Anda di halaman 1dari 6

Penegakan Hukum yang Berkeadilan

M. Khusnul Khuluq
Hakim Pengadilan Agama Sungai Penuh

K alau kita membaca putusan Hakim, akan ditemukan irah-


irah putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Namun seringkali ditemukan fakta,
bahwa kebanyakan putus mendasarkan pada Undang-Undang
atau aturan-aturan. Meski dalam pertimbangan disebutkan
mempertimbangkan keadilan, kadang juga tidak begitu jelas
keadilan macam apa yang dimaksud.
Apakah ini salah? Secara teori itu tidak salah. Karena dalam
konteks civil law, apalagi kita cenderung bermazhab positif, yang
kemudian kuatkan lagi dengan ajaran-ajaran dari Hans Kelsen
tentang teori of law yang memisahkan antara hukum dan moral,
maka nilai hukum dan moral akan terpisah. Sehingga hukum bisa
saja tidak berbasis pada berbasis pada nilai moral.
Kita harus pahami bahwa Hakim adalah seorang pengadil.
Orang-orang yang datang ke pengadilan bukan untuk
mencocokkan fakta dengan teks atau kebenaran dari aturan saja.
Tetapi untuk mencari keadilan. Kiranya, ini yang sering kali luput
karena kurang berani melakukan terobosan dalam pencarian
keadilan.
Misalnya ada tuntutan. Dakwaannya adalah sebagai
pengguna narkoba. Tapi di persidangan ternyata terbukti bahwa
dia adalah bandar narkoba. Maka Hakim akan memutus sesuai
dengan dakwaan. Kenapa? Karena hukum formil di Indonesia
mengaturnya seperti itu. Di mana Hakim tidak boleh memutus
di luar tuntutan.
Ini juga sering terjadi dalam konteks perdata. Karena aturan
bahwa Hakim tidak boleh mengadili di laur apa yang dituntut,
maka cukup masuk akal jika putusan hanya berkutat pada apa
yang dituntut.
Asas tersebut harus dimaknai secara positif. Yaitu memberi
ruang alternatif bagi Hakim untuk memberikan keadilan
alternatif dari yang diminta. Namun memang, asas tersebut juga
berfungsi memberikan batasan pada Hakim agar fokus dengan
suatu isu (baca: tuntutan). Namun, poin penting bahwa, asas
tersebut kurang tepat jika dimaknai membatasi ruang gerak dalam
menggali keadilan.
Tentang keadilan ini, kalau kita merujuk beberapa ayat dalam
Alquran. Kita diperintahkan untuk bukan hanya berlaku adil, tapi
kita dituntut untuk memberikan keadilan. Di dalam Surat An-
Nisa ayat 58 menyebutkan yang artinya, "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisa:
58)
Begitu juga Surat Al-Ma’idah Ayat 42 yang artinya, “Mereka
itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu
(untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara
mereka, atau berpalinglah dari mereka. Jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan
jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang adil.” (Q.S. Al-Ma’idah: 42)
Juga dalam surat An-Nahl Ayat 90 yang artinya,
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl:
90)
Di sini, Allah meminta para Hakim sebagai seorang pengadil
untuk memberikan putusan-putusan perkara di antara manusia,
meskipun itu Non-Muslim, Nasrani, Yahudi atau siapapun itu,
harus tetap berdasarkan keadilan dan objektivitas.
Tentunya, keadilan itu harus berdasarkan pada fakta-fakta
persidangan, baik saksi maupun bukti-bukti lain yang ada secara
komprehensif. Nah ini yang kadang-kadang kurang digali.
Namun, kita perlu melihat bahwa Hakim di Indonesia ini beban
kerjanya luar biasa.
Ada satu Pengadilan yang jumlah perkaranya bisa sampai
12.000 satu tahun. Dengan jumlah Hakim yang terbatas, upaya-
upaya untuk menggali lebih dalam ketika memeriksa perkara
barang kali menjadi kurang. Sehingga lebih banyak pada apa yang
disajikan di depan persidangan saja.
Dalam konteks perdata umum misalnya, membuka
kemungkinan munculnya mafia tanah. Kebanyakan Hakim tidak
mencoba untuk memerintahkan atau mengecek kebenaran dari
dokumen-dokumen tanah. Padahal, dokumen-dokumen yang
dihasilkan ini kadang-kadang sudah direkayasa.
Misalnya, ada sengketa antara A dan B, sementara pemilik
tanahnya yang asli adalah C. Jika hanya melihat pada dokumen,
bisa saja Hakim memutuskan A atau B sebagai pemilik tanah.
Lalu berdasarkan hal tersebut, tanah tersebut kemudian
disertifikatkan. Dari sini mungkin muncul beberapa masalah
sertifikat ganda dan seterusnya.
Sebenarnya ini bisa dikurangi jika kita bisa menggali lebih
dalam kasus tersebut. Tapi persoalannya adalah keterbatasan
waktu dan tenaga. Sehingga Hakim kurang melakukan
pemeriksaan yang lebih mendalam. Padahal fungsi Hakim dalam
menegakkan kebenaran sesungguhnya tidak terbatas pada apa
yang telah dituntut atau disengketakan. Namun harus diselidiki
pula latar belakang perbuatan seseorang. Ini bisa menjadi bahan
renungan kita ke depan, bagaimana mencari solusinya.
Hakim yang adil, paling tidak mempunyai tiga kriteria. Yang
pertama, memutus perkara menggunakan hukum dan moral.
Kedua, tidak terlibat secara personal dalam suatu perkara. Dan
yang ketiga, harus menjauhi suap maupun hadiah.
Menggunakan hukum dan moral artinya harus seimbang
dalam mempertimbangkan aturan hukum dan nilai-nilai moral
dalam setiap putusan. Tidak terlibat secara personal artinya tidak
melibatkan hawa nafsu, tidak mengakomodir kepentingan pihak
tertentu dan mengadili secara seimbang. Adapun yang ketiga,
yaitu menjauhi suap maupun hadiah, ini seharusnya paling
gampang. Karena suap, hadiah dan sejenisnya jelas-jelas tidak
hanya melanggar etika, tetapi juga melanggar hukum.
Kalau kita ambil contoh sebuah hikayat. Ketika Nabi Daud
dan Sulaiman menjadi Hakim. Nabi Daud mengadili seorang
perempuan yang hamil. Perempuan menceritakan bahwa dia
diperkosa oleh tiga orang. Orang-orang ini kemudian dipanggil.
Ketiga orang ini mengatakan bahwa sebenarnya yang
memperkosa perempuan itu bukan kami, mungkin seekor anjing
yang melakukannya. Karena mereka tidak ada yang mengaku dan
tidak ada bukti, maka ketiga tersangka itu bebaskan.
Melihat itu, Sulaiman meminta izin pada Daud untuk
mengadili masalah itu. Sulaiman yang waktu itu masih muda,
mencoba menyelesaikan sengketa tersebut. Nabi Daud lalu
menyerahkan. Kemudian tiga orang itu dipanggil lagi untuk
diminta kesaksiannya satu demi satu secara terpisah.
Pada laki-laki pertama diajukan pertanyaan, anjing yang
memperkosa perempuan itu warnanya apa? Laki-laki pertama
menjawab, warnanya merah. Laki-laki kedua dipanggil dan
diajukan pertanyaan yang sama. Namun dia menjawab, warnanya
apa putih. Laki-laki yang ketiga dipanggil, dan menjawab
warnanya hitam.
Artinya, ada ketidaksamaan kesaksian. Di situ tampak bahwa
mereka berbohong. Dari situlah kemudian dapat diputuskan hal
yang berbeda. Yaitu keputusan yang adil bagi perempuan tadi.
Ini yang saya maksud dengan upaya menggali dan membuat
terobosan-terobosan. Dengan menggali fakta lebih dalam dan
tidak hanya apa yang disajikan di persidangan. Sehingga dapat
memberikan putusan-putusan yang adil untuk pencari keadilan.
Kemudian masih kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
tentang dua orang perempuan yang bersaudara. Kebetulan,
keduanya melahirkan anak. Tapi salah satu anak mereka
meninggal. Kemudian mereka berebut satu bayi yang hidup.
Kemudian diajukan ke Pengadilan.
Dalam hal ini, Nabi Sulaiman berpura-pura akan membelah
anak bayi tersebut dan akan dibagikan pada mereka berdua.
Melihat hal itu, ibu yang asli menangis. Lalu mengatakan pada
Nabi Sulaiman, wahai Sulaiman, serahkan anakku ini pada adikku
saja. Agar dia tetap hidup.
Dengan upaya itu, dapat diketahui bahwa dialah ibu yang
sesungguhnya. Nah ini adalah proses menggali fakta secara
mendalam. Dan proses menggali inilah yang memang harus
didalami supaya kita mendapatkan satu putusan yang benar-
benar adil bagi para pihak. Dan keadilan itu perlu didasarkan pada
moral religius. Sehingga, akan sesuai dengan adagium “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” []

Tentang Penulis
Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Sungai Penuh.
Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Muhammadiyah Malang.
Telah menulis belasan buku dan puluhan artikel di berbagai media.

Anda mungkin juga menyukai