Ramlan Surbakti
1
Pippa Norris, Why Electoral Integrity Matters, (Cambridge, UK: Cambridge University
Press, 2014).
1
merumuskan Delapan Parameter Pemilu Demokratik sedangkan Integritas
Pemilu saya artikan secara lebih sempit yang menjadi salah satu Parameter
Pemilu Demokratik.2
Salah satu Standard Internasional yang telah diratifikasi Indonesia,
bahkan telah menjadi bagian dari UUD 1945 (yaitu Pasal 22E ayat (1), adalah
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disepakati oleh PBB pada tahun
1948. Padal Pasal 21 ayat (3) Deklarasi itu ditegaskan setiap pemerintahan
harus dibentuk berdasarkan kehendak rakyat; kehendak rakyat harus dinyatakan
secara Periodic dan Genuine; rakyat yang dimaksudkan itu harus didefinisikan
berdasarkan Universal and Equal Saffrage, dan kehendak rakyat itu harus
dinyatakan secara rahasia (secret ballot).
Asas Periodik
Pada Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, asas Pemilu
hanya disebutkan 6 (enam) saja, yaitu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur
dan Adil sedangkan periodik tidak disebutkan. Ternyata periodik itu tidak
dipandang sebagai asas melainkan hanya sebagai jadual penyelenggaraan
Pemilu (dikemukakan pada Pasal tentang Pelaksanaan Pemilu). Menurut
pendapat saya, tindakan menempatkan periodik (lima tahun sekali) hanya
sebagai jadual menyalahi prinsip yang dinyatakan pada Deklarasi tersebut. Tiga
pengertian yang terkandung dalam pernyataan “kehendak rakyat dinyatakan
secara Periodik.” Pertama, kehendak rakyat itu tidak hanya dinyatakan satu kali
melainkan secara regular apakah empat tahun sekali, lima tahun sekali atau
enam tahun sekali sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam konstitusi
suatu negara. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menetapkan operasionalisasi
Periodik sebagai “lima tahun sekali.” Kedua, asas ini juga berarti terdapat batas
waktu tertentu untuk suatu jabatan (masa jabatan). Jadi tidak ada pemerintah
yang terus menerus berkuasa tanpas batas waktu. Hal ini berarti suatu jabatan
dipegang untuk masa tertentu, dan sesudahnya dapat maju lagi pada Pemilu
untuk masa jabatan kedua. Bahkan untuk jabatan kepala pemerintahan dan
wakilnya (presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati
dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota), seseorang hanya dapat
menjabat dua kali masa jabatan (terus-menerus atau tidak). Pada jabatan
legislatif tidak terdapat pembatasan pada dua periode saja. Perbedaan ini terjadi
karena jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh seseorang (pengambilan
keputusan oleh seseorang), sedangkan jabatan legislatif dipegang secara kolektif
(pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif). Jabatan yang dipegang oleh
satu orang secara potensial cenderung disalah-gunakan.
Pengertian ketiga dari periodik ialah terdapat kesempatan untuk
akuntabilitas. Karena suatu jabatan dipegang untuk masa tertentu dan
sesudahnya dapat maju lagi bersaing pada Pemilu berikutnya, maka terdapat
2
Pidato yang saya sampaikan pada Inaugurasi Keanggotaan saya di Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia pada 26 November 2016.
2
kesempatan tidak hanya bagi rakyat untuk meminta pertanggung jawaban
(akuntabilitas) penyelenggara negara inkumben pada akhir masa jabatan tetapi
juga bagi inkumben untuk mempertanggung jawabkan kinerja pada masa
jabatannya kepada konstituen. Dengan asas periodik tersebut dijamin
kesempatan bagi rakyat untuk mengganti peminpin mereka bila memiliki
kinerja buruk, dan memilihnya lagi untuk masa jabatan kedua bila menampilkan
kinerja positif. Hal yang sama juga berlaku bagi inkumben: maju lagi bersaing
untuk periode berikutnya bila merasa memiliki kinerja yang baik, dan mungkin
memutuskan tidak lagi maju bersaing pada Pemilu berikutnya bila menilai
kinerjanya buruk. Jadi walaupun semua asas lainnya terpenuhi tetapi tidak
periodik (sekali dipilih untuk seumur hidup), maka yang terjadi bukan
demokrasi tetapi otokrasi seumur hidup.
Anggaran Pemilu
Anggaran Pemilu berbeda dari uang negara (APBN) yang dibelanjakan
untuk setiap jenis kegiatan Pemilu. Yang disebut Anggaran Pemilu lebih sempit
dari Uang Negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan instansi diluar
Penyelenggara Pemilu untuk membiayai kegiatan Pemilu, seperti Mahkamah
Konstitusi yang menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu, dan Pengadilan Tata
Usaha Negara yang menyelesaikan perkara banding tentang Sengketa
6
Administrasi Pemilu. Anggaran Pemilu dan Biaya lain untuk kegiatan Pemilu
berbeda dari Biaya yang dikeluarkan oleh Peserta Pemilu dan para calon, dan
yang dikeluarkan oleh Pemantau Pemilu.
Anggaran Pemilu tahun 2019 mencapai 33,77 Triliun (yang dikelola
KPU, yang dikelola Bawaslu, dan yang dikelola oleh Polri dan instansi lain).
Yang perlu disoroti secara khusus adalah Anggaran Pemilu dialokasikan untuk
kegiatan macam apa dan apa yang menjadi pembenaran alokasi anggaran
tersebut?
(1) Berapa jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan membuat
Pemilih well-informed tentang Pemilu?
(2) Berapa jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Kenyamanan
Pemilih, dan Keamanan Surat Suara?
(3) Berapa jumlah anggaran yang dialokasikan untuk memfasilitasi
Peserta Pemilu (CD berisi Daftar Pemilih, Penyebar-luasan Visi, Misi
dan Program, Pengadaan dan Pemasangan Alat Peraga Kampanye
Pemilu, dan Pemasangan Iklan Kampanye Pemilu di Televisi)?
(4) Berapa jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk pengadaan dan
distribusi sarana Konversi (logistic Pemilu) Suara Pemilih menjadi
Kursi?
(5) Berapa jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk honorarium anggota
KPPS, PPS dan PPK?
Saya tidak punya data yang dapat menjawab kelima pertanyaan ini. Semoga ada
satu atau dua divisi dan Biro di KPU yang dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Pengaturan Pemilu
Sejumlah peraturan KPU pada prakteknya dapat dikategorikan sebagai
“salah sasaran.” Pertama, dalam Peraturan KPU terdapat kewajiban bagi Partai
Politik Peserta Pemilu untuk membuat Visi, Misi dan Program sebagai materi
kampanye. KPU tidak hanya diwajibkan membuat ketentuan tersebut tetapi juga
menyebar-luaskan Visi, Misi dan Program tersebut. Akan tetapi karena para
Calon yang melaksanakan kampanye, dan kampanye yang dilakukan
kebanyakan kunjungan dari rumah ke rumah, maka Visi, Misi dan Program
Partai itu tidak digunakan sebagai materi kampanye. Kedua, Peraturan KPU
mewajibkan Partai Politik Peserta Pemilu melaksanakan semua ketentuan
tentang penerimaan dan penggunaan Dana Kampanye, dan ketentuan tentang
pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye Pemilu.
Akan tetapi yang mencari dan menggunakan dana kampanye bukan Partai
melainkan para calon. Yang wajib menyampaikan Laporan kepada KPU bukan
para calon melainkan Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilu. Karena itu dapat
diduga apa yang dilaporkan oleh kepengurusan Partai kepada KPU tidaklah
lengkap atau banyak yang tidak dilaporkan.3
3
Seorang Bendahara suatu Partai pernah meminta semua calon anggota DPR dari Partainya
agar hanya melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye maksimal Rp 400 juta
7
rupiah pada Pemilu 2014. Seorang calon anggota DPR yang duduk di samping saya
menyatakan keberatan karena jumlah penerimaan dan pengeluaran dana kampanye jauh
melebihi Rp 400 juta. Tetapi sang Bendahara, yang tidak tahu saya berada di tengah para
calon, tetap meminta setiap calon melaporkan maksimal Rp 400 juta untuk memudahkan
sang Bendahara menyusun Laporan kepada KPU.
Pengaturan KPU seperti itu tentu bukan kesalahan KPU karena
pengaturan itu atas perintah Undang-Undang. Pengaturan yang saya sebut
“salah sasaran” tersebut terjadi karena Sistem Pemilu yang digunakan untuk
memilih anggota DPR dan DPRD bukan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
melainkan Sistem Pemilu Campur-Aduk. Pola pencalonan tertutup (berdasarkan
nomor urut calon) yang diperintahkan UU Pemilu tetapi penetapan calon
terpilih menggunakan formula pluralitas; Partai menyusun Visi, Misi dan
Program Partai tetapi para calon yang melakukan kampamye tetapi tidak
diketahui apa yang dikampanyekan kepada Pemilih, para calon yang
berkompetisi dalam mencari suaara tetapi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu
yang berhak mengajukan pengaduan tentang dugaan pelanggaran UU Pemilu,
para calon mencari dan mengeluarkan dana kampanye tetapi Partai Politik yang
melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, para calon yang
beruapa segala cara untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya tetapi Partai
Politik yang berhak mengajukan gugatan terhadap Putusan KPU kepada MK.
Sistem Pemilu Campur-Aduk seperti ini tidak hanya gagal menyederhanakan
jumlah partai politik di DPR, dan gagal menciptakan sistem perwakilan politik
yang dikehendaki tetapi juga menghasilkan perilaku politisi yang korup. Yang
terakhir ini tidak termasuk Tata Kelola Pemilu sehingga tidak perlu dijabarkan
lebih lanjut di sini.