Anda di halaman 1dari 1

Contoh Penafsiran Dalam Hukum

1. pada kasus kanibalisme dengan terdakwa Sumanto yang dengan sengaja mengambil mayat
di kuburan dan memakannya karena terpengaruh faktor kepercayaan dan budaya ternyata
sangat dikecam oleh masyarakat. Bagi masyarakat kasus Sumanto ini benar-benar
merupakan perbuatan yang sangat keji dan menjijikkan. Perasaan dan intuisi masyarakat
sangat dilukai begitu mengetahui peristiwa ini terjadi sehingga menuntut hukuman yang
sangat berat bagi Sumanto.
2. Sebagai contoh di dalam kasus “arrest listrik” tahun 1921, Hoge Raad memberlakukan pasal
310 N.W.v.S. (pasal 362 KUHP) yang secara jelas menunjuk istilah “barang‟ (goed) di dalam
rumusan kaidahnya. Istilah “barang‟ (goed) sebenarnya merupakan unsur kaidah yang
sangat umum sehingga memiliki ruang lingkup yang begitu luas. Pemahaman terhadap
istilah “barang‟ pada saat itu hanya sebatas “barang berwujud‟ saja (Moeljatno, 1993:27)
dan belum termasuk “barang berwujud‟. Sehingga ketika Hoge Raad memberikan
putusannya tangal 23 Mei 1921, makna dan pemahaman terhadap isitilah “barang‟
bertambah bukan hanya berupa “barang berwujud‟ tetapi juga “barang tidak berwujud‟
(dalam kasus ini „arus listrik‟) yang masih termasuk di dalam makna “barang‟ sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 310 N.W.v.S. Tampak jelas disini peran dari penafsiran
ekstensifsebagai pembuka pemahaman yang lebih lengkap terhadap unsur yang ada di
dalam aturan hukum. Pemahaman yang selama ini ada mendapatkan pemaknaan yang
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang ada tanpa melintasi ruang lingkup aturan
hukum yang ada.
3. Contoh penafsiran a contrario dapat kita temukan pada Pasal 34 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ("KUH Perdata") yang menyatakan bahwa: Seorang wanita tidak
diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian. Dalam Pasal
39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa waktu tunggu bagi
seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan adalah: Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari; b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,
waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak a. berdatang bulan ditetapkan 90 hari.[6] Apabila
perkawinan putus sedang janda tersebut dalam C. keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan. Lalu, apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari?
Jawabannya adalah tidak.[7] Jadi, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat
dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki- laki karena soal yang dihadapi
tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-apa tentang
seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.[8] Menjawab pertanyaan Anda,
penafsiran berlawanan itu diperbolehkan dalam rangka penemuan hukum. Penafsiran
berlawanan itu disebut juga dengan argumentum a contrario yaitu menafsirkan atau
menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa
konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai