Anda di halaman 1dari 23

PEMBAHARUAN DI INDIA PAKISTAN (SAYYID AMIR ALI, IQBAL, JINNAH, ABUL

KALAM AZAD DAN ABU A’LA MAUDUDI)

Di Susun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam

Dosen Pengampu :

Dr. Mohammad Anang Firdaus, M. Pd.I

Di Susun Oleh :

Kelompok 8

1. Nurul Ainiyah (21201070)


2. Nabila Yumna Azizah (21201071)
3. Oktavia Anisatul Fauziah (21201074)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pembaharuan di India/Pakistan (Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah, Abul Kalam Azad
dan Abu A’la Maudud)”.

Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Dr. Mohamad Anang Firdaus,
M.Pd.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam yang telah
menjadikan kami belajar bertanggung jawab terhadap kewajiban menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, dan semoga untuk ke depannya para pembaca dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi, karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman kami sebagai penulis sekaligus penyusun.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kediri, 20 Oktober 2023

Pemakalah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Sejarah dan peradaban umat Islam telah dijumpai berbagai macam aliran
pemikiran yang masing-masing mempunyai corak dan karakteristik tertentu. Perbedaan
yang ada tentunya tidak dapat dinafikan begitu saja tanpa melakukan sebuah
penyelidikan atau upaya untuk mencari grass root sebuah aliran pemikiran. Hal ini
dapat dicermati mulai dari periode klasik Islam (650-1250), periode pertengahan
(1250-1800) dan periode modern (1800 M dan seterusnya). Setiap periode mempunyai
ciri dan keunikan tersendiri, terutama pada periode modern.
Periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam, yang ditandai dengan
jatuhnya Mesir ke tangan Eropa yang pada akhirnya menjadikan umat Islam ini insaf
atas kelemahan-kelemahannya serta sadar bahwa di Barat telah muncul sebuah
peradaban baru yang lebih tinggi dan super power yang merupakan ancaman yang
serius terhadap umat Islam. Para penguasa, tokoh serta pemikir-pemikir Islam mulai
memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam agar dapat
bangkit kembali dari keterpurukan, dan tentunya diharapkan dapat bersaing,
berkompetesi dan jauh lebih unggul dari peradaban lain di dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembaharuan Sayyid Amir Ali?
2. Bagaimana Pembaharuan Muhammad Iqbal?
3. Bagaimana Pembaharuan Muhammad Ali Jinnah?
4. Bagaimana Pembaharuan Abul Kalam Azad?
5. Bagaimana Pembaharuan Abu A’la Maududi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pembaharuan Sayyid Amir Ali
2. Untuk mengetahui Pemhaharuan Muhammad Iqbal
3. Untuk mengetahui Pembaharuan Muhammad Ali Jinnah
4. Untuk mengetahui Pembaharuan Abul Kalam Azad
5. Untuk mengetahui Pembaharuan Abu A’la Maududi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembaharuan Sayyid Amir Ali


1. Biografi Sayyid Amir Ali
Sayyid Amir Ali berasal dari keluarga Syiah yang di zaman Nadir Syah (1736-
1747) pindah dari Khurasan di Persia ke India. Keluarga itu kemudian bekerja di istana
raja Mughal. Sayyid Amir Ali lahir di tahun 1849, dan meninggal dalam usia 79 tahun.
Tahun 1869 ia pergi ke Inggris untuk meneruskan studi dan selesai ditahun 1873
dengan memperoleh kesarjanaan dalam bidang hukum. Selesai dari studi ia kembali ke
India dan pernah bekerja sebagai pegawai Pemerintah Inggris, pengacara, hakim, dan
guru besar dalam hukum Islam. Di tahun 1883 ia diangkat menjadi salah satu dari
ketiga anggota Majelis Wakil Raja Inggris di India. Ia adalah satu-satunya anggota
Islam dalam Majelis itu (Harun Nasution, 1990: 181).
Tahun 1877 ia membentuk National Muhammedan Association, sebagai wadah
persatuan umat Islam dan untuk melatih mereka dalam bidang politik. Amir Ali juga
berpendapat bahwa Islam bukanlah agama yang membawa kepada kemunduran
sebaliknya Islam adalah agama yang membawa kepada kemajuan dan untuk
membuktikannya ia mengajak meninjau kembali sejarah masa lampau bahwa agama
bukanlah yang menyebabkan kemunduran dan menghambat kemajuan. Ia tidak
menutup pintu ijtihad melainkan membuka pintu ijtihad. Dia juga berpendapat,
menggunakan akal bukan suatu dosa dan kejahatan. Bahkan ia memberikan dalil untuk
menyatakan bahwa ajaran Islam tidak bertentangan dengan pemikiran akal.
Sayyid Amir Ali untuk memajukan umat Islam ia berpendirian tidak ingin
bergantung atau berkiblat kepada ketinggian dan kekuatan Barat seperti halnya dengan
Sayyid Ahmad Khan. Sayyid Amir Ali dalam memajukan umat Islam ia berpatokan
dan berkiblat pada ilmu pengetahuan yang dicapai oleh umat Islam di zaman itu, karena
mereka kuat berpegang pada ajaran Nabi Muhammad Saw. dan berusaha keras untuk
melaksanakannya.1

2. Ide-Ide Pembaharuan Sayyid Amir Ali


Gagasan Sayyid Amir Ali (1849-1928) dalam pembaharuan Islam, antara lain: (1)
Islam adalah agama yang membawa kepada kemajuan bukan kemunduran; (2) umat
Islam abad ke 20 mengalami kemunduran karena fokus perhatian hanya pada ibadah
dan kehidupan akhirat sehingga melupakan sejarah, terutama sejarah klasik, masa
kejayaan Islam; (3) kembali kepada sejarah untuk membuktikan bahwa Islam adalah
agama rasional dan agama kemajuan, dan mengajak umat Islam menciptakan kembali
umat Islam pada zaman klasik, zaman kemajuan umat Islam; (4) kemunduran umat
Islam karena meninggalkan ijtihad; (5) kemajuan umat Islam bisa dicapai jika umat
Islam percaya pada kemampuan akalnya; (6) tentang pertanggungjawaban manusia di
akhirat, ia berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam tindakannya dan
atas dasar itu ia bertanggung jawab sejalan dengan pendapat Qadariyah; (7) kalahnya
aliran rasionalisme dalam Islam, yang membawa kemunduran umat Islam, jalan
keluarnya ialah menghidupkan kembali aliran rasionalisme; dan (8) wanita harus
mendapatkan pendidikan sama dengan laki-laki.2
Walaupun pemikiran Amir Ali dinilai berbau apologetic tentang Islam. Akan tetapi
justru dengan gayanya tersebut ia mampu menampilkan pembelaan yang tinggi
terhadap Islam dan menampilkan Islam yang rasional kepermukaan dunia. Dengan
demikian, ia telah mampu mengangkat citra umat Islam India. Tapi ia tidaklah
mengorbankan kelompok keagamaan lain. Hal ini didasarkan oleh semangat
nasionalismenya yang di dasari solidaritas Islam. Karen itu ia dianggap mempunyai
citra tersendiri di mata umat Islam bahkan di mata Barat.
Untuk mengetahui lebih jelas ide dan langkah pembaharuan Amir Ali maka ada
beberapa ide pembaharuan yang dilontarkan dalam merespon situasi dan kondisi sosio-

1
Samrin, ‘Modernisasi Islam Di India’, Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Komunikasi Dan Bimbingan Islam, 8.1 (2015), 79–90.
2
Arif Muzayin Shofwan Shofwan, ‘Studi Pola Pembaharuan Islam Modern Klasik Di Mesir, Turki, Dan India’,
Kreatifitas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, 10.2 (2022), 138–47 <https://doi.org/10.46781/kreatifitas.v10i2.345>.
politik keagamaan umat Islam, khususnya masyarakat India. Ide itu antara lain,
rasionalisme dan filsafat Islam, yang akan dijelaskan secara singkat berikut ini :
1. Islam Agama Kemajuan
Amir Ali memandang bahwa agama Islam tidak membawa umatnya kepada
kemunduran. Hanya saja kini umat Islam mundur karena disebabkan oleh
pemahaman umat Islam telah mengamalkan ajaran Islam yang salah, yaitu
ajaran yang sudah diubah dalam pemahaman dan pemikiran. Untuk
membuktikan hal tersebut Amir Ali kembali ke dalam sejarah Islam klasik.
Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam pernah jaya, sejumlah pemikir
lahir dalam semua bidang ilmu pengetahuan dan teknolohi. Hal ini disebabkan
karena umat Islam mendalami dan mengamalkan ajaran Islam yang benar
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Tapi sekarang keadaan ini justru sebaliknya
umat Islam kebanyakan mengambil ajaran Islam yang dipengaruhi oleh ajarang
yang tidak rasional sehingga penghargaan mereka terhadap akal pikiran sangat
rendah.
Jadi kalau di masa klasik umat Islam maju dan bukan umat yang mundur,
maka mengapa di masa sekarang umat Islam tidak bisa maju. Masalah yang
perlu diselidiki adalah hal hal yang membuat maju di zaman klasik dan
penyebab umat Islam mundur pascakemajuannya.
Amir Ali memaparkan bahwa mundurnya umat Islam disebabkan oleh
kejumutan berfikir, umat Islam menutup rapat rapat pintu Ijtihad. Mereka
tunduk pada pendapat ulama abad IX yang tidak dapat dipakai lagi di abad
modern. Umat Islam seakan-akan tidak lagi menghargai akal, padahal sangat
dihargai oleh agama. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan mempelajari ilmu
pengetahuan sebanyak-banyaknya. Usaha mencari ilmu sudah ada sejak al-
khualafa’ ar-Rasyidin, kemudian dikembangkan di era Daulah Abbasiyah.
Penguasa ketika itu, al-Mansyur memerintahkan penerjemahan buku-buku
filsafat dan berbagai jenis ilmu pengetahuan yang menghantarkan umat Islam
kepada kemajuannya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama
yang pertama mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara ketika itu,
orang Eropa masih mengalami kemunduran intelektual. Akan tetapi setelah
umat Islam meninggalkan pemikiran dan ijtihad, maka Islam pun mengalami
kemunduran.
2. Rasionalitas dan Filsafat Islam
Sebelum Islam dating bangsa arab menggantungkan diri dan pasrah
terhadap nasib (fatalisme), kemudian Islam dating untuk mengubahnya.
Menurut Amir Ali, jiwa yang terkandung dalam Al-Qur’an bukanlah jiwa
fatalism, tetapi jiwa kebebasan manusia untuk berbuat, jiwa manusia yang
bertanggung jawab. Nabi sendiri adalah orang yang sangat menganjurkan akan
kebebasan dalam menentukan nasib, progresif dan penuh daya dorong
intelektual. Dengan jalan ini manusia mempunyai kemampuan dan kemauan
sendiri untuk menentukan nasibnya. Didalam paham ini, Amir Ali berprinsip
Qadariyah. Karena itu paham-pahamnya tentu saja bertumpu pada
rasionalisme. Paham inilah menurutnya yang menimbulkan peradaban Islam
klasik.
Amir Ali mengangumi faham yang dimiliki oleh Mu’tazilah. Aliran inilah
yang memompa rasionalitas ke seluruh dunia Islam, sebab aliran ini pula, Islam
mampu meraih prestasi puncak dibidang pemikiran, filsafat, teologi,
pengetahuan umum dan sebagainya. Ajaran ini pula yang mengantarkan umat
Islam mampu menguasai Islam ke Barat. Timbulnya rasionalisme Mu’tazilah
yang berhasil mendekati penguasa, merupakan faktor utama pengantaran
kemajuan peradaban Islam di zaman lampau. Adapun kekalahan Mu’tazilah
sejak khalifah al-Mutawakkil yang membuka jalan aliran Asy’ariyah yang
condong ke jalan jabariyah, hal ini seiring pula dengan semakin mundurnya
umat Islam.3
B. Pembaharuan Muhammad Iqbal
1. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal adalah seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20 yang
lahir di Sialkot, Punjab, India (sekarang Pakistan) pada 9 November 1877. Ia dikenal
juga sebagai Allama Iqbal, yang berarti “sarjana besar” dalam bahasa Urdu. Ia
dianggap sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah sastra Urdu dan Persia,

3
Rahmawati, ‘Jurnal Adabiyah’, 2009, pp. 164–65.
dengan karya-karya sastra yang ditulis baik dalam bahasa Urdu maupun Persia. Ia juga
dihormati sebagai “penyair nasional” Pakistan dan “pemikir filosofis Muslim pada
masa modern”.
Iqbal berasal dari keluarga sederhana yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang
pedagang kecil yang mendorong anaknya untuk menghafal Al-Quran dan belajar ilmu
agama. Iqbal menempuh pendidikan dasar dan menengah di Sialkot, kemudian
melanjutkan studi di Lahore, di mana ia mendapatkan gelar sarjana dalam bidang
filsafat, bahasa Inggris, dan sastra Arab pada tahun 1899. Ia juga aktif dalam kegiatan
sastra dan menjadi anggota Anjuman-e-Himayat-e-Islam, sebuah organisasi sosial
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan umat Islam.
Pada tahun 1905, Iqbal mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Eropa. Ia
belajar hukum di Trinity College, Cambridge, dan mendapatkan gelar Bachelor of Arts
pada tahun 1906. Ia juga belajar filsafat di Universitas Munich, Jerman, dan
mendapatkan gelar doktor pada tahun 1908 dengan disertasi berjudul The Development
of Metaphysics in Persia. Selama di Eropa, Iqbal terpengaruh oleh pemikiran-
pemikiran filsuf Barat seperti Aristoteles, Goethe, dan Nietzsche, serta penyair-penyair
Persia seperti Rumi dan Hafiz.
Setelah kembali ke India pada tahun 1908, Iqbal bekerja sebagai pengacara di
Lahore selama beberapa tahun. Ia juga mengajar filsafat di Government College Lahore
dan menjadi profesor tamu di Universitas Punjab. Selain itu, ia terus menulis puisi-
puisi dalam bahasa Urdu dan Persia yang mengungkapkan pandangan-pandangannya
tentang Islam, budaya, politik, dan nasionalisme. Beberapa karya sastranya yang
terkenal antara lain Asrar-e-Khudi (Rahasia Diri), Rumuz-e-Bekhudi (Simbol-simbol
Kehilangan Diri), Payam-e-Mashriq (Pesan dari Timur), Zabur-e-Ajam (Mazmur
Persia), Bang-e-Dara (Seruan Drum), Bal-e-Jibril (Sayap Jibril), Zarb-e-Kalim
(Pukulan Kalim), dan Armughan-e-Hijaz (Hadiah dari Hijaz).
Iqbal tidak hanya seorang penyair dan filsuf, tetapi juga seorang politisi yang
berperan penting dalam gerakan kemerdekaan India dari penjajahan Inggris. Ia menjadi
anggota Liga Muslim India cabang London pada tahun 1906 dan cabang Lahore pada
tahun 1926. Ia juga menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab dari tahun 1926 hingga
1929. Pada tahun 1930, ia menyampaikan pidato kepresidenannya di sesi Liga Muslim
India di Allahabad, di mana ia mengusulkan gagasan pembentukan sebuah negara
Muslim terpisah di India Barat Laut. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai Teori Dua
Negara yang menjadi dasar bagi berdirinya Pakistan pada tahun 1947.
Iqbal meninggal dunia pada 21 April 1938 di Lahore akibat penyakit jantung. Ia
dimakamkan di dekat Masjid Badshahi dengan upacara kenegaraan. Ia meninggalkan
warisan berupa pemikiran-pemikiran yang menginspirasi banyak generasi Muslim di
seluruh dunia. Ia dikenang sebagai Shair-e-Mashriq (Penyair dari Timur), Mufakkir-e-
Pakistan (Pemikir Pakistan), dan Hakeem-ul-Ummat (Bijaksana Umat).4
2. Ide Pembaharuan Muhammad Iqbal
Seperti kebanyakan pembaharu muslim, Iqbal menghubungkan melemahnya Islam
dengan komunitas muslim yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam. Secara umu,
semua’ pemikirannya ditandai oleh kembali secara sadar ke masa lalu untuk
menemukan kembali prinsip-prinsip dan nilai-nilai, yang kemudian dapat dijadikan
sebagai contoh untuk masa sekarang maupun masa depan. Menurut Iqbal, ada tiga hal
yang menyebabkan kemunduran Umat Islam. Pertama adalah mistisme asketik.
Menurutnya mistisme asketik sangat mementingkan perhatian kepada Tuhan dan hal-
hal metafisis lainnya. Hal ini telah membawa kepada umat kurang mementingkan soal-
soal keduniaan dan kemasyarakatan dalam Islam.
Penyebab kedua dari kemunduran umat Islam, menurut Iqbal adalah hilangnya
semangat induktif. Menurutnya, semangat Islam pada dasarnya menekankan kepada
aspek kehidupan yang kongkrit, yang berhingga dan berubah. Oleh sebab itu, selama
umatIslam setia kepada semangat mereka sendiri dan menempuh cara-cara induktif dan
empiris dalam penelitian, seperti pada masa kejayaan Islam, mereka terus maju
melakukan penemuan demi penemuan di bidang ilmu pengetahuan.
Penyebab ketiga dari kemunduran umat Islam, menurut Iqbal adalah otoritas
perundang-undangan total, yang melumpuhkan perkembangan pribadi dan
menyebabkan hukum islam praktis tidak isa bergerak sama sekali. Menurut Iqbal,
walaupun semua orang sunni menerima ijtihas sebagai alat perubahan dan kemajuan,
namun dalam prakteknya, prinsip itu dipagari oleh banyaknya persyaratan yang berat,

4
Yayah Nurmaliyah, ‘Hakikat Manusia Menurut Muhammad Iqbal’, TAJDID : Jurnal Ilmu Keislaman Dan Ushuluddin,
21.1 (2019), 95–107 <https://doi.org/10.15548/tajdid.v21i1.253>.
sehingga sedikit sekali yang dapat melakukannya, untuk tidak mengatakan tidak
mungkin. Dengan demikian, maka kekuatan yang semula dimaksud untuk
meliberalkan Islam tidak bisa bekerja, dan keluwesan Islam berubah menjadi kelakuan.
Untuk mengatasi ini, maka kaum muslimin harus mempunyai suatu filsafat hidup
yang membangkitkan mereka dari tidur dan membuka mata mereka bagi suatu
pandangan yang lebih cerah dan lebih progresif. Dengan menganjurkan untuk
mengambil sikap dinamis masyarakat Barat, Iqbal menyatakan bahwa Al-Qur’an
sebenarnya mempunyai pandangan dinamis. Al-Qur’an adalah kitab yang menekankan
perbuatan dan bukan gagasan. Kalimat inilah yang merupakan kalimat pertama buku
Reconstruction dan merupakan tema pokok dalam pemikiran Iqbal. Islam pada
hakekatnya menganjurkan dinamisme. AI-Qu’an senantiasa menganjurkan pemakaian
akal terhadap ayat atau tanda yang tedapat dalam alam, seperti matahari, bulan,
pertukaran siang dan malam, dan lain-lain. Orang-orang yang tidak peduli dan tidak
memperhatikan tanda-tanda itu akan buta terhadap masa yang akan datang. Konsep
Islam mengenai alam adalah dinamisme dan senantiasa berkembang. Islam menolak
konsep lama yang menyatakan bahwa alam inistatis, dan mempertahankan konsep
dinamis, serta menengahi adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial. Prinsip
yang dipakai dalam konsep gerak itu adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan
penting di dalam pembaharuan Islam.
Paham dinamisme Islam ditonjolkan Iqbal, tercermin dalam syairsyairnya yang
selalu mendorong manusia agar senantiasa bergerak dan tidak tinggal diam. Intisari
hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah mencipta. Maka Iqbal berseru kepada
umat Islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru. Untuk mengembalikan
semangat masyarakat sesuai dengan konsep Islam, Iqbal mengkritik hasil filsafat Plato
dan Neo Platonisme yang dianut dan berkembang di masyarakat Islam menjadi aliran-
aliran tasawuf. Iqbal menyerang paham Panteisme, yang mempercayai adanya Wahdat
alWujud. Paham ini menurutnya mendorong manusia menjauhkan diri dari
permasalahan-permasalahan dan kesulitan-kesulitan hidup, karena hidup ini dianggap
sebagai hayalan, sehingga tidak ada yang harus diperjuangkan. Hal inilah yang
menyebabkan kebekuan umat Islam.5

5
Nana Jumhana, ‘Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Iqbal’, Journal Al-Fath, 02.01 (2008), 108–17.
C. Pembaharuan Muhammad Ali Jinnah
1. Biografi Muhammad Ali Jinnah
Muhammad Ali Jinnah lahir di Karachi, 25 Desember 1876. Dia adalah seorang
politikus muslim India, pendiri negara Pakistan. Ia anak seorang saudagar. Muhammad
Ali Jinnah pernah belajar di Bombay, ketika ia berusia 10 tahun. Setelah itu ia
meneruskan pendidikannya di tempat kelahirannya, Karakhi, pada salah satu Madrasah
al-Islam, semenjak sekolah menengah. Pada tahun 1891, ketika berusia 15 tahun, ia
belajar pada Mission High School. Ia meneruskan pendidikannya pada University of
Bombay.
Karena kecerdasan dan kece merlangan otaknya sejak dari kecil, sehingga kawan
ayahnya Frederich Leigh Crft (berkebangsaan Inggris) memberikan nasihat agar
mengutus anaknya ke Inggris untuk belajar ilmu hukum. Oleh karena itu ia menuju
Inggris pada usia 16 tahun. Di sana ia memilih Lincoln’s sebagai tempat
pendidikannya. Di lembaga pendidikan tersebut para mahasiswa dipersiapkan untuk
meraih keahlian di bidang hukum dan menjadi pengacara. Beliau menyelesaikan
studinya hanya dalam jangka waktu 2 tahun.
Setelah menyelesaikan studi di Inggris pada usia 18 tahun, Muhammad Ali jinnah
bekerja sebagai pengacara di London selama 2 tahun. Kemudian, ia kembali ke tanah
airnya. Pada tahun 1897 (usia 21 tahun). Setelah beliau sampai di kampung
halamannya. Ia membuka praktek sebagai pengacara di Bombay. Di sini, ia sempat
berkenalan dengan seorang tokoh Jaksa Agung Bombay, bernama Macpherson.
Macpherson sangat dikenal oleh Muhammad Ali Jinnah sebagai ahli hukum. Ia
memberi kesempatan yang berharga kepada Muhammad Ali Jinnah untuk
memanfaatkan pribadinya. Hal ini perpustakaan merupakan kesempatan baik yang
tidak pernah diduga sebelumnya oleh Muhammad Ali Jinnah.
2. Ide Pembaharuannya pada Bidang Politik
Untuk mewujudkan ide pembaharuannya di bidang politik, beliau mencari strategi
yang paling tepat. Beliau harus lebih awal menggabungkan diri dengan partai yang
sudah ada pada saat itu, yaitu partai Kongres Nasional India. Pada tahun 1906, beliau
diutus oleh Presiden Dadabha Pada tahun 1906, beliau diutus oleh Presiden Dadabhay
Naoroji untuk meng hadiri sidang All India National Congres Calcutta, dan jabatan
beliau waktu itu sebagai Sekretaris pribadi Presiden. Pada Kongres tersebut, beliau
tampil berbicara mengenai masalah yang berhubungan dengan umat Islam India, yaitu
soal “Waqful-Aulad”.
Di kemudian hari ketika ia dipilih menjadi anggota Dewan Legislatif kerajaan, ia
mendukung rencana undang-undang pengesahan Wakaf (Waqaf Faliditing Bill) yang
membawanya semakin dekat dengan peminpin-peminpin Muslim, dan bantuan nya
dalam beberapa hal banyak diminati oleh komunitas Muslim. Ia bahkan menghadri
suatu sidang dari All India Muslim League sebagai undangan, tetapi ia menolak untuk
menandatangani perjanjian menjadi anggota, karena beliau berfikir bahwa tujuan
organisasi tersebut tidak memperlihatkan sikap permusuhan terhadap penguasa Inggris,
bahkan sebaliknya. Liga itu patuh dan setia kepada pemerintahan Inggris. Namun pada
tahun 1913, Liga Muslim mengubah anggaran dasarnya, yaitu berusaha untuk
memperoleh suatu bentuk pemerintahan sendiri dari yang tadinya patuh dan setia
kepada Inggris kemudian menjadi anti dan memusuhinya. Pada saat terjadi perubahan
tersebut, Muhammad Ali Jinnah masih berada di Inggris, dan pada akhir tahun itu juga
Sir Sayid Wazir Hasan, Sekretaris Liga Muslim, dan Maulan Muhammad Ali
mengunjungi Inggris dalam hubungannya dengan masjid Cownpore. Kedua orang
tersebut meminta kepada Muhammad Ali Jinnah agar kembali ke daerahnya dan
bergabung ke Liga Muslim yang sudah diubah anggaran dasarnya. Karena keberatan
pokok yang menyebabkan tidak mau menggabungkan diri pada Liga Muslim pada saat
itu sudah tidak ada, maka Muhammad Ali Jinnah setuju untuk bergabung dengan Liga
Muslim, dan dengan demikian Liga memperoleh orang yang sangat kuat.
Setelah Muhammad Ali Jinnah terpilih menjadi Presiden Liga Muslim pada tahun
1913, maka upaya beliau selain ditujukan untuk kemajuan umat Islam, juga pada
mulanya untuk persatuan umat Islam dan umat Hindu meraih kepentingan bersama,
yaitu kemerdekaan seluruh wilayah India dari cengkraman penjajah (Inggris).
Beliau berupaya mewujudkan per satuan umat Islam dan umat Hindu. Ia mengatur
strategi yang sangat ampuh. Sidang pertama Liga Muslim diadakan pada waktu dan
tempat yang sama dengan sidang Kongres. Sidang tersebut diadakan di Bombay pada
tahun 1915, dan Mazharul Haq yang terkenal dengan pandangannya yang pro-kongres
menjadi Presiden Liga Muslim. Dalam sidang itu, Muhammad Ali Jinnah mengajukan
suatu resolusi untuk membentuk suatu komite yang mempunyai kekuatan untuk
berbicara dengan partai partai lain. Resolusi itu didukung oleh Fazlul Haq (pada waktu
itu anggota Liga Muslim) dan Maulana Abul Kalam Azad dan diterima dengan suara
bulat.
Sidang Liga Muslim selanjutnya yang menandai puncak usaha Muhammad Ali
Jinnah untuk kesatuan Hindu Muslim diadakan di Lucknow, dan ia sendiri memimpin
sidang itu. Komite yang dibentuk pada sidang di Bombey telah melakukan kegiatan
yang dipandang sangat berguna dalam upaya konsultasi dengan Komite yang sama
yang diangkat oleh Kongres Nasional India. Setelah perun dingan yang sulit berbulan-
bulan lamanya itu, suatu “rencana bersama” tentang pembaharuan lahir. Rencana ini
berisi kesimpulan-kesimpulan yang disetujui bersama. Salah satu hasil dari kesimpulan
perjanjian tersebut adalah umat Islam India akan memperoleh daerah pemilihan
terpisah, dan ketentuan ini akan dican tumkan dalam Undang-Undang Dasar India yang
akan disusun kelak kalau tiba waktunya.
Salah satu hasil dari kesimpulan perjanjian tersebut adalah umat Islam India akan
memperoleh daerah pemilihan terpisah, dan ketentuan ini akan dican tumkan dalam
Undang-Undang Dasar India yang akan disusun kelak kalau tiba waktunya.
Muhammad Ali Jinnah berupaya semaksimal mungkin memupuk dan meng
hidupsuburkan persatuan dan kesatuan antara umat Islam dan umat Hindu pada
pertemuan Liga Muslim dan Partai Kongres di Calcutta pada bulan Desember 1917. Ia
menegaskan bahwa India tidak akan diperintah umat Hindu, dan tidak pula oleh umat
Islam, tetapi India harus diperintah oleh rakyat India, dalam arti diperintah oleh umat
Islam dan umat Hindu secara bersama. Di balik perjuangan itu, Muhammad Ali Jinnah
sering menemukan kerikil kerikil tajam karena umat Hindu selalu memanfaatkan
kondisi mayoritasnya untuk mendapatkan kepentingan mereka. Ini member indikasi
bahwa terlalu sulit dicapai pandangan yang sama antara kedua golongan agama
tersebut. Hal itu merupa kan konsekuensi logis dari perbedaan pandangan hidup, dan
berbedaan agama yang selalu ingin ditonjolkan oleh setiap pihak dari pemeluk agama.
Pada tahun 1930-1932 di London, diadakan Konferensi Meja Bundar mengenai
perubahan-perubahan ketatane garaan dalam proses menuju kemerdekaan India. Di
Komperensi ini, Muhammad Ali Jinnah merasa kecewa karena orang-orang Hindu
memaksakan pendapatnya karena mereka mayoritas. Dari peristiwa tersebut,
Muhammad Ali Jinnah memutuskan mengundurkan diri dari lapangan politik dan
menuju ke London dan menetap di sana. Ia tidak akan berjuang lagi untuk kepentingan
rakyat India, selama umat Hindu memaksakan pendapatnya.
Pada tahun 1930, Muhammad Ali Jinnah mendapat angin segar, ketika Sir
Muhammad Iqbal mencetuskan gagasannya mengenai pendirian negara Islam Pakistan
yang terpisah dari India, melalui Liaquat Ali Khan. Ia kembali ke India pada tahun
1934 dan meneruskan memimpin Liga Muslim India. Kepemimpinan Liga Muslim
semakin muncul ke permukaan. Melalui sidang di Lahore yang dipimpin langsung oleh
Muhammad Ali Jinnah, berhasil dicetuskan resolusi yang terkenal dengan “Resolusi
Lahore” atau “Resolusi Pakistan”. Salah seorang pelopornya ialah Maulvi Fazlul
Haque, yang bergelar Singa Bangali (Sher Rangali). Resolusi itu merumuskan bahwa :
“umat Islam India merupakan suatu bangsa. Umat Islam harus mempunyai tanah air
sendiri yang terpisah dari umat Hindu, dan tidak akan menerima konstitusi yang tidak
menyebutkan tuntutan dasar ini”. Pengalaman pahit dialami oleh Liga Muslim pada
pemilihan umum pertama tahun 1937. Liga Muslim tidak memperoleh suara yang
berarti, sedangkan Partai Kongres, yang pada waktu itu dipimpin oleh Pandit
Jawaharlal Nehru, mendapat kemenangan besar. Atas kekalahan itu, Liga Muslim
mulai tidak diindahkan lagi oleh partai Kongres. Dalam hubungan ini, Nehru pernah
mengatakan bahwa yang ada di India hanya dua kekuatan politik, yaitu partai Kongres
dan pemerintahan Inggris. Golongan Nasional India merasa kuat untuk mengangkat
anggota-anggotanya menjadi Menteri di daerah-daerah. Kalaupun ada yang diangkat
dari golongan Islam, maka mereka adalah pengikut partai Kongres dan pengikut Liga
Muslim.
Dengan adanya perkembangan ter sebut, umat Islam India tiba-tiba mulai sadar.
Al-Biruni menulis bahwa apa yang ditakutkan Sir Sayyid Ahmad Khan dan Viqar al-
Mulk sebelumnya, sekarang mulai menjadi kenyataan. Kekuasaan Hindu mulai terasa.
Umat Islam di daerah-daerah mayoritas Islam mulai melihat perlunya kesatuan dan
persatuan Islam diperkokoh dengan menyokong dan ikut berperan aktif dalam Liga
Muslim sebagai satu-satu organisasi umat Islam untuk seluruh India. Para Perdana
Menteri Punjab, Bengal dan Sindi juga mulai mengadakan kerja sama dengan
Muhammad Ali Jinnah.
Muhammad Ali Jinnah sekalipun pernah mengalami kekecewaan dan partai yang
dipimpinnya (Liga Muslim) tidak diperhitungkan oleh partai yang dipim pinnya (Liga
Muslim) tidak diperhitungkan oleh Partai Kongres, namun ia belum putus asa untuk
mengadakan persesuaian paham dengan partai Kongres, mengenai masa depan India.
Di dorong oleh kekuatan baru yang diperoleh Liga Muslim di waktu itu, ia mengadakan
perundingan - perundingan dengan organisasi itu, tetapi selalu berakhir dengan
kegagalan. Golongan Nasional India belum mau mengakui Liga Muslim sebagai satu-
satunya organisasi Politik umat Islam India.
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat Muhammad Ali Jinnah mengubah
haluan politiknya. Kepercayaannya kepada Kongres hilang dan keyakinan timbul
dalam dirinya bahwa kepentingan umat Islam India tidak bisa lagi dijamin melalui
perundingan dan dicantungkannya hasil perundingan dalam undang-undang Dasar
yang akan disusun. Kepentingan umat Islam India bisa terjamin hanya melalui
pembentukan negara tersendiri yang terpisah dari negara umat Hindu di India.6

D. Pembaharuan Biografi Abul Kalam Azad


1. Biografi Abul Kalam Azad
Nama lengkapnya Maulana Kalam Azad (1888-1958) adalah seorang negarawan
India, pemimpin pergerakan yang independen. Azad adalah seorang Muslim yang
setuju dengan cita-cita umat Hindu dan keputusannya menerima kedudukan dalam
pemerintahan India setelah berdirinya negara Pakistan mendorong sebagian umat Islam
untuk tetap tinggal di India.
Azad lahir dengan nama Mohiuddin Ahmad di Mekkah pada tanggal 11 November
1888. Dia berasal dari turunan keluarga Delhi yang berpengaruh, ayahnya seorang
pemimpin dan ulama yang pindah ke Mekkah setelah gagalnya pemberontakan tahun
1857. Didikan pertama ia peroleh di Mekkah kemudian melanjutkan ke Al-Azhar
Kairo. Ayahnya kemudian menetap ke Kalkutta dan di sana ia memperoleh pendidikan

6
Zainuddin Hamka, ‘MUHAMMAD ALI JINNAH DAN IDE PEMBAHARUANNYA’, 190–96.
secara privat dan menyelesaikan studinya tentang masalah-masalah kearaban dan
ketimuran.
Namanya segera terkenal sebagai penulis dan pembicara yang pintar. Artikelnya
pertama kali dimuat tahun 1900 ketika ia masih berumur 12 tahun. Tahun 1906 ia
menjadi asisten editor surat kabar. Tetapi kemudian menerbitkan sendiri majalah Al-
Hilal, yang di tahun 1912 membawanya menjadi pemuka pergerakan di India.
Majalahnya menjadi perlambang dari awal keterlibatan politisi Muslim dalam
pergerakan kemerdekaan di India. Melalui tulisan-tulisannya di majalah itu ia
mengajak kaum muslimin untuk berjuang bersama sama mencapai kemerdekaan India.
Tahun 1914 pemerintahan Inggris melarang penerbitan majalahnya itu dan Azad
sendiri diasingkan, dan ketika ia dibebaskan Januari 1920, ia bergabung dalam
pergerakan non kooperatif pimpinan Mahatma Gandhi.
Pada tahun 1923 dalam usia 35 tahun ia terpilih menjadi Presiden Partai Kongres
Nasional India, sebagai orang termuda yang pernah memegang jabatan tersebut. Tahun
1940 ia kembali terpilih sebagai Presiden Partai yang dipegangnya sampai tahun 1946.
Dalam masa kepresidenannya ia telah memimpin perundingan untuk pengakuan
kemerdekaan India dengan sir Stafford Cripps tahun 1942, dengan Lord Wavel tahun
1945, dan dengan Kabinet Mission tahun 1946, ia telah memimpin Partai Kongres
selama enam tahun yaitu pada saat-saat penting dan mencetuskan dalam sejarah
kemerdekaan India.
Azad adalah orang pertama yang menjadi menteri Pendidikan setelah India
Merdeka. Jabatan itu ia pegang sampai ia wafat di Delhi 22 Februari 1958. Sekalipun
dalam karir politiknya sangat cemerlang, pada hakikatnya Azad adalah seorang penulis.
Dia telah menerbitkan tafsir Al Qur’an dan beberapa studi teologi.7
2. Pemikiran Politik Abul Kalam Azad
Kunci utama untuk memahami seorang Abdul Kalam Azad secara personal adalah
bahwa ia merupakan seorang muslim India. Ia berada di tengah-tengah umat Islam dan
umat Hindu di India dan tampaknya ada dua kekuatan ganda berada dalam Islam
(“kepatuhan”) sebelum Tuhan bukan berarti Tuhan untuk di tolak dalam hubungan
nasionalisme manusia. Bahkan hal ini adalah dasar ajaran dari politik nasionalis.

7
Saleh Nur, ‘Abdul Kalam Azad: Nasionalisme India’, JURNAL USHULUDDIN, XVI.2 (2010).
Pemikiran Abdul Kalam Azad dalam lapangan pembaharuan Islam kurang
menonjol jika dibandingkan dengan kegiatannya dalam bidang politik. Menurut Abdul
Kalam Azad, kemunduran umat Islam selain disebabkan oleh dogmatisme dan sikap
taklid, juga disebabkan oleh keadaan umat Islam tidak lagi seluruhnya menjalankan
ajaran-ajaran Islam secara utuh.
Kebangkitan umat Islam dapat diwujudkan dengan melepaskan diri paham-paham
asing, juga dengan melaksanakan ajaran Islam dalam segala bidang kehidupan umat.
Kekuatan umat Islam akan timbul kembali dengan memperkuat tali persaudaraan dan
persatuan umat Islam seluruh dunia.
3. Ide Abul Kalam Azad dalam Nasionalisme di India
Ditengah penjajahan Inggris di India, muncul para tokoh yang berjuang untuk
kemerdekaan India. Diantaranya adalah munculnya sejumlah pemikir muslim yang
memperjuangkan kemajuan umat Islam melalui pemurnian, pembaharuan pemikiran
dan berbagai gagasan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Dari sejumlah pemikir yang ada, Abdul Kalam Azad adalah salah satunya. Pada
tahun 1920, Abdul Kalam Azad dibebaskan dari penjara menandai titik balik
kehidupannya. Sejak itulah pandangan Abdul Kalam Azad berubah 180 derajat,
sehingga masa depan kaum muslim seolah-olah tidak lagi menjadi urusannya. Ia tidak
lagi menaruh minat pada perjuangan membentuk masyarakat Islam sejati di India,
tetapi justru menganjurkan persatuan Hindu-Muslim demi tujuan nasionalisme
sekuler.
Pada mulanya Abdul Kalam Azad dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan
Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, pemikiran tentang Pan Islamisme ia tinggalkan dan
membelok kepada Nasionalisme. Menurut Abdul Kalam Azad, antara Islam dan
Nasionalisme tidak ada pertentangan oleh karena itu ia juga menentang keras gerakan
Aligarh yang menggaungkan anti nasionalisme.
Ia juga berpendapat rasa takut umat Islam terhadap mayoritas Hindu tidak
mempunyai dasar, jika umat Islam tetap ingin hidup dan tinggal di India maka ia harus
menjadikan umat Hindu sebagai tetangga dan saudara yang saling berdampingan.
Tetapi jika umat Islam tetap berada di bawah jajahan Inggris, maka ajaran Islam tidak
memperbolehkan untuk mengorbankan kemerdekaan, untuk kesenangan hidup.
Telah dilihat bahwa banyak di antara umat Islam yang tidak sepaham dengan Abdul
Kalam Azad tentang ide nasionalisme India dan politik bersatu dengan mayoritas umat
Hindu dalam satu negara. Untuk menghadapi umat Islam dan organisasi Islam
menentang ide dan politik tersebut, Abdul Kalam Azad melihat perlunya kekuatan
Islam.
Pada tahun 1929 dibentuklah Kelompok Nasionalis Islam dalam Partai Kongres,
yang diketuai oleh Abdul Kalam Azad sendiri. Tujuan kelompok ialah membangkitkan
jiwa patriotisme di kalangan umat Islam India dan mencari penyelesaian tentang
perbedaan paham dalam tujuan umat Islam dan umat Hindu.
Perjuangannya untuk kemerdekaan India ia lakukan dengan kendaraan politiknya
yaitu Partai Kongres. Pasca meninggalnya tokoh partai Kongres, Ansari pada tahun
1936, Abdul Kalam Azad menjadi tokoh muslim paling berpengaruh di partai tersebut.
Sehingga pada tahun 1939 akhirnya Abdul Kalam Azad terpilih sebagai presiden partai
Kongres.
E. Abu A'la Al-Maududi.
1. Riwayat Abu A'la Al-Maududi.
Abul A'la al-Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 H/ 25 September 1903
Masehi, di Aungrabad, suatu kota terkenal di kesultanan Hyderabad yang sekarang
dikenal sebagai Andra Padesh, India. Ayahnya seorang ahli hukum yang sangat taat
kepada ajaran-ajaran agama Islam. Al- Maududi anak termuda dari tiga orang
saudaranya. Ia berasal dari keluarga yang terhormat, yang punya tradisi lama sebagai
pemimpin agama, karena banyak dari nenek moyang al-Maududi adalah syaikh-syaikh
tarekat sufi yang terkenal.
Pada tahun 1933 al-Maududi menerbitkan majalah bulanan Tarjuman al-Qur'an
yang menjadi sarana penyalur gagasan-gagasannya. Perhatiannya tercurah pada
masalah pandangan hidup Islam dan pandangan Barat Modem yang sekularistis. Ia
mencoba mendalami berbagai persoalan zaman modern dan menyodorkan
pemecahannya secara Islam. Pada pertengahan tiga puluhan, al-Maududi mulai
menulis tentang isu-isu politik dan kultural yang menonjol. Ide tentang nasionalisme
memperoleh perhatian al-Maududi dengan menerangkan potensi-potensi yang
berbahaya dari ide tersebut. Nasionalisme dalam konteks India menurut al-Maududi
berarti penghancuran sama sekali terhadap identitas kolektif umat Islam.
Sekitar tahun 1940 al-Maududi mengembangkan pikirannya untuk mendirikan
gerakan yang lebih komprehensif melalui organisasi Jama'at Islami, yang diketuainya
sampai tahun 1972. Pada tahun 1947, waktu dua negara anak benua india itu didirikan
-Pakistan dan India Jama'at juga terbagi menjadi Jama'at Islam India dan Jama'at Islam
Pakistan. Sejak Itu al-Maududi hijrah ke Pakistan, ia memusatkan perhatian untuk
mendirikan negara Islam dan masyarakat islam yang sebenarnya di negeri ini. Ide ini
membawa al-Maududi mengkritik dan melawan kebijaksanaan pemerintah Pakistan.
Karena itu al-Maududi Sering ditawan dan sering masuk penjara.8
2. Pemikiran dari Al Maududi tentang Teo-Demokrasi
Konsep teo-demokrasi merupakan konsep system politik Islam yang digagas oleh
Abu A'la Al-Maududi. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal AL-
Khilafah wa Al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait pada tahun 1978.
Konsep teo-demokrasi adalah akomodasi ide teokrasi dengan ide demokrasi.Namun,
ini tak berarti bagi al-Maududi menerima secara mutlak konsep teokrasi dan demokrasi
ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat, berdasakan dua
alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan.
Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum.Manusia tidak berhak membuat
hukum. Kedua, praktik "kedaulatan rakyat" seringkali justru menjadi omong kosong,
karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau
lima tahun sekali saat pemilu. Sedangkan pemerintahan sehari-hari sesungguhnya
berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat,
seringkali malah menindas 15 rakyat demi kepentingan pribadi."
Rancangan dan susunan tentang Negara Islam menurut Al Maududi harus mengacu
dan berpedoman terhadap Syariah yang menjadi konsep dasarnya. Dalam perspektif
syariah menurut Al Maududi, terdapat empat prinsip yang menjadi dasar negara Islam,
yaitu: Mengakui Kedaulatan Tuhan, mengakui otoritas Nabi, Mengakui tentang

8
Inong Satriadi and Khairina, ‘Pemikiran Abul a’La Al-Maududi Tentang Politik Islam’, Jurnal IAIN BATUSANGKAR,
1.2 (2018), 195–201.
perwakilan Tuhan dan menggunakan musyawarah bersama. Dari sudut pandang
prinsip-prinsip tersebut, kedaulatan yang sebenarnya hanya milik Tuhan. Negara hanya
sebagai alat politik yang dimana didalamnya hukum-hukum Tuhan saja yang boleh
dijalankan, dan Negara tak punya hak untuk membuat atau menegakkan hukum sesuai
keinginannya sendiri.
Dari hal diatas dapat kita ketahui bahwa Negara Islam yang diinginkan oleh
Maududi adalah negara yang teokratis. Akan tetapi, ia juga menekankan syarat-syarat
Islam di dalam musyawarah bersama (syura) diantara para umat Muslim. Maka dari itu
menurut Maududi Negara yang paling ideal itu menerapkan Teo-Demokrasi.
Teodemokrasi adalah sistem pemerintahan demokrasi yang Ilahi, karena dibawah
kuasa Allah kaum Muslim diberikan kedaulatan rakyat dibawah pengawasan Tuhan
dan juga dalam sistem ini di perlukan musyawarah untuk kesepakatan bersama yang
berdasarkan atas Al Quran dan Hadist. Dengan Teo-Demokrasi Maududi
menginginkan suatu konsep antitesis atas demokrasi Barat sekuler yang menurutnya
didasari pada kedaulatan rakyat, karena itu bertentangan dengan Islam. Negara Islam
itu mengacu pada dua prinsip, yaitu: kedaulatan Tuhan dan Perwakilan manusia.
Sikap Maududi terhadap demokrasi merupakan contoh sangat baik dari metodenya.
Karena pandangan Islam terpusat Allah (God-Centered), maka suatu demokrasi
parlementer yang didasarkan kekuasaan rakyat, bukan kekuasaan Illahi, tidak bisa
diterima. Maududi menolak demokrasi, yakni demokrasi ala Barat yang atas nama
kekuasaan mayoritas, membolehkan praktek konsumsi alkohol dan kebebasan seksual
yang bertentangan dengan hukum Tuhan. Tetapi, menurutnya, partisipasi politik
melalui parlemen atau badan-badan perwakilan yang tunduk pada hukum Islam, yaitu
hukum Allah diperbolehkan. Disini, Maududi menafsirkan ulang dan memakai konsep
Islam tentang musyawarah (syura) sebagai dasar pembenaran Islam. Maududi memilih
istilah "Teodemokrasi' untuk menunjuk sistem Islam sebagai pembeda dari konsep
teokrasi atau negara pendeta (clerical state). Dalam Konsepnya itu, kehendak
masyarakat dibatasi dan tunduk oleh hukum Tuhan. Maududi sama sekali tidak surut
oleh kebancian orang-orang yang tidak suka padanya, yang menuduhkan
"otoritarianisme relegius" padanya. Jelas, bahwa Maududi tidak menganggap
ketundukan pada otoritas kehandak Tuhan sebagai pengingkaran terhadap manusia,
melainkan hanya satu kondisi saja. Jadi, ia sama sekali tidak punya masalah ketika
menyamakan pemerintahan Islam atau teodemokrasi sebagai totalitarianisme Islam.9

9
Ikrima Amira Ahadiya, ‘Implementasi Pemikiran Politik Al Maududi Dalam Dinamika Politik Kontemporer’,
Politea : Jurnal Politik Islam, 5.1 (2022), 17–36 <https://doi.org/10.20414/politea.v5i1.4537>.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gerakan pembaharuan yang dilakukan dimana kelima tokoh tersebut diatas (Sayyid
Amir Ali, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Abul Kalam Azad dan Abu a’la al-
maududi) melakukan gerakan perubahan yang sangat mendasar dan bahkan menjadi
pondasi terjadinya sebuah Negara.
Dalam menuangkan ide-ide mereka tak jarang mereka harus berhadapan langsung
dengan situasi yang sulit dan diharuskan memihak dalam satu posisi, disitulah terlihat
kematangan pemikiran mereka dan berani mengambil resiko bahkan tak jarang nyawa
sebagai taruhannya. System sosio politik yang tidak menentu yang terkadan tidak
menguntungkan bagi mereka untuk melaksanaka gagasan-gagasan yang mereka punya.
Tetapi mereka tidak berhenti terus berjuang bersama dengan kaum muslimin yang lainnya.
Kelima tokoh diatas muncul dalam kurun waktu yang berbeda dan tak jarang
mereka saling menginspirasi satu sama lainnya. Menjadi sebuah kekuatan yang
dikombinasikan sesuai dengan pemikannya masing-masing. Pembaharuan yang mereka
lakukan diberbagai bidang meliputi aspek agama, sosio politik, pendidikan, serta seni dll.
Kesemuanya bisa diterima masyarakat India pada waktu itu. Kelima tokoh tersebut diatas
berpijak pada al-Quran dan hadis sebagai acuan yang pertama dalam melakukan
pembaharuan. Dan penggunaan akal sehat sangat didukung oleh kelima tokoh tersebut
diatas. Optimalisasi peran akal sangat dianjurkan agar ummat Islam tidak berada dalam
kejumudan dan khurafat.
Anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup sangat ditentang oleh kelima pembaharu
diatas, mereka sangat mendorong ummat Islam agar melakukan perubahan-perubahan
bahkan penemuan-penemuan baru agar ummat Islam tidak tertinggal dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahadiya, Ikrima Amira, ‘Implementasi Pemikiran Politik Al Maududi Dalam Dinamika Politik
Kontemporer’, Politea : Jurnal Politik Islam, 5.1 (2022), 17–36
<https://doi.org/10.20414/politea.v5i1.4537>

Hamka, Zainuddin, ‘MUHAMMAD ALI JINNAH DAN IDE PEMBAHARUANNYA’, 190–96

Jumhana, Nana, ‘Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Iqbal’, Journal Al-Fath, 02.01 (2008), 108–
17

Nur, Saleh, ‘Abdul Kalam Azad: Nasionalisme India’, JURNAL USHULUDDIN, XVI.2 (2010)

Nurmaliyah, Yayah, ‘Hakikat Manusia Menurut Muhammad Iqbal’, TAJDID : Jurnal Ilmu
Keislaman Dan Ushuluddin, 21.1 (2019), 95–107
<https://doi.org/10.15548/tajdid.v21i1.253>

Rahmawati, ‘Jurnal Adabiyah’, 2009, pp. 164–65

Samrin, ‘Modernisasi Islam Di India’, Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Komunikasi Dan Bimbingan
Islam, 8.1 (2015), 79–90

Satriadi, Inong, and Khairina, ‘Pemikiran Abul a’La Al-Maududi Tentang Politik Islam’, Jurnal
IAIN BATUSANGKAR, 1.2 (2018), 195–201

Shofwan, Arif Muzayin Shofwan, ‘Studi Pola Pembaharuan Islam Modern Klasik Di Mesir,
Turki, Dan India’, Kreatifitas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, 10.2 (2022), 138–47
<https://doi.org/10.46781/kreatifitas.v10i2.345>

Anda mungkin juga menyukai