Anda di halaman 1dari 8

PEMILU SERENTAK 2019: SUDAHKAH DEMOKRATIK?

Ramlan Surbakti

KPU meminta saya Menilai Integritas Penyelenggaraan Pemilu 2019.


Terus terang saya tidak begitu sepakat menilai Pemilu 2019 dari segi Integritas
Penyelenggaraan Pemilu terutama bila pengertian Integritas Pemilu (Electoral
Integrity) diartikan secara luas. Profesor Pippa Norris, salah seorang Ilmuwan
Politik yang banyak menulis tentang Pemilu, menulis salah satu buku berjudul:
Why Electoral Integrity Matters Dalam buku ini, Pippa Norris
mendefinisikan Integritas Pemilu sebagai persaingan antar Peserta Pemilu yang
mematuhi standar internasional dan norma global yang mengatur
penyelenggaraan Pemilu yang baik
(electoral integrity refers to contests respecting international standards and
global norms governing the appropriate conduct of elections).1 Yang menjadi
pertanyaan terhadap rumusan ini berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan
“standar internasional dan norma-norma global yang mengatur penyelenggaraan
Pemilu yang baik.” Apakah yang dimaksudkan itu kesepakatan internasional
yang telah diratifikasi oleh sebagian besar negara anggota PBB, seperti
Universal Declaratin of Human Rights yang disepakati PBB pada tahun 1948,
dan International Covenent for Civil and Political Rights yang disepakati
PBB pada tahun 1960, ataukah juga termasuk kesepakatan internasional tentang
Electoral Justice yang diprakarsai oleh Electoral Integrity Group pada tahun
2012, dan dokumen yang disusun oleh Komisi Global tentang Pemilu,
Demokrasi dan Keamanan (the Global Commission on Election, Democracy
and Security) yang dicetuskan pada 2012 sebagaimana dikemukakan di atas,
ataukah juga termasuk yang dirumuskan oleh para ahli dan praktisi Pemilu yang
dipublikasikan oleh International IDEA, IFES atau lembaga internasional
lainnyaya. Pengertian penyelenggaraan Pemilu yang sesuai dengan Standard
Internasional belum tentu diterima oleh setiap negara demokratis. Artinya
“standard internasional dan norma global yang mengatur penyelenggaraan
Pemilu yang baik,” dapat diterima sepanjang standard internasional dan norma
global tersebut telah diratifikasi ataupun diadopsi oleh suatu negara menjadi
undang-undang. Dengan demikian integritas Pemilu menjadi persaingan antar
Peserta Pemilu yang sesuai dengan standard nasional tentang Pemilu yang baik.
Akan tetapi defini seperti ini menjadi terlalu umum karena kurang
mengoperasionalkan dalam bentuk indikator Pemilu yang baik. Karena itu, saya

1
Pippa Norris, Why Electoral Integrity Matters, (Cambridge, UK: Cambridge University
Press, 2014).
1
merumuskan Delapan Parameter Pemilu Demokratik sedangkan Integritas
Pemilu saya artikan secara lebih sempit yang menjadi salah satu Parameter
Pemilu Demokratik.2
Salah satu Standard Internasional yang telah diratifikasi Indonesia,
bahkan telah menjadi bagian dari UUD 1945 (yaitu Pasal 22E ayat (1), adalah
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disepakati oleh PBB pada tahun
1948. Padal Pasal 21 ayat (3) Deklarasi itu ditegaskan setiap pemerintahan
harus dibentuk berdasarkan kehendak rakyat; kehendak rakyat harus dinyatakan
secara Periodic dan Genuine; rakyat yang dimaksudkan itu harus didefinisikan
berdasarkan Universal and Equal Saffrage, dan kehendak rakyat itu harus
dinyatakan secara rahasia (secret ballot).

Asas Periodik
Pada Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, asas Pemilu
hanya disebutkan 6 (enam) saja, yaitu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur
dan Adil sedangkan periodik tidak disebutkan. Ternyata periodik itu tidak
dipandang sebagai asas melainkan hanya sebagai jadual penyelenggaraan
Pemilu (dikemukakan pada Pasal tentang Pelaksanaan Pemilu). Menurut
pendapat saya, tindakan menempatkan periodik (lima tahun sekali) hanya
sebagai jadual menyalahi prinsip yang dinyatakan pada Deklarasi tersebut. Tiga
pengertian yang terkandung dalam pernyataan “kehendak rakyat dinyatakan
secara Periodik.” Pertama, kehendak rakyat itu tidak hanya dinyatakan satu kali
melainkan secara regular apakah empat tahun sekali, lima tahun sekali atau
enam tahun sekali sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam konstitusi
suatu negara. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menetapkan operasionalisasi
Periodik sebagai “lima tahun sekali.” Kedua, asas ini juga berarti terdapat batas
waktu tertentu untuk suatu jabatan (masa jabatan). Jadi tidak ada pemerintah
yang terus menerus berkuasa tanpas batas waktu. Hal ini berarti suatu jabatan
dipegang untuk masa tertentu, dan sesudahnya dapat maju lagi pada Pemilu
untuk masa jabatan kedua. Bahkan untuk jabatan kepala pemerintahan dan
wakilnya (presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati
dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota), seseorang hanya dapat
menjabat dua kali masa jabatan (terus-menerus atau tidak). Pada jabatan
legislatif tidak terdapat pembatasan pada dua periode saja. Perbedaan ini terjadi
karena jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh seseorang (pengambilan
keputusan oleh seseorang), sedangkan jabatan legislatif dipegang secara kolektif
(pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif). Jabatan yang dipegang oleh
satu orang secara potensial cenderung disalah-gunakan.
Pengertian ketiga dari periodik ialah terdapat kesempatan untuk
akuntabilitas. Karena suatu jabatan dipegang untuk masa tertentu dan
sesudahnya dapat maju lagi bersaing pada Pemilu berikutnya, maka terdapat
2
Pidato yang saya sampaikan pada Inaugurasi Keanggotaan saya di Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia pada 26 November 2016.
2
kesempatan tidak hanya bagi rakyat untuk meminta pertanggung jawaban
(akuntabilitas) penyelenggara negara inkumben pada akhir masa jabatan tetapi
juga bagi inkumben untuk mempertanggung jawabkan kinerja pada masa
jabatannya kepada konstituen. Dengan asas periodik tersebut dijamin
kesempatan bagi rakyat untuk mengganti peminpin mereka bila memiliki
kinerja buruk, dan memilihnya lagi untuk masa jabatan kedua bila menampilkan
kinerja positif. Hal yang sama juga berlaku bagi inkumben: maju lagi bersaing
untuk periode berikutnya bila merasa memiliki kinerja yang baik, dan mungkin
memutuskan tidak lagi maju bersaing pada Pemilu berikutnya bila menilai
kinerjanya buruk. Jadi walaupun semua asas lainnya terpenuhi tetapi tidak
periodik (sekali dipilih untuk seumur hidup), maka yang terjadi bukan
demokrasi tetapi otokrasi seumur hidup.

Asas Genuine (Bebas dan Adil)


Yang dimaksud dengan genuine adalah pernyataan kehendak rakyat itu
dinyatakan terhadap persaingan antar Peserta Pemilu yang Bebas dan Adil
(Free and Fair). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Persaingan antar
Peserta Pemilu (P4 beserta Daftar Calon, Pasangan Calon, dan Perseorangan)
pada Pemilu 2019 sudah berlangsung secara Bebas dan Adil? Persaingan secara
bebas berarti setiap Peserta Pemilu tidak mengalami pembatasan dan hambatan
struktural dalam bersaing dengan Peserta Pemilu lain (melakukan kampanye
Pemilu), seperti intimidasi, ancaman kekerasan ataupun tindak kekerasan dari
Peserta Pemilu lain, Pemerintah ataupun Masyarakat, melainkan dengan leluasa
bersaing sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Boleh disimpulkan
betapa sejak Pemilu 1999 sampai Pemilu 2019 persaingan antar Peserta Pemilu
telah berlangsung secara Bebas. Tetapi apakah persaingan antar Peserta Pemilu
sudah berlangsung secara adil?
Dua dari Empat persyaratan untuk Persaingan yang Adil akan
dikemuakan di sini. Pertama, peraturan perundang-undangan yang mengatur
Pemilu menjamin setiap Pemilih akan akses menggunakan hak pilihnya
(inklusif), menjamin kesempatan yang sama bagi setiap Peserta Pemilu untuk
berpartisipasi dalam persaingan, media massa memperlakukan semua Peserta
Pemilu dalam peliputan dan pemberitaan, dan pengaturan tentang Dana
Kampanye berlaku sama bagi setiap Peserta Pemilu. Dan kedua, even playing
field setiap Peserta Pemilu berangkat dari kondisi dan kesempatan yang setara
dalam persaingan. Persyaratan yang paling sukar mewujudkan persaingan yang
adil antar Peserta Pemilu adalah menciptakan titik berangkat yang setara karena
terdapat Peserta Pemilu yang memiliki banyak sumberdaya dalam melakukan
persaingan (seperti Dana, dan Media Massa) sedangkan Peserta Pemilu lain
tidak memiliki sumberdaya yang memadai, sebagian Peserta Pemilu sudah
memiliki pengalaman sedangkan Peserta lain memiliki pengalaman yang
3
terbatas. UU Nomor 7 Tahun 2017 memberikan 4 (empat) bentuk pelayanan
kepada Partai Politik Peserta Pemilu, yaitu (1) soft copy (CD) Daftar Pemilih
yang diberikan kepada setiap kepengurusan partai tingkat kabupaten/kota, (2)
pengadaan dan pemasangan alat peraga kampanye yang diberikan kepada setiap
Peserta Pemilu, (3) menyebar-luaskan Visi, Misi dan Program dari setiap
Peserta Pemilu kepada masyarakat, dan (4) pemasangan Iklan Kampanye
Pemilu di televisi kepada setiap Peserta Pemilu. Apakah keempat fasilitasi ini
berkontribusi pada persaingan yang adil antar Peserta Pemilu? Karena para
Calon anggota DPR dan DPRD yang melakukan kampanye sedangkan Partai
Politik Peserta Pemilu menyerahkan kampanye kepada para Calon, maka
keempat fasilitasi itu tampaknya tidak berkontribusi pada persaingan yang adil
antar Peserta Pemilu

Pelembagaan Ketidak-pastian Hasil Pemilu


Salah satu definisi singkat tentang Pemilu Demokratik adalah
predictable procedures and unpreditable results. Pemilu Demokratik akan
terjadi bila pengaturan tentang seluruh prosedur Pemilu tidak hanya merupakan
penjabaran prinsip-prinsip Demokrasi tetapi juga menjamin kepastian hukum
sehingga seluruh prosedur Pemilu dipahami sama oleh setiap pemangku
kepentingan Pemilu yang demokratik. Selain itu, Pemilu Demokratik akan
terwujud bila tidak ada pihak yang mengetahui sejak awal hasil Pemilu baik
melalui kekuasaan (manipulasi hasil penghitungan suara) maupun dengan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Lembaga survey yang melakukan survey dan
Quick Count dan Exit Poll). Untuk memastikan tidak ada pihak yang
mengetahui sejak awal hasil Pemilu, maka UU Pemilu dan KPU harus
memastikan Pelembagaan Ketidakpastian (Uncertaity Institutionalization)
pada setiap tahapan Pemilu. Apakah KPU sudah melembagaakan ketidakpastian
dalam Pendaftaran dan/atau Pemutahiran Daftar Pemilih? KPU dapat disebut
sebagai sudah melembagakan ketidakpasian hasil Pemilu pada tahapan
Pemutahiran Daftar Pemilih bila asas Umum (universal suffrage) atau semua
warga negara yang berhak memilih (apapun latar belakang mereka) sudah
terdaftar dalam DPT. DPT Pemilu 2019 yang mencapai 192,8 juta dari 260 juta
warga negara Indonesia mencapai sekitar 72%. Berdasarkan hitungan saya
(sekitar 70% penduduk/warga negara yang berhak memilih untuk kontek
Indonesia), menunjukkan Derajad Cakupan telah mencapai derajad yang tinggi
tetapi Derajad Pemutahiran dan Derajad Akurasi tampaknya belum setinggi
Derajad Cakupan. Pendaftaran ganda, dan yang sudah meninggal masih belum
berhasil dibersihkan dari DPT. Derajad Cakupan masih bermasalah karena
kebijakan Kemendagri tidak akan melayani penduduk yang bermukim di tengah
hutan yang dilarang oleh Kementerian LH dan Kehutanan.
Partisipasi Pemilih pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden telah
mencapai 81% sampai 82% yang berarti melampaui target KPU. Apakah
Pelembagaan Ketidakpastian Hasil Pemilu dalam Partisipasi Pemilih telah
4
dijamin oleh KPU? KPU dapat dikategorikan telah melembagakan
ketidakpastian hasil Pemilu dalam Partisipasi Pemilih, khususnya penggunaan
hak pilih, bila semua Pemilih Terdaftar telah well-informed mengenai proses
pemungutan suara dan dapat menggunakan hak pilih dengan bekal identitas
kependudukan (dengan atau tanpa C6), dan bila semua Pemilih Terdaftar yang
memiliki Kebutuhan Khusus dapat menggunakan hak pilihnya. Pemilih
Terdaftar yang memiliki Kebutuhan Khusus adalah antara lain kaum difabel,
mereka yang tengah dirawat di Rumah Sakit, mereka yang tengah menjalani
hukuman di Lembaga Pemasyarakatan, mahasiswa dan pekerja di Kota besar
yang berasal dari luar daerah, mereka yang pada hari pemungutan suara tidak
bisa datang ke TPS karena sedang tugas yang tidak bisa ditinggalkan, mereka
yang pada hari pemungutan suara melaksanakan tugas Penghitungan Cepat, Exit
Poll, meliput kegiatan Pemilu, dan memantau tahap pemungutan dan
penghitungan suara, dan mereka yang pada hari pemungutan suara tengah
berpergian (karena berbagai sebab). Pemilih Terdaftar yang memiliki kebutuhan
khusus ini akan menggunakan hak pilihnya bila terdapat berbagai bentuk
fasilitasi dari KPU.

Pemilu sebagai Pengorganisasian Pemilih dan Logistik Pemilu


Dari segi penyelenggaraan, Pemilu dapat dirumuskan sebagai
pengorganisasian Warga Negara dan Logistik yang Terbesar pada suatu Negara
Demokratik. Yang harus digerakkan, dan dimobilisasi meliputi:
192,8 juta Pemilih Terdaftar; sekitar 9 juta pantia pelaksana pemungutan dan
penghitungan suara dan pengawas Pemilu, Ratusan Ribu Calon anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota beserta Tim Pendukungnya,
sedangkan Logistik juga kurang lebih sama besarnya seperti Surat Suara yang
mencapai sekitar 1 Miliar, jutaan kotak suara, dan jutaan formulir, dan
dokumen, dan ratusan ribu botol tinta Pemilu. Menggerakkan dan memobilisasi
manusia yang begitu besar jumlahnya tersebut dilakukan dengan berbagai
bentuk penyampaian informasi, seperti Sosialisasi Pemilu, Pendidikan Pemilih,
menciptakan demam Pemilu (Election Outreach), Pendidikan Politik,
Pelatihan, Simulasi Pemilu, dan Kampanye Pemilu. Berbagai bentuk
penyampaian informasi ini tidak hanya dilakukan oleh KPU tetapi juga oleh
Peserta Pemilu beserta Tim Pendukungnya, dan berbagai bentuk Media.
Memobilisasi sebanyak sekitar 9 juta orang petugas berarti meminta
mereka melaksanakan tugas dan kewenangan, beserta hak dan kewajiban,
berdasarkan tata cara yang ditetapkan oleh Penyelenggara Pemilu berdasarkan
Undang-Undang Pemilu. Agar dapat melaksanakan tugas dan kewenangan
dengan benar mereka semua diberikan ketrampilan, sarana, dan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis. Kelemahan dalam melakukan mobilisasi
petugas menimbulkan sejumlah akibat berikut:
(1) Jumlah anggota KPPS yang meninggal mencapai 486 orang,
(2) jumlah anggota KPPS yang sakit mencapai lebih dari 11 ribu orang,
5
(3) jumlah Pengawas yang meninggal sebanyak 92 orang,
(4) jumlah TPS Tak Ramah Difabel mencapai 2356,
(5) jumlah TPS yang harus melaksanakan Pemungutan Suara Ulang
mencapai 2249 TPS,
(6) jumlah TPS yang melaksanakan pemungutan suara Lanjutan sebanyak
1543, dan
(7) jumlah TPS yang melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara
Susulan mencapai 1191.
Data ini dapat dikategorikan “kecil” dibandingkan dengan jumlah petugas dan
jumlah TPS. Akan tetapi karena hal ini menyangkut manusia, satu orangpun
harus dihitung dan dihargai. Dan karena proses pemungutan dan penghitungan
suara merupakan hak warga negara, maka KPU perlu melakukan penelitian
(evaluasi) terhadap semua kasus tersebut. Rekomendasi dan kebijakan yang
diusulkan tidak boleh hanya berdasarkan perkiraan, persepsi, dan katanya
melainkan harus berdasarkan data yang valid.
Kelemahan dalam menggerakkan jutaan petugas ini berkaitan dengan tiga
hal. Pertama, volume pekerjaan yang cukup berat, terutama menulis Salinan
Berita Acara dan Salinan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara (C1) sebanyak 20
eksemplar untuk setiap jenis Pemilu. Karena KPPS melaksanakan pemungutan
dan penghitungan suara untuk 5 jenis Pemilu, maka KPPS harus menyusun
Salinan Berita Acara dan Salinan Sertifikat Hasil Penghitungan Suara sebanyak
100 eksemplar setelah selesai proses penghitungan suara. Jam kerja mereka
mengalahkan jam kerja Pegawai Negeri Sipil yang hanya 8 jam karena mereka
bekerja dari jam 6 pagi (bahkan sebagian sudah mulai bekerja jam 5 pagi)
sampai besok subuh (sebagian bekerja selama 24 jam). Yang menjadi
pertanyaan berapa orang dari anggota KPPS yang mampu mengerjakan tugas
sebanyak itu? Bila 5 (lima) dari 7 (tujuh) anggota KPPS mampu mengerjakan
100 eksemplar dalam jangka waktu yang terbatas, pelaksanaan pekerjaan itu
masih berat apalagi kalau jumlah anggota yang mampu mengerjakan tugas itu
hanya 2 atau 3 orang. Mereka niscaya mengalami kelelahan, dan sebagian
mungkin menderita sakit sehingga kelelahan itu menyebabkan sakit yang
berakibat fatal kehilangan nyawa. Patut dipertanyakan berapa orang dari 7
anggota KPPS yang mampu menulis Salinan Berita Acara dan Salinan Sertifikat
Hasil Penghitungan Suara, dan. anggota KPPS nomor berapa yang kebanyakan
sakit dan meninggal tersebut?

Anggaran Pemilu
Anggaran Pemilu berbeda dari uang negara (APBN) yang dibelanjakan
untuk setiap jenis kegiatan Pemilu. Yang disebut Anggaran Pemilu lebih sempit
dari Uang Negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan instansi diluar
Penyelenggara Pemilu untuk membiayai kegiatan Pemilu, seperti Mahkamah
Konstitusi yang menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu, dan Pengadilan Tata
Usaha Negara yang menyelesaikan perkara banding tentang Sengketa
6
Administrasi Pemilu. Anggaran Pemilu dan Biaya lain untuk kegiatan Pemilu
berbeda dari Biaya yang dikeluarkan oleh Peserta Pemilu dan para calon, dan
yang dikeluarkan oleh Pemantau Pemilu.
Anggaran Pemilu tahun 2019 mencapai 33,77 Triliun (yang dikelola
KPU, yang dikelola Bawaslu, dan yang dikelola oleh Polri dan instansi lain).
Yang perlu disoroti secara khusus adalah Anggaran Pemilu dialokasikan untuk
kegiatan macam apa dan apa yang menjadi pembenaran alokasi anggaran
tersebut?
(1) Berapa jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan membuat
Pemilih well-informed tentang Pemilu?
(2) Berapa jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Kenyamanan
Pemilih, dan Keamanan Surat Suara?
(3) Berapa jumlah anggaran yang dialokasikan untuk memfasilitasi
Peserta Pemilu (CD berisi Daftar Pemilih, Penyebar-luasan Visi, Misi
dan Program, Pengadaan dan Pemasangan Alat Peraga Kampanye
Pemilu, dan Pemasangan Iklan Kampanye Pemilu di Televisi)?
(4) Berapa jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk pengadaan dan
distribusi sarana Konversi (logistic Pemilu) Suara Pemilih menjadi
Kursi?
(5) Berapa jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk honorarium anggota
KPPS, PPS dan PPK?
Saya tidak punya data yang dapat menjawab kelima pertanyaan ini. Semoga ada
satu atau dua divisi dan Biro di KPU yang dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Pengaturan Pemilu
Sejumlah peraturan KPU pada prakteknya dapat dikategorikan sebagai
“salah sasaran.” Pertama, dalam Peraturan KPU terdapat kewajiban bagi Partai
Politik Peserta Pemilu untuk membuat Visi, Misi dan Program sebagai materi
kampanye. KPU tidak hanya diwajibkan membuat ketentuan tersebut tetapi juga
menyebar-luaskan Visi, Misi dan Program tersebut. Akan tetapi karena para
Calon yang melaksanakan kampanye, dan kampanye yang dilakukan
kebanyakan kunjungan dari rumah ke rumah, maka Visi, Misi dan Program
Partai itu tidak digunakan sebagai materi kampanye. Kedua, Peraturan KPU
mewajibkan Partai Politik Peserta Pemilu melaksanakan semua ketentuan
tentang penerimaan dan penggunaan Dana Kampanye, dan ketentuan tentang
pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye Pemilu.
Akan tetapi yang mencari dan menggunakan dana kampanye bukan Partai
melainkan para calon. Yang wajib menyampaikan Laporan kepada KPU bukan
para calon melainkan Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilu. Karena itu dapat
diduga apa yang dilaporkan oleh kepengurusan Partai kepada KPU tidaklah
lengkap atau banyak yang tidak dilaporkan.3
3
Seorang Bendahara suatu Partai pernah meminta semua calon anggota DPR dari Partainya
agar hanya melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye maksimal Rp 400 juta
7
rupiah pada Pemilu 2014. Seorang calon anggota DPR yang duduk di samping saya
menyatakan keberatan karena jumlah penerimaan dan pengeluaran dana kampanye jauh
melebihi Rp 400 juta. Tetapi sang Bendahara, yang tidak tahu saya berada di tengah para
calon, tetap meminta setiap calon melaporkan maksimal Rp 400 juta untuk memudahkan
sang Bendahara menyusun Laporan kepada KPU.
Pengaturan KPU seperti itu tentu bukan kesalahan KPU karena
pengaturan itu atas perintah Undang-Undang. Pengaturan yang saya sebut
“salah sasaran” tersebut terjadi karena Sistem Pemilu yang digunakan untuk
memilih anggota DPR dan DPRD bukan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
melainkan Sistem Pemilu Campur-Aduk. Pola pencalonan tertutup (berdasarkan
nomor urut calon) yang diperintahkan UU Pemilu tetapi penetapan calon
terpilih menggunakan formula pluralitas; Partai menyusun Visi, Misi dan
Program Partai tetapi para calon yang melakukan kampamye tetapi tidak
diketahui apa yang dikampanyekan kepada Pemilih, para calon yang
berkompetisi dalam mencari suaara tetapi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu
yang berhak mengajukan pengaduan tentang dugaan pelanggaran UU Pemilu,
para calon mencari dan mengeluarkan dana kampanye tetapi Partai Politik yang
melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, para calon yang
beruapa segala cara untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya tetapi Partai
Politik yang berhak mengajukan gugatan terhadap Putusan KPU kepada MK.
Sistem Pemilu Campur-Aduk seperti ini tidak hanya gagal menyederhanakan
jumlah partai politik di DPR, dan gagal menciptakan sistem perwakilan politik
yang dikehendaki tetapi juga menghasilkan perilaku politisi yang korup. Yang
terakhir ini tidak termasuk Tata Kelola Pemilu sehingga tidak perlu dijabarkan
lebih lanjut di sini.

Bogor, 13 November 2019

Anda mungkin juga menyukai