Anda di halaman 1dari 14

Peradilan di Indonesia Sebelum Islam

Emilda Leviani1; Jalal Nur Al-Afgani2; Jesika Selfi Berliana3


1,2,3
Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung
emildaleviani@gmail.com, jalalafgani621@gmail.com, jesikaselfiberliana@gmail.com

Abstrak

Sejarah peradilan sebelum islam di Indonesia harus melihat jejak-jejak masa lalu
tentang praktik-praktik dalam bidang peradilan masa dulu mulai dari zaman jahiliah.
Bagaimana budaya peradilan sebelum islam zaman dahulu ditegakkan, dan bagaimana
badan hukum di masa lalu menjalankan amanah yang dipikulkan kepada mereka.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab pra-Islam mengenal sistem peradilan yang
didasarkan pada kebiasaan, tradisi (adat) yang dikenal dengan sebutan "Jahiliyah". Sistem
peradilan tersebut dipimpin oleh tokoh-tokoh suku atau kelompok, yang berperan sebagai
hakim dan mediator dalam penyelesaian sengketa. Namun, sistem peradilan jahiliyah
tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan seringkali terjadi penyelewengan dalam
penerapannya. Misalnya, dalam beberapa kasus, pihak yang kaya atau berkuasa
cenderung mendapatkan perlakuan yang lebih menguntungkan, sedangkan pihak yang
lemah seringkali diperlakukan secara tidak adil sebagai peringatan buat masa datang.
Dari data diatas jelas bahwa sejarah peradilan sebelum islam sebagai hukum yang berdiri
sendiri sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berdampingan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Sebelum Agama Islam masuk ke
Indonesia, di jaman kerajaan Hindu sudah terdapat lembaga peradilan. Jaman Kerajaan
praislam di Indonesia ada Kerajaan Kutai Martadipura, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan
Sriwijaya,Kerajaan Majapahit, Kerajaan Bali, Kerajaan Aceh. Perkara peradilan praislam
mengenai perkara-perkara yang dapat membahayakan mahkota, keamanan dan ketertiban
negara, seperti membuat kerusuhan, pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain
sebagainya. Perkara ini diadili oleh Raja atau pengusaha Kerajaan,penasehat yang akan
membantu dalam keputusan hukumPenelitian ini menggunakan metode’pendekatan
kualitatif deskriptif’menjadi metode dalam penelitian ini. Metode kualitatif deskriptif ini
dapat menghasilkan kajian yang komprehensif terhadap suatu fenomena dengan
jenis‘penelitian kepustakaan’(Library Research). Data yang telah dikumpulkan kemudian
disusun untuk kemudian disimpulkan secara objektif. Sehingga penelitian ini diharapkan
dapat memberikan referensi terkait Peradilan sebelum islam di Indonesia.

Kata Kunci: Sejarah, Peradilan, Jahiliah, Praislam, Kerajaan

Pendahuluan (Introduction)

Sebagaimana halnya sejarah pada umumnya, sejarah peradilan sebelum islam di


Indonesia harus melihat jejak-jejak masa lalu tentang praktik-praktik dalam bidang
peradilan masa dulu mulai dari zaman jahiliah. Bagaimana budaya peradilan sebelum
islam zaman dahulu ditegakkan, dan bagaimana badan hukum di masa lalu menjalankan
amanah yang dipikulkan kepada mereka. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab
pra-Islam mengenal sistem peradilan yang didasarkan pada kebiasaan, tradisi (adat) yang
dikenal dengan sebutan "Jahiliyah". Sistem peradilan tersebut dipimpin oleh tokoh-tokoh
suku atau kelompok, yang berperan sebagai hakim dan mediator dalam penyelesaian
sengketa. Namun, sistem peradilan jahiliyah tidak memiliki landasan hukum yang kuat
dan seringkali terjadi penyelewengan dalam penerapannya. Misalnya, dalam beberapa
kasus, pihak yang kaya atau berkuasa cenderung mendapatkan perlakuan yang lebih
menguntungkan, sedangkan pihak yang lemah seringkali diperlakukan secara tidak adil
sebagai peringatan buat masa datang.

Dari data diatas jelas bahwa sejarah peradilan sebelum islam sebagai hukum yang
berdiri sendiri sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berdampingan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Sebelum Agama Islam masuk ke
Indonesia, di jaman kerajaan Hindu sudah terdapat lembaga peradilan. Jaman Kerajaan
praislam di Indonesia ada Kerajaan Kutai Martadipura, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan
Sriwijaya,Kerajaan Majapahit, Kerajaan Bali, Kerajaan Aceh. Perkara peradilan praislam
mengenai perkara-perkara yang dapat membahayakan mahkota, keamanan dan ketertiban
negara, seperti membuat kerusuhan, pencurian, pembunuhan, perampokan dan lain
sebagainya. Perkara ini diadili oleh Raja atau pengusaha Kerajaan,penasehat yang akan
membantu dalam keputusan hukum (Tresno, 1957:16).
Metode (Method)

Penelitian ini menggunakan metode’pendekatan kualitatif deskriptif’menjadi


metode dalam penelitian ini. Metode kualitatif deskriptif ini dapat menghasilkan
kajian yang komprehensif terhadap suatu fenomena dengan jenis‘penelitian
kepustakaan’(*Library Research*). Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun
untuk kemudian disimpulkan secara objektif. Sehingga penelitian ini diharapkan
dapat memberikan referensi terkait Peradilan sebelum islam diIndonesia.

Hasil dan Pembahasan (Result and Discussion)

Peradilan Pertama

Peradilan berasal dari kata “Adil – Keadilan” (Just – Justice), yang memiliki
makna “tidak berat sebelah” dapat juga berarti tidak memihak, tetapi dapat juga berarti
memihak kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran, sepatutnya dan tidak
sewenang – wenang. Dalam wacana Bahasa Arab penggunaan kata peradilan itu diambil
dari kata qadha al qadha. Dalam termini, banyak wacana yang digunakan baik dari segi
etimologi maupun terminologi. Dari segi bahasa, tampak makna yang digunakan secara
beraneka ragam, antara lain diartikan dengan: al-faragh, yang bermakna putus,selesai,
dan menyelesaikan. Penggunaan alqadha dalam arti ini terdapat dalam surah An-nisa’
ayat 103; imdha’ alamri, yang berarti menetapkan sesuatu. Peradilan yaitu kekuasaan
negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Istilah peradilan senantiasa melekat dengan
istilah Pengadilan. Secara terminologi, kedua istilahn itu berbeda, tetapi keduanya tidak
mungkin dapat di pisahkan, bagaikan anak panah dan busurnya. Karena pada dasarnya,
pengadilan itu merupakan tempat di selenggarakannya Peradilan.
Sebenarnya peradilan telah terjadi sejak adanya manusia di dunia ini. Pada masa
Nabi Adam as pernah terjadi pertikaian antara kedua anaknya yang Bernama Qabil dan
Habil, dimana Nabi Adam as yang menjadi hakim dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut, hanya saja bentuk peradilan pada masa itu belum dapat dikatakan peradilan
seperti dikenal sekarang. Hakim pertama kali yang disebut dalam Sejarah kemanusiaan
adalah Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Pada masa mereka dijelaskan bahwa seorang
hakim harus mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak sebelum memutuskan
perkara dan harus memisahkan para saksi untuk mendengarkan pendapat mereka.
Sebelum memilih Nabi Daud as. Menjadi hakim Allah Swt, menguji mereka dengan
menurunkan dua malaikat yang menyerupai manusia. Keduanya saling berselisih dan
meminta keadilan kepada Nabi Daud as. Salah satunya berkata, saudara saya ini memiliki
99 ekor kambing betina dan saya mempunyai seekor saja. Tapi ketamakannya
menjadikan ia terkalahkan oleh hawa nafsunya. Tapi saya menolak permintan nya. Saya
jelaskan kepadanya perbedaan antara kekayaan ia dan kemiskinan yang menimpa saya.
Namun, rekayasanya lebih besar sehingga ia mengalahkan saya dengan kehebatan
debatnya sehingga ia mengalahkan saya dengan kehebatan debatnya menjadikan saya
harus menerima alasannya.
Nabi Daud as. Melihat bahwa alasan yang dimiliki orang kedua akan berdampak
pada kezaliman, maka dari itu Nabi Daud as segera menetapkan keputusan dengan
mengatakan “ sesungguhnya ia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta
kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan
orang – orang yang berserikat itu sebagiahn mereka berbuat zalim kepada yang lainnya,
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan amat sedikitlah mereka
ini”.
Di pihak lain, Nabi Sulaiman as. Menyelesaikan perkara tanaman. Awalnya
perkara ini disampaikan kepada Nabi Daud as. Tentang dua orang yang bersengketa.
Orang pertama berkata: “Wahai Nabi yang sesungguhnya saya memiliki tanaman yang
sedang berbuah dan telah dekat masa petiknya. Namun kambing – kambing orang ini
memakan dan merusak tanaman saya tanpa dicegahnya. Maka saya minta keadilan”.
Orang kedua berkata: “Ya benar saya tak memiliki sanggahan”. Nabi Daud as.
Memutuskan agar pemilik tanaman mengambil kambing sebagai ganti kerugian yang
dideritanya, dan balasan kecerobohan pemilik kambing. Namun Sulaiman berkata dan
memberi sanggahan atas ayahnya dan ia memutuskan engkau serdahkan kambing kepada
pemilik ladang, sehingga ia dan keluarganya dapat memanfaatkan susu kambing bulu,
dan anaknya selama beberapa tahun. Sedangkan pemilik kambing mengurus ladang dan
mengembalikan tanamannya jadi baru. Hingga ketika tanaman kembali seperti semula,
kambing itu pun dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan demikian, tidak ada yang
dirugikan dan tidak ada yang diuntungkan.
Kisahnya diterangkan dalam Al – Quran surat Al – Anbiya ayat 78 -79: “ Dan
(ingatlah kisah ) Daud dan sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itudirusak oleh kambing – kambing kepunyaan
kaumnya. Dan kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka kami
telah memberikan pengertian kepada sulaiman tentang hukum, dan kepada masing –
masing mereka telah kami berikan hikmah dan ilmu dan telah kami tundukkan gunung
gunung dan burung – burung, semua bertasbih Bersama Daud. Dan Kamilah yang
melakukannya”.

Peradilan Bangsa Romawi,Persi,dan Mesir

Pada masa kerajaan-kerajaan Islam di seluruh Nusantara dan seterusnya,


pengadilan agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu
pejabat administrasi kemasjidan setempat, adapun mengenai sidang - sidang pengadilan
agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan
agama sering pula disebut Pengadilan Serambi, dan kebanyakan menempatkan jabatan
keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan
pemerintahan umum yang dimana seperti penghulu kraton yang mengurus keagamaan
Islam dalam semua aspek kehidupan. Berbicara pengenai pemerintahaan umum seperti
masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan
membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun
kelembagaan ini tidak dapat berjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.

Telah di jelaskan bahwasanya peradilan ada sejak adanya manusia, begitupun


pada bangsa-bangsa yang telah berkembang pada masanya, seperti di peradilan masa lalu
berupa bangsa romawi, persi, dan juga mesir kuno, yang dimana bangsa-bangsa ini telah
memiliki lembaga pengadilan dengan undang-undang dan berbagai peraturan yang
dilakukan oleh para qadhi, berbicara mengenai qadhi tersendiri yaitu seseorang yang
memiliki kemampuan dan memiliki akhlak yang baik. Sebelum adanya islam dalam
pengadilan, bangsa arab maupun bangsa Israel mengadili dengan cara melihat dari barang
bukti di pengadilan berupa alat-alat adalah saksi, sumpah, ataupun keadaan sedang
tertangkap basah. Adapun bangsa barat mempunyai cara pengambil keputusan dan alat-
alat pembuktian, maka dari itu bisa di lihat bahwasanya pengadilan sebelum adanya islam
sudah ada meskipun dilakukan dengan cara yang sederhana. Perspektif hukum yang
berlaku saat itu adalah orang dianggap bersalah terlebih dahulu hingga terbukti
sebaliknya, dengan alasan tidak mungkin orang menerima tuduhan atau dakwaan jika
mereka tidak terlebih dahulu melakukan suatu kesalahan
Pada masa itu tumpuan dalam dunia peradilan adalah qadhi yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa qadhi harus memiliki kemampuan dan akhlak yang baik, apabila tidak
memiliki kempuan tersebut, maka tidak bisa di angkat menajdi qadhi, tidak hanya itu,
qadhi juga harus memiliki kecerdasan, kekritisan, kecerdikan, keluasan ilmunya,
ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya, dan juga keluhuran budinya, maka sudah sangat
jelas bahwasanya peran qadhi pada masa itu penting untuk memutuskan suatu perkara.
Sebenernya pada masa mesir kuno sebagian besar hakim sebenarnya adalah para pendeta
yang lebih memilih untuk berunding dengan dewa mereka dalam mencapai putusan
hukum alih-alih menimbang bukti perkara dan mendengarkan pernyataan para saksi, lalu
pada masa kerajaan tengah para hakim profesional diangkat untuk memimpin jalannya
persidangan dan sistem peradilan akhirnya berjalan sesuai paradigma umum yang lebih
rasional.

Macam-Macam Peradilan Dan Sumber Hukumnya

Pada saat mesir mencapai kekuasaanya dalam pengadilan dan juga kekuaasaanya,
terdapat pada tahun 1876, terdapat pada masa Raja Taufiq, di Mesir ada 5 peradilan yang
hukum-hukumnya dari berbagai sumber yang berbeda-beda seperti

1. Peradilan Syar’I, yang merupakan peradilan tertua dan sumber hukumnya adalah
fiqih islami
2. Peradilan Campuran, yang dimana didirikan pada tahun 1875 lalu sumber
hukumnya adalah undang-undang yang asing.
3. Peradilan Ahli atau Adat, yang didirikan pada tahun 1883 lalu sumber hukumnya
adalah Undang-Undang Perancis.
4. Peradilan Milliy atau peradilan agama-agama di luar Islam, sumber hukumnya
adalah Agama-agama golongan-golongan di luar Islam.
5. Peradilan Qunshuliy atau peradilan negara-negara asing, di mana pengadilan-
pengadilan dari peradilan Qunshuliy ini mengadili berdasarkan undang-undang
negara masing-masing.
Namun dengan munculnya perkembangan baru maka negara memutuskan untuk
memutuskan keadaan peradilan yang cukup rumit ini, maka kembalilah proses pengadilan
seperti sebelumnya, yang dimana dihapuskannya peradilan Qunshuliy dan Peradilan
Campuran, kemudian melangkah ke arah penyatuan hukum atau unifikasi peradilan
sehingga dihapus pula Peradilan Milliyah dan Mahkamah-Mahkamah Syar’iyah, dengan
keluarnya Undang-Undang No. 462 Tahun 1955 yang berlaku sejak Januari tahun 1956
dan kasus-kasus yang dihadapinya dibawa kepada Peradilan Adiy atau adat yang dahulu
bernama Peradilan Ahliy, dan disusunlah Hukum Keluarga untuk kaum Muslimin dan
undang-undang yang wajib diterapkan adalah undang-undang yang diambil dari fiqih
Islami, dan undang-undang itulah yang pertama kali-diterapkan dalam Mahkamah
Syar’iyah dengan diadakan pembetulan sebahagiannya, yaitu yang berkaitan dengan
Hukum Acara, sebagaimana dibentuk bagian-bagian, maka demikian juga yang
menyangkut Hukum Keluarga bagi ghairu Muslim

Peradilan bagi Bangsa Arab pada Masa Jahiliah

1. Kondisi Arab Sebelum Islam

Secara geografis, negara Arab digambarkan seperti empat persegi panjang dan
berakhir di Asia Selatan. Negara Arab dikelilingi oleh berbagai negara: sebelah Utara
oleh Syria, sebelah Timur oleh Nejd, sebelah Barat oleh Yaman, dan sebelah Selatan oleh
Laut Erit.² Karena letak geografisnya sangat strategis, maka kehidupan perekonomian
mereka berjalan dengan lancar. Mereka dikenal sebagai pedagang yang berpengalaman di
wilayah sekitarnya, terutama bagi orang yang hidup di kota. Di bidang pertanian, bangsa
Arab dikenal dalam pertanian an peternakan, terutama bagi orang-orang desa. Selain itu,
kehidupan mereka sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Karena
sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh gurun pasir yang sangat luas, maka sangat
memengaruhi cara hidup mereka, sehingga terkenal sebagai orang yang zalim dan keras.
Walaupun demikian, dapat digambarkan secara singkat tatanan kehidupan bangsa Arab
pra lslam sebagai berikut;

a. Menganut paham kesukuan (gabilah).

b. Faktor keturunan lebih penting daripada kemampuan.

c. Mengenal hierarki sosial yang kuat.

d. Kedudukan perempuan cenderung direndahkan.

Kondisi sosial bangsa Arab pada masa itu tidak menyenangkan dan menganut
hukum rimba. Kenyamanan hidup tidak ada, sehingga sering pula dikatakan masa itu
adalah masa kegelapan, di mana kezaliman, perpecahan suku, penindasan, hidup
berpoya-poya dalam gemerlap dunia bagi orang kaya dan hidup menderita bagi orang
miskin, kebodohan dan buta huruf di mana-mana serta segudang permasalahan lainnya.

Dalam bidang hukum bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai hukum
dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan saja ada beberapa macam bentuk seperti:
istibdha,poliandri, maqthu', badal, dan shighar. Meskipun demikian masih ada sebagian
kecil bangsa Arab yang mempertahankan akidahnya dengan mengikuti ajaran Ibrahim.
Mereka disebut al-hunafa. Di antara mereka adalah Umar bin Nufail dan Zuhair bin Abi
Salma. Dalam bidang muamalah kebiasaan mereka adalah dibolehkannya transaksi
mubadalah (barter), jual beli, kerja sama pertanian(muzaro'ah), dan riba.

2. Peradilan Masa Jahiliah

Kata jahiliah berasal dari bahasa Arab Janila yang berarti kebodohan. Menurut
istilah berarti penyembahan berhala (vatsaniyah) di Semenanjung Arabia pra Islam.
Istilah jahiliah menggambarkan masa kebodohan atau masa kegelapan. Ketika itu bangsa
Arab tidak memiliki aturan hukum, Nabi dan kitab suci. Harga diri wanita disia-siakan,
bahkan wanita dianggap seperti layaknya binatang. Hak waris dan hak kepemilikan bagi
wanita ditiadakan. Bahkan bersama-sama dengan harta wanita ikut dibagikan pada ahli
waris seolah-olah wanita adalah benda yang sangat hina.

Masa jahiliah memiliki kurun waktu panjang yang dibagi menjadi dua periode, yaitu:

a. Periode pra Islam, periode ini disebut zaman jahiliah dan abad kebodohan. Ciri-ciri
ini masih tercermin dalam lagu atau syair pra Islam. Pada saat itu tidak terdapat
literatur dalam bentuk prosa kecuali syair tertentu yang menggambarkan sejarah,
nasab, dan ucapan selamat atas kepahlawanan dan sanjungan atas kebaikan suku
bangsaArab.

b. Periode islam, merupakan masa penting dalam sejarah bangsa Arab di bawah

kekuasaan Islam.

Bagi masyarakat Arab pada zaman jahiliah pra Islam dapat dikatakan belum
memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Mereka juga tidak mempunyai
sulthah tasyri'iyah (badan legislatif) yang menyusun dan membuat undang-undang atau
hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan
berbagai persoalan dan persengketaan yang sering terjadi di antara mereka.

Pada saat di jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis
(bangsa) maupun kesatuan politik (negara) secara nyata. Namun, mereka telah memiliki,
qadhi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Mereka pada umumnya berpegang
pada tradisi (kebiasaan) dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing kabilah (suku)
untuk menjadi pedoman utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kepala-kepala
kabilah memutuskan hukum antara anggota kabilah. Adat-adat kebiasaan itu diambil dari
pengalaman atau dari kepercayaan atau dari bangsa-bangsa yang berdiam di sekitar
mereka, seperti bangsa Romawi, Persia, atau dari orang-orang yang berdiam bersama-
sama di daerah tersebut, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa'ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku
Arab pra Islam dan menjadi jalan ke luar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait
dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru sering kali menyebabkan
semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini
diperkuat dengan adanya realita bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki
kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota
anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka.

Dalam peradilan jahiliah, istilah yang mereka pakai dalam menyebut qadha adalah
hukumah, sedangkan qadhi mereka sebut hakam. Setiap kabilah memiliki hakam sendiri
dan hukuman (badan peradilan) bagi mereka tidak ada yang berdiri sendiri kecuali bagi
suku Quraisy. Dalam menyelenggarakan peradilan tempat-tempat yang dipakai untuk
memutuskan perkara, sidang-sidangnya dapat dilakukan di mana saja. Seperti di bawah
pepohonan atau kemah-kemah yang didirikan. Peradilan juga pernah dilakukan di pasar
kota tempat pengadilan bagi hakim pasar. Amir bin Zharib duduk untuk memutuskan
hukum di depan rumahnya." Sampai akhirnya mereka membangun rumah-rumah atau
bangunan-bangunan yang khusus untuk pengadilan. Di antara bangunan-bangunan
pengadilan yang termasyhur ialah Darun Nadwah yang berada di Makkah, dan bangunan
itulah yang pertama kali didirikan di sana. Bangunan ini dibangun oleh Qushay bin Ka'ab
dan pintunya dihadapkan mengarah ke Ka'bah. Pada permulaan Islam bangunan itu
menjadi tempat tinggal para khalifah dan amir-amir di waktu musim haji. Pada
pertengahan abad ke-3 Hijriah setelah bangunan itu roboh dan goyang, maka Khalifah
Mu'tadlid al-Abbasy (281 H) memerintahkan agar bangunan tersebut dihancurkan dan
memasukkannya ke dalam batas al-Masjid al-Haram.⁷

Macam Macam Peradilan di Masa Jahiliah

Ada beberapa bentuk penyelenggaraan peradilan pada zaman jahiliah, antara lain:

1. Badan Hukum (Lembaga Kehakiman)

Badan hukum ini dipegang oleh Banu Saham, yaitu satu golongan di
antara golongan-golongan Quraisy. Bila ada persengketaan pada orang-orang
Quraisy mereka datang ke Makkah mengadukan perkaranya kepada Banu Saham.
Di antara orang-orang yang memegang peradilan di masa jahiliah ialah Hasyim
bin "Abdu Al-Manaf, Abu Lahab, dan Aktsam bin Shaifi.

2. Badan lhtikan dan Qur'ah (Paranormal dan Undian).

Dalam suatu kondisi kaum jahiliah terbiasa menyelesaikan kasus ataupun


masalah mereka dengan mendatangi paranormal (ihtikan), para dukun (kahin),
dan tukang ramal ('arraf) yang diyakini masyarakat Arab waktu itu memiliki
kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik melalui ketajaman firasat
atau melalui hubungan dan kongsi dengan para Jin. Paranormal dianggap
mempunyai hubungan dengan makhluk halus dan mengetahui sesuatu rahasia
dengan perantaraan firasat atau karinah karena dari suara dan gerak-gerik orang
yang berbicara. Selain itu mereka juga memutuskan perkara dengan qur'ah atau
undian. Di antara dukun yang terkenal saat itu adalah Rabi' bin Rabi'ah bin al-
Dzi'ib atau yang lebih dikenal sebagai Satih al-Kahin. la pernah menjadi arbitrator
antara "Abd al-Muthallib bin Hashim yang memiliki kedudukan sangat
terpandang saat itu, dengan sekolompok orang dari suku Qays 'Aylan mengenai
persengketaan mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah Thaif.⁹

3. Dewan Mazhalim

Dewan mazhalim adalah para arbitrator yang dikenal bijak dalam


menyelesaikan persengketaan. Dewan ini ditiru bangsa Arab dari bangsa Persia.
Di antara tokoh sejarah Arab pra lslam yang dikenal sebagai arbitrator dalam
dewan mazhalim adalah: "Abdul Muthalib,Zuhayr bin Abu Salma, Aktsam bin
Sayfi, Hajib bin Zirarah,Qus bin Sa'idah al-lyadi, 'Amir bin al-Dharib al-Udwain
serta Umayah bin Abu Salt. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama Amrah
binti Zurayb. Bahkan Nabi Muhammad Saw. sendiri sebelum masa kerasulannya
pada zaman jahiliah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraisy
ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak dalam meletakkan
Hajar Aswad pada saat penyelesaian akhir pembangunan Ka'bah.

Keberadaan dan keputusan para arbitrator masyarakat Arab pra lslam ini bersifat
subjektif. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak
mempunyai peraturan untuk mengeksekusi keputusan- keputusan mereka. Orang yang
bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitrator ketika menemukan
perselisihan, dan tidak pula harus tunduk menerima keputusan mereka.

Suatu hari timbul sebuah persengketaan antara 'Ash bin Wail dengan seorang
lelaki dari penduduk Zahid, suatu daerah di tanah Yaman. Pada suatu hari 'Ash membeli
suatu benda dengan cara kredit, kemudian ia menunda-nunda pembayarannya. Orang
Zahid jadi tidak sabar, maka dia- pun meneriakkan dengan suara nyaring bahwa 'Ash
telah menganiayanya. Hal itu dilakukan di dekat Ka'bah di hadapan tokoh-tokoh Quraisy.
Namun para tokoh Quraisy tidak ada yang menolongnya, Karena alasan tersebut di atas,
arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang
tertata rapi dalam mengatasi persengketaan yang terjadi. Akhirnya kaum Quraisy
memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme penyelesaian masalah yang disebut
dengan hilf al-fudhul. Kesepakatan ini dibuat di rumah 'Abdullah bin Jad'an. Mereka
bersumpah untuk menolong orang-orang teraniaya. Kesepakatan ini dibuat dengan tujuan
untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapa pun baik orang
merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang asing serta melindungi
hak-hak yang terampas.³ Saat usia Muhammad Saw. 35 tahun dan sebelum kerasulannya,
Nabi Muhammad Saw. ikut hadir di rumah "Abdullah bin Jad'an ketika kesepakatan hilf
al-fudhul tersebut dibentuk.

Arbitrasi yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum
yang tertata rapi dalam mengatasi persengketaan yang terjadi. Akhirnya kaum Quraisy
memiliki ide untuk membentuk se- buah mekanisme penyelesaian masalah yang disebut
dengan hilf al-fudhul. Kesepakatan ini dibuat di rumah 'Abdullah bin Jad'an. Mereka
bersumpah untuk menolong orang-orang teraniaya. Kesepakatan ini dibuat dengan tujuan
untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya kepada siapa pun baik orang
merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun orang asing serta melindungi
hak-hak yang terampas. Saat usia Muhammad Saw 35 tahun dan sebelum kerasulannya,
Nabi Muhammad Saw. ikut hadir di rumah "Abdullah bin Jad'an ketika kesepakatan hilf
al-fudhul tersebut dibentuk.

Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudhul ini sebenarnya telah ada upaya
lain yang dilakukan oleh masyarakat Arab jahiliah di Makkah, khususnya untuk men-
ciptakan sebuah mekanisme penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-
hak warga yang teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraisy
pernah memilih beberapa tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan
menunjuk beberapa tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku
Quraisy atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani 'Adiy dalam perselisihan yang
melibatkan Quraisy dengan suku-suku di luar mereka.

Masa Peradilan Sebelum Islam di Indonesia

Peradilan sebelum islam di Indonesia terdapat berbagai kerajaan yang


menerapkan sistem hukum dan peradilan sesuai dengan adat istiadat dan kepercayaan
tradisional mereka. Beberapa kerajaan yang terkenal pada periode ini adalah:

1. Kerajaan Kutai Martadipura : Kerajaan ini berlokasi di Kalimantan Timur dan


diperkirakan berdiri sekitar abad ke-4 Masehi. Mereka memiliki pranata hukum
peradilan yang didasarkan pada ajaran Hindu-Buddha.

2. Kerajaan Tarumanagara : Kerajaan ini terletak di wilayah yang sekarang menjadi


Jakarta dan sekitarnya pada abad ke-5 Masehi. Mereka menerapkan sistem
peradilan yang juga dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Buddha.

3. Kerajaan Sriwijaya: Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatra Selatan adalah


salah satu kerajaan terbesar pada masa pra-Islam di Indonesia. Mereka menerapkan
sistem hukum Hindu-Buddha dan memiliki pengadilan yang mengurus sengketa
serta masalah hukum lainnya.
4. Kerajaan Majapahit: Majapahit, yang berada di Jawa Timur, adalah salah satu
kerajaan terbesar dan paling berpengaruh pada masa pra-Islam. Mereka memiliki
sistem hukum yang tercatat dalam naskah-naskah seperti "Nagarakretagama."
Peradilan di Majapahit didasarkan pada ajaran Hindu-Buddha.

5. Kerajaan Bali: Bali masih mempertahankan tradisi Hindu-Bali yang kaya dalam
sistem hukum dan peradilan mereka. Hukum adat Bali (awig-awig) masih berperan
penting dalam penyelesaian sengketa di Bali.

6. Kerajaan Aceh: Meskipun Aceh kemudian menjadi salah satu pusat Islam di
Indonesia, pada masa pra-Islam, sistem hukum adat dan kepercayaan animisme dan
Hindu-Buddha mendominasi Aceh.

Kesimpulan (Conclusion)

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab pra-Islam mengenal sistem


peradilan yang didasarkan pada kebiasaan, tradisi (adat) yang dikenal dengan
sebutan "Jahiliyah". Namun, sistem peradilan jahiliyah tidak memiliki landasan
hukum yang kuat dan seringkali terjadi penyelewengan dalam penerapannya. Dari
data diatas jelas bahwa sejarah peradilan sebelum islam sebagai hukum yang berdiri
sendiri sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berdampingan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Jaman Kerajaan praislam di
Indonesia ada Kerajaan Kutai Martadipura, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan
Sriwijaya,Kerajaan Majapahit, Kerajaan Bali, Kerajaan Aceh. Perkara peradilan
praislam mengenai perkara-perkara yang dapat membahayakan mahkota, keamanan
dan ketertiban negara, seperti membuat kerusuhan, pencurian, pembunuhan,
perampokan dan lain sebagainya.

Referensi (References)

Sumberr bacaan atau referensi menggunakan Metode APA. Anda dapat mengutipnya
melalui Google Scholar. Anda juga diwajibkan mengutip sekurang-kurangnya 10 artikel
yang relevan dan sudah dipublikasikan pada Jurnal Internasional bereputasi.

Anda mungkin juga menyukai