Disusun Oleh:
Yosafat Halomoan Manalu (J0307201030)
Usman Ependi (J0307201055)
Syalila Julsanda (J0307201056)
Intan Aida Putri (J0307201059)
Muhammad Ilham Akbar G (J0307201095)
Dosen:
Ahmad Zamzami Nasution, S.P, M.Si
Asisten:
Agus Setiawan, A.Md
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Padi merupakan sumber makanan pokok penduduk Indonesia. Besarnya bahan makanan
padi atau beras tentu berbanding lurus dengan jumlah penduduk di Indonesia. Jika jumlah
penduduk di Indonesia meningkat maka permintaan kebutuhan beras (hasil olahan padi)
meningkat. Begitu pula sebaliknya, permintaan beras akan menurun jika jumlah penduduk di
Indonesia menurun. Hal ini berlaku jika kebutuhan beras hanya untuk konsumsi saja, bukan
hal lain, seperti untuk diekspor baik dalam bentuk bahan baku atau hasil olahan. Dalam
bidang ketahanan pangan nasional, beras merupakan komoditi strategis yang mempunyai
pengaruh besar terhadap aspek sosial, ekonomi, politik dan keamanan bangsa Indonesia.
Sebagai bahan makanan pokok, beras telah menyumbangkan lebih dari 55% terhadap
kebutuhan konsumsi energi dan protein masyarakat. Apabila terjadi kekurangan bahan
makanan yang lain, beras dapat mensuplai kebutuhan konsumsi masyarakat. Menjamin
ketersediaan beras bagi masyarakat berpengaruh terhadap terpenuhinya tingkat asupan gizi
yang dibutuhkan masyarakat yang merupakan hak azasi manusia. Untuk mewujudkan hal itu
maka diperlukan upaya swasembada pangan. Upaya peningkatan produksi padi untuk
mempertahankan swasembada beras di Jawa Timur menghadapi berbagai masalah.
Masalah tersebut berupa kendala fisik, biologis maupun sosial ekonomi. Beberapa
masalah yang menghambat peningkatan produktivitas padi antara lain: (1) stagnasi penerapan
teknologi; (2) alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian; (3) ketersediaan lahan dan air
cenderung menurun, baikjumlah maupun kualitasnya; (4) kemerosotan tingkat kesuburan
lahan dan kualitas air akibat degradasi kualitas lingkungan; (5) penyimpangan iklim dan
gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT), (Biro Perekonomian Pemerintah Propinsi
Jawa Timur, Tahun 2006). Selain masalah di atas, ada masalah lain yang cukup dominan
berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan upaya peningkatan produksi padi. Masalah
tersebut meliputi iklim dan gangguan OPT, baik hama maupun penyakit tanaman,
kekeringan, serta banjir yang cenderung meningkat di Jawa Timur setiap tahunnya. Masalah-
masalah tersebut belum dapat diprediksi dan dikendalikan secara optimal. Akibatnya,
kerugian yang cukup besar sering dialami oleh petani. Kerugian bisa berupa kehilangan hasil,
penurunan mutu, terganggunya kontinuitas produksi, serta penurunan pendapatan petani.
Masalah tersebut masih diperparah dengan kemungkinan adanya gangguan OPT,
kekeringan dan banjir yang semakin komplek akibat pengaruh dari adanya perubahan
fenomena iklim global. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu pemasok utama beras
Nasional. Tingkat kontribusinya terhadap produksi beras nasional mencapai sekitar 18,2 %.
Produksi padi setiap tahun mencapai sekitar 8,6 juta ton padi kering giling (GKG) yang
dihasilkan dari areal pertanaman seluas kurang lebih 1,62 Juta Ha/tahun. Tingkat
produktivitas padi antar hamparan maupun antar petani di Jawa Timur masih sangat seragam,
rata-rata mencapai 5,6 Ton GKG/Ha atau setara 6,44 Ton/Ha padi kering panen (GKP),
dengan kisaran hasil antara 3,5 Ton hingga 9 Ton/Ha GKP. Adanya kesenjangan tingkat
produksi yang cukup tinggi tersebut mengisyaratkan adanya peluang untuk meningkatkan
produksi padi di Jawa Timur dengan menerapkan paket teknologi spesifik lokasi sesuai
dengan agroekologi setempat yang dapat mengoptimalkan produktivitas dan pendapatan
petani. (Paket Teknologi Budidaya Padi Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur, Tahun 2008).
1.2 Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui dan membuat rancangan komponen biaya produksi benih
padi.
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan padi yang merupakan salah satu sumber bahan makanan pokok bagi
penduduk lndonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data BPS (2012), produksi
padi tahun 2012 mengalami kenaikan sebesar 68.59 juta ton atau naik sebesar 2,84 ton
(4.31%) dibandingkan tahun 2011. Pemerintah terus berupaya merealisasikan program utama
ketahanan pangan, seperti usaha peningkatan produktivitas padi dalam rangka mencukupi
kebutuhan pangan seluruh penduduk. Namun usaha tersebut mengalami berbagai kendala,
antara lain
terbatasnya terobosan teknologi baru khususnya dalam hal pengembangan varietas padi
unggul serta alih fungsi lahan subur untuk kepentingan industri, perumahan dan penggunaan
lahan non pertanian lainnya (Krisnamurthi 2006). Perkembangan teknik biologi molekuler
yang semakin pesat dapat menjadi solusi dalam mengatasi kendala pengembangan
produktivitas padi serta mempermudah pekerjaan analisis hingga tahap molekuler (Padmadi
2009). Salah satu pengembangan tersebut yaitu melakukan analisis molekuler terhadap
kualitas padi seperti karakter aromatik. Aroma pada padi menjadi bahan pertimbangan
penting untuk meningkatkan selera makan konsumen, karena padi aromatik memiliki tekstur
yang pulen sehingga disukai oleh konsumen (Praptiwi 2010).
Padi lokal seperti Pandanwangi dari Jawa Barat merupakan salah satu contoh padi
aromatik. Padi ini dapat digunakan sebagai tetua donor dalam pembentukkan varietas unggul
padi aromatik (Adijono et al. 1995). Selain memiliki aroma, padi aromatik juga memiliki
harga jual yang tinggi bagi petani. Namun, sifat agronomi (produktivitas, waktu tanam,
ketahanan terhadap hama dan penyakit, kemudahan tanam dan pemeliharaan) padi aromatik
ini juga tidak sebaik padi nonaromatik. Hal ini menjadi kendala untuk menanam padi
aromatik (Hamiseno et al. 2009). Padi Ciherang yang merupakan varietas padi nonaromatik
unggul nasional dilaporkan memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap beberapa jenis
penyakit, umur tanam singkat, dan bersifat nontransgenik (Hermanto 2006). Oleh sebab itu,
Hamiseno et al. (2009) telah melakukan persilangan antara padi Ciherang (nonaromatik) dan
Pandanwangi untuk memperoleh galur padi dengan komposisi genom seperti Ciherang yang
memiliki produktivitas tinggi dan unggul dalam karakter agronomi lainnya, tetapi juga
membawa sifat wangi (aromatik).
Identifikasi dan seleksi menggunakan marka molekuler yang lebih spesifik terpaut
dengan karakter aromatik pada galur-galur turunan hasil persilangan tersebut belum
dilakukan. Hal ini disebabkan karena masih dibutuhkannya pengembangan galur-galur
persilangan tersebut ke generasi lebih lanjut melalui pendekatan silang balik untuk
mendapatkan populasi yang cocok dalam kesuksesan identifikasi karakter aromatik yang
bersifat resesif (Hamiseno et al. 2009). Lang & Buu (2008) telah berhasil memetakan marka
SSR (Simple Sequence Repeats) yang terkait dengan lokus pengendali sifat aromatik pada
padi. Lokus SSR tersebut adalah primer RM223 yang terletak pada kromosom 8 yang apat
membedakan antara padi aromatik-nonaromatik dan diketahui bahwa marka tersebut
berkosegregasi dengan lokus target dari gen aroma.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut Purwono dan Purnamawati (2010:9), padi merupakan tanaman pangan
berupa rumput berumpun. Tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua benua, yaitu Asia dan
Afrika Barat tropis dan subtropis. Klasifikasi ilmiah tanaman padi dalam sistematika
tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio :Spermatophyta
Subdivisio :Angiospermae
Kelas :Monocotyledoneae
Ordo :Poales
Famili :Graminae
Genus :Oryza
Species :Oryza sativa L.
Padi dapat beradaptasi pada lingkungan tergenang (anaerob) karena pada akarnya
terdapat saluran aerenchyma. Struktur aerenchyma seperti pipa yang memanjang hingga
ujung daun. Aerenchyma berfungsi sebagai penyedia oksigen bagi daerah perakaran.
Walaupun mampu beradaptasi pada lingkungan tergenang, padi juga dapat dibudidayakan
pada lahan yang tidak tergenang (lahan kering, ladang) yang kondisinya aerob. Biji padi
mengandung butiran pati amilosa dan amilopektin dalam endosperm. Perbandingan
kandungan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi mutu dan rasa nasi (pulen, pera,
atau ketan) (Purwono dan Purnamawati, 2010:12).
Muhadi dan Siswanto (2001:10) menjelaskan bahwa harga pokok (biaya)
produksi adalah biaya yang terjadi dalam rangka untuk menghasilkan barang jadi (produk)
dalam perusahaan manufaktur. Pengertian lain menurut Hansen dan Mowen (2009:60), harga
pokok produksi adalah total biaya barang yang
diselesaikan selama periode berjalan.
Umur
Bangunan Jumlah Harga Awal (Rp) Penyusutan (Rp) Total
Ekonomis
Biaya Langsung
Aktivitas Kegiatan
Jenis Biaya
Pengangkutan Pendistribusi
Pengeringan Pembersihan Pengemasan Pengawasan Total Biaya
Bahan Baku an
Biaya Tenaga Kerja
Tidak Rp Rp
Langsung 141.120.000 141.120.000
Rp
Biaya Penyusutan -
Rp Rp Rp
Biaya Kendaraan 13.812.500 16.050.000 29.862.500
Biaya Timbangan Rp Rp Rp
Manual 120.000 120.000 240.000
Rp Rp
Biaya Mesin Pengering 650.000 650.000
Biaya Alat Tes Kadar Rp Rp
Air 56.250 56.250
Biaya Mesin Rp Rp
Pembersih 700.000 700.000
Rp Rp
Biaya Bak 23.336 23.336
Biaya Mesin Jahit Rp Rp Rp
Karung 65.000 65.000 130.000
Rp Rp
Biaya Bak Sampah 16.670 16.670
Rp Rp
Biaya Sealer 12.000 12.000
Biaya Bangunan Rp Rp Rp Rp Rp
3.750.000 3.750.000 3.750.000 3.750.000 15.000.000
Rp Rp
Biaya Gas 72.800.000 72.800.000
Biaya Bahan Bakar Rp Rp Rp
Kendaraan 1.675.000 1.675.000 3.350.000
Biaya Bahan Bakar Rp Rp
Mesin 17.018.800 17.018.800
Rp Rp
Biaya Karung 15.870.500 15.870.500
Rp Rp Rp
Biaya Benang Jahit 480.000 480.000 960.000
Biaya Plastik Polietilen Rp Rp
5 Kg 444.380.000 444.380.000
Rp Rp Rp Rp
Biaya Listrik 1.400.000 1.400.000 700.000 3.500.000
Rp Rp
Biaya Telepon 2.200.000 2.200.000
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Total 15.487.500 95.740.050 6.473.336 465.394.170 19.925.000 144.870.000 747.890.056
Perhitungan Harga Pokok Produksi Metode Activity Based Costing
Cost
Aktivitas Tarif Aktivitas Biaya Overhead (Rp)
Driver