Anda di halaman 1dari 7

Nilai Karakter dalam Tradisi Rebo Wekasan di Desa Ketapang

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mempunyai beraneka ragam budaya dari
warisan nenek moyang yang selalu dijaga dengan kuat. Indonesia memiliki berbagai macam
tradisi yang sangat menarik dan tentunya memiliki manfaat pembelajaran pula didalamnya.
Tradisi merupakan kebiasaan atau kebudayaan yang sudah lama berjalan dan harus
dikembangkan pada generasi selanjutnya, karena di dalam kebudayaan-kebudayaan terdapat
nilai-nilai pengetahuan dan juga karakter. Selain itu, sebagai negara yang mayoritas
beragama Islam, umat Islam Indonesia memiliki keyakinan yang kuat akan tradisi keagamaan
yang berlangsung di masyarakat.
Adapun salah satu tradisi keagamaan yang berlangsung di masyarakat adalah tradisi
Rebo Wekasan. Ritual ini sudah menjadi tradisi setiap tahun khususnya di daerah Jawa,
karena ritual ini merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang. Seperti namanya tradisi
ini akan digelar pada hari rabu terakhir di bulan Shafar dalam kalender Islam atau Hijriyah.
Rebo wekasan juga disebut rebo pungkasan atau rebo kasan. Istilah rebo wekasan biasanya
sering digunakan oleh masyarakat Jawa Timur, sedangkan istilah rebo pungkasan atau rebo
kasan banyak digunakan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Barat. Istilah rebo kasan
sebagian mengasumsikan kata kasan merupakan penggalan dari kata pungkasan yang berarti
akhir dengan mambuang suku kata depan menjadi kasan. Sebab rebo kasan adalah hari rabu
yang terakhir dari bulan Shafar (Nuriyatur, 2018).
Tradisi rebo wekasan merupakan tradisi yang dimulai sejak para waliyullah dan
dilestraikan sampai saat ini. Akar tradisi rebo wekasan sesungguhnya bermula dari adanya
keyakinan bahwa pada hari Rabu terakhir di bulan Safar merupakan saat dimana Allah
menurunkan segala malapetaka dan bencana. Pemahaman diatas berdasarkan beberapa
sumber referensi Islam klasik, misalnya kitab “Kanzun Najah was-Suraar fi Fadail al-
Azmina wasy-Syuhaar“, karya Syech Abdul Hamid al-Quds, yang memberikan penjelasan
secara lebih rinci. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa salah seorang Waliyullah yang telah
mencapai maqom kasyaf (memiliki kemampuan melihat hal-hal yang ghoib) mengatakan
bahwa dalam setiap tahun Allah menurunkan malapetaka dan bencana (Baliyyat) sebanyak
320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam dalam satu malam. Malam tersebut bertepatan
pada hari Rabu terakhir dari bulan Shafar (Farida, 2019).
Berdasarkan hal itu Waliyullah tersebut memberikan nasihat kepada umat Islam untuk
mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah dan memohon perlindungan agar dijauhkan dari
semua bencana yang diturunkan pada hari itu. Para waliyullah memberi tuntunan tatacara
bertaqorrub dengan rangkaian do’a yang dalam istilah jawa lebih dikenal sebagai do’a tolak
bala’. Rangkaian do’a itu diberikan oleh para wali-wali Allah sebagai upaya memohon
kepada Allah untuk diberikan keselamatan dan dijauhkan dari semua macam malapetaka
yang diturunkan pada hari itu (Dzofir, 2017). Rebo wekasan merupakan tradisi yang
dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah dan sekaligus memohon kepada Allah
agar dijauhkan dari segala bencana.
Menurut Nurozi (2016), rebo wekasan merupakan sebuah peristiwa atau fenomena
perpaduan intensif kebudayaan Jawa dengan Islam dinamis. Tradisi rebo wekasan merupakan
warisan yang harus di lestarikan, karena sangat banyak memiliki manfaat serta fungsi yang
berguna bagi masyarakat. Sekarang ini banyak masyarakat muslim khususnya kaum milenial
jawa tidak mengenal tentang tradisi rebo wekasan, bahkan ada yang belum pernah mendengar
istilah rabu wekasan (Husnul, 2021). Hal ini sangat ironis dimana seharusnya mereka menjadi
generasi yang melestarikan tradisi dan budaya sekitar, yang menjadi kekayaan serta simbolik
suatu suku bangsa, tidak mengetahui dan tidak melestarikanya, selain itu tradisi rebo wekasan
juga mengandung unsur-unsur spiritual keislaman yang mendalam (Khanifah, 2022).
Seperti halnya tradisi-tradisi yang lain di Indonesia, Rebo wekasan merupakan sebuah
tradisi yang menarik perhatian masyarakat. Masyarakat mempercayai bahwa pada hari Rabu
terakhir dibulan Safar akan diturunkan malapetaka, sebagian orang percaya Rebo wekasan
sebagai hari paling sial, maka diperlukan tirakat atau usaha untuk mencegah kesialan terjadi.
Menurut Laelasari (2020), masyarakat memahami bahwa pada hari Rabu terakhir di bulan
Safar akan di turunkan marabahaya, sehingga mereka melaksanakan pembacaan surat Yasin
untuk terhindar dari marabahaya tersebut, dan surat Yasin merupakan Qolbu Al-Quran
(Jantung Al-Quran) yang di dalamnya terdapat beberapa keutamaan dan kedahsyatan yang
dapat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Selain kegiatan pembacaan surat Yasin
yang biasanya dilakukan untuk memperingati tradisi ini diantaranya seperti tahlilan, zikir
bersama, menggelar sholat sunnah, atau berbagi sedekah makanan yang dipercaya dapat
menolak bala’.
Menurut Chalik (2016), secara umum tradisi rebo wakesan merupakan bagian dari
aktivitas kehidupan masyarakat jawa yang sudah berakar dalam kehidupan sehari-hari. Cara
memperingatinya disetiap daerahpun berbeda-beda. Di Tasikmalaya dengan Shalat berjamaah
di akhir hari Rabu di Musalla atau Masjid dan berdo’a bersama. Di Daerah Gresik ada yang
memperingatinya dengan saling bersedekah bubur Harisa, bubur daging kambing, dengan
orang sekampung. Di Probolinggo dengan mendatangi tokoh agama Islam berkelompok-
kelompok dengan membawa air untuk dido’akan keselamatan dari bala’. Rebo wekasan
merupakan ritual yang mempunyai nuansa religius sekaligus budaya yang sudah berlangsung
selama bertahun-tahun (Mauladah, 2022).
Bentuk ritual rebo wekasan yang banyak dilakukan meliputi empat macam, yakni :
1. Sholat Tolak Bala’
Sholat yang dilakukan dalam Rebo Wekasan adalah sholat sunnah mutlak, yaitu
sholat sunnah yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab musabab maupun bilangan rokaat.
Sholat sunnah mutlak ini dilakukan pada hari Rabu Kasan dalam rangka taqorrub guna
mengharap keselamatan dari Alloh SWT. Disebutkan dalam kitab Kanzun Najah (Abdul
Hamdi Quds : 25-26) : barang siapa yang melakukan sholat empat rokaat dimana setiap
rokaatnya membaca surat Alfatihah 1x, Al Kautsar 17x, Al Ikhlas 5x, Al Falaq 1x, An
Nas 1x, maka akan diselamatkan dari malapetaka dan bencana yang Allah turunkan pada
hari itu sampai sempurna setahun (Masruroh, 2017).
2. Membaca Do’a Tolak Bala’
Selain melakukan shalat tolak bala’, biasanya juga memanjatkan do’a tolak bala’
agar terhindar dari marabahaya. Diantara do’a yang banyak dibaca pada hari rebo
wekasan adalah rangkaian do’a seperti yang terdapat pada kitab Kanzun Najah karya
Abdul Hamid Quds (Abdul Hamid Quds : 26).
3. Minum Air Azimat
Dalam kitab Nihayatuz Zain karya imam Nawawi Aljawi Albantani yang
merupakan syarah atau penjelasan dari kitab matan Fiqih Qurrotul Ain, barang siapa yang
menulis ayat salamah tujuh yaitu tujuh ayat Alquran yang diawali dengan lafal Salaamun.
Kemudian tulisan tersebut dilebur/direndam dengan air, maka barang siapa yang mau
meminum air tersebut akan diselamatkan dari baliyyah/bala’ yang diturunkan.
4. Selamatan (Bersedekah)
Pada sebagian masyarakat disamping ritual-ritual diatas dilakukan pula selamatan
dengan membagikan nasi pada tetangga dan saudara. Disebagian daerah nasi itu dibawa
ke suatu tempat seperti Masjid atau Musholla untuk dinikmati bersama-sama.Mereka
yang tidak mampu membuat nasi cukup membawa jajan atau minuman.Semua itu
dilakukan sebagai bentuk taqorrub dengan mengeluarkan sebagian haknya/shodaqoh
didasari harapan diselamatkan dari segala bentuk bala’ dengan sodaqohnya. Sesuai
dengan tuntunan yang artinya bahwa Sodaqoh itu dapat menangkal turunnya malapetaka
dan bencana (Dzofir, 2017).
Begitu pula tradisi rebo wekasan yang dilaksanakan di Desa Ketapang, Tidak diketahui
pasti kapan awal tradisi rebo wekasan di selenggarakan oleh masyarakat desa Ketapang,
Susukan Semarang. Menurut penuturan pak Slamet, Ketua Takmir masjid Tiban At-Taqwa,
tradisi tersebut telah berlangsung cukup lama, sejak awal penyelenggaraannya, tradisi Rebo
wekasan dipusatkan di Masjid Tiban At-Taqwa. Masjid Tiban sudah ada sejak tahun 1800
Masehi, waktu pembangunan masjid tersebut tidak ada satu pun orang yang tahu maka dari
itu dinamakan masjid Tiban. Akan tetapi masyarakat mempercayai bahwa masjid ini
dibangun oleh seorang waliyullah. Masjid tiban menjadi bernilai sangat istimewa dan
keramat bagi masyarakat desa ketapang. Masyarakat melakukan tradisi ebo wekasan di
masjid tersebut yaitu melaksanakan do’a bersama, sholat tolak bala’ dan selametan. Kegiatan
ini dilakukan sebagai bentuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT.
Sebagian warga desa ketapang percaya bahwa saat tradisi rebo wekasan biasanya juga
membacakan do’a pada air dimana do’a tersebut meliputi pembacaan 7 ayat Al-Quran yang
mengandung kata salamun dengan tujuan utama untuk meminta perlindungan dan
keselamatan dari Allah SWT.
Mahasiswa KKN Reguler 79 Kelompok 57 UIN Walisongo Semarang juga ikut serta
berpartisipasi dalam tradisi rebo wekasan pada tanggal 21 september 2022, dengan harapan
selama memulai kegiatan pengabdian di desa ketapang mendapat perlindungan dari Allah
SWT. sekaligus mengambil pelajaran dan manfaat positif dari dilaksanakannya tradisi rebo
wekasan di desa Ketapang. Tradisi malam rebo wekasan dimulai dari pembacaan yasin, tahlil
dan zikir bersama di masjid, setelah itu di lanjut dengan pembacaan do’a tolak bala’. Antusias
warga masyarakat untuk melaksanakan acara tersebut sangat tampak dari keseriusan mereka.
Setelah acara tersebut, warga masyarakat kemudian bercengkrama mengeratkan rasa
kekeluargaam sambil membagikan sedekah jajanan yang kemudian dinikmati bersama.
Tradisi rebo wekasan berikutnya dilaksanakan sholat tolak bala’ pada pagi hari.
Masyarakat berkumpul di masjid Tiban At-Taqwa sekitar jam tujuh pagi, melaksanakan
sholat empat rokaat dimana setiap rokaatnya membaca surat Alfatihah 1x, Al Kautsar 17x, Al
Ikhlas 5x, Falaq 1x, An Nas 1x secara bersama-sama. Setelah sholat bala’ dilanjut dengan
zikir dan membaca do’a tolak bala’. Kemudian terdapat ceramah yang disampaikan takmir
masjid Tiban At-Taqwa, dalam isi ceramahnya menyampaikan manfaat dari sholat dan do’a
tolak bala’ yaitu akan akan diselamatkan dari bencana yang Allah turunkan pada hari itu.
Tradisi ini merupakan kegiatan untuk menjauhkan masyarakat dari segala malapetaka yang
terjadi di dunia, serta membuat manusia menjadi beramal dan selalu mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Dalam tradisi Rebo Wekasan di Desa Ketapang, warga masyarakat bersedekah dengan
membawa makanan ke masjid dan kemudian dimakan bersama-sama seluruh jama’ah masjid
usai melaksanakan shalat tolak bala’. Ciri khas yang terdapat pada tradisi rebo wekasan
didesa ketapang adalah adanya gunungan nasi ruwatan, bentuknya yang menyerupai
gunungan yang didalamnya berisi telur rebus yang masih terdapat kulitnya lalu
disekelilingnya berisi lauk-pauk seperti urapan, ikan teri, tempe, tahu dan telur. Gunungan
berbentuk kerucut diasosiasikan sebagai suatu tempat yang tinggi letaknya, menggambarkan
hubungan vertikal manusia dengan Allah (habluminallah). Sesuatu yang letaknya diatas atau
tinggi dianggap sesuatu yang suci karena dihubungkan dengan langit dan Tuhan sehingga
perlu untuk meningkatkan rasa taat dalam diri. Makna simbolik juga terkandung dalam setiap
jenis makanan yaitu nasi putih menyimbolkan bahan makanan pokok yang bersih suci dan
dapat dinikmati semua orang. Telur yang diletakkan didalam gunungan nasi menurut warga
sekitar mengisyarakan diri seorang manusia yang masih banyak kesalahan dan perilaku buruk
berlindung dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan lauk-pauknya
merupakan simbol simbol pewarna dunia sekaligus rasa syukur atas limpahan rahmat Allah
SWT. Gunungan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai bentuk
hubungan horizontal manusia dengan sesama manusia (hablumminannas).
Tradisi Rebo Wekasan merupakan sebuah upaya mengokohkan nilai-nilai karakter. Hal
ini dapat dicermati dari proses yang berlangsung semua mengarah pada hal-hal yang positif.
Tradisi rebo wekasan di Desa Ketapang Susukan Semarang diawali dengan berkumpul di
masjid pada hari Selasa malam Rabu. Strategi berkumpul ini mengandung filosofi yang luar
biasa, yaitu agar Tuhan memberikan limpahan kebaikan dengan lebih cepat daripada berdo’a
sendiri-sendiri. Dalam hal ini sikap sosial kemasyarakatan, kepedulian dengan sesama, serta
upaya meningkatkan kecerdasan emosi menjadi nilai pendidikan yang tidak terukur. Hal
demikian tentunya berkaitan dengan ajaran Tuhan bahwa manusia yang berkualitas adalah
manusia yang mampu menjaga hubungan yang baik dengan sesamanya.
Nilai habluminallah (hubungan manusia dengan Tuhannya) juga dapat dicermati dari
tradisi Rebo Wekasan. Selama warga bersama-sama berdo’a dan berzikir memohon kepada
Allah SWT. Bahasa-bahasa yang indah dan bermakna positif yang terlontarkan, tentu
memberikan efek positif baik bagi masyarakat sekitar. Makna terdalam dalam tradisi ini
tentunya menyandarkan segala kekuatan hanya kepada Tuhan. Memahami hal tersebut tentu
tradisi ini merupakan tradisi yang luar biasa karena mampu menyatukan umat dengan konsep
habluminannas (hubungan baik dengan sesama manusia). Artinya, dalam sebuah tradisi
mengandung kekuatan luar biasa karena dua hubungan sekaligus mampu terangkum.
Nilai yang tersirat juga terdapat pada tradisi membacakan do’a pada air (sumur) dimana
do’a tersebut meliputi pembacaan 7 ayat Al-Quran yang mengandung kata salamun. Aliran
do’a melalui bahasa tulis maupun lisan merupakan sarana permohonana kepada Tuhan agar
apa yang dikehendaki dapat dikabulkan. Sedangkan, pemilihan media air karena dalam diri
manusia didominasi oleh air (90%). Lantunan do’a yang baik akan memberikan manfaat yang
baik bagi seseorang. Hal tersebut merupakan sebuah ajaran karakter yang luar biasa dari para
kyai. Demikian tujuan lain tradisi tersebut adalah untuk menghormati guru (kyai) karena
pengetahuan seseorang akan sia-sia kecuali bila mereka mampu menghormati guru-gurunya,
karena diyakini bahwa guru (kyai) adalah salah satu pintu berkah (Pamungkas, 2016).
Tradisi Rebo Wekasan juga mempunyai makna dalam, yaitu sebagai wujud kepedulian
terhadap sesama. Nilai ini dapat dipetik dari anjuran para Kyai untuk melakukan sedekah
karena dalam ajaran Islam untuk membuka kelapangan rezki adalah dengan bersedekah.
Sedekah yang dilakukan harus diiringi niat tulus dan iklas. Upaya ini merupakan strategi
melakukan pemerataan perekonomian, jiwa kepedulian, dan rasa tulus ikhlas. Simbolisasi
yang tertuang dalam serangkaian tradisi ternyata mempunyai maksud mendidik,
menyadarkan manusia bahwa di atas langit masih ada langit, manusia tidak ada yang
sempurna karena semua milik Tuhan. Yang tidak punya diberikan sedekah oleh yang punya
dengan rasa tulus iklas, sementara yang tidak punya dengan menerima dengan rasa syukur.
Konsep iklas dan syukur yang terjadi akan memberikan aliran energi positif, kemudian
tercapai suasana damai, nyaman, tenteram, saling dukung, dan saling mengasihi. Hal inilah
yang menjadi salah satu alasan sangat eratnya rasa kekeluargaan antar masyarakat di desa
ketapang.
Menurut peneliti tradisi rebo wekasan suatu hal yang positif, yang perlu dilestarikan dan
ditularkan kepada generasi penerus. Tradisi rebo wekasan bukan sekedar mitos ataupun hal
yang musyrik, dimana masyarakat bermunajat kepada Allah SWT meminta perlindungan
agar pada hari tersebut, masyarakat tidak terkena musibah. Dalam tradisi rabu wekasan
masyarakat bermunajat kepada Allah dengan membaca solawat, tahlil dan melakukan solat
sunah mutlak, hal ini menunjukan hal yang dilakukan masyarakat dalam tradisi rebo wekasan
tidak menyimpang dari ajaran Islam. Dalam tradisi rebo wekasan juga terdapat nilai-nilai
karakter yang baik yang menunjukkan sikap positif dan optimis masyarakat dalam
menghadapi ancaman maupun tantangan hidup. Meskipun dalam kondisi yang tidak
memungkinkan lepas dari bencana, namun masyarakat Desa Ketapang berikhtiar dengan
menyandarkan persoalan hidup mereka kepada Dzat yang maha Kuasa, Allah SWT.
Daftar Pustaka

Chalik, A. (2016). Agama dan Politik dalam Tradisi Perayaan Rebo Wekasan. Ibda, 14(1),
13–30. https://doi.org/10.24090/ibda.v14i1.2016.pp13-30
Dzofir, M. (2017). Agama dan Tradisi Lokal (Studi Atas Pemaknaan Tradisi Rebo Wekasan
di Desa Jepang, Mejobo, Kudus). IJTIMAIYA, 1(1), 112.
Farida, U. (2019). Rebo Wekasan Menurut Perspektif Kh. Abdul Hamid Dalam Kanz Al-
Najāḥ Wa Al-Surūr. Jurnal THEOLOGIA, 30(2), 267–290.
https://doi.org/10.21580/teo.2019.30.2.3639
Husnul, N. (2021). Tradisi Rebo Kasan di Kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa.
JINSA (Jurnal Interdisiplin Sosiologi Agama), 01(1), 1–19.
Khanifah, I. (2022). Mitos Rebo Wekasan Dalam Perspektif Psikologi Agama Islam. Mitos
Rebo Wekasan Dalam Perspektif Psikologi Agama Islam, 5(1), 95–101.
Masruroh, O. U. (2017). Tradisi Rebo Wekasan Dalam Kajian Living Qur’an Di Desa
Pakuncen Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo. Qaf, 1(2), 142–156.
Mauladah, M., Ismaya, E. A., Fardani, M. A., & Artikel, S. (2022). Nilai Karakter pada
Tradisi Rebo Wekasan di Masyarakat Desa Jepang. 5(1).
Nuriyatur, U. (2018). Penggunaan Ayat-Ayat Al- Qur ’ an Dalam Ritual Rebo Wekasan Studi
Living Qur ’ an di Desa Sukoreno Kec . Kalisat Kab . Jember Umi Nuriyatur Rohmah
STIQ Walisongo Situbondo Abstrak , This a rticle highlights about using Qur ‟ anic
verses in the society ‟ s. Penggunaan Ayat-Ayat Al- Qur ’ an Dalam Ritual Rebo
Wekasan Studi Living Qur ’ an Di Desa Sukoreno Kec . Kalisat Kab . Jember, 67–91.
Nurozi, A. (2016). Analisis Terhadap Ritual Rebo Wekasan Di Desa Sitanjung Lebaksiu. An-
Nuha, 3(1), 125.
Pamungkas, S. (2016). Tradisi Rebo Wekasan (Tradisi Tolak Bala’k) Studi Kasus
Pemertahanan Bahasa dan Budaya Jawa di Pondok Pesantren Tremas Pacitan Jawa
Timur. Language Maintenance and Shift (Lamas) 6, 125–129.
Sari, L. (2020). Tradisi Membaca Surat Yasin Tiga Kali Pada Ritual Rebo Wekasan (Studi
Living Sunnah Di Kampung Sinagar Desa Bojong Kecamatan Karangtengah Kabupaten
Cianjur). Diroyah : Jurnal Studi Ilmu Hadis, 4(2).
https://doi.org/10.15575/diroyah.v4i2.6219
Syech Abdul Hamid al-Quds, Kanzun Najah was-Suraar fi Fadail al-Azmina wasy-Syuhaar

Anda mungkin juga menyukai