LANDASAN TEORI
Dari Tabel II.1 terlihat bahwa eceng gondok segar memiliki kadar air
sangat tinggi sebesar 90% dari beratnya. Sehingga eceng gondok apabila dilakukan
pengeringan, massa eceng gondok akan berkurang 90% apabila air menguap
seluruhnya.
II-1
II-2
Dari Gambar II.1, terlihat bahwa variasi tanaman eceng gondok yang telah
berbunga dan yang masih muda. Pada bagian tangkai daun terdapat masa yang
menggelembung yang berisi serat. Setiap kepala putik dapat menghasilkan sekitar
500 bakal biji atau 5.000 biji setiap tangkai bunga. Sehingga eceng gondok dapat
berkembang biak dengan dua cara yaitu dengan tunas dan biji (Rahayu, dikutip dari
http://www.bibitazolla.net/tanaman-eceng-gondok, 2014).
Berdasarkan Tabel II.3, arang eceng gondok memiliki nilai karbon terikat
dan nilai kalor yang tinggi sehingga berpotensi digunakan sebagai campuran
biobriket.
Dari Tabel II.4 dapat dilihat bahwa jenis biobriket memiliki jumlah
batubara paling sedikit dibandingkan jenis briket non-karbonisasi maupun
karbonisasi. Ini dikarenakan pada biobriket ditambahkan bahan lainnya seperti
biomassa. Sementara untuk jumlah pengikat dan jumlah imbuh, memiliki
komposisi yang sama untuk ketiga jenis briket ini.
Berdasarkan Tabel II.5, terlihat bahwa standar nilai kalor yang tertinggi
yaitu dimiliki oleh briket batubara terkarbonisasi, jenis bukan batubara muda
dengan perbedaan 25% dibandingkan standar biobriket dan briket batubara
terkarbonisasi, jenis batubara muda. Untuk nilai zat terbang, disesuaikan
berdasarkan material penyusun briket (Riyadi, dkk, 2016).
c. Sebagai mineral sulfat, yaitu yang dihasilkan dari proses oksidasi mineral
sulfida dengan bantuan udara.
4. Kadar Oksigen
Oksigen di briket terkandung pada senyawa organik, karbonat, lempung,
moisture, dan lain-lain. Oksigen memiliki peranan dalam penentuan derajat
pembentukan batubara.
Nilai analisis ultimat memiliki standar seperti pada Tabel II.6.
Berdasarkan Tabel II.6, standar yang digunakan yaitu BEE (Bureau Energy
Efficiency Standard) sebagai acuan penentuan nilai analisis ultimat biobriket
pada tugas akhir ini.
Pada Tabel II.7, untuk standar BEE hanya memiliki nilai karbon tetap saja,
sehingga untuk nilai analisis proksimat biobriket tetap menggunakan standar
yang tercantum pada Tabel II.3 mengenai standar kualitas briket di Indonesia.
Heating Value) dan LHV (Low Heating Value) (Farel Napitupulu, 2006),
perbedaan HHV dan LHV adalah sebagai berikut:
1. HHV (Highest Heating Value) adalah nilai kalor yang diperoleh dari
pembakaran 1 kg bahan bakar dengan memperhitungkan panas kondensasi uap
(air yang dihasilkan dari pembakaran berada dalam wujud cair). Untuk
menghitung nilai HHV, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
empiris. Persamaan empiris ini dapat digunakan apabila karakteristik
ultimatnya diketahui. Persamaan empiris tersebut dapat dilihat pada Tabel II.8.
Tabel II.8 Rumus empiris menghitung HHV
DULONG (1820) = (80.8 x C) + (344.6 x H) – (43.1 x O) + (25 x S)
MOTT & SPOONER (1940) OXYGEN < 15% = (80.3 x C) + (339 x H) - (34.7 x O) +
(22.5 x S)
MOTT & SPOONER (1940) OXYGEN > 15% = (80.3 x C) + (339 x H) - (36.6 x O) +
(0.17 x O2) + 22.5 x S
BOIE (1953) = (84 x C) + (277.7 x H) – (26.5 x O) + (15.0 x N) + (25 x S)
Berdasarkan Tabel II.8, persamaan nilai HHV yang akan digunakan untuk
mencari nilai HHV pada tugas akhir ini yaitu persamaan yang dibuat oleh
Given (1986).
2. LHV (Low Heating Value) adalah nilai kalor yang diperoleh dari
pembakaran 1 kg bahan bakar tanpa memperhitungkan panas
kondensasi uap (Air yang dihasilkan dari pembakaran berada dalam
wujud gas/uap).
𝐹
𝑃=
𝐴 ……………………………………………………………. (2.1)
Keterangan :
P : beban kuat tekan (Kg/cm2)
F : beban penekanan (Kg)
A : luas penampang (cm2)
ASH 12,7 %
HIDROGEN 4,3 %
NITROGEN 1,3 %
TOTAL
1,6 %
SULPHUR
OKSIGEN 13,7 %
(Sumber : Robbirodhya Islam, 2016)
II.6). Massa dari briket batubara berporos ini didominasi oleh nilai karbon sebesar
68,2% dari massanya.
Sementara untuk nilai kalor dari briket ini, terdapat 2 macam yaitu hasil
pengujian Puslitbang tekMIRA (2016) dengan nilai 6500 kal/g dan hasil
perhitungan persamaan Given (1986) sebesar 6533,45 kJ/kg (perhitungan
terlampir pada Lampiran C-6 . Terjadi perbedaan nilai sebesar 0,51% dikarenakan
masalah pendekatan.
Berdasarkan Tabel II.11, untuk nilai kadar air dan karbon tetap, briket
campuran 70% batubara: 30% tempurung kelapa lebih besar nilainya
dibandingkan briket campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa (selisih
mencapai 0,75 untuk kadar abu dan 2,65 untuk karbon tetap. Sementara nilai abu
dan zat terbang, briket campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa memiliki
nilai lebih besar dibandingkan briket campuran 70% batubara: 30% tempurung
kelapa. Untuk nilai analisis ultimat briket campuran tempurung kelapa-batubara,
ditunjukkan pada Tabel II.12.
II-18
TOTAL
0,21 0,19 %
SULPHUR
OKSIGEN 29,71 27,36 %
(Sumber : Tugas Windi, 2016)
Berdasarkan Tabel II.12, nilai analisis ultimat untuk briket campuran 80%
batubara: 20% tempurung kelapa lebih kecil dibandingkan dengan briket
campuran 70% batubara: 30% tempurung kelapa. Dalam nilai karbon, briket
campuran 70% batubara: 30% tempurung kelapa lebih baik dibandingkan dengan
briket campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa.
Nilai kalor berdasarkan hasil pengujian Puslitbang tekMIRA (2016) pada
kedua campuran ini yaitu :
1. Nilai kalor briket campuran 70% batubara: 30% tempurung kelapa sebesar
5246 kal/gram.
2. Nilai kalor briket campuran 80% batubara: 20% tempurung kelapa sebesar
5091 kal/gram.