Anda di halaman 1dari 17

KETENTUAN-KETENTUAN PUTUSAN MENURUT

HUKUM ISLAM

A. Pengertian Putusan Menurut Hukum Islam


Al-hukmu menurut arti bahasa sebagaimana di dalam qomus AlMuhith:
al-qadla‟ dan dijama‟kan kepada al-ahkam : Hukum; Putusan; dan
hakim adalah orang yang menjalankan hukum, dan “Putusan yang
dikeluarkan oleh hakim yang merupakan penetapan hak bagi mahkum lah
(pihak yang dimenangkan) dari mahkum alaih (pihak yang dikalahkan)”.
Bahwa putusan hakim itu di samping dalam bentuk ucapan seperti: aku
putuskan demikian atau demikian, ada juga yang dalam bentuk perbuatan
(fi‟il) seperti: perbuatan hakim yang mengawinkan seorang anak
perempuan yang tidak mempunyai wali, di daerah wewenangnya, karena
bagi orang yang tidak mempunyai wali, maka walinya adalah hakim.
Kemudian ikut sertanya hakim dalam menangani akad pernikahan adalah
merupakan putusan dan penetapan, sedang putusan dalam bentuk ucapan
inilah yang akan kami bahas di sini lebih lanjut.
Adapun landasan yang harus dipergunakan sebagai dasar putusanputusan
hakim, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab fikqih
islami, yaitu nash-nash yang pasti ketetapan adanya dan pasti petunjuk
hukumnya (qath‟I tsubut wad dalalah) dari Al-qur‟an dan Sunnah, dan
hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama‟ (mujmal alaih), atau
hukum-hukum yang telah dikenal di dalam agama secara dlaruri (pasti).

1. Apabila perkara yang diajukan ke hadapan hakim itu terdapat


hukumnya di dalam nash yang qath‟I tsubut dan qath‟I dalalahnya, atau
terdapat ketentuan hukumnya oleh kalangan kaum muslimin, kemudian
diputus oleh hakim dengan putusan yang menyalahi yang tersebut itu,
maka putusan tersebut batal dan berhak dibatalkan. Kemudian apabila
perkara yang diajukan itu belum ada ketentuan hukumnya sebagaimana
disebutkan di atas, tapi adanya itu dalam nash yang ketetapan adanya
petunjuk itu dalam persangkaan (dhanni tsubut wa dalalah), atau
ketetapan adanya saja yang dalam persangkaan (dhanni tsubut), atau
petunjuk hukumnya saja yang dalam persangkaan (dhanni dalalah), atau
belum ada ketentuan hukumnya sama sekali.
2. Dalam hal seperti ini, kita harus memperhatikan pribadi hakim yang
menjatuhkan putusan itu, karena putusan itu akan berbeda menurut
perbedaan apakah hakim yang menjatuhkan putusan itu hakim
mujtahid, muqallid, atau hakim yang diharuskan memutus perkara
berasarkan undang-undang atau mazhab tertentu, atau dibatasi dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, bahwa
Putusan seseorang hakim tidak mengubah hakikat pekerjaan. Hanya
berlaku hukumnya dalam lahir saja. Maka apabila seseorang
mendakwakan orang lain sesuatu hakamnya dari mendirikan 2 saksi,
lalu hakim memutuskan perkara berdasarkan persaksian itu, halallah
hak tersebut bagi pendakwa lahir dan batin, jika saksi-saksinya bersifat
benar dalam persaksiannya itu. Kalau bersifat curang, maka hak
tersebut menjadi hakamnya menurut lahirnya sedang dalam batin tetap
hak orang yang dikalahkan (pendapat ini disetujui oleh Imam Malik dan
Imam Ahmad).
B. Sistem Peradilan dalam Islam
Terdapat perbedaan pendapat apakah sistem peradilan Islam
merupakan lembaga Islam murni atau bukan. Sebagian orang berpendapat,
bahwa dasar-dasar sistem peradilan dalam islam tidak dibuat oleh Nabi
Muhammad, empat Khulafaur-rasyidin ataupun keluarga Umayyah yang
berkuasa. Tapi, sistem peradilan Islam merupakan hasil perkembangan
yang panjang dan perlahan. Sedangkan kajian tentang dasar-dasarnya
harus mengarah tidak kepada bangsa arab atau Al-Quran sebagaimana
disebutkan fikih Islam konvensional, namun kepada masyarakat Arab
Islam yang lahir di daerah-daerah yang ditaklukan kaum muslimin dan
lembaga-lembaga peradilan asing yang mereka dapatkan ketika terjadi
penaklukan.
 Fakta Tentang Sistem Peradilan
Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yang
bertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki
otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As
Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan
atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).
Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak
diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja
keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin
pelaku kriminal itu sendiri!. Hukuman-hukuman dalam Islam hanya bisa
dilakukan apabila perbuatan tersebut terbukti 100% secara pasti dan
kondisi yang relevan dapat ditemukan (misal ada 4 saksi untuk
membuktikan perzinahan) jika masih ada keraguan tentang peristiwaperistiwa
tersebut maka seluruh kasus akan dibuang.
Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:
1. Qodli „Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan
ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi
didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-kecelakaan, dsb.
2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang
timbul diantara ummat dan beberapa orang, yang menggangu
masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan,mencuri di pasar, dsb.
3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat
dengan pejabat.

Manusia terbatas pengetahuannya dan bisa berbuat keliru. Mereka


cenderung salah dan penuh prasangka. Islam tidak menyerahkan
penentuan undang-undang keadilan kepada kehendak dan selera manusia
sebagaimana yang terjadi di Barat. Akan tetapi, yang berwenang membuat
hukum hanyalah Allah SWT, Pencipta manusia dan Yang Maha
Mengetahui tentang diri manusia. Siapakah yang lebih berhak melakukan
hal ini? Allah SWT berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah” (QS. 6 : 57).
Sesungguhnya menetapkan hukum adalah hak Allah. Maka anda
tinggal meyakini bahwa dalam pengadilan Islam, faktor-faktor seperti
hakim berteman dengan terdakwa atau, mengalami hari-hari yang tidak
menyenangkan, tidak ada hubungannya dengan kerasnya hukuman yang
akan dilaksanakan. Bila anda korban kejahatan dan anda miskin sedangkan
lawan anda kaya, tidak akan berpengaruh apapun terhadap keputusan
pengadilan. Bila anda diijinkan untuk menunjuk seorang wakil yang akan
berbicara atas nama anda, tidak perlu ada sejumlah uang yang
dipertaruhkan. Tujuan pengadilan semata-mata untuk menegakkan
keadilan, bukan menghasilkan uang. Karena itu tidak perduli siapa yang
mengusut kasus anda, atau betapapun pandainya dia bicara, semua
diserahkan kepada hakim untuk memastikan fakta-fakta dan
mengevaluasinya.
Dalam Islam, bukti kesalahan tertentu sudah cukup untuk
menjatuhkan vonis. Karena itu, tidak ada konsep juri, yang anggotaanggotanya
mungkin tidak sepakat terhadap suatu keputusan, dengan
semata-mata mendasarkan kepada kebijakan mereka pribadi. Bukti-bukti
tidak langsung yang tidak meyakinkan dan mengarah kepada penafsiran
yang berbeda-beda tidaklah cukup. Seluruh bukti harus diberikan kepada
seorang hakim yang ahli di bidang hukum dan dia menjatuhkan hukuman
sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sehingga hanya yang terbukti
melakukan tindak kriminal saja yang dihukum. Para pelaku kriminal
mungkin saja tidak mendapat putusan yang pasti tapi mereka tidak akan
bisa menghindar dari hukuman di Hari Pembalasan. Dengan merujuk pada
kedua kerangka sistem Peradilan diatas, marilah kita bandingkan cara
mengatasi tindak-tindak kriminal pada umumnya yang kita sangat
mengkhawatirkannya.
Tujuan dibalik pelaksanaan peradilan dalam Islam adalah bertindak
sebagai pencegah, untuk merubah sikap para pelanggar dan untuk
menyelamatkan masyarakat. Sebagaimana diketahui, sifat dari
hukumanhukuman
tersebut dalam sistem Peradilan Islam memastikan bahwa
tujuan-tujuan tersebut tercapai. Sejarah telah memberi kesaksian akan hal
ini dimana hanya sekitar 200 orang tercatat yang dipotong tangannya dari
keseluruhan sejarah Negara Islam.
Sementara, keadilan yang dijalankan oleh sistem Peradilan Islam
akan menentramkan jiwa anda, aman dan yakin bahwa hak-hak anda tidak
akan disalahgunakan. Setelah mempertimbangkan adanya ketakwaan
personal dan opini umum, tingkat peraturan terakhir adalah Sistem
Peradilan Islam menjamin bahwa dunia akan terbebas dari eksploitasi dan
korupsi hukum buatan manusia dan juga tindak kriminal yang
menyertainya.
Meskipun demikian, pendapat yang kuat dalam fikih Islam
tradisional dan kontemporer berpendapat, bahwa peradilan dalam islam
merupakan lembaga Arab murni yang tidak tercampur sedikit pun dengan
apa yang ada pada umat lain, dan syariat Islamlah yang meletakkan dasar
lembaga ini dan sistemya dengan bersumber dari Al-quran dan Sunnah.
Sehingga, jika kaum muslimin mengambil sebagian sistem atau
manajemen dari umat yang lain, menukil darinya atau mengikutinya,
seperti pembentukan departemen-departemen, pada dasarnya mereka
tidaklah mengambil, mengadopsi atau meniru, melainkan mereka
menerapakan sistem peradilan islam secara murni.
 Posisi hakim Setelah nabi, sebagian ulama meletakkan posisi hakim
setelah nabi. Sebab tidak layak menangani perkara ini (peradilan)
melainkan seorang nabi dengan seizin Allah. Jika tidak ada masa
kenabian, maka hakim adalah orang yang bertanggung jawab tentang
semua itu.
 Peradilan merupakan jabatan Termulia, sebagian ulama mengatakan,
“Segala puji hanya bagi Allah yang membagi rezeki manusia dan ajal
mereka, menempatkan bagi masing-masing mereka posisi dan derajat,
dan menjadikan jabatan agama tertinggi pada dua jabatan agama
tertinggi pada dua jabatan agama tertinggi pada dua jabatan peradilan
dan hisbah.”
 Peradilan lebih tinggi Daripada kementrian, jika sebagian imam
Madzhab syafi‟I menilai peradilan setara dengan khilafah, maka
sebagian yang lain berpendapat bahwa kedudukan peradilan berada di
atas kementrian. Sebab dalam Tarikh Qudhat Al-Andalus karya AnNabbahi
Al-Maliki ketika menyebutkan biografi Al-Qadhi Abu AlMutharrif
binfathin dikatakan, “Dialah pemangkas langkah
kezhaliman.” Hukum yang diputuskan sangat tegas, semangatnya
terbuka, benteng yang menakutkan bagi orang-orang yang zhalim, dan
selalu menyertakan para menteri dalam mengambil keputusan.”
 Peradilan Merupakan Tempat penghormatan Para Khalifah, pandangan
ini muncul karena dalam sejarah kita dapatkan para khalifah
menempatkan penghormatan besar terhadap jabatan peradilan dan para
ahlinya, serta mencukupkannya dengan banyak penghormatan dalam
masa hidupnya dan setelah meninggalnya. Sebab sebagian ulama
menyebutkan sikap khalifah terhadap hakim ketika menyampaikan
Khutbahnya, “Imam mengarahkan wajahnya ketika dalam khutbah
kearah hakim untuk mengajarkan semua manusia.”
 Syarat-syarat Hakim dalam Islam
 Sifat Hakim dalam Pandangan Imam Ali bin Abi Thalib, teks yang
paling dahulu dibukukan yang mencakup sifat-sifat yang harus dipenuhi
seorang hakim adalah sebagaimana yang ditulis Ali bin Abi Thalib pada
tahun 40 H/ 600 M. kepada Asytar Ab-Nakha‟i ketika diangkat sebagai
gubenur di Mesir, yang di dalamnya disebutkan karakteristik peradilan.
 Keinginan umar bin Abdul Aziz Agar Hakim Menguasai Ijtihad dan
Fikih, Sebagiaan ulama menisbatkan kepada khalifah Umar bin Abdul
Aziz bahwa beliau berkata, “Tidak layak sebagai hakim melainkan
orang yang memiliki lima sifat: tegar, bersih, iffah (menghindari yang
syubhat), santun, dan mengetahui peradilan dan tradisi sebelumnya
yang telah berlaku sebelumnya.”7
 Syarat-syarat kadi yang ditentukan oleh hokum islam secara lebih rinci,
sebagai berikut:
Pertama, beragama islam. Orang yang hendak diangkat sebagai kadi
hendaklah orang yang beragama islam, sebab semua kasus yang
diperiksa adalah melibatkan orang islam.

Kedua, harus lelaki. Menurut jumhur ulama‟ di kalangan mazhab


Syafi‟I, malik, dan hambali, laki-laki merupakan syarat untuk diangkat
sebagai kadi. Tidak sah wanita diangkat sebagai kadi, apabila ada pihak
yang mengangkat wanit sebagai kadi, maka putusan yang dijatuhkan itu
tidak sah.8
Ketiga, harus orang dewasa. Karena itu tidak sah pengangkatan anak
kecil sebagai hakim..
Keempat, Seorang yang berakal. Sebab Hakim harus benar
pemilahannya dan bagus kecerdasannya sehinga dapat menjelaskan
sesuatu yang rumit.9
Kelima, adil, yaitu benar sikapnya, jelas amanatnya, menjaga diri dari
hal-hal yang haram, dan aman dalam ridha dan ketika marah.
Keenam, mengetahui hukum-hukum syari‟ah, baik dasar-dasar syariah
maupun cabang-cabangnya. Adapun dasar syari‟ah ada empat, Yaitu:
 Mengetahui Al-Quran tentang hukum-hukum yang tercakup di
dalamnya, baik yang menghapuskan (nasikh) maupun yang dihapuskan
(mansukh), muhkamat, mutasyabihat, umum dan khusus, global dan
terperinci.
 Pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah yang shahih, baik dalam
bentuk perbuatan, ucapan, maupun cara datangnya (asbabul wurud).

 Mengetahui pendapat ulama salaf tentang apa saja yang mereka


sepakati (ijma‟) dan yang mereka perselisihkan untuk mengikuti ijma‟
dan berijtihad dengan pendapatnya dalam maslah yang diperelisihkan.
 Mengetahui qiyas yang biasa membantu dalam mengambilkan masalah
cabang yang didiamkan kepada dasar-dasar yang dijadikan rujukan dan
yang disepakati.10
Keenam,sempurna panca indera. Orang yang akan diangkat
sebagai kadi hendaklah orang yang sempurna pancaindranya, terutama
ia dapat mendengar dan tidak bisu. Hal ini bagi seorang kadi karena
akan memberikan arahan dan menanyakan segala ihwal kepada pihakpihak
yang berperkara. Jika ia tidak bisa mendengar dan bisu, maka ia
tidak akan dapat mencari fakta-fakta hokum dan mengetahui tentang
pembuktian, sehingga putusan yang dijatuhkan akan menyimpang dari
persoalan yang sebenarnya. Putusan yang disampaikan melalui isyarat
tentu tidak akan dipahami oleh orang lain..

C. Dasar-dasar dan Penetapan Hukum


1. Penetapan di depan peradilan dalam islam
Ketika proses peradilan dua orang atau lebih yang
berselisih, mendengarkan penggugat dan dalil-dalilnya, dan
mendengarkan penjelasan tergugat dan pembelaannya, maka hakim
harus mengetahui hakekat kejadian masalah dengan menggunakan
sarana-sarana penetapan yang disebut, yakni bukti-bukti. Karena bukti,
sebagaimana dikatakan Ibnu qayyim adalah segala hal yang
menjelaskan kebenaran.
Memastikan kebenaran suatu perkara dengan cara mengenali
bukti-bukti adalah suatu keharusan untuk menetapkan kebenaran,
menepis kezhaliman, dan membongkar dalih-dalih kebohongan.
Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah
memperingatkan keharusan persyaratan penetapan bukti-bukti untuk
menghindari kezhaliman dan melakukan kesalahan kepada manusia.
2. Beban Penetapan Bukti
Di antara kaedah universal dalam peradilan Islam adalah,
bahwa “ yang asal itu terbebas tanggungan”. “ bukti dibebankan atas
penuduh” untuk menetapkan apa yang dialihkan, adalah kebalikan
yang bertolak belakang dengan asal tersebut.
Kaidah yang pada saat sekarang dikenal dalam perundangundangan
kontemporer ini dinilai sebagai kaidah hukum yang
diterima dalam islam pada masa lalu dan masa sekarang, dasar
jaminan peradilan, dan kebebasan individu dalam sistem islam. Sebab
dengan kaidah ini, maka manusia secara aslinya dinilai bebas dari
dosa apa pun atau kewajiban. Dan karena itu manusia tidak bisa di
dituntut hukum apapun atau dipaksa melakukan sesuatu atau
pekerjaan apapun kecuali karena sebab yang bersandarkan kepada
dalil yang pasti yang sampai batas yakin. Nabi Shallallhu Alaihi wa
Sallam telah memaparkan kaidah ini dengan sabdanya,
“bukti itu wajib bagi orang yang mendalihkan dan sumpah atas
orang yang menginkari.”
Kaidah tersebut dibangun dan dikokohkan para khalifah dan
fuqaha‟ semunya, di antaranya kedua khalifah: Umar dan Ali , dimana
keduanya menyebutkan kaidah ini dan menerapkannya dalam
kehidupan aktual.
3. Cara-cara Penetapan
Terdapat beberapa cara penetapan di depan peradilan, di
mana sebagiannya disepakati semua madzhab dan sebagian yang lain
diperselisihkan. Ulama madzhab Hanafi menyebutkan cara-cara
penetapan hukum yang dikatakan oleh Al-hamawi sebagai berikut:
“krena memutuskan merupakan hal sulit maka akan kami tunjukkan
kepada yang ingin memutuskan hukum beberapa cara yang dapat
dijadikan pedoman baginya, yaitu sumpah, pengakuan, bukti,
pencabutan, perdamaian, dan tanda-tanda yang mendukungnya jika
sampai batas yakin.
Sedangkan cara-cara penetapan sebagaimana disebutkan Ibnu
qyyim Al-Jauziyah adalah hujjah apa pun yang menguatkan gugatan.
Hingga dalam kitabnya, At-Thuruq Al-Hukmiyah, Ibnu Qayyim
menyebutkan sebanyak 26 cara penetapan hukum yang dikuatkan
dengan dalil dari Al-Quran dan Hadits shahih, atau dari perbuatan
Rasulullah dalam perdamaian atau perang, dalam bepergian atau
ketika sedang mukim.
Tapi kebanyakan fuqaha‟ termasuk Ibnu Abidin, mereka
membatasinya dalam dua hal, yaitu: gugatan dan hujjah.
Gugatan dalam istilah fikih adalah pernyataan yang diterima
bagi hakim yang dimaksudkan untuk penuntutan hak terhadap orang
lain atau pembelaannya terhadap hak darinya. Sedangkan menurut
terminologinya pakar undang-undang, gugatan adalah
dimungkinkannya merujuk kepada peradilan. Sedangkan laporan
dalam pandangan mereka bukan sebagai bentuk gugatan.
Adapun hujjah maka mereka berpendapat terdapat 7 bentuk,
yaitu: ikrar, bukti, sumpah, pencabutan, perdamaian, ilmu hakim
tentang apa yang ingin ditetapkannya dalam hukum, dan tanda-tanda
jelas yang menjadikan dinilainya perkara secara pasti.

i. Ikrar
Ikrar artinya, pengakuan seseorang terhadap dirinya.
Sedangkan ikrar ini merupakan cara pembuktian hukum terkuat.
Sebab di antara kaidah peradilan adalah, bahwa “seseorang dihukumi
dengan ikrarnya.”12

ii. Bukti orang atau Persaksian Para Saksi


Hakikat persaksian: ketika tertuduh tidak mengakui apa
yang dituduhkan oleh penuduh, maka penuduh harus mendatangkan
bukti atas kebenaran tuduhannya. Demikian itu pada umumnya
dengan bukti orang, yang dalam terminologi jumhur ulama sama
dengan persaksian. Adapun persaksian adalah ungkapan tentang
pemberitahuan yang benar di majelis peradilan dengan lafadz yang
menunjukkan adanya persaksian itu hukumnya wajib berdasarkan
firman Allah.
"Dan janganlah para saksi menolak jika mereka di panggil.”

iii. Sumpah
Di anatara hak penggugat jika tidak mampu mengukuhkan
gugatannya dan tergugat menolak gugatannya maka meminta hakim
agar mengarahkan sumpah kepada tergugat dalam menafikan
gugatan.14
Sumpah sebagai penguat kesaksian diantara dua orang yang
berselisih. Dalam syariat akan dijelaskan bahwa sumpah itu
disyari‟atkan sebagai penguat (kesaksian) diantara dua orang yang
saling menguat. Dua orang yang saling menguat. Dua orang yang
bersengketa dan ingin memperkuat kesaksiannya, maka dia harus
bersumpah. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama madinah dan
para fuqaha mutaakhirin, seperti: imam Ahmad, Syafii,malik, dan
imam-imam yang lainnya.15

iv. Bukti-bukti yang mendukung


Perkataan Umar “pembuktian itu diwajibkan bagi
penggugat, dan sumpah diwajibkan bagi orang (pihak) yang menolak
(pengakuan).”yaitu bahwa yang dimaksud dengan pembuktian di
dalam Al-quran, sunnah dan perkataan para sahabat adalah sebutan
bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran.
Pembuktian menurut Al-quran, sunnah, dan perkataan para
sahabat ini lebih umum dibandingkan dengan pembuktian yang
dikemukakan oleh para fuqaha. Fuqaha mengkhususkan pembuktian
ini kepada dua saksi atau satu saksi dan sumpah.16
Sejauh ini, jenis bukti yang paling penting adalah kesaksian
(syahadah) dari saksi, begitu banyak sehingga istilah bayyinah
kadang dipakai sebagai sinonim untuk para saksi. Dalam teori, bukti
lebih lemah daripada kesaksian para saksi dan agar memperoleh
pengakuan penuhnya sebagai alat yang paling menyakinkan dan
tidak terbantahkan untuk menciptakan kewajiban harus dibuktikan
dengan kesaksian para saksi.
v. Pemutusan Hakim dengan Ilmunya
Di antara kaidah dasar dalam penetapan hukum bahwa hakim
tidak menetapkan hukum melainkan dengan bukti. Maka hakim tidak
boleh memutuskan hukum dengan ilmunya secara mutlak, baik yang
diketahuinya sebelum maupun setelah menjabat hakim demikian itu
baik dalam hukum had maupun yang lainnya.
Pendapat yang masyhur dari mulai ketika khalifah Abu
Bakar, Umar, dan Ali, bahwa hakim tidak boleh memutuskan hukum
dengan pengetahuan pribadinya kecuali jika disertai saksi lain yang
menguatkan pengetahuannya ini.

vi. Hukum Berdasarkan Hal yang lahir


Terakhir, harus kita cermati bahwa peradilan adalah
berdasarkan pada bukti-bukti yang lahir. Demikian itu secara umum
adalah yang benar, minimal dalam lahiriahnya. Jika tidak demikian,
maka orang yang dihukumi benar (dimenangkan dalam hukum)
masih bertanggung jawab dalam keagamaan. Itulah makna hadits,
“kami menghukumi yang kahir, dan Allah adalah yang menguasai
yang tersembunyi.”dan demikian itu juga makna perkataan Umar,
“Sesungguhnya kami menghukumi kamu dengan apa yang Nampak
bagi kami dari amal-amal kamu.”
Hadis rasul yang berbunyi:
ً ‫ ءا ًَا ا َا بسز وءا َكى تخت‬: ‫ع او سهًة اٌ انُبي ص و قا ل‬
‫ و‬,‫ص ٌو ءاني‬ ٍ
ٍ ً ,‫ي بعض فاقضي بُحو يًا اسًع‬
‫ف‬ ّ
ٍ ‫بحجت‬ ٍ ‫ اٌ يك ٌو‬y‫نعم بعضكى‬
‫انح‬
ِ‫ي نُار (روا‬
ٍ ‫ فا ًَءا ا قطع ّن قطعة‬,‫ي حق ا خ ّي شياء فال ياء خ ِذ‬
ٍ ‫قضيت ّن‬
‫)ان ًج ّع‬
“Dari Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW bersabda: “aku ini
hanyalah manusia biasa, sedang kamu mengadukan perkara
kepadaku, barangkali sebagian kamu lebih pintar berhujjah
(berbicara) daripada yang lain, lalu aku memutuskan berdasar apa
yang kudengar. Oleh karena itu, siapa yang kuputus dengan
mendapatkan hak saudaranya, maka janganlah menerimanya,
karena apa yang kuputuskan untuknya itu adalah berarti sepotong
dari api neraka.”
4. Pengeluaran Hukum dan Kecacatannya
Sesungguhnya yang asal bahwa ketika suatu kasus telah
layak ditetapkan hukum, maka hakim wajib menetapkan hukum
langsung dengan tanpa menunda. Jika tidak maka berdosa, bahkan
berhak dipecat, karena dampak yang muncul akibat penundaan
hukum tentang madharat bagi manusia, menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan melenyapkan hak mereka.
Fuqaha‟ menyebutkan kondisi yang di dalamnya hakim
boleh menunda keputusan perkara, seperti ingin merenungkan
persaksian para saksi atau meneliti mereka.
Sebagaimana hakim juga boleh menunda keputusan perkara
berdasarkan permintaan tergugat untuk mencermati bukti yang
diajukan penggugat atau untuk menguatkan pembelaan terhadap
dakwaan, atau menunda keputusan berdasarkan permintaan
penggugat sendiri untuk memenuhi bukti-bukti dakwaan.
Di antara kewajiban hakim adalah dengan memulai upaya
mendamaikan antara orang-orang yang berperkara. Dalam hal ini
Umar bin Al-Khathab, “ kembalikanlah peradilan di antara para karib
kerabat hingga mereka berdamai. Sebab keputusan hukum
mewariskan kebencian.”karena itu hakim boleh menunda perkara
jika jelas baginya bahwa perdamaian memungkinkan di antara dua
orang yang berselisih.
Di antara tradisi dalam peradilan islam adalah di sisi hakim
itu terdapat fuqaha‟ untuk dijadikan rujukan musyawarah jika dia
tidak sampai kepada hukum dengan mudah.20
Kewajiban hakim ketika tiada nash atau ijma‟ hukum dalam
salah satun masalah, maka bermusyawarah kemudian berijtihad
dengan pendapatnya sendiri untuk sampai kepada penetapan
kebenaran.
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan tertinggi bagi peradilan
yang adil dan misi para hakim adalah upaya untuk menegakkan
kebenaran.21 Allah SWT memerintahkan hal tersebut dengan firmanNYA;
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil.”(An-Nisaa‟:58)
Sebagaimana juga dikenal dalam peradilan islam bahwa
ketika hakim memutuskan hukum, maka di sana terdapat para saksi
dari kalangan ulama yang mengawasi proses peradilan, kejadiankejadiannya,
dan hukum yang dikeluarkan.
Pada masa awal tersebarnya Islam, belum dikenal
pembukuan hukum. Sebab hukum ketika itu langsung dilaksanakan
setelah dikeluarkan dengan perantara orang-orang yang berperkara
sendiri, atau hakim melaksanakannya seketika. Lalu pada masa bani
umayyah terdapat seorang hakim yang menyadari kewajiban
pembukuan hukum. Hukum yang pertama kali dibukukan adalah
yang dikeluarkan oleh Sulaim bin „Itir, hakim mesir pada masa
pemerintahan Mu‟awiyyah bin Abu Sufyan, tentang warisan di
antara ahli waris yang datang kepadanya untuk meminta keputusan,
namun kemudian mereka saling mengingkari dan berselisih. Lalu
mereka kembali kepadanya, maka dia putuskan hukum di antara
mereka dan dicatatnya.
Menurut pendapat Al-Mawardi, bahwa pengadilan yang
mengeluarkan hukum adalah satu-satunya yang memiliki hak dalam
menafsirknnya jika terjadi kerumitan di dalamnya. Hal ini pada saat
sekarang dijadikan pedoman oleh para pakar hukum positif.23

Anda mungkin juga menyukai