NIM : 183211110
Kelas : 4D
Lebaran Ketupat yang dilaksanakan satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri.
Perayaan tersebut bertendensi pada hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:
ِ ِ ِ
ْ ضا َن مُثَّ أَْتَب َعهُ ستًّا م ْن َش َّو ٍال َكا َن َكصيَ ِام الد
َّه ِر َ ص َام َر َم
َ َم ْن
Sebagian masyarakat Jawa tidak bisa lepas dari ritual selametan. Beberapa
Antropolog yang mempelajari kehidupan masyarakat Jawa berpendapat, bahwa
selametan adalah jantungnya agama Jawa1. Selametan adalah upacara makan
bersama setelah diawali dengan do’a-do’a. Secara umum, tujuan selametan adalah
untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan terbebas dari gangguan makhluk
lain. Sehingga keadaan yang diharapkan adalah selamet, baik bagi yang masih
hidup ataupun yang sudah meninggal. Upacara selametan dapat digolongkan ke
dalam empat macam, sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan
sehari-hari.
Pertama, selametan dalam lingkaran hidup seseorang. Seperti tujuh bulan
kehamilan, kelahiran, potong rambut pertama, menyentuh tanah pertama kali,
menusuk telinga, sunatan, dan peringatan kematian.
Kedua, selametan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah
pertanian, dan setelah panen.
Ketiga, selametan yang berhubungan dengan hari dan bulan besar Islam.
Keempat, selametan pada saat berkenaan dengan kejadian tertentu. Seperti saat
perjalanan jauh, menempati rumah baru, tolak balak (ruwatan), dan dan lain
sejenisnya.2
Lebaran Kupat sendiri adalah selametan yang berhubungan dengan hari
besar Islam. Tradisi Lebaran Kupat merupakan salah satu bentuk warisan budaya
leluhur yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat desa Trucuk,
Klaten, Jawa Tengah.
Lebaran ketupat juga dimaknai sebagai bentuk hasil akulturasi
kebudayaan Indonesia dengan Islam, tradisi ini juga merupakan bentuk praktik
masyarakat setempat atas ajaran Nabi Muhammad SAW, yang berkaitan dengan
sedekah, memperkuat tali silaturahmi, dan memuliakan tamu agar hidup menjadi
lebih berkah.
Masyarakat Jawa dikenal dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Pada
masyarakat selain Jawa, setelah sholat Idhul Fitri, mungkin mereka melakukan
aktivitas kegiatan seperti hari-hari biasanya. Namun, pada masyarakat Jawa
setelah sholat Idhul Fitri mereka biasanya melakukan kegiatan silaturahim ke
1
Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa (Terj), ed. Ahmad Fedyani Saefuddin (Jakarta: Murai
Kencana, 2001), 39.
2
Koentjaraningrat, Beberapa Antropologi Sosial, 347
sanak famili, saudara, tetangga dekat dan sekitar lingkungan tempat tinggal
mereka. Acara silaturahim ini umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa dimana
yang muda mengunjungi yang lebih tua. Hal ini mencerminkan pandangan hidup
orang Jawa, bahwa orang hidup harus tepa selira, unggah-ungguh (tahu tata krama
dan sopan santun). Biasanya yang muda membawa makanan khas ketupat dengan
lauk opor ayam yang akan diberikan kepada kerabat yang lebih tua. Makanan ini
nantinya akan disantap bersama-sama dengan kerabat. Makanan ketupat inilah
yang menjadi ciri khas pada lebaran ketupat, sehingga hampir dipastikan di tiap
keluarga masyarakat Jawa akan menghidangkan suguhan ketupat dengan lauknya
opor ayam dan sambal goreng setiap lebaran ketupat tiba.
Tidak banyak penelusuran sejarah yang pasti kapan tradisi ini dimulai
namun banyak kalangan yang menyebutkan jika tradisi lebaran ketupat berasal
dari kebudayaan orang Jawa pada pemerintahan Paku Buwono IV yang
dipercayai sebagai peninggalan ajaran dari Sunan Kalijaga. Masyarakat Jawa
mempercayai Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan ketupat. Kata
“ketupat” atau “kupat” berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti
“mengakui kesalahan”. Sehingga dengan ketupat sesama muslim diharapkan
mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dengan
cara memakan ketupat tersebut. Makanan ketupat menjadi simbol dalam
masyarakat Jawa, sehingga orang yang bertamu akan disuguhi ketupat pada hari
lebaran dan diharuskan memakannya sebagai pertanda sudah rela dan saling
mema’afkan.
Hadits Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari nomor 5585, menyatakan
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik
atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia
menghormati tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya”.
Hadits tersebut juga dapat dijadikan bukti terkait tradisi Lebaran Kupat.
Bahwa masyarakat desa Trucuk sangat antusias dalam menyambut dan
memuliakan para tamu yang dating ke rumahnya saat pelaksanaan tradisi Lebaran
Kupat.
Tradisi ini menyebar ke seluruh pelosok Nusantara yang dibawa oleh
orang Jawa sehingga menjadi tradisi di Indonesia dan kini di hampir tiap daerah
terdapat tradisi yang sejenis dengan tradisi lebaran ketupat.
Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi
orang Jawa. Janur artinya sejatine nur (cahaya) yang melambangkan
kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan
(cahaya) selama bulan Ramadhan. Jan dari kata jannah yang artinya surga.
Jadi, makna dari lebaran ketupat adalah kesucian lahir batin yang
dimanifestasikan dalam tujuan hidup di dunia dan akhirat yang esensial.
Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol
perayaan Hari Raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang
dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit
ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas
budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning
pada janur dimaknai de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa
untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari
Asia Timur.
Sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima
pancer”, yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu
kembali kepada Allah. Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan
sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu
emosional, aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah
adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan mutmainah, nafsu
untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama
berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu
menaklukkan keempat nafsu tersebut.
Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman bungkus ketupat
mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna putih
ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah
mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan
menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.
Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku
Lepat dan Laku Papat. Ngaku Lepat artinya mengakui kesalahan,
sedangkan Laku Papat artinya empat tindakan.