Anda di halaman 1dari 80

Upacara Adat

 Jawa Tengah
1. Tradisi Wetonan : Wetonan mempunyai arti keluar. Upacara ini
merupakan peringatan lahirnya seseorang. Peringatan ini bermaksud
untuk mendoakan bayi agar terhindar dari bahaya

2. Tradisi Syawalan : Mulainya syawalan adalah setelah Shalat Idul Fitri


hingga Lebaran Ketupat pada hari ke-tujuh bulan Syawal. Setiap
masyarakat mempunyai ciri dan cara masing-masing dalam
memaknai Lebaran Ketupat.

3. Tradisi Sadran : upacara masyarakat Jawa Baru yang


merupakan reminisensi dari upacara Sraddha  Hindu yang dilakukan
pada zaman dahulu, dilakukan dengan berziarah ke makam-makam
dan menabur bunga (nyekar).

4. Tradisi Popokan : upacara adat lempar lumpur pada bulan Agustus,


tepatnya di hari Jumat kliwon, dan perang lumpur ini adalah bagian
dari tradisi sedekah bumi yang rutin dalam desa tersebut.

5. Tradisi Siraman : salah satu bagian dari prosesi pernikahan adat


Jawa, dilkukan satu hari sebelum berlangsungnya acara pernikahan.

6. Tradisi Mendak Kematian : istilah yang dalam acara memperingati


kematian setelah satu tahun pasca kematian. Setelah seribu hari,
istilahnya berubah menjadi haul.

7. Tradisi Ruwatan : salah satu bentuk upacara penyucian yang sampai


saat ini masih kental dan pupoler dalam kalangan masyarakat Jawa.
Tradisi ini diberlakukan bagi orang yang Nandang Sukerta atau berada
dalam dosa.

8. Tradisi Padusan : merupakan tradisi untuk menyucikan diri dalam


menyambut datangnya bulan suci. Dilakukan dengan cara berendam
atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air. Tujuannya adalah
agar ketika Ramadhan datang, dapat menjalani ibadah dalam kondisi
suci lahirnya maupun batinnya.

9. Tradisi Nyewu : upacara peringatan meninggalnya seseorang, acara


ini merupakan penutup (pungkasan) untuk melepas dan
mengikhlaskan arwah orang yang sudah meninggal kepada Sang
Khaliq.

10. Tradisi Kenduren : salah satu acara adat yang diadakan sebagai
bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas terkabulnya doa dan harapan.

11. Tradisi Dugderan : festival untuk menandai awal puasa Ramadhan.


Salah satu yang menarik dari tradisi ini adalah Warak Ngendok yang
menjadi simbol tradisi ini.

12. Tradisi Ngapati : berdoa bersama-sama untuk memohonkan kepada


Allah agar anak yang akan lahir kelak menjadi manusia yang utuh,
sempurna, dan sehat. Waktu pelaksanaan adalah pada bulan keempat
kehamilan seseorang.

13. Tradisi Larung Sesaji : salah satu tradisi Indonesia dalam bidang
kelautan yang berasal dari Jawa Barat.

14. Tradisi Kebo-Keboan : tradisi masyarakat di Desa Alasmalang,


Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Jawa Timur. Tradisi ini menjadi
tontonan menarik bagi sebagian masyarakat di Jawa Timur, bahkan
hingga wisatawan dari luar negeri.

15. Tradisi Muludan : hari peringatan lahirnya Nabi Muhammad.


Pelaksanaan perayaan ini adalah setiap tanggal 12 Rabiul Awal.

16. Tradisi Malam Selikuran : dilaksanakan pada 21 Ramadhan dan


pada malam itu Rasulullah memulai beri’tikaf.

17. Tradisi Selametan : suatu bentuk acara syukuran dengan


mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Dilakukan untuk
merayakan hampir semua kejadian.
18. Tradisi Nyadran : dilakukan dengan berkumpul dan membersihkan
kuburan desa secara bersama-sama dan dilaksanakan pada saat
bulan Ruwah tiba.

19. Tradisi Brobosan : tradisi ketika jenazah diangkat, anak cucu dari
yang meninggal kemudian beriringan menerobos melewati bawah
jenazah tersebut.

20. Tradisi Pingitan : Calon pengantin perempuan tidak boleh keluar


dari rumah atau bertemu calon pengantin laki-laki selama waktu
tertentu. Biasanya, kedua calon mempelai tidak boleh bertemu sampai
acara pernikahan tiba. Tradisi ini wajib bagi pengantin yang menikah
dengan adat Jawa.

 Jawa Timur
1. Labuh Sesaji: upacara adat Jawa Timur yang waktunya tahunan
diselengarakan di Telaga Sarangan, diadakan pada bulan Ruwah,
hari Jum’at Pon yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih dari
masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kasodo : salah satu upacara adat Jawa Timur yang
diselenggarakan setiap tahun pada bulan purnama. Tujuannya
adalah masyarakat Tengger memohon panen yang berlimpah atau
meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit .
3. Kasada : adat Jawa Timur bagi masyarakat Suku Tengger dengan
tujuan salah satu wujud rasa syukur masyarakat Tengger kepada
Tuhan. dilaksanakan pada tanggal 14 sampai 16 bulan Kasada atau
saat bulan purnama tampak di langit secara utuh setiap setahun
sekali.
4. Temu Manten Pegon : proses pertemuan antara pihak mempelai
pengantin laki – laki dengan pihak mempelai pengantin perempuan.
5. Tahlilan Kematian : prosesi kirim doa kepada pihak yang sudah
meninggal dunia supaya arwahnya mendapatkan ketenangan dan
tempat terbaik di sisi Tuhan.
6. Larung Ari –Ari : adat Jawa Timur dalam bentuk kegiatan Melarung
atau menghanyutkan ari – ari si jabang bayi, dilaksanakan dengan
diiringi proses menyanyikan tembang Macapat yaitu Dhandhang Gula.
7. Nakokake : prosesi dimana seorang laki – laki yang ingin melamar
seorang gadis pujaannya dengan cara menanyakan atau dalam
bahasa jawa.
8. Peningsetan : proses ramah tamah yang disertai dengan acara
makan bersama antara rombongan pihak pelamar lelaki dengan pihak
yang dilamar perempuan.
9. Tingkepan : dilakukan kepada ibu hamil yang usia kehamilannya
sudah memasuki usia tujuh bulan, alasan dilaksanakannya untuk
pembersihan dan pemohonan doa agar anak dalam kandungannya
bisa lahir dengan selamat hingga ke dunia.
10. Babaran : merayakan kelahiran dari si anak yang sudah selamat
hingga mengirup udara pertamanya di dunia ini.
11. Sepasaran : proses syukuran sebagai ungkapan tanda syukur
karena telah dikaruniai momongan.
12. Pitonan : wujud simbol rasa syukur mereka atas kelahiran sang
buah hati sang sudah diberkahi hingga umur 7 bulan dan bertujuan
mendoakan keselataman, rejeki, serta masa depan sang anak agar
menjadi baik dan sejahtera dalam perkembangan kedepannya.
13. Labuhan Pantai Ngliyep : bertujuan untuk menjaga keselamatan
para nelayan dari ganasnya ombak pantai selatan serta memohon
berkah, dilakukan dengan cara mempersembahkan upeti kepada
penguasa gaib sesuai dengan kepercayaan masyarakat setempat.
14. Tedhak Siten : adanya kepercayaan sementara orang bahwa
tanah mempunyai kekuatan gaib.
15. Upacara Kebo-Keboan Di Banyu Wangi : berawal terjadinya
musibah pagebluk, ketika itu semua warga diserang penyakit dan
tanaman diserang hama. Seorang sesepuh, bernama Mbah Karti
mendapat wangsit dari semedinya di bukit untuk menggelar ritual
kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri.
 Jawa Barat
1. Upacara Sepitan / Khitanan : hanya khusus untuk anak laki-laki
berdasarkan kepercayaan Islam. Tujuannya untuk membersihkan
alat vital laki-laki dari najis dan kotoran. Menurut keyakinan umat
Islam, khitan adalah sunnah yang bersifat wajib.

2. Acara Tingkepan / Tujuh Bulanan : Pelaksanaan kebiasaan adat ini


adalah ketika seorang ibu sedang mengandung bayi tujuh bulan.
tujuannya adalah untuk memohon kebaikan bagi si bayi dalam
kandungan dan si ibu yang hendak melahirkan.

3. Tradisi Adat dalam Pernikahan Jawa Barat : proses upacara pra akad
nikah dan pasca akad nikah. Upacara sebelum akad nikah adalah
Neundeun Omong, Ngalamar, Seserahan, dan Ngeuyeuk Seureuh.
Adapun beberapa upacara setelah akad nikah adalah Mumunjungan,
Sawer, Nincak Endog, Buka pintu, dan Huap Lingkung.

4. Upacara Adat Tembuni Jawa Barat : upacara adat suku Sunda yang
bertujuan untuk memelihara placenta bayi atau ari-ari. tujuan dari
upacara Tembuni ini adalah supaya si anak bisa tumbuh dan
berkembang menjadi anak yang bahagia tanpa kemalangan apapun
dalam kehidupannya.

5. Adat Nenjrag Bumi : ditujukan kepada anak bayi agar tidak menjadi
ketakutan atau gampang kaget.

6. Upacara Adat Pesta Laut Jawa Barat : Cara melakukan upacara ini
adalah, perahu-perahu nelayan mengangkut sesajen berhias
aksesoris warna-warni untuk memanjakan setiap penontonnya.
tujuan sebagai ungkapan rasa syukur dan memohon keselamatan
saat melaut.

7. Tradisi Ruwatan Bumi : biasanya dilaksanakan setiap bulan Februari.


Nama atau istilah lain untuk Ruwatan ini adalah Ngaruwat. Tujuannya
adalah sebagai ungkapan rasa syukur, tolak bala, silaturahmi
masyarakat, dan penghormatan kepada leluhur.

8. Upacara Adat Ngalaksa Jawa Barat : upacaranya digelar dengan


membawa padi ke lumbung dengan memakai rengkong (bambu
panjang berlubang buat membawa beras). dilakukan pada bulan Juni
sebanyak satu kali dalam setahun. Tujuan upacara ini sebagai wujud
rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen hasil usaha
masyarakat.

9. Tradisi Ngunjung / Munjung : mengunjungi dan berdoa di makam


leluhur atau orang tua sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat
setempat. Tujuannya adalah untuk melestarikan budaya dan
memohon keselamatan.

10. Upacara Adat Ngalungsur Pusaka : proses pencucian benda-benda


pusaka. Benda-benda pusaka tersebut merupakan sebuah simbol
konduite dan perjuangan Sunan Rohmat Kudus dalam
memperjuangkan Islam ketika beliau hidup.

11. Tradisi Ekahan di Jawa Barat : dilaksanakan usai kelahiran bayi


pada usia 7 hari, 14 hari atau 21 hari. Pada hari itu orang tua wajib
menyembelih kambing untuk menebus jiwa sang bayi dari Tuhan
Yang Maha Esa. Jika anaknya perempuan (wanita) maka kambingnya
harus ada 1 ekor. Sedangkan apabila anaknya laki-laki maka
kambingnya harus ada 2 ekor. Tujuannya adalah untuk mensucikan
jiwa dan bathin sang bayi lahir sekaligus sebagai tanda bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia pemberian keturunan. 

12. Tradisi Cukuran : tradisi ini adalah pencukuran rambut bayi ketika
dia sudah berusia 40 hari.

13. Tradisi Nurunkeun di Jawa Barat : Masyarakat Sunda mengajak bayi


yang barusan lahir untuk keluar rumah dan mengenal lingkungan
sekitar. dilaksanaan pada hari ketujuh pasca bayi lahir.
14. Upacara Turun Teneuh : upacara yang dilakukan kepada sang bayi
oleh pihak keluarga ketika sang bayi akan menginjakkan tanah untuk
pertama kalinya.

15. Kebiasaan Gusaran Masyarakat Jawa Barat : Tradisi Gusaran


merupakan upacara tradisional Jawa Barat yang ditujukan kepada
anak perempuan dengan cara meratakan gigi anak perempuan
tersebut dengan alat khusus.

Dalam upacara Gusaran ini si anak wanita juga akan dilubangi


telinganya untuk pemakaian anting-anting pada daun telinganya.

Tujuan dari tradisi ini untuk mempercantik diri sang anak perempuan
ketika beranjak dewasa.

16. Tradisi Bubur Asyura


google

Bubur Asyura yang ada merupakan salah satu upacara adat Jawa
Barat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hari Asyura,
atau hari peringatan wafatnya Imam Husein, cucu Nabi Muhammad
SAW, dalam peristiwa di Karbala.

Warga yang melakukan tradisi ini adalah warga daerah Cilacap.


Mereka mengaitkan kebiasaan ini dengan peristiwa Nabi Nuh.

Akan tetapi belakangan dalam tradisi ini mereka mengaitkan dengan


Dewi Kesuburan, yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Tempat pelaksanaan upacara ini di luar rumah salah seorang warga


yang mereka percaya dapat melaksanakan upacara.
17. Tradisi Nyalawean

google

Tradisi Nyalawean merupakan kebiasaan adat provinsi Jawa Barat


yang bersigat keagamaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Tempat pelaksanaannya adalah alun-alun Desa Trusmi, Kabupaten
Cirebon. Kebiasaan ini umumnya berlangsung memakan waktu
selama 5 hari dan dilaksanakan 12 hari usai acara peringatan di
Keraton Cirebon.

Ziarah ke makam leluhur juga mereka lakukan dengan berbekal


kepercayaan untuk mendapatkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan
rahmat.

18. Upacara Adat Ngarot di Jawa Barat

google

Selanjutnya adalah upacara adat tradisional Jawa Barat yang


bernama Ngarot. Kebiasaan Ngarot banyak diadakan oleh masyarakat
daerah kabupaten Indramayu.
Mereka melaksanakan uapcara ini saat mulai musim tanam atau
musim penghujan. Mereka menggelar upacara ini dengan
mengadakan arak-arakan ke arah balai desa.

Kemudian apa tujuan dari upacara Ngarot ini?

Tujuan upacara Ngarot ialah sebagai ungkapan rasa syukur kepada


Tuhan dan memohon keberkahan hasil tani para petani masyarakat
setempat.

19. Tradisi Seren Taun

google
Tradisi Seren Taun adalah sebuah upacara yang intinya mengangkut
padi dari sawah ke lumbung dengan memakai Rengkong (pikulan
khas yang terbuat dari bambu) dan diiringi tetabuhan alat musik
tradisional.

Anda bisa banyak menjumpai tradisi ini di daerah Cigugur, Kuningan,


dan Sirnarasa Cisolok, Sukabumi.

Tujuan tradisi Seren Taun ini sebagai ungkapan syukur terhadap


Tuhan Yang Maha Esa karena keberhasilan panen dan permohonan
hasil pertanian yang lebih baik pada masa panen mendatang.

Ciri khas upacara ini terletak pada prosesi laporan segala hasil tani
yang sudah mereka capai untuk dinikmati para pejabat yang
menghadiri upacara ini. Masyarakat setempat menamakan prosesi ini
dengan sebutan Seba.

20. Ngirab / Rebo Wekasan


google

Upacara adat Jawa Barat yang terakhir ini memiliki nilai religius.
Masyarakat setempat mengenal dengan nama Ngirab atau Rebo
Wekasan.

Masyarakat daerah Sungai Drajat, Cirebon, sangat sering melakukan


upacara ini. Kebiasaan ini ditandai dengan berziarah ke petilasan atau
makam Sunan Kalijaga, yang mereka lakukan pada hari Rabu minggu
terakhir bulan Shafar.

Penentuan waktu pelaksanaannya mempunyai dasar bagi masyarakat


setempat. Mengapa hari Rabu? Ya, karena mereka menganggap hari
Rabu sebagai hari terbaik guna melenyapkan bala dan kesialan
kehidupan.
1. Upacara Tabuik
Upacara Tabuik /traverse.id

Tabuik  atau Tabot  merupakan salah satu tradisi tahunan yang biasa dilakukan
oleh masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Perayaan ini telah dilakukan sejak
puluhan tahun yang lalu, yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-19
Masehi.
Perayaan Tabuik merupakan peringatan hari wafatnya seorang cucu Nabi
Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib, pada tanggal 10 Muharram.
Dalam catatan sejarah, Husein beserta keluarganya wafat di hari itu
pada peristiwa Karbala.
Kata tabuik  sendiri berasal dari bahasa Arab, tabut,  yang berarti “peti kayu”.
Istilah tersebut merujuk pada legenda tentang keberadaan makhluk berwujud
kuda bersayap dan berkepala manusia yang disebut buraq.
Legenda tersebut mengisahkan, setelah wafatnya Husein, sebuah kotak kayu
berisi potongan jenazah Husein diterbangkan ke langit oleh makhluk buraq
tersebut. Berdasarkan legenda inilah, masyarakat Pariaman membuat tiruan
buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya pada perayaan Tabuik
ini.

Menurut cerita yang diterima masyarakat secara turun temurun, tradisi ini
diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Pada masa
itu, upacara Tabuik masih begitu kental dengan pengaruh timur tengah yang
dibawa oleh orang-orang keturunan India penganut Syiah.

Pada tahun 1910, muncul kesepakatan antar nagari  untuk menyesuaikan


perayaan Tabuik yang masih bernuansa timur tengah ini dengan kultur
Minangkabau. Sejak saat itulah, tradisi ini berkembang menjadi seperti yang
ada pada saat ini.
Upacara Tabuik juga terdapat dua macam, yaitu Tabuik Pasa   (pasar)
dan Tabuik Subarang (seberang). Kedua jenis tersebut masih berasal dari Kota
Pariaman namun dari wilayah yang berbeda.
Tabuik Pasa berasal dari wilayah sisi selatan dari sungai yang membelah Kota
Pariaman hingga ke Pantai Gondoriah. Wilayah Pasa dianggap sebagai daerah
asal dari tradisi ini. Sementara Tabuik Subarang berasal dari daerah seberang,
yaitu wilayah yang berada di sisi utara sungai yang juga biasa dikenal dengan
Kampung Jawa.

Sejak tahun 1982, perayaan Tabuik dijadikan sebagai bagian dari kalender
pariwisata Kota Pariaman. Dari situ, terjadi berbagai penyesuaian yang salah
satunya dalam hal waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian upacara
Tabuik ini.

Jadi, walaupun prosesi awal Tabuik ini dimulai pada tanggal 1 Muharram
sebagai perayaan tahun baru Hijriyah, namun pelaksanaan acara puncak
dalam upacara ini berubah-ubah dari tahun ke tahun, tidak lagi harus 10
Muharram karena menyesuaikan dengan akhir pekan.

Pada upacara Tabuik, terdapat tujuh rangkaian ritual yang dilaksanakan, yaitu
dimulai dengan prosesi mengambil tanah, menebang batang
pisang, mataam,  mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik
pangkek,  hoyak tabuik,  dan membuang tabuik ke laut.
Hari puncaknya adalah pelaksanaan ritual tabuik naik pangkek yang
dilanjutkan dengan hoyak tabuik. Sebagai penutupnya, pada saat menjelang
Maghrib, tabuik tersebut diarak menuju Pantai Gondoriah dan dilarung ke laut.

Setiap tahunnya, puncak acara Tabuik ini selalu disaksikan hingga puluhan ribu
pengunjung yang hadir dari berbagai daerah di Sumatera Barat. Bukan hanya
masyarakat lokal saja, festival ini pun mampu mencuri perhatian dari banyak
turis asing yang membuatnya menjadi perhelatan besar yang diburu setiap
tahunnya.

Baca juga: Mengulas 10 Upacara Adat Jawa Timur yang Terkenal

2. Upacara Turun Mandi

Turun Mandi /budaya-indonesia.org

Upacara Turun Mandi  merupakan salah satu ritual adat yang diwariskan secara
turun temurun oleh leluhur masyarakat Minangkabau. Suku Minangkabau
merupakan salah satu suku yang sangat menjunjung tinggi warisan leluhur
mereka, sehingga upacara ini menjadi salah satu budaya yang masih bertahan
hingga kini.
Turun Mandi adalah upacara yang dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Sang Pencipta atas kelahiran seorang bayi. Selain itu, upacara ini juga
memperkenalkan kepada masyarakat bahwa telah muncul keturunan baru dari
sebuah keluarga.

Untuk melaksanakan prosesinya, terdapat ketentuan mengenai hari yang tepat


dalam penyelenggaraan upacara ini. Untuk bayi laki-laki, maka
diselenggarakan pada hari ganjil dari hari kelahiran si bayi. Sedangkan untuk
bayi perempuan, maka diselenggarakan pada hari genap setelah hari
kelahiran.

Tempat pelaksanaan upacara Turun Mandi adalah di batang aie  (sungai)


umum yang biasa digunakan oleh masyarakat sebagai tempat berkumpul.
Sementara orang yang berhak membawa bayi ke batang aie adalah yang
berjasa dalam proses kelahiran.
Selain itu, ada berbagai persyaratan yang wajib disiapkan oleh keluarga si bayi
untuk melaksanakan upacara ini, di antaranya: batiah bareh badulang  (beras
yang digoreng), sigi kain buruak  (obor dari kain robek), tampang karambia
tumbuah  (bibit kelapa), tangguak  (tangguk), dan palo nasi  yang telah dilumuri
darah ayam dan arang.
Setiap syarat tersebut tentu memiliki makna tertentu sehingga menjadi barang
wajib yang harus disiapkan untuk melaksanakan upacara ini. Namun, terdapat
sedikit perbedaan persyaratan dari masing-masing nagari sesuai dengan
ketentuan adat yang berlaku.

Setelah seluruh prosesi di pemandian selesai, si bayi bersama sang ibu lalu
diarak kembali ke rumah yang diiringi orang-orang yang menghadiri upacara
tersebut. Upacara diakhiri dengan jamuan makan bersama di rumah keluarga
si bayi.

3. Batagak Panghulu
Batagak Panghulu /aadwifalaoli.blogspot.com

Batagak Panghulu  merupakan upacara adat Sumatera Barat, khususnya


masyarakat Minangkabau dalam rangka meresmikan seorang datuk menjadi
panghulu. Panghulu adalah pemimpin kaum, pembimbing anak-
kemenakannya, dan menjadi niniak mamak  di nagarinya.
Maka dari itu, seorang yang akan diangkat menjadi panghulu adalah orang
yang memenuhi syarat kepemimpinan adat Minangkabau. Dalam hal ini,
pengangkatan seorang penghulu tidak dapat dilakukan oleh pihak keluarga
saja, namun bahkan sampai melibatkan Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Peresmian seorang panghulu haruslah berpedoman pada petitih


adat, “maangkek rajo sakato alam, maangkek panghulu sakato kaum”.  Adapun
jabatan panghulu di Minangkabau ini diturunkan dari pendahulunya. Dari
niniak turun ke mamak, lalu turun ke kemenakan dekatnya.
Prosesi Batagak Panghulu ini dimulai dengan tahap mufakat
atau barundiang.  Tahap musyawarah ini juga dilakukan dalam empat tahap,
mulai dari lingkup keluarga besar, lingkup anak kemenakan, di bawah payung
datuk niniak, hingga di bawah datuk persukuan.
Dilanjutkan tahap kedua yaitu prosesi pengangkatan panghulu yang sudah
memasuki prosesi adat di rumah gadang. Pengangkatan ini meliputi prosesi
pemasangan saluak  kepada panghulu, pembaiatan (pengambilan sumpah),
dan penasehatan panghulu.
Kemudian memasuki prosesi bararak, yaitu mengumumkan kepada khalayak
umum di seluruh masyarakat bahwa telah diresmikan seorang datuk yang
baru menjabat sebagai panghulu suatu kaum. Dalam perjalanan bararak ini,
diiringi segenap panghulu-panghulu saniniak dalam satu suku.
Lalu dilanjutkan memasuki tahap keempat, yaitu panjamuan.  Panjamuan
adalah jamuan makan untuk para tamu dan karib kerabat setelah pulang dari
prosesi bararak. Dalam perjamuan ini, lazimnya pihak panghulu
mengorbankan minimal seekor sapi untuk disajikan dalam jamuan tersebut.
Kemudian tahap terakhir pengangkatan panghulu ini adalah prosesi naik ke
balairung, dimana dalam hal ini seorang panghulu yang diangkat dinyatakan
sah menjadi anggota Kerapatan Adat Nagari.

Demikianlah serangkaian upacara inti Batagak Panghulu yang berlaku secara


umum di masyarakat Minangkabau. Namun rangkaian upacara tersebut
mungkin ada perbedaan di masing-masing nagari karena dipengaruhi oleh
aturan dan ketentuan yang berlaku.

Secara umum, upacara Batagak Panghulu ini bukanlah agenda rutin yang
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, melainkan bersifat kondisional yang
dilaksanakan apabila seorang panghulu adat sudah tiba waktunya untuk
diganti.

4. Batagak Kudo-Kudo

Batagak Kudo-
Kudo /bensradio.com
Batagak Kudo-Kudo  merupakan salah satu tradisi yang masih bertahan di
masyarakat Minangkabau, terutama di daerah Pariaman, Sumatera Barat.
Kegiatan ini merupakan tradisi yang sudah cukup lama dilakukan di tanah
Minang.
Frasa batagak kudo-kudo  sendiri berasal dari bahasa Minang yang berarti
“menegakkan kuda-kuda”. Batagak Kudo-Kudo adalah upacara yang menjadi
bagian dari proses pendirian sebuah bangunan, baik itu berupa rumah pribadi
atau fasilitas umum seperti rumah ibadah dan jalan raya.
Pada masyarakat Minangkabau, kegiatan beramai-ramai seperti ini biasa
disebut juga dengan istilah baralek.  Baralek umum dipakai untuk istilah bagi
keluarga yang sedang mengadakan pesta selamatan, seperti: pesta
pernikahan, perayaan khatam Alquran, dan pesta lainnya termasuk Batagak
Kudo-Kudo ini.
Dalam acara tersebut, masyarakat setempat dari tetangga dan sanak famili
akan diundang untuk menghadirinya. Satu ciri yang mencolok dari tradisi ini
adalah para tamu undangan akan membawa hadiah berupa seng, uang, atau
bahan bangunan lainnya.

Pada saat ini, kegiatan Batagak Kudo-Kudo tidak hanya dihadiri oleh
masyarakat sekitar, melainkan juga dihadiri pada perantau yang berada di luar
kota, terutama jika membangun fasilitas umum. Dengan adanya bantuan dari
para perantau yang telah sukses, maka pembangunan fasilitas umum di
kampung akan lebih cepat selesai.

5. Tradisi Mandi Balimau


Mandi Balimau /kompasiana.com

Balimau  adalah tradisi mandi menggunakan jeruk nipis yang dilakukan pada
saat menjelang datangnya bulan Ramadhan. Tradisi ini biasa dilakukan oleh
sebagian kalangan masyarakat Minangkabau yang berada pada kawasan
tertentu yang memiliki aliran sungai atau tempat pemandian.
Tradisi Balimau dipercaya telah dilakukan sejak berabad-abad lalu yang
diwariskan secara turun temurun sampai sekarang. Esensi dari tradisi ini adalah
mensucikan diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan Ramadhan
untuk menjalankan ibadah puasa.

Mensucikan diri secara lahir dapat diartikan sebagai mandi yang bersih. Bukan
hanya di Sumatera Barat, tradisi Balimau juga biasa dilaksanakan di berbagai
daerah lain, seperti masyarakat Kampar, Batam, hingga Lampung.

Pada zaman dahulu, tidak semua orang bisa mandi dengan bersih, baik karena
belum adanya sabun, kekurangan air, maupun sibuk bekerja atau sebab yang
lain. Pada saat itu, pengganti sabun di beberapa wilayah di Minangkabau
adalah limau atau jeruk nipis, karena sifatnya yang melarutkan minyak atau
keringat di badan.
Dalam tradisi Balimau ini, sebenarnya ada kewajiban memisahkan kaum wanita
dengan laki-laki agar tidak bertentangan dengan syariat Islam. Atau bahkan,
kaum wanita tidak perlu turun ke sungai atau pantai untuk mandi, agar tidak
bercampur dengan lelaki.

Namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini terus berkembang bukan hanya
sebagai pelaksanaan suatu tradisi, melainkan juga sebagai ajang rekreasi.
Maka dari itu, kaum wanita disarankan tetap memakai pakaian lengkap saat
ber-balimau untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Hingga saat ini, bukan hanya masyarakat Melayu dan Minang saja yang
melaksanakan tradisi Balimau ini, masyarakat dari berbagai suku pun juga ikut
memeriahkan tradisi ini sebagai ajang rekreasi.

6. Makan Bajamba
Makan Bajamba /budaya-indonesia.org

Makan Bajamba  atau juga disebut Makan Barapak  adalah tradisi makan


bersama yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara duduk
bersama di suatu tempat yang telah ditentukan. Tradisi ini biasa digelar pada
perayaan hari-hari besar agama Islam atau berbagai upacara, pesta adat, atau
pertemuan penting lainnya.
Kegiatan Makan Bajamba biasanya akan dihadiri oleh lebih dari puluhan
hingga ribuan orang. Dari sekian banyak orang tersebut lalu dibagi
berkelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 sampai 7 orang.
Masing-masing kelompok lalu duduk melingkar dan disediakan satu dulang
yang di dalamnya terdapat sejumlah piring, nasi, dan berbagai macam lauk.
Meski semuanya sama-sama duduk tegap dan melingkar, ada sedikit
perbedaan cara duduk antara peserta laki-laki dan perempuan. Cara duduk
laki-laki adalah baselo  atau bersila, sementara perempuan duduk dengan
cara basimpuah  atau bersimpuh.
Acara Makan Bajamba biasanya akan diawali dengan pertunjukan berbagai
kesenian Minangkabau, dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat Alquran,
sampai acara hiburan berbalas pantun.

Dalam sejarahnya, tradisi Makan Bajamba berasal dari Koto Gadang,


Kabupaten Agam, Sumatera Barat, yang diperkirakan telah muncul sejak
agama Islam masuk ke Minangkabau pada sekitar abad ke-7. Oleh karena itu,
tata cara dan adab-adab Makan Bajamba secara umum didasari dari sunnah-
sunnah ajaran Islam.

Di antara adab dalam tradisi ini adalah para peserta hanya mengambil
makanan yang ada di hadapannya, setelah mendahulukan orang yang lebih
tua mengambilnya. Cara duduk yang telah ditentukan bagi laki-laki dan
perempuan tersebut juga merupakan bagian dari adab.

Selain itu, makan juga dilakukan dengan hati-hati dan pelan-pelan untuk
menghindari tercecernya nasi. Peserta juga diwajibkan menghabiskan
makanan yang sudah disediakan, sampai tidak tersisa lagi sebutir nasi pun di
piring.

Budaya Makan Bajamba ini juga memiliki nilai budaya yang cukup dalam, yaitu
memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial. Selain
itu, juga mengajarkan adab-adab makan dalam ajaran Islam untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

7. Pacu Jawi
Pacu Jawi /wikipedia.org

Pacu Jawi  dalam bahasa Minang berarti “balapan sapi”. Tradisi ini merupakan
olahraga tradisional yang biasa diselenggarakan di Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat.
Setiap tahun, tradisi ini diselenggarakan secara bergiliran selama empat pekan
di empat kecamatan di Tanah Datar, yaitu: Kecamatan Pariangan, Kecamatan
Rambatan, Kecamatan Lima Kaum, dan Kecamatan Sungai Tarab.

Sekilas memang tradisi Pacu Jawi ini mirip dengan Karapan Sapi yang ada di
Madura. Namun bedanya, Karapan Sapi di Madura diselenggarakan di tanah
lapang yang kering, sementara Pacu Jawi diadakan di sawah-sawah sehabis
panen dan dalam kondisi berlumpur.

Selain itu, dengan dikendarai oleh seorang joki, sapi-sapi dalam ajang Pacu
Jawi dilepas perpasangan tanpa lawan tanding. Tiap pasang sapi berlari secara
bergiliran dan tidak ada ketentuan menang-kalah secara resmi. Bukan seperti
Karapan Sapi yang memang dilombakan dan diadu dengan lawan tanding.

Sementara itu, penonton Pacu Jawi akan menilai sapi-sapi tersebut terutama
berdasarkan kecepatan dan kemampuannya berlari dengan lurus. Tak jarang
juga ada orang-orang yang akan membeli sapi-sapi unggulan dengan harga
yang jauh di atas harga normal.

Budaya Pacu Jawi sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Pada
awalnya, tradisi ini merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh para petani
selepas musim panen untuk mengisi waktu luang sekaligus sebagai hiburan
bagi masyarakat setempat.

Namun dalam perkembangannya, tradisi ini kini menjadi sebuah ajang budaya
tahunan yang disebut Alek Pacu Jawi.  Belakangan, acara ini telah menjadi
sebuah atraksi wisata yang mendapat dukungan dari pemerintah.
Selain itu, budaya Pacu Jawi juga sampai menarik minat para fotografer
nasional maupun internasional. Untuk mengambil gambar yang bagus, para
fotografer ini seringkali harus mendekat ke lintasan dan mengambil resiko
terkena cipratan lumpur atau tertabrak sapi.

Meski begitu, beberapa hasil foto dengan objek Pacu Jawi telah berhasil
memenangkan berbagai ajang lomba fotografi. Foto-foto Pacu Jawi bahkan
telah menerima berbagai penghargaan, seperti: World Press Photo of the
Year, Hamdan International Photography Award, serta Digital Camera
Photographer of the Year oleh koran The Daily Telegraph.
8. Tradisi Kerik Gigi
Kerik Gigi /guideku.com

Kerik Gigi merupakan sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat
Suku Mentawai, khususnya bagi kaum wanita. Suku Mentawai merupakan
etnis masyarakat yang mendiami Kepulauan Mentawai yang terdiri dari Pulau
Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan.

Tradisi ini dilakukan oleh kaum wanita sebagai simbol bahwa dirinya telah
cukup dewasa. Bagi masyarakat Mentawai, gigi yang runcing merupakan
simbol kecantikan seorang wanita.

Selain sebagai kecantikan, tradisi Kerik Gigi juga bertujuan untuk memberikan
kedamaian dalam hidup. Menurut kepercayaan, melakukan ritual Kerik Gigi ini
akan membuat jiwa mereka dipenuhi dengan kebahagiaan dan kedamaian
jiwa.

Tentu, prosesi ritual Kerik Gigi ini sangat menyakitkan. Kerik Gigi dilakukan
oleh tetua adat tanpa ada pembiusan atau anastesi. Bahkan, alat-alat yang
dipakai juga tidak dilakukan proses sterilisasi. Biasanya, alat yang digunakan
berupa besi atau kayu yang telah diasah hingga tajam untuk mengerik gigi.
9. Upacara Pakilia

Pakilia /lokadata.com

Upacara Pakilia  merupakan sebuah tradisi pernikahan yang sudah cukup


langka dilaksanakan pada masyarakat Mentawai. Pakilia adalah upacara
penyambutan keluarga baru pada sebuah keluarga atau suku. Upacara ini
mulai dilaksanakan setelah prosesi pemberkatan di gereja yang biasanya
untuk umat Katolik saja.
Pihak sikebbukat uma, sabajak (paman), dan sakamaman (bibi) akan
mempersiapkan bahan-bahan untuk prosesi Pakilia, seperti empat ekor
simanosa (ayam muda), empat buah katsaila (daun enau), gajeumak (gendang
Mentawai), dan seekor ayam jantan.
Upacara ini sebetulnya sudah mulai langka karena tergerus dengan
perkembangan zaman. Hal ini disebabkan karena tradisi ini tidak terwariskan
atau tidak dipelajari oleh keturunan suku, sehingga generasi suku yang ada
sekarang ini sama sekali tidak memahaminya.

Satu-satunya sikebbukat uma di Sikaraja yang memahami adat Pakilia ini yaitu
Taleku. Teteu Taleku juga dikenal dengan panggilan Teteu Bigen karena
pernah menghitamkan rambutnya sendiri yang semuanya hampir memutih.
Baca juga: 7 Upacara Adat Sumatera Utara, Mengulik Budaya Tanah Toba

10. Upacara Balopeh


Balopeh /budaya-indonesia.org

Balopeh  merupakan upacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat


Silungkang, Sumatera Barat. Upacara ini berupa pemberian gelar kepada
mempelai laki-laki waktu pernikahan.
Pria dewasa di Silungkang harus memiliki gelar, semacam: Datuk Maringgi,
Rajo Sampono, dan sebagainya. Pria yang telah menikah dan memiliki gelar
sudah tidak dipanggil dengan nama panggilannya, melainkan dengan nama
gelarnya.

Pemberian gelar ini dilakukan oleh tetua adat di desa tersebut. Nama yang
digunakan sebagai gelar adalah nama warisan turun temurun dari keluarga
mempelai laki-laki tersebut.

Dalam masyarakat Silungkang, pemberian gelar ini bertujuan untuk


memudahkan apabila terjadi sengketa lahan atau permasalahan yang lain,
karena orang-orang yang terlibat masalah dapat dilihat gelarnya dan
diselesaikan dengan para tetua dari pemilik gelar yang sama.

Upacara Balopeh biasa dilaksanakan di rumah mempelai laki-laki. Dimulai


pada pagi hari, induk bako  (tante dari pihak ayah) dari mempelai perempuan
mendatangi rumah mempelai laki-laki dengan membawa makanan untuk
makan bersama dengan keluarga mempelai laki-laki.
Kemudian, ayah dan paman-paman dari kedua mempelai bersama tetua adat
akan datang ke rumah mempelai laki-laki untuk makan bersama
atau bajamba. Bajamba adalah makan bersama dalam satu wadah, sehingga
lebih menguatkan ikatan kebersamaan.
Selesai acara makan bersama, calon mempelai laki-laki masuk ke dalam rumah
untuk melaksanakan prosesi pemberian gelar oleh tetua adat. Acara tersebut
lalu diakhiri dengan pembacaan doa, karena semua gelar yang diberikan
merupakan nama-nama yang baik.

Selesai acara, rombongan keluarga mempelai perempuan pulang dengan


membawa beras dan uang dari keluarga mempelai laki-laki. Uniknya dalam
acara ini, mempelai perempuannya sendiri dan ibunya tidak diizinkan untuk
hadir dalam acara tersebut.
Kumpulan upacara Adat
Tradisional Khas Kalimantan Barat
1. Tradisi Saprahan

Sumber :
Slideshare
Pada poin yang pertama ini, kita masuk kepada tradisi yang terkenal di
Kalimantan Barat yang bernama Saprahan. Pada adat istiadat suku Melayu,
kata Saprahan berasal dari kata “saprah” yang memiliki arti berhampar, yaitu
budaya makan bersama (bareng) dengan cara duduk lesehan atau bersila di
atas lantai secara berkelompok. Jumlah orang yang makan pada setiap
kelompok mencapai enam orang.

Pada prosesi kebiasaan adat Saprahan dieglar, seluruh menu hidangan


makanan disusun secara teratur di atas kain saprah. Penyusunan rapi
tersebut juga mencakup peralatan dan perlengkapannya mencakup kain
Saprahan, piring makan, kobokan beserta serbet, mangkok nasi, mangkok
lauk pauk, sendok nasi dan lauk serta gelas minuman.

Akan ditemukan menu hidangan diantaranya, nasi putih atau nasi kebuli,
semur daging, sayur dalca, sayur paceri nanas/terong, selada, acar telur,
sambal bawang dan sebagainya. Lalu untuk minuman yang disajikan ialah air
serbat berwarna merah.

Semua dimasak dengan alat masak tradisional ketika itu. Dan sekarang


sepertinya sudah menggunakan alat masak modern pula.

2. Tradisi Nyagahatan
Tradisi Nyagahatan juga berasal dari daerah Kalimantan Barat. Pada
pelaksanaan tradisi Nyagahatan umumnya ada yang ditunjuk sebagai
pemimpin yang dalam hal ini biasanya dipimpin oleh petugas adat yang
menangani padi yang disebut Tuha Tahut. Kebiasaan adat ini dilaksanakan
pada sebuah tempat di dekat sawah (Panyugu).

Sebelum upacara adat digelar, suku Dayak setempat melakukan tahap


menanam padi yaitu: ngerinteh jalai (merintis jalan), nebaeh (menebas),
nebang (menebang), nunu umai (membakar lahan), menugal benih dan
menanam bibit, mantun padi atau menyiang, ngetau atau panen padi, dan
pengemasan padi. Tujuan dari ritual ini ialah untuk menghindari gangguan
saat proses menanam padi, agar padi tumbuh subur dan menghasilkan panen
yang menguntungkan.

Baca : Alat Pemanen Padi

3. Tradisi Ba’ayun Maulid

Sumber : Jejakrekam
Berikut ini merupakan tradisi yang berlaku juga di propinsi Kalimantan Barat
yang bernam Ba’ayun Maulid. Apa yang beda dengan pelaksanaan Maulid di
daerah lain? Pada pelaksanaan Ba’ayun Maulid di Kalbar, ada acara
pembacaan syair- syair Maulid, disertai dengan prosesi dan ritual budaya
Ba’ayun Anak, karena pelaksanaannya bertepatan dengan perayaan Maulid
maka disebut juga Ba’ayun Maulid.

Ada pun lokasi pelaksanaanya adalah di dalam Mesjid atau biasa disebut
mesjid keramat. Tujuan dari ritual ini supaya agar anak senantiasa sehat,
cerdas, berbakti kepada orang tua dan taat beragama, sangat kontras dengan
tempatnya yang dikeramatkan.
4. Tradisi Gawai Makai Taun

Sumber :
Butew.com
Tradisi Gawai Makai Taun merupakan upacara tahun baru sebagai ucapan
syukur kepada Petara (tuhan) atas rezeki yang telah diberikan dan memohon
berkah-Nya untuk tahun yang akan datang. Kegiatan ini berdasarkan
keyakinan masyarakat setempat.

Jika merujuk pada agama Islam yang mengajarkan hal rezeki, ada catatan
penting yang harus diterapkan. Selain mengharapkan bertambahnya rezeki
bagi seorang hamba, rezeki yang datang harus selalu bersamaan dengan
keberkahan pula.

5. Tradisi Adat Buah


Tradisi Adat Buah merupakan salah satu upacara adat yang menjadi tradisi
suku Dayak Pesaguan Kalimantan Barat. Kebiasaan adat ini digelar untuk
menyambut musim buah dalam kehidupan masyarakat Pesaguan. Adapun
tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah agar mendapat hasil panen yang
melimpah dan bersyukur pada Tuhan.

Buah yang dipanen biasanya dijual kembali untuk menambah pendapatkan


masyarakat setempat. Semakin berlimpah hasil panen buahnya, maka
semakin meningkat pula finansial yang didapatkan.

6. Tradisi Sesaji (Batalah)


Sumber :
Antarafoto
Suku Dayak di Kalimantan Barat melakukan biasanya akan melakukan
upacara adat ketika kelahiran anak. Tujuannya untuk memberikan nama yang
baik pada anak yang telah lahir (Batalah). Selain itu, tujuan lainnya ialah
supaya anak senantiasa mendapat perlindungan dari Petara (Tuhan).

7. Upacara Naik Dango

Sumber :
Kumparan
Naik Dango adalah acara rutin tahunan yang diadakan masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Nek Jubata (sang
pencipta) atas panen padi yang didapatkan pada musim panen tiba.
Masyarakat ada juga memohon kepada Jubata agar hasil panen tahun depan
bisa lebih baik. Kemudian masyarakat dihindarkan dari bencana dan
malapetaka.

Kebiasaan adat Naik Dango ini didasari mitos asal mula padi menjadi popular
di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng
Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Acara ini
menyajikan Nyangahathn (pembacaan mantra), dan juga ditampilkan
berbagai bentuk budaya tradisional seperti permainan tradisional, dan
berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional.

8. Tradisi Nebe’e Rau (Tanam Padi)

Sumber :
dictio
Upacara Nebe’e Rau/ Tanam Padi ini ialah upacara tahunan yang harus
dilaksanakan oleh masyarakat setempat untuk kepentingan bersama.
Upacara ini merupakan bentuk dari rasa syukur masyarakat Dayak atas
ladang mereka yang bisa ditanami padi dengan harapan hasil yang mereka
tanam sangat berlimpah.

Yang membuat unik dari upacara ini adalah pada durasi waktu
pelaksanannya, yaitu upacara ini dilangsungkan selama satu bulan, disitu
banyak sekali adat-adat Dayak yang dilakukan, diawali dari memberi
makanan sang raja kampung (to’q) untuk menjaga kampung agar selalu
terjaga dari kejahatan dan ancaman yang tidak diinginkan.

9. Tradisi Ngerangka’u
Kini kita sampai pada kegiatan adat di Kalbar yang bernuansa dengan
kematian warga masyarakat adat yang bernama Ngerangka’u. Kata lain dari
Ngerangka’u adalah Kematian yang bagi masyarakat Dayak Tunjung begitu
sakral sifatnya. Mereka meyakini kegiatan ini bentuk dari kekeluargaan
mereka untuk memberikan kenyamanan kepada Almarhum/mah ketika
berada di sisi Tuhan. Umumnya, upacara Ngerangka’u ini digelar usai 40
(empat puluh) hari setelah kematian.

Didaerah lain, ada kesamaan juga. Dimana ada kebiasaan memperingati 40


hari meninggalnya seseorang. Biasa diadakan acara tahlil oleh sebagian umat
Islam.

10. Acara Tradisi Pernikahan (Ngehawa’k)

Sumber :
Blogger
Seperti pada umumnya, pernikahan menjadi suatu kegiatan yang sakral untuk
dilaksanakan. Setiap daerah, dari Sabang sampai Merauke memiliki ciri khas
tertentu dalam penggelarannya.

Di Kalimantan Barat, tradisi Pernikahan atau Ngehawa’k merupakan upacara


umum yang sering dilakukan jika ada masyarakat Dayak yang hendak
menikah. Pada tahap ini akan banyak benda-benda Adat yang ditampilkan,
tergantung dari keturunan sang mempelai wanita/ pria. Jika wanita keturunan
bangsawan maka pria wajib menyediakan sesuai dengan permintaan dari
wanita. Biasanya sang pria akan berusahan semaksimal mungkin guna
memenuhi permintaan calon pengantin wanita tersebut.

Disinilah benda-benda adat bisa diuangkan seperti dijelaskan diatas. Hukum


adat juga akan berperan jika dari kedua mempelai melakukan perceraian
dikemudian hari. Salah satu hukuman yang diberikan adalah berupa denda
benda adat dan hukum adat sesuai dengan kesalahan dari kedua belah pihak.
Tujuan dari pelaksanaan hukum adat ini untuk mencegah terjadinya
perceraian, meski perceraian selalu saja terjadi bagi beberapa pasangan
hidup.
Baca : Pengertian Hukum Adat

11. Tradisi Dahau

Sumber : kabarkukar
Pada poin ini, pembahasannya tradisi adat di Kalimantan Barat yang bernama
Upacara Dahau. Arti dari tradisi ini adalah pemberian nama Anak. Kebiasaan
adat ini merupakan upacara dari keturunan bangsawan atau orang
terpandang dikampung dan hanya yang mampu saja yang bisa membuat
upacara tradisional ini. Pada pelaksanannya, upacara Dahau ini dibuat besar-
besaran dan undangannya dari berbagai tempat yang didiami Dayak. Butuh
waktu selama 1 bulan untuk melaksanaannya. Selama kegiatan, banyak
pertujukkan yang disajikan, seperti ritual-ritual adat daerah setempat.

12. Kegiatan Adat Ngampar Bide


Sum
ber : Tribunnews
Kegiatan adat atau tradisi Ngampar Bide merupakan bagian dari upacara adat
di Kalimantan Barat. Kebiasaan ada ini adalah acara gelar tikar. Ngampar
Bide merupakan sebuah upacara yang digelar suku Dayak sehabis panen
padi. Bisa disebut upacara ini merupakan ungkapan syukur kepada Nabi
Norseri atau Dewi Sri menurut ajaran adat mereka. Tidak hanya itu, selain
bersyukur, tujuan dari dilaksanakannya Ngampar Bide juga berisi doa dan
harapan agar panen tahun mendatang lebih baik dari panen tahun sekarang.

13. Tradisi Ritual Tiwah

Sumber :
voinews
Tradisi Ritual Tiwah merupakan upacara tradisional di Kalimantan Barat yang
menghubungkan dengan orang yang sudah meninggal, yaitu mengantarkan
tulang belulang kerangka orang mati menuju suatu rumah yang ukuran kecil.
Rumah tersebut memang sengaja di buat untuk menyimpan tuang belulang
orang yang meninggal. Warga sekita menamakan rumah tersebut dengan
nama Sandung.

14. Tradisi Wadian/Bulian

Sumber :
Umm
Tradisi Wadian juga termasuk bagian upacara yang berlaku di Kalimantan
Barat. Tradisi Wadian ini ialah upacara pengobatan pada suku Dayak Bawo
atau Bulian pada suku Melayu pedalaman (Suku Melayu Petalangan/Suku
Talang mamak). Wadian merupakan salah satu upacara adat suku Dayak
(Dusun, Maanyan, Lawangan, Bawo) yang menganut Kaharingan diantaranya
dalam rangka pengobatan terhadap orang sakit. Pada zaman dahulu kala,
saat pengobatan medis tidak semaju saat ini, masyarakat Dayak
memanfaatkan jasa Wadian untuk mengobati sakit yang mereka derita atau
alami.

Untuk waktu pelaksanaan tradisi ini sangat tergantung dari parah tidaknya
penyakit yang diderita. Biasanya, upacara Wadian dapat berlangsung selama
7 hari. Berdasrkan informasi yang didapatkan, jenis Wadian antara lain: ada
Wadian Pangunraun (Pangunraun Jatuh,Pangunraun Jawa), Wadian Dapa,
Wadian Tapu Unru, Wadian Dadas, Wadian Bawo, Wadian Bulat. Seiring
berjalannya waktu, pengobatan model wadian telah dikembangkan
sedemikian rupa dan menjadi salah satu kesenian daerah yang dapat
dinikmati sebagai sebuah atraksi kesenian yang menghibur selain mengobati.
1. Upacara Ngaben

Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah di Bali yang dilakukan untuk


menyempurnakan jenazah. Upacara adat ini terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu
Ngaben Sawa Wedana, Ngaben Asti Wedana, dan Swasta.
Upacara Ngaben memang tidak akan selalu dilaksanakan dan dapat kamu jumpai
di Bali ya, sobat tiket. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, dan salah satunya
adalah ekonomi. Mengingat banyaknya biaya yang akan dikeluarkan untuk upacara
Ngaben, maka tidak semua penduduk Bali bisa melaksanakan upacara ini untuk
keluarga yang meninggal dunia.
Biasanya, Upacara Ngaben akan dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari.
Bahkan, ada pula persiapannya yang berlangsung hingga sebulan lamanya, dan
jenazah diawetkan hingga waktu pembakaran jenazah dilakukan. Jenis ini disebut
juga dengan Ngaben Sawa Wedana.
Ngaben jenis lain yang sering dilakukan di Bali adalah Ngaben Asti Wedana, di
mana jenazah telah dikubur terlebih dahulu sehingga kelak yang dibakar hanyalah
tulangnya saja. Pelaksanaan ngaben ini dilakukan menunggu waktu yang cukup
lama karena keluarga mungkin terbentur masalah biaya atau aturan adat desa yang
mengikat.
Sedangkan Upacara Swasta diperuntukkan bagi mereka yang meninggal di luar
negeri, tempat yang jauh, atau jasadnya yang tidak dapat ditemukan. Upacara adat
di Bali ini memang tidak bisa diprediksi ya, sobat tiket. Kamu akan merasa
beruntung jika bisa menyaksikan upacara adat di Bali yang satu ini saat sedang
berwisata di Bali.
2. Upacara Melasti
Melasti adalah upacara besar selanjutnya yang selalu rutin digelar setiap tahunnya.
Biasanya, Upacara Melasti ini diadakan tiga hari menjelang perayaan Nyepi.
Adanya Upacara Melasti ini dimaksudkan sebagai penyucian diri bagi penduduk
Hindu di Bali. Mereka akan mendatangi beberapa sumber air sakral seperti danau,
mata air, hingga laut yang dipercaya menyimpan mata air keabadian atau Amerta.
Dalam acara ini, Pemangku Hindu akan memercikkan air suci ke kepala setiap
orang yang datang. Tujuan pemercikan ini adalah untuk meluruhkan semua
kotoran dan hal buruk di dalam tubuh agar jiwa dan raga kembali suci.
Oh ya sobat tiket, kalau kamu ingin menyaksikan upacara adat ini, datanglah 3 atau
4 hari sebelum perayaan Nyepi dilaksanakan di Pulau Bali ini. Kamu bisa memilih
menginap di hotel-hotel yang berdekatan dengan kuil Hindu yang cukup besar di
berbagai wilayah seperti Kuta atau Uluwatu.
3. Upacara Saraswati
Upacara selanjutnya yang bisa kamu temui ketika di Bali adalah Upacara
Saraswati. Berbeda dengan Ngaben yang merupakan upacara untuk kematian,
Saraswati adalah upacara untuk merayakan ilmu pengetahuan. Upacara ini
dilakukan untuk memuja atau mengagungkan Dewi Saraswati yang dipercaya
membawa ilmu pengetahuan di bumi hingga membuat semua orang di dunia
menjadi pintar dan terpelajar.
Pada Upacara Saraswati, biasanya semua hal yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan seperti buku dan kitab akan didoakan. Acara ini juga berisi pentas
seni seperti tarian, pembacaan cerita, hingga malam sastra selama semalam suntuk.
Upacara Saraswati diadakan 210 hari sekali dengan menggunakan perhitungan
kalender Bali pada hari Sabtu Umanis Watugunung.
4. Upacara Omed-Omedan
Kalau kamu ingin menyaksikan upacara yang benar-benar unik di Bali, datanglah
sehabis Nyepi. Biasanya ada upacara Omed-Omedan yang berlangsung di kawasan
Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar, Bali. Upacara ini dimulai dengan melakukan
persembahyangan massal di pura.
Selanjutnya, dua kelompok pemuda dan pemudi yang belum menikah dengan
rentang usia 18-30 tahun akan mulai berhadapan. Biasanya akan ada satu pemuda
dan pemudi yang maju lalu disiram dengan air. Mereka akan berusaha saling
bertarung dan kadang diakhiri dengan saling berciuman.
Tradisi Omed-Omedan konon sudah ada sejak puluhan tahun silam dan masih
dipertahankan hingga sekarang oleh penduduk di Denpasar khususnya. Nah, kalau
kamu ingin menyaksikan upacara yang unik ini, kamu bisa mencari penginapan di
hotel-hotel sekitar Denpasar.
5. Mekare-Kare
Bagi penduduk pria di kawasan Tenganan, Karangasem, Bali, upacara Mekare-
Kare adalah ajang untuk menunjukkan kehebatannya. Mereka akan bertarung dan
melakukan segala cara untuk memenangkan perang yang senjatanya adalah daun
pandan yang memiliki duri tajam. Peserta dalam upacara ini akan diberi satu helai
daun pandan dan satu perisai sebagai pelindungnya.
Mekare-Kare dilakukan setiap tahunnya untuk menghormati Indra yang merupakan
dewa perang dalam Hindu. Dengan melakukan upacara ini, semua pria di desa
akan dianggap kuat dan mampu melakukan perang. Upacara ini biasanya akan
diadakan pada awal Juni setiap tahunnya.
6. Upacara Mepandes
Bagi umat Hindu di Bali, Upacara Mepandes atau upacara potong gigi merupakan
upacara keagamaan yang wajib dilakukan jika seorang anak sudah beranjak dewasa
nih, sobat tiket. Upacara ini juga bisa diartikan sebagai bentuk dari pembayaran
hutang Orang Tua terhadap anak-anak mereka. Karena dianggap sudah bisa
menghilangkan enam sifat buruk yang ada di diri manusia.
Nah, dalam Upacara Mepandes ini, anak-anak yang beranjak dewasa tersebut 6
buah gigi taring bagian atas mereka akan dikikis. Dengan mengikir gigi taring
hingga rata tersebut, maka mereka yang beranjak dewasa diharapkan akan berbuat
kebaikan selalu kapan pun.
7. Upacara Ngurek
Upacara yang satu ini terbilang cukup ekstrem nih, sobat tiket. Hal ini karena
Ngurek dianggap mirip dengan debus. Nantinya, seseorang yang terlibat dalam
Upacara Ngurek ini akan menusuk tubuh mereka menggunakan keris.
Namun, bukan sekedar upacara biasa, Ngurek memiliki nilai moral yang dalam
lho, sobat tiket. Di mana sebagai manusia, kita wajib meyakini Tuhan Yang Maha
Esa. Dengan begitu, kamu akan diberikan anugerah dan juga pertolongan oleh
Yang Maha Kuasa. 
8. Upacara Tumpek Landep
Tumpek Landep merupakan upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali untuk
menyucikan senjata dan peralatan yang dimiliki, dengan sesaji dan juga doa-doa.
Upacara ini nantinya akan dipimpin oleh pemuka adat, dan dilakukan di Pura yang
dianggap sakral dan memiliki lokasi yang tepat.
Seluruh senjata dan peralatan milik masyarakat yang disucikan ini diharapkan
dapat memberikan keberkahan bagi para pemilik senjata dan peralatan tersebut. 
9. Upacara Otonan
Bali memang memiliki banyak upacara adat dan upacara keagamaan, seperti
contoh lainnya adalah Upacara Otonan. Upacara ini merupakan upacara adat yang
digelar dalam rangka kelahiran seseorang. Biasanya, Otonan akan digelar ketika
bayi sudah mencapai umur 6 bulan. Lalu akan diselenggarakan kembali setiap 6
bulan berikutnya, dengan upacara yang lebih kecil.
Masyarakat Bali meyakini, bahwa dengan dilakukannya Upacara Otonan, dapat
menentukan watak seseorang. Bahkan, akan diselenggarakan upacara lagi jika
watak dari seseorang tersebut kurang baik, dan diharapkan dapat merubah perilaku
tersebut.
10. Upacara Mesuryak
Terakhir, ada Upacara Mesuryak yang berlangsung dengan begitu meriah dan
penuh suka cita nih, sobat tiket. Upacara ini biasanya akan dilaksanakan setiap 6
bulan sekali, atau tepatnya pada Hari Raya Kuningan. Upacara Mesuryak ini hanya
bisa kamu temui di Desa Bongan, Kabupaten Tabanan. 
Tradisi yang digelar sebagai penghormatan kepada para leluhur ini ini biasanya
akan diselenggarakan dengan sorak sorai dan dengan memberikan bekal berupa
beras dan uang. Keunikan dari tradisi Mesuryak ini adalah ketika diwarnai dengan
melempar uang ke udara yang nantinya akan diperebutkan oleh warga.
1. Upacara Nokeso

Upacara Nokeso /celebesta.com

Nokeso  adalah sebuah upacara di Sulawesi Tengah bagi seorang perempuan


yang telah menjelang usia baligh (nabalego), yaitu dengan menggosok gigi
bagian depan hingga rata.
Biasanya, pelaksanaannya dilakukan tepat sebelum seorang perempuan
mengalami menarche  (haid pertama). Apabila seorang gadis telah mengalami
haid, biasanya orang tua akan merasa malu untuk mengupacarakannya.
Namun karena tuntutan adat, upacara akan tetap dilaksanakan.
Teknis upacara ini umumnya ditentukan oleh seorang vati sesuai dengan
status sosial atau warisan yang pernah diterima dari orang tuanya atau nenek
moyangnya. Sementara bagi seorang keturunan bangsawan, peran vati
digantikan oleh ketua dewan adat.
Upacara Nokeso bisa dikatakan adalah semacam upacara peresmian atau
pernyataan bahwa seorang anak perempuan yang diupacarakan telah
mengakhiri masa kanak-kanak dan memasuki masa kedewasaan. Maka dari
itu, diharapkan si perempuan tersebut selalu menjaga dirinya, tutur kata, serta
adat istiadat leluhurnya.
Bagi masyarakat setempat, upacara ini dimaksudkan untuk mengantarkan
anak perempuan memasuki masa karandaa  (gadis). Diharapkan, seorang anak
perempuan senantiasa diliputi kebahagiaan tanpa gangguan mental maupun
fisik, serta kemudahan dalam urusan jodoh, rezeki, dan panjang umur.
Bagi seorang putri bangsawan, upacara Nokeso biasanya akan digelar secara
besar-besaran oleh Ketua Dewan Adat Kerajaan selama tujuh hari tujuh malam
dan melibatkan seluruh rakyat desa. Biaya pesta biasanya diperoleh dari
bantuan rakyat yang disebut dengan pekasuvia,  berupa hewan ternak, beras,
sayur-sayuran, dan sebagainya.
Namun bagi rakyat biasa, upacara Nokeso akan dilaksanakan secara
sederhana saja. Selesai dalam waktu sehari.

Baca juga: Mengenal 10 Upacara Adat Bali yang Eksotis

2. Baliya Jinja

Baliya Jinja /kemendikbud.go.id


Baliya Jinja adalah sebuah upacara ritual pengobatan yang bersifat non-medis
dan telah dikenal sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat Suku Kaili. Sebelum
masa tersedianya rumah sakit, upacara ini diandalkan masyarakat Kaili untuk
memperoleh petunjuk dari roh nenek moyang terkait bagaimana
menyembuhkan penyakit yang tengah menimpa seseorang.
Namun hingga kini, upacara ini masih dilakukan. Ritual akan dipimpin oleh
seorang dukun atau tetua yang disebut  dengan Tina Nu Baliya. Sang dukun
biasanya akan mengenakan pakaian khusus berupa sarung, baju ari fuya,
serta destar (tudung) berwarna merah.
Dalam pelaksanaannya, Tina Nu Baliya akan duduk mengelilingi seorang
penderita penyakit yang diupacarakan. Sementara sejumlah tiga orang
bertugas meniup seruling, memukul tambur, dan gong. Sedapat mungkin,
alunan musik dimainkan dengan lemah lembut.

Lirik syair yang disenandungkan juga berisi puji-pujian yang ditujukan kepada
Yang Maha Kuasa agar berkenan menghilangkan segala gangguan setan dan
jin, serta mengembalikan kesehatannya seperti sediakala.

Dalam prosesinya, ritual Baliya Jinja dibagi menjadi dua jenis, yaitu sesajian
yang dilarung ke laut atau dibuang di gunung. Dalam sesajiannya pun, ada
beberapa macam, ada adat 9 dan adat 7. Angka-angka tersebut berkaitan
dengan jumlah sesajian yang dikorbankan, berupa ada sesaji inang, gambir,
tembakau, dan lain sebagainya.

Pelaksanaannya pun biasanya berlangsung selama berjam-jam. Setelah selesai


prosesi ritual, sesajian yang telah disiapkan tersebut akan dilarung ke laut
pada keesokan harinya sebagai simbol untuk membuang penyakit yang
mendera si penderita.

3. Upacara Rakeho
Rakeho /goodnewsfromindonesia.id

Masih berkaitan dengan upacara masa menjelang dewasa, Rakeho  adalah


upacara untuk menyambut peralihan masa remaja ke masa dewasa bagi kaum
laki-laki masyarakat Suku Kulawi di Sulawesi Tengah.
Bentuk inti pelaksanaan upacara Rakeho adalah meratakan gigi bagian depan
serata dengan gusi, baik gigi atas maupun gigi bawah. Bukan hanya untuk
mencari keselamatan, upacara ini juga dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan keharmonisan
hubungan rumah tangga.

Waktu pelaksanaan upacara Rakeho tidak terikat pada perhitungan waktu,


hari, atau bulan, namun disesuaikan dengan kemampuan orang tua yang
hendak menyelenggarakannya. Biasanya, upacara ini dilaksanakan pada waktu
setelah panen berhasil karena di saat itulah orang tua memiliki kemampuan
untuk menggelar upacara adat ini.
Upacara Rakeho biasanya dilaksanakan pada siang hari di sebuah tempat yang
telah disiapkan oleh orang tua, yaitu sebuah rumah yang telah dikosongkan di
tempat yang sedikit terpencil dan jauh dari keramaian.

Dalam teknisnya, upacara Rakeho hanya melibatkan seorang topekeho  (dukun)


yang telah memiliki pengalaman dan keahlian dalam mengikir gigi. Keahlian
seperti ini biasanya dimiliki topekeho yang diwariskan secara turun temurun
dari pendahulunya.
4. Upacara Ratompo
Ratompo adalah sebuah upacara yang khusus diadakan bagi seorang gadis
bangsawan yang telah menjalani prosesi Mancumani  dalam sebuah pesta adat
antar kampung. Prosesi upacara Ratompo kurang lebih sama dengan upacara
Rakeho, yaitu semacam pengikiran gigi bagi seorang perempuan yang telah
menjelang usia dewasa.
Adapun waktu pelaksanaannya digelar mulai dari pagi hari agar seluruh
prosesi upacara dapat dilakukan secara cermat. Sementara tempat upacara
harus jauh dari keramaian, seperti: di sebuah rumah kosong yang jauh dari
keramaian, atau di bawah pohon rindang di tengah hutan.

Prosesi upacaranya sendiri hanya melibatkan seorang topetompo  (dukun)


sebagai pemimpin yang dibantu oleh seorang topepalielu.  Selain kedua orang
tersebut bersama gadis yang diupacarakan, tidak ada yang boleh menyaksikan
atau mengikuti jalannya prosesi Ratompo, termasuk keluarganya.
Sebelumnya, si gadis yang diupacarakan akan memakai sebuah baju yang
terbuat dari kulit kayu, yang biasa disebut haili,  dan sarung dari mbesa.  Si
gadis juga akan diberi makan ketan putih dan telur sebagai simbol bahwa si
gadis telah rela untuk menjalani seluruh tahapan upacara.
Setelah prosesi pengikiran gigi selesai, si gadis akan diberi obat berupa air
hangat dan porama mavau  untuk berkumur. Setelah darah yang keluar mulai
berkurang, si gadis akan dipulangkan ke rumahnya dan diserahkan kepada
orang tuanya.
5. Upacara Nopamada
Nopamada  adalah sebuah upacara yang dilakukan pada saat-saat seseorang
menjelang sakaratul maut, dimana seluruh keluarga berkumpul dan berjaga-
jaga menjelang datangnya ajal.
Bagi masyarakat Kaili, momen seperti itu adalah waktu berharga untuk hadir
bersama dengan keluarga dan ikut serta menyaksikan jalannya upacara. 
Tanda-tanda orang yang sedang mengalami sakaratul maut oleh masyarakat
Kaili biasa disebut dengan nantapasaka.
Di saat-saat sekarat seperti itu, anggota keluarga atau orang yang berilmu
akan memberikan tuntunan dengan cara membisikkan pengajaran ke telinga
orang sekarat tersebut secara bergantian. Prosesi ini disebut
dengan mopotuntuka ritalinga.
Pada zaman dahulu, tuntunan sakaratul maut ini biasa dilakukan oleh
seorang sando  (dukun) dengan membaca mogane  (mantra) sembari meremas
bagian kepala dengan air yang sebelumnya telah dibacakan mantra-mantra
tertentu. Sementara keluarga dan kerabat akan menyaksikannya dengan
tenang.
Dewasa ini, upacara tersebut telah diwarnai dengan peranan agama. Ketika
seseorang mengalami rilara nuadanga,  maka pihak keluarga akan
mengadakan pengajian Alquran dari salah seorang yang diakui memiliki suara
yang fasih dan langgam yang baik.
Sementara yang bertugas membisikkan pengajaran atau tuntunan kepada
orang yang sekarat tersebut adalah anggota keluarga terdekat atau seorang
guru yang dianggap memiliki ilmu agama yang baik.

Kalimat yang dibisikkan ke telinga orang tersebut pada saat nipotuntuka


ritalinga adalah kalimat tauhid “La ilaha illallah”.  Sesuai dengan ajaran Islam
bahwa siapa yang mampu mengucapkan kalimat tauhid di saat-saat
terakhirnya, maka orang tersebut berhak masuk surga.
Inti dari upacara Nopamada ini adalah mengajarkan atau menuntun orang
yang mengalami sakaratul maut dengan suatu petunjuk yang diyakini dapat
membuka jalan yang lurus, agar roh dapat keluar dengan tenang pada saat
menghembuskan nafas terakhir.

Ajaran tersebut oleh masyarakat Kaili biasa disebut dengan “jalan ngamatea”


atau jalan menuju kematian. Isinya mempelajari tanda-tanda akan datangnya
ajal dan jalan yang akan ditempuh oleh roh seseorang menuju alam baka.
Ajaran seperti itu diperoleh melalui jalan tarikat dari guru-guru agama, yang
biasanya diajarkan kepada seseorang dalam kelambu atau bersifat sangat
rahasia. Ilmu tersebut tidak diajarkan kepada sembarang orang, melainkan
hanya kepada orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya untuk
mengajar orang-orang yang sedang dalam keadaan sakaratul maut.

6. Nompudu Valaa Mpuse


Tembuni /kemendikbud.go.id

Nompudu Valaa Mpuse  adalah upacara pemotongan tali pusar


dari tavuni  (tembuni) pada seorang bayi yang baru lahir. Upacara ini biasa
dilakukan oleh masyarakat Palu yang dibantu oleh seorang sando
mpoana  (dukun beranak).
Tali pusar dan tembuni oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai dua
makhluk yang harus dipisahkan. Oleh karena itulah, upacara ini dilakukan
dengan khidmat oleh seorang dukun bersalin agar roh tembuni tidak
mengganggu bayi setelah keduanya dipisahkan.

Setelah bayi lahir, dukun tersebut akan menutup kedua telinganya dengan
kepingan uang logam dan memotong tali pusar di atas uang logam 100 perak
meggunakan benji  (sembilu dari bambu).
Selesai pemotongan, ujung tali pusar yang tadinya berhubungan dengan si
bayi tersebut lalu diikat menggunakan bana  (benang) atau titinggi
nggaluku  (serat sabut kelapa merah yang masih muda), atau sering juga
menggunakan lui kuli nusuka  (serat kulit kayu balinjau).
Sementara itu, si bayi dimandikan menggunakan air hangat kuku yang biasa
disebut dengan uwe longo.  Sedangkan sang ibu dari bayi tersebut dibersihkan
dan diberi obat-obatan tradisional agar kekuatannya pulih kembali.
Tembuni yang merupakan bagian dari bayi tersebut oleh masyarakat setempat
dianggap sebagai saudara dari sang bayi. Tembuni tersebut akan disimpan
selama seminggu dengan dibungkus menggunakan kain kuning dalam sebuah
belanga tanah yang telah diberi garam dan asam.

Di atas belanga tersebut dihias dengan empat tusuk bawang dan kunyit
sebagai hiasan agar tembuni merasa mendapat pelayanan dan hiburan
sehingga tidak lagi mengganggu saudaranya. Dengan begitu, sang bayi tidak
selalu menangis atau tersenyum saat tidur karena diganggun oleh saudaranya
(tembuni).

Dalam upacara penanaman tembuni tersebut, dipilih dua anak perempuan


yang masih hidup kedua orang tuanya untuk bertugas membawa tembuni dari
rumah menuju tempat penanaman, sementara satu anak lagi membawa
makanan untuk tembuni tersebut.

Sepanjang jalan, kedua anak perempuan itu tidak diperbolehkan berbicara


ataupun ditanyai sesuatu sampai tembuni tersebut selesai ditanam. Dari
setelah prosesi kelahiran sampai selesai upacara penanaman tembuni, si bayi
juga dilarang dibawa keluar dari kamar, apalagi sampai keluar rumah dan
turun tanah.

Dalam upacara tersebut, disediakan dua buah lubang yang selain untuk
menanam tembuni, juga untuk menanam bibit kelapa. Pohon kelapa yang
ditanam tersebut adalah penanda usia sang anak, sekaligus sebagai penghibur
bagi tembuni dan menggembirakan sang anak ketika telah tumbuh besar.

Baca juga: Menelusuri 7 Tradisi Adat Toraja yang Unik dan Horror

7. Malabot Tumpe
Malabot Tumpe /sultengprov.go.id

Malabot Tumpe  adalah upacara syukuran atas panen telur burung maleo oleh


masyarakat Banggai, Sulawesi Tengah. Tradisi ini sudah dilakukan oleh
masyarakat Banggai sejak zaman Kerajaan Banggai pimpinan Raja Mandapar.
Maleo sendiri adalah seekor burung endemik Sulawesi Tengah yang hidup di
kawasan pantai. Populasinya banyak ditemukan di daerah Bangkiang,
Kecamatan Batui.

Prosesi upacara Malabot Tumpe ini diawali dengan mengumpulkan telur


burung maleo oleh perangkat adat. Setelah telur terkumpul, para perangkat
adat tersebut akan membawanya ke rumah ketua adat dan melakukan
rangkaian prosesi dengan doa dan dzikir kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Biasanya, untuk mengantarkan telur burung tersebut menggunakan perahu


melalui sungai Batui dan disertai dengan tujuh orang pengantar telur. Tujuh
orang tersebut terdiri dari: 3 orang pemangku adat yang biasa disebut
dengan ombuwa telur  (pembawa telur) dan 4 orang pendayung.
Sebelum diberangkatkan menuju Banggai, telur-telur maleo tersebut
dibungkus menggunakan daun pohon palem yang biasa disebut
daun komunong.  Para pembawa telur akan berjalan dan diarak menuju sungai
Batui dengan iringan genderang dan dikawal oleh pasukan adat.
Telur-telur maleo biasanya dikumpulkan dari lima desa, yaitu Dakanyo Ende,
Binsilok Balatang, Tolando, Binsilok Katundunan, dan Topundat. Masing-
masing desa tersebut biasanya dapat mengantarkan 20 hingga 25 butir telur.
Sehingga setiap tahun dapat terkumpul kurang lebih sampai 100 butir telur
untuk upacara Malabot Tumpe.

Namun kini dikabarkan bahwa keberadaan telur burung maleo semakin


berkurang, sehingga jumlah telur yang diupacarakan semakin sedikit. Upacara
Malabot Tumpe seperti ini biasa diadakan rutin setiap tahun, pada musim
pertama bertelurnya burung maleo yang biasanya terjadi pada bulan
September.

Januari
Desa Bena. Foto: Wego Photo

Contest/Valentino Luis

Peristiwa: Upacara Adat Reba


Lokasi: Desa Bena, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada (Pulau Flores)

Sejenis thanksgiving yang digelar untuk menyambut Tahun Baru, upacara adat
Reba biasanya ditandai dengan acara makan ubi dan tarian tradisional Besa Uwi.
Ubi, yang disebut uwi, dianggap sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat yang
hidup di Kabupaten Ngada. Itu sebabnya, pada kesempatan tersebut mereka
mempersembahkan lagu untuk memuja ubi, judulnya O Uwi.
Sebelum upacara adat Reba dibuka, mosalaki atau kepala adat dari masyarakat
Desa Bena akan menyusun kalender budaya untuk rentang setahun. Ia
menyusunnya dalam tempat yang disebut lanu.

Hampir semua masyarakat Kabupaten Ngada ikut merayakan upacara adat Reba.
Waktunya bervariasi, ada yang merayakan di pengujung Desember, Januari, dan
ada pula yang baru merayakannya pada akhir Februari.

Peristiwa: Bijaulungu Hiupaana
Lokasi: Anakalang, Kabupaten Sumba Barat (Pulau Sumba)

Bijaulungu  Hiupaana adalah ritual sakral bagi pemeluk Marapu, kepercayaan tua
di Pulau Sumba. Upacara tersebut merupakan bentuk ungkapan syukur dan
penanda dimulainya musim tanam, sehingga masyarakat mulai menyiapkan
perlengkapan bertanam dan benih bagi ladang-ladang mereka.

Februari
Peristiwa: Pasola
Lokasi: Desa Lamboya dan Desa Kodi, Kabupaten Sumba Barat (Pulau Sumba)

Tradisi perang kuno pasola adalah bentuk ungkapan syukur masyarakat Sumba atas hasil
panen mereka. Kelompok yang berperang terdiri dari orang-orang pilihan. Mereka menunggang
kuda yang sudah didekorasi dengan hiasan berwarna-warni, lalu saling melempar tombak kayu
sehingga pihak lain terluka. Menurut kepercayaan setempat, darah pemain pasola dipercaya
akan menyuburkan tanah. Adapun, pasola biasanya digelar sesudah Festival Bau Nyale –
tradisi mencari cacing laut yang setahun sekali muncul pada malam hari hingga subuh.

Peristiwa: Pahoru
Lokasi: Bhodo, Kabupaten Sabu Raijua (Pulau Sabu)

Tradisi Pahoru adalah bentuk ungkapan syukur kepada Sang Pencipta, biasanya
diikuti pertarungan antar anak laki-laki dan parade kuda. Malam harinya, acara
dilanjutkan dengan Padoa – tarian adat yang terkenal di kalangan anak muda
setempat. Hiburan Padoa biasa dipertunjukkan di Pantai Bhodo yang berjarak 2
kilometer dari Seba, ibu kota Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua.

Maret
Semana Santa. Foto: Antara/Ismar

Patrizki

Peristiwa: Prosesi Jumat Agung


Lokasi: Larantuka, Kabupaten Flores Timur (Pulau Flores)

Prosesi yang disebut Semana Santa tersebut digelar mulai dari akhir Maret sampai
awal April di Kota Reinha Rosari, Larantuka. Prosesi mengarak Patung Tua Ma atau
patung Bunda Maria tersebut diikuti oleh seluruh umat Katolik yang ada di Kota
Larantuka dan daerah tetangga. Beberapa umat juga datang dari berbagai penjuru
dunia, khusus untuk menyaksikan prosesi yang telah berusia 6 abad itu. Kalau kamu
berencana datang untuk melihat langsung prosesi tersebut, jangan lupa juga
berkunjung ke desa-desa adat fantastis di sekitarnya seperti Muda Keputu, Kawaliwi,
Riang Kemie, Wurek Adonara, dan Kongo.

Peristiwa: Pate Baloi
Lokasi: Takpala, Kecamatan Lembor Barat, Kabupaten Alor (Pulau Alor)

Pate Baloi adalah upacara pembukaan musim tanam di Kampung Takpala. Acara
tersebut biasa berlangsung pada minggu kedua Maret dan ditandai dengan
pemancangan bambu, membelah pinang, dan makan bersama sambil diiringi tarian
tradisional Lego-Lego. Lokasi Kampung Takpala tidak jauh dari objek wisata
bahari Pulau Pantar.

April
Peristiwa: Perburuan Paus
Lokasi: Lamalera, Kabupaten Lembata (Pulau Lembata)

Aksi berburu paus secara tradisional di Lamalera telah berlangsung sejak ratusan
tahun lalu. Tradisi peninggalan nenek moyang tersebut biasa berlangsung di sekitar
perairan Lamalera saja. Hasil buruan paus akan ditukar dengan jagung, beras, ubi,
pisang, dan pangan lain dari masyarakat gunung. Adapun, daging paus dibagikan
kepada semua warga kampung, terutama janda dan fakir miskin.

Acara tersebut biasa digelar antara bulan April dan Mei. Selain itu, di sekitar lokasi
juga terdapat objek wisata lain yakni pantai berpasir putih di Desa Bean dan
museum yang bisa memberikan informasi tentang tradisi berburu paus masyarakat
setempat yang berlokasi di Desa Benhading.

Peristiwa: Pawai Paskah
Lokasi: Kota Kupang (Pulau Timor)

Pawai Paskah digelar dengan meriah di Kota Kupang. Beraneka kendaraan dengan
dekorasi tentang perjalanan Yesus akan memadati jalanan dan selanjutnya
berparade keliling kota.

Mei
Peristiwa: Bei Mau
Lokasi: Betun, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Belu (Pulau Timor)

Upacara adat dari Desa Betun ini dihadiri oleh banyak suku setempat. Mereka akan
berkumpul dalam rumah adat besar, lalu menyembelih ternak. Sepanjang ritual
berlangsung, wisatawan juga bisa melihat tarian adat setempat dimana penari
menari sambil menabuh sebuah kendang atau lebih terkenal dengan sebutan Tari
Likurai.

Peristiwa: Bui Ihi Hole


Lokasi: Kabupaten Sabu (Pulau Sabu)

Ungkapan syukur masyarakat atas hasil panen yang baik dirayakan dengan pawai kuda yang
diiringi dengan alat musik tradisional seperti gong dan gendang, pembacaan puisi adat, nyanyi-
nyanyian rakyat. Setelah Hole selesai, acara dilanjutkan dengan berlayar dengan perahu
tradisional, acara perang adat, adu ayam, dan malam hari ditutup dengan Pado’a atau
pertunjukkan tari tradisional.

Juni
Peristiwa: East Nusa Tenggara Expo, disingkat ENTEX
Lokasi: Kota Kupang (Pulau Timor)

ENTEX adalah pameran yang menampilkan seluruh budaya dan potensi wisata
yang ada di Nusa Tenggara Timur. Acara tersebut dihadiri juga oleh pemerintah
kabupaten dan peserta lain. ENTEX merupakan kesempatan yang bagus buat kamu
yang penasaran dengan budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur. Selama
pameran berlangsung, digelar pula festival tari tradisional dan penampilan lagu-lagu
rakyat.

Peristiwa: Balapan kuda
Lokasi: Tanjung Bastian, Kabupaten Timor Tengah Utara (Pulau Timor)

Acara balap kuda rutin digelar di Tanjung Bastian, lebih tepatnya di Kampung Humucu. Selain
menyaksikan acara tersebut, kamu juga bisa berkunjung ke desa tradisional Tamkesi, istana tua
milik Kerajaan Insana, dan Gua St Mary di Bitauni.
Juli

Danau Kelimutu. Foto: Wego Photo


Contest/Valentino Luis
Peristiwa: Festival Kelimutu
Lokasi: Kabupaten Ende (Pulau Flores)

Festival ini digelar di sekitar danau tiga warna Gunung Kelimutu. Selain
menampilkan tari-tarian tradisional, wisatawan juga bisa melihat langsung
kebudayaan masyarakat setempat.

Peristiwa: Hoes Ndeo
Lokasi: Rote Barat Laut, Kabupaten Rote Ndao (Pulau Rote)

Upacara Hoes Ndeo digelar enam hari berturut-turut antara bulan Juli dan Agustus
di Desa Boni, berjarak 12 kilometer dari ibu kota Kabupaten Rote Nda, Ba’a.
Upacara tersebut dipersembahkan bagi dewa laut. Beberapa pertunjukkan yang bisa
disaksikan selama upacara berlangsung antara lain pertunjukkan menunggang
kuda, tari tradisional yang diiringi alat musik gong dan kebelai, lagu-lagu rakyat,
serta pembacaan puisi adat.

Agustus
Peristiwa: Festival Cepi Watu
Lokasi: Kabupaten Manggarai Timur (Pulau Flores)

Festival tahunan ini digelar untuk memperingati HUT kemerdekaan RI. Pertunjukkan
adat yang bisa disaksikan selama festival berlangsung antara lain danding, mbata,
sae, dan Tari Caci.

Peristiwa: Balap kuda
Lokasi: Waikabukbak, Kabupaten Sumba Barat (Pulau Sumba)

Ini adalah balapan kuda kelas nasional yang rutin digelar di Waikabukbak,
Kabupaten Sumba Barat.
Peristiwa: Pameran Pembangunan
Lokasi: Arena Pameran Fatululi, Kota Kupang (Pulau Timor)

Even tahunan ini biasa diramaikan oleh pengusaha lokal dan pemerintah
kabupaten/kota yang ada di Nusa Tenggara Timur.

Peristiwa: Pasola
Lokasi: Wewewa, Kabupaten Sumba Barat (Pulau Sumba)

Tradisi ini berawal dari Wanokaka, Loli, dan Kecamatan Wewewa. Digelar keluarga
petani sebagai ungkapan syukur atas berlimpahnya hasil panen, pasola yang satu
ini biasa berlangsung di tengah-tengah sawah.

September
Peristiwa: Loka Po’o
Lokasi: Kabupaten Sikka (Pulau Flores)

Tradisi yang berasal dari daerah Wolowiro, Gaikun, Bu Utara, Bu Selatan,


Renggarasi, Nduaria, Detumbingga, dan kampung adat Woloata di Kecamatan Paga
tersebut digelar untuk menyambut musim tanam padi. Dengan digelarnya Loka Po’o,
masyarakat berharap hasil panen padi mereka berlimpah.

Peristiwa: Festival Panen Kacang Hijau


Lokasi: Kabupaten Lembata (Pulau Lembata)

Upacara sakral ini digelar untuk mengenang arwah nenek moyang. Sepanjang upacara,
berlangsung pertunjukkan lagu rakyat dan puisi yang diiringi permainan gong dan gendang.

Peristiwa: Rote Open International Surfing


Lokasi: Nembrala dan Boa, Kabupaten Rote Ndao (Pulau Rote)

Even selancar internasional tersebut digelar di Pantai Nembrala yang terkenal akan ombaknya
yang menantang dan pantai pasir putihnya yang indah.

Oktober
Peristiwa: Festival Nusak Sasando
Lokasi: Ba’a, Kabupaten Rote Ndao (Pulau Rote)

Festival Nusak Sasando digelar untuk mempertunjukkan keindahan bunyi alat musik
sasando, sejenis harpa tradisional yang berasal dari Pulau Rote.

Peristiwa: Nggua Uwi, Joka Ju, dan Teas Wela


Lokasi: Detusoko, Kabupaten Ende (Pulau Flores)

Digelar di Desa Detusoko, upacara adat tersebut berfungsi sebagai syukuran untuk
musim tanam dan upacara tolak bala dari segala bentuk kemalangan.
Peristiwa: Upacara Riput
Lokasi: Tabundung, Sumba Timur (Pulau Sumba)

Upacara Riput digelar di Desa Tabundung. Dalam upacara tersebut, wisatawan bisa
melihat langsung proses pembuatan tenun ikat yang menurut sejarah berasal dari
India kuno. Saat ini, tenun ikat tersebut menjadi kain tradisional bagi masyarakat
setempat.

November
Bangunan suci penganut Marapu. Foto:

Wego Photo Contest/Valentino Luis

Peristiwa: Wulla Poddu
Lokasi: Sumba (Pulau Sumba)

Upacara adat untuk menyambut bulan suci bagi pemeluk Marapu ini biasa digelar
dengan acara sembelih ayam. Masing-masing kepala suku dari para penganut
Marapu akan mewakili acara penyembelihan tersebut.

Wulla Poddu yang dikenal juga dengan nama Bulan Pemeli berlangsung selama 30
hari di bulan November.

Peristiwa: Turnamen Mancing Internasional

Lokasi: Kabupaten Sumba Barat (Pulau Sumba), Kabupaten Kupang (Pulau


Timor), Kabupaten Rote Ndao (Pulau Rote)

Turnamen ini digelar di tiga lokasi antara lain di perairan Kabupaten Sumba Barat,
Pantai Tablolong Kupang, dan berakhir di Rote Ndao. Kompetisi mancing
internasional diikuti peserta dari dalam negeri dan luar negeri.

Desember
Peristiwa: Toja Bobu
Lokasi: Lela, Kabupaten Sikka (Pulau Flores)
Toja Bobu merupakan pertunjukkan sendratari tradisional yang bercerita tentang
Putri Raja Prinseja yang dilamar saudagar Portugis bernama Maskadar.

1. Upacara Bakar Batu


Sumber: channel-indonesia.com

Upacara adat pertama yang ada di Papua adalah upacara Bakar Batu. Bakar Batu
sendiri merupakan ritual memasak bersama yang dilakukan masyarakat Papua
dengan cara yang unik. Upacara tradisional yang diwariskan secara turun temurun
ini merupakan bagian ritual penting yang biasa dilakukan oleh suku Dani yang
berada di Lembah Baliem, Papua.

Upacara Bakar batu merupakan simbol dari solidaritas masyarakat Papua dan
sebagai ungkapan rasa syukur mereka pada sang pecipta. Proses memasak yang
dilakukaan, yaitu dengan membuat lubang di dalam tanah. Lubang ini kemudian
dilapisi rumput dan diisi dengan batu merah yang telah dipanaskan.

Setelah itu diatasnya diletakkan berbagai jenis umbi-umbian, sayur-sayuran, dan


daging. Proses memasak sendiri biasa memerlukan waktu sekitar 1-2 jam. Setelah
proses memasak selesai, makanan tersebut akan dibagikan pada seluruh warga
setempat.

2. Upacara Tanam Sasi


Sumber: old.sumber.com

Upacara adat selanjutnya yang ada di Papua adalah upacara Tanam Sasi, yaitu
upacara adat kematian yang biasa dilakukan oleh suku Marind atau Marind-Anim
yang berada di wilayah Papua Barat atau lebih tepatnya di Kabupaten Merauke.
Upacara Taman Sasi menggunakan kayu Sasi sebagai media utama saat proses
upacara berlangsung.
Masyarakat Papua sendiri percaya bahwa ukiran pada kayu Sasi memiliki beberapa
makna mulai dari simbol kehadiran roh para leluhur, simbol perasaan sedih dan
bahagia, simbol kepercayaan terhadap makhluk hidup serta sebagai simbol
keindahan dan karya seni.

Dalam prosesnya, Sasi tersebut ditanam selama empat puluh hari setelah kematian
anggota keluarga. Nah, setelah 1.000 hari ditanam, Sasi tersebut akan dicabut.
Upacara Tanam Sasi biasanya diiringi dengan tarian tradisional Gatsi dan alat musik
Tifa.

3. Upacara Wor
Sumber: liputan.co.id

Upacara Wor adalah upacara adat yang biasa dilakukan oleh suku Biak, suku yang
dikenal sebagai kelompok etnis terbesar yang berada di wilayah tanah Papua.
Upacara Wor berisi nyanyian dan tarian yang dilakukan oleh masyarakat Biak ketika
terdapat kejadian penting seperti kelahiran, pernikahan dan kematian, atau
saat sedang melakukan suatu pekerjaan seperti berlayar, bertani, atau berburu.

Wor sendiri merupakan upacara sakral yang memiliki nilai-nilai budaya serta simbol
kepercayaan masyarakat Biak terkait hubungan mereka dengan sang pencipta,
makhluk hidup dan alam yang menjadi tempat tinggal mereka. Dalam prosesnya,
ritual ini akan dipimpin oleh kepala adat dengan iringan alat musik Tifa sepanjang
ritual.

Mereka mengenakan pakaian adat dari kulit kayu serta menghiasi tubuh mereka
dengan lukisan. Saat ritual berlangsung para penari pria menggunakan hiasan
kepala dari bulu burung Cenderawasih. Sementara penari wanita biasanya
menggunakan aksesori yang terbuat dari kulit kerang.

4. Tradisi Iki Palek

Sumber: goodnewsfromindonesia.id

Upacara adat lainnya yang cukup terkenal dari Papua adalah tradisi Iki Palek. Ritual
yang satu menjadi hal yang biasa dilakukan oleh suku Dani sebagai bentuk
kesedihan mereka karena kehilangan anggota keluarga. Bagi mereka menangis
bukanlah satu satunya cara untuk menunjukkan kesedihan yang dirasakan.

Setiap ada anggota keluarga yang meninggal. Mereka akan menunjukkan kesedihan
dengan tindakkan yang cukup esktrem, yaitu memotong jari. Bagi mereka rasa sakit
memotong jari dianggap dapat mewakili perasaan sedih yang mereka rasakan
karena kehilangan tersebut.

Kehilangan anggota keluarga sama dengan kehilangan sebagian kekuatan. Hal


itulah yang menjadi filosofi dari ritual Iki Palek. Nah, dalam prosesnya masyarakat
suku Dani akan menggunakan pisau atau kapak saat melakukan potong jari. 

5. Perkawinan Suku Biak


Sumber: lintaspapua.com
Masyarakat suku Biak dikenal suka menjodohkan anak-anak mereka sejak kecil.
Nah, sebelum akhirnya melaksanakan upacara pernikahan. Masyarakat suku Biak
biasanya menjalani serangkaian prosesi mulai dari pinangan yang dilakukan oleh
orang tua (senepen), prosesi lamaran (fakfuhen), hingga akhirnya melangsungkan
pernikahan.

Baca juga:

Inilah 8 Destinasi Wisata Menarik di Fakfak, Papua Barat

10 Tarian Adat Papua yang Menarik untuk Dipelajari

10 Pantai Terindah di Papua yang Cocok untuk Liburan

Upacara pernikahan masyarakat Biak sendiri terbilang cukup sederhana. Biasanya


persiapan pernikahan sendiri biasanya dilakukan satu Minggu sebelum hari H. Sama
seperti pengantin pada umumnya. Kedua calon pengantin akan dihias dengan
pakaian adat. Sementara resepsi sendiri biasanya dilakukan di rumah pihak
pengantin pria.

Prosesi pernikahan dimulai dengan penyerahan benda pusaka seperti panah,


parang, dan tombak antara kedia belah pihak. Setelah itu pengantin akan diberi
sebatang rokok yang harus dihisap keduanya secara bergantian dan diawali oleh
pengantin pria yang disusul oleh pengantin wanita dengan iringan doa dan mantera
dari tetua suku. Setelah selesai, kedua keluarga makan bersama.

6. Tradisi Nasu Palek


Sumber: correcto.id

Kematian merupakan sesuatu yang tidak diharapkan oleh setiap orang. Meskipun
setiap manusia pada akhirnya harus berpulang, namun tetap saja hal tersebut
menjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada keluarga atau orang-orang yang
disayangi.

Nah, selain tradisi Iki Palek, masyarakat suku Dani juga menjalani tradisi Nasuk
Palek, yaitu tradisi iris daun telinga. Hal itu dilakukan oleh masyarakat suku Dani
untuk mengungkapkan rasa berduka atas anggot keluarga yang meninggal dunia.

Masyarakat suku Dani sendiri menganggap bahwa setiap irisan telinga yang
berkurang adalah bentuk penghormatan mereka pada ayah, ibu, anak, maupun
saudara yang telah meninggal. 

7. Upacara Kematian Suku Asmat


Sumber: diajeng-lia.blogspot.com

Kebudayaan yang ada di Papua memang unik dan menarik untuk diketahui. Suku
Asmat adalah salah satu suku dengan populasi terbesar di Papua. Sama seperti
suku lainnya yang ada di Papua, suku Asmat juga memiliki beberapa ritual atau
upacara penting yang biasa dilakukan. Salah satu yang masih dijalankan hingga
saat ini adalah upacara kematian suku Asmat.

Masyarakat suku Asmat diketahui tidak mengubur mayat anggota suku yang
meninggal. Mereka biasa meletakkan mayat di atas perahu lesung dengan dibekali
sagu dan dibiarkan mengalir ke laut atau membiarkan mayatnya di atas anyaman
bambu hingga membusuk.

Setelah mayat tersebut menyisakan tulang belulang, mereka akan menyimpannya di


atas pokok-pokok kayu. Sementara tengkoraknya akan dijadikan sebagai bantal oleh
anggota keluarga yang lain. Hal itu merupakan bentuk kasih sayang mereka pada
orang yang telah meninggal.

8. Snap Mor

Sumber: indon
esiamagz.id

Nah, tradisi adat yang ada di Papua selanjutnya adalah snap mor, yaitu tradisi
menangkap ikan di air laut surut yang dilakukan oleh masyarakat Suku Biak secara
bersama-sama. Tradisi tahunan ini diketahui masih bisa kita lihat hingga saat ini.
Snap mor sendiri merupakan budaya asli masyarakat Biak yang menjadi bagian dari
pesta adat munara.

Snap mor dilakukan pada saat air laut dalam keadaan surut, yaitu pada bulan Juli
hingga Agustus. Tradisi snap mor sendiri menjadi pertanda bahwa suku Biak
memiliki pengetahuan megenai waktu yang tepat untuk mendapatkan ikan. Selain
mengandung nilai-nilai kebersamaan, Snap Mor sendiri sebagai bentuk rasa syukur
masyarakat suku Biak atas berkat yang diberikan sang pencipta.

9. Upacara Kiuturu Nandauw


Sumber: kumpulanadat-indonesia.blogspot.com
Hampir mirip dengan yang biasa dilakukan oleh daerah lain. Di Papua juga terdapat
sebuah upacara khusus penting yang biasa dilakukan oleh orang tua untuk anak-
anak mereka. Anak-anak di Papua sendiri biasanya melaksanakan serangkaian
ritual yang menjadi tradisi turun-temurun.

Beberapa diantaranya, yairu k'bor atau khitan yang di lakukan pada anak laki-laki,
tradisi aro era tu ura, yaitu melubangi daun telinga dan cuping hidung anak
perempuan, dan juga upacara Kiuturu Nandauw, atau biasa disebut dengan
Kakarukrorbun, yaitu upacara adat potong rambut pertama kali ketika anak
menginjak usia 5 tahun.

Anda mungkin juga menyukai