tetap sebesar 38,1% dari massanya. Akan tetapi, bila mengacu
terhadap standar BEE (Tabel II.7) nilai karbon tetap ini dibawah standar. Untuk
nilai analisis ultimat briket batubara berporos, ditunjukkan pada Tabel II.10.

Tabel II.10 Nilai analisis ultimat briket batubara berporos


Jenis Bioriket
Batubara
ULTIMAT Unit
Briket batubara
berporos
CARBON 68,2 %

HIDROGEN 4,3 %

NITROGEN 1,3 %

TOTAL
1,6 %
SULPHUR
OKSIGEN 13,7 %
(Sumber : Robbirodhya Islam, 2016)

Berdasarkan Tabel II.10, nilai analisis ultimat dari briket batubara


berporos sudah menunjukkan karakteristik batubara muda (subbituminus). Untuk
nilai karbonnya briket ini sudah memenuhi standar briket menurut BEE (Tabel
II-16

II.6). Massa dari briket batubara berporos ini didominasi oleh nilai karbon sebesar
68,2% dari massanya.
Sementara untuk nilai kalor dari briket ini, terdapat 2 macam yaitu hasil
pengujian Puslitbang tekMIRA (2016) dengan nilai 6500 kal/g dan hasil
perhitungan persamaan Given (1986) sebesar 6533,45 kJ/kg (perhitungan
terlampir pada Lampiran C-6 . Terjadi perbedaan nilai sebesar 0,51% dikarenakan
masalah pendekatan.

II.9.2 Jenis Briket Campuran Tempurung Kelapa-Batubara


Briket selanjutnya yang digunakan sebagai data pembanding yaitu briket
campuran tempurung kelapa-batubara. Pada briket ini terdiri dua komposisi
pencampuran yaitu 70% batubara:30% arang tempurung kelapa dan 80%
batubara:20% arang tempurung kelapa dengan ukuran kehalusan arang tempurung
kelapa maupun batubara sebesar 20 mesh. Bahan perekat yang digunakan pada
briket ini yaitu tanah liat dan tepung tapioka sebesar 5% dari massa batubara.
Berikut tampak visual briket campuran tempurung kelapa-batubara ditunjukkan
pada Gambar II.5.

Gambar II.5 Briket campuran tempurung kelapa-batubara


(Sumber : Windi, 2016)

Berdasarkan Gambar II.5, kedua jenis komposisi biobriket ini memiliki,


massa, diameter, dan tinggi. Campuran 70% batubara:30% tempurung kelapa
massa sebesar 96 gram, diameter 39,73 mm, dan tinggi 81,35 mm. Sementara
campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa, massanya lebih banyak 4 gram
dibanding dengan campuran sebelumnya. Kedua jenis biobriket ini berbentuk
II-17

silinder dan memiliki beban maksimum antara 335,85 kg-340,82 kg (Windi,


2016). Berikut analisis proksimat briket campuran tempurung kelapa-batubara
ditunjukkan pada Tabel II.11.

Tabel II.11 Nilai analisis proksimat briket campuran tempurung kelapa-batubara


Jenis Briket
(70% (80%
Proksimat Batubara, Batubara, Unit
30% 20%
Tempurung Tempurung
Kelapa) Kelapa)
MOISTURE IN
AIR DRIED 12,46 13,21 %
SAMPLE
ASH 10,86 12,42 %
VOLATILE
28,59 28,93 %
MATTER

FIXED CARBON 48,09 45,44 %

(Sumber : Windi, 2016)

Berdasarkan Tabel II.11, untuk nilai kadar air dan karbon tetap, briket
campuran 70% batubara: 30% tempurung kelapa lebih besar nilainya
dibandingkan briket campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa (selisih
mencapai 0,75 untuk kadar abu dan 2,65 untuk karbon tetap. Sementara nilai abu
dan zat terbang, briket campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa memiliki
nilai lebih besar dibandingkan briket campuran 70% batubara: 30% tempurung
kelapa. Untuk nilai analisis ultimat briket campuran tempurung kelapa-batubara,
ditunjukkan pada Tabel II.12.
II-18

Tabel II.12 Nilai analisis ultimat briket campuran tempurung kelapa-batubara


Jenis Bioriket Batubara
ULTIMAT (70% Batubara, (80% Batubara, Unit
30% Tempurung 20% Tempurung
Kelapa) Kelapa)

CARBON 60,57 57,68 %

HIDROGEN 4,93 4,68 %

NITROGEN 0,72 0,67 %

TOTAL
0,21 0,19 %
SULPHUR
OKSIGEN 29,71 27,36 %
(Sumber : Tugas Windi, 2016)

Berdasarkan Tabel II.12, nilai analisis ultimat untuk briket campuran 80%
batubara: 20% tempurung kelapa lebih kecil dibandingkan dengan briket
campuran 70% batubara: 30% tempurung kelapa. Dalam nilai karbon, briket
campuran 70% batubara: 30% tempurung kelapa lebih baik dibandingkan dengan
briket campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa.
Nilai kalor berdasarkan hasil pengujian Puslitbang tekMIRA (2016) pada
kedua campuran ini yaitu :
1. Nilai kalor briket campuran 70% batubara: 30% tempurung kelapa sebesar
5246 kal/gram.
2. Nilai kalor briket campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa sebesar
5091 kal/gram.

II.10 Analisis Ekonomi


Analisis ekonomi kadang-kadang dapat dilakukan hanya untuk
menjelaskan keadaan saat ini ekonomi tertentu, tetapi juga dapat dilakukan sebagai
bagian dari upaya untuk menetapkan dan mencapai tujuan ekonomi di masa depan.
Analisis ekonomi ini diperlukan dalam tugas akhir ini guna mengetahui keuntungan
yang didapatkan dalam memproduksi briket campuran eceng gondok-batubara
dalam skala menengah maupun besar.
II-19

Dalam tahapannya, cost saving diperoleh dari biaya ekonomi dibagi


dengan harga pasar suatu barang, contohnya disini harga pasar dari biobriket.
Sementara itu, biaya ekonomi diperoleh dari biaya total (termasuk investasi, ongkos
pekerja dan harga bahan baku) dibagi dengan produk yang dihasilkan (kumulatif).
Kumulatif disini diartikan bahwa apabila sehari memproduksi 10 kg barang, maka
hari kedua dihitung 20 kg begitu juga seterusnya.
Untuk mencari biaya ekonomi dan cost saving menggunakan Persamaan
(2.3)
𝒃𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 ............…………...……. (2.3)
𝑩𝑬 =
𝒑𝒓𝒐𝒅𝒖𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒉𝒂𝒔𝒊𝒍𝒌𝒂𝒏 (𝒌𝒖𝒎𝒖𝒍𝒂𝒕𝒊𝒇)

BE = Biaya Ekonomi (Rupiah/kg)


Biaya total = Ongkos pekerja + Investasi + Harga bahan (Rupiah)
Produk yang dihasilkan dalam satuan kg.
Sementara persamaan untuk mencari cost saving sebagai menggunakan
Persamaan (2.4)
………………….................………………………………………….
𝑩𝑬 (2.4)
𝑪𝑺 =
𝑯𝑷

CS = Cost Saving (Rupiah/kg)


BE = Biaya Ekonomi (Rupiah/kg)
HP = Harga Pasar briket (Rupiah/kg)
Cost saving disini dilihat berdasarkan hari produksi, sehingga semakin
cepat memperoleh cost saving maka hari produksi pun semakin cepat dicapai.

Anda mungkin juga menyukai