Anda di halaman 1dari 5

Nama : Tasha Annisa Awaina

NIM : H351190601

ANALISIS RISIKO PRODUKSI DAN RISIKO HARGA MINYAK SERAI


WANGI DI ACEH
Indonesia merupakan negara agraris yang banyak memiliki keanekaragaman flora
yang berlimpah. Pertanian yang cukup maju memberikan kesejahteraan bagi para petani.
Sektor pertanian telah memberikan kontribusi bagi negara terutama devisa. Salah satu
komoditas dari sektor pertanian yang mampu meningkatkan devisa negara adalah minyak
atsiri. Salah satu jenis minyak atsiri yaitu minyak serai wangi. Data ekspor BPS (2018)
menunjukan bahwa kontribusi minyak serai wangi (citronella oil) terhadap pendapatan
ekspor minyak atsiri sekitar 6,89% yang merupakan ketiga terbesar setelah minyak nilam
(patchouli oil) sekitar 60% dan minyak akar wangi (vetiner oil) sekitar 12,47%. Tanaman
serai wangi umumnya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia namun, penghasil utama
minyak serai wangi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jawa Barat dan
Jawa Tengah dengan produksi lebih dari 95% dari total produksi Indonesia (Direktorat
Jendral Perkebunan, 2017).
Permasalahan yang dihadapi oleh daerah penghasil utama minyak serai wangi di
Indonesia antara lain mencakup respon petani, pengadaan bahan baku, proses produksi,
teknologi pengolahan dan peralatan penyulingan, serta pemasaran dan perdagangan.
Hambatan ini berakibat pada mutu minyak serai yang dihasilkan tidak optimal dan
menyebabkan rendemen serta mutu yang tidak konsisten (Mansyur et al.,2015). Harga
minyak atsiri berfluktuasi tergantung pada ketersediaan bahan baku minyak atsisri dan
keberadaan barang subtitusi untuk minyak atsiri tersebut. Fluktuasi harga yang terjadi
pada saat penjualan hasil produksi merupakan permasalahan yang berhubungan dengan
ketidakpastian (Uncertainty). Selain faktor harga hasil produksi juga merupakan
ketidakpastian yang dialami oleh pelaku usaha minyak serai wangi.
Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Komoditi Serai Wangi Aceh 2013 - 2017
Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (ton) Rata -rata
Tanam Panen Produktivitas
2017 17.934 14.100 2.539 180
2016 17.779 13.600 2.260 155
2015 17.263 17.136 3.010 175
2014 17.267 17.133 2.990 201
2013 17.114 17.095 3.438 202
Sumber : Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh,2018
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi dan produktivitas serai wangi di Aceh
cenderung berfluktuatif dari tahun 2013-2017. Hal tersebut dipengaruhi oleh hasil panen
daun serai wangi, yang bergantung dengan kondisi iklim, kesuburan tanah, serta umur
tanaman. Adanya Fluktuasi hasil produksi serai wangi di Aceh, menandakan adanya
risiko produksi pada usaha minyak serai wangi. Selain adanya fluktuasi hasil produksi
minyak serai wangi harga jual minyak serai wangi juga mengalami fluktuasi pada tahun
2018 harga minyak serai wangi mencapai Rp.300.000 – Rp 340.000/Kg, padahal ditahun
sebelumnya rata – rata harga minyak serai wangi hanya berkisar Rp. 270.000/Kg. Pada
awal tahun 2019 harga minyak serai wangi kembali menurun menjadi Rp.280.000/ kg
(Didperindagkop Aceh,2019). Tinggi rendahnya harga minyak serai wangi dipengaruhi
oleh nilai tukar mata uang, jumlah permintaan dan penawaran, serta kualitas yang
dihasilkan.

Berdasarkan uraian di atas, berikut adalah batasan dalam penelitian ini, antara lain
1. Faktor apa saja yang mempengaruhi risiko produksi minyak serai wangi?
2. Seberapa besar tingkat risiko harga pada usaha minyak serai wangi ?
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangan pengetahuan terkait faktor-faktor yang memengaruhi risiko produksi minyak
serai wangi di Aceh dan Mengukur tingkat risiko harga yang dihadapi petani seerai wangi
di Aceh.
TINJAUAN PUSTAKA

Setiap kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh petani seringkali dihadapkan pada
kemungkinan adanya risiko. Risiko yang sering terjadi disebabkan oleh faktor eksternal
dimana kegiatan budidaya usaha tani yang masih bergantung pada kondisi alam
sepenuhnya seperti iklim, curah hujan, hama, dan penyakit, serta bencana alam. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian (Bachus et al. 1997) bahwa keadaan alam yang dihadapi
petani, bisa dikatakan sebuah risiko apabila dapat diketahui kemungkinan terjadinya serta
kemungkinan hasil yang diperoleh. Petani sebagai pelaku utama usaha pertanian selalu
menghadapi dan mengelola berbagai risiko pertanian. Dampak risiko yang dihasilkan
dalam pertanian memiliki efek berjenjang yaitu dampak dari satu jenis risiko
berkontribusi pada terjadinya jenis risiko yang lain, misalkan risiko yang bersumber dari
produksi berakibat pada ketidak pastian hasil produksi yang dapat menimbulkan risiko
lain seperti risiko harga, yang terkait dengan fluktuasi harga. Berbagai jenis risiko
pertanian kemungkinan besar dapat terjadi secara bersamaan (Pelka 2015; Komarek
2020). Risiko produksi berasal dari proses pertumbuhan secara alamiah yang dialami oleh
tanaman maupun ternak. Baik tumbuhan maupun hewan dipengaruhi oleh faktor cuaca
dan iklim (suhu dan curah hujan) hama, penyakit dan juga kondisi tanah seperti
kandungan logam, salinitas tanah dan lain sebagainya (Ullah et.al 2016; Reddy 2015).
Selain beberapa faktor yang disebabkan oleh alam, risiko juga disebabkan oleh
beberapa faktor internal. Penelitian yang dilakukan oleh Djanibetkov (2018) mengenai
risiko produksi kapas dibawah pengaruh konsolidasi lahan di Uzbekiztan menyatakan
bahwa ketersediaan input seperti lahan meningkatkan risiko produksi. Sementara itu
Brainer (2013) meneliti tentang susu sapi perah di swiss juga menyatakan ketersediaan
input seperti penambahan jumlah sapi perah mempengaruhi risiko produksi susu.
Kemampuan tenaga kerja juga memiliki peranan penting dalam proses kegiatan
produksi. Keberadaan tenaga kerja terampil dapat memberikan dampak positif yakni
dapat mengurangi adanya risiko, disisi lain tenaga kerja yang tidak terampil akan
membuat risiko produksi semakin meningkat. Dalam penelitiannya (Fariyanti 2008;
Tiedeman dan Lohmann 2012; Villano dan Fleming 2006) menyatakan bahwa tenaga
kerja merupakan input yang meningkatkan risiko produksi.
Selanjutnya, penggunaan bibit diduga juga berpengaruh terhadap tingkatan risiko
produksi yang dihasilkan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh (Tiedeman dan
Lohmann 2012) menyatakan bahwa bibit merupakan input yang dapat mengurangi risiko
produksi. Namun, Nurhapsa (2013) dan Qomaria (2011) menemukan hasil yang berbeda
dimana bibit merupakan input yang meningkatkan risiko.
Secara lamgsung harga output yang diterima oleh pelaku usaha pertanian juga
dipengaruhi oleh risiko produksi yang berdampak pada fluktuasi harga. Faktor- faktor
yang menyebabkan timbulnya harga output adalah mekanisme pasar, tingkat permintaan,
kualitas atau mutu produk itu sendiri,nilai tukar rupiah dean kondisi finansial dari suatu
negara (Naezada2017). Risiko harga dan ekspektasi harga memengaruhi dalam
memengaruhi penggunaan input. Hal ini sejalan dengan penelitian Fariyanti (2018)
tentang Sikap rumah tangga petani kentang dengan memperhatikan parameter variasi
harga termasuk dalam golongan risk neutral. Broll et al. (2012), dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa ekonomi, petani, dan perusahaan agribisnis mempunyai tingkatan
risiko yang tinggi karena faktor terbaru dari kepastian seperti volatilitas harga input dan
ouput yang lebih besar, perubahan cuaca, pembatasan perdagangan internasional, dan
standar keamanan pangan yang lebih ketat. Peneliti menguji mengenai pengelolaan risiko
secara optimal terhadap keputusan dari petani yang termasuk dalam golongan risk averse
terlihat adanya sumberdaya ganda dari harga komoditi yang tidak pasti.
Sehingga dari uraian diatas didapat bahwa input yang digunakan petani akan
memengaruhi risiko produksi yang dihadapi petani. Selain itu, dari berbagai penelitian di
atas dapat disimpulkan bahwa input usahatani dapat bersifat mengurangi risiko (risk
decreasing) atau memperbesar risiko (risk increasing).

Anda mungkin juga menyukai